• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOGRAFI BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG DI HARANGGAOL, KECAMATAN

HARANGGAOL HORISON, KABUPATEN SIMALUNGUN

S K R I P S I

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dalam Bidang Antropologi Sosial

Oleh :

HELPI YOHANA TOGATOROP

100905028

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Etnografi mengenai Berbagai Aturan Hukum Pengelolaan

Keramba Jaring Apung di Haranggaol Kecamatan Haranggaol

Horisan Kabupaten Simalungun

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan disini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Agustus 2014 Penulis

(3)

ABSTRAK

Helpi Yohana Togatorop, 2014 judul skripsi: ”Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, foto dan lampiran surat penelitian.

Hukum adalah aturan-aturan, norma-norma dan azas-azas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agara ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal untuk dapat menempatkan hukum dalam struktur sosial maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah menyikapi masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Sehingga keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari inilah yang dilihat dalam penelitian ini. Judul Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol bertujuan melihat bagaimana koeksistensi hukum normatif dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya di desa penelitian. Sehingga pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi suatu keberlanjutan bagi mata pencaharian masyarakat.

Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam, observasi dan observasi partisipasi. Dengan tujuan membongkar pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan oleh masyarakat di Haranggaol dalam meraih keuntungan financial. Dalam menemukan data, peneliti tinggal bersama penduduk sekitar dan ikut merasakan pengelolaan-pengelolaan yang dilakukan masyarakat.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji serta syukur patut penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena kasih dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

ETNOGRAFI TENTANG BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM

PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG DI DESA HARANGGAOL

KECAMATAN HARANGGAOL HORISAN KABUPATEN SIMALUNGUN.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana sosial dari

Departemen Atropologi FISIP – USU.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Tuhan Yesus yang telah memberikan kesehatan dan berkah

untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa dalam

penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan,

bimbingan dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena

itu penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan

sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat saya kasihi Saurmaria Br Sidabutar karena

tak henti-hentinya memberikan dukungan, doa dan perhatian hingga sampai saat

ini serta kepada Almarhum Ayahanda yang selalu saya rindukan kehadirannya,

skripsi ini saya persembahkan untuk kalian. Dalam kesempatan ini penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku

dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr.

Fikarwin Zuska M. Ant selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. Agustrisno,

MSP selaku Sekretaris Departemen Antropologi Sosial Universitas Sumatera

(5)

Saya juga mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya untuk pembimbing

saya Ibu Rytha Tambunan M.Si yang telah sabar membimbing saya mulai dari

pembuatan proposal hingga terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih untuk

waktu, saran, dan pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis untuk

menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih untuk nasihat-nasihat ibu yang telah

membuat saya menjadi pribadi yang kuat. Skripsi ini saya dedikasikan untuk

beliau.

Pak Saragih, Bang Eppo Saragih, Tulang Toja Saragih, Tulang Sinaga,

Tulang Gerhad, tulang Janes Sitanggang dan Bang Jan Purba yang telah begitu

banyak membantu saya baik proses mencari data, narasumber dan sampai

akhirnya skripsi ini boleh selesai. Masyarakat Desa Haranggaol yang telah

menerima saya dengan baik dan ramah, sehingga saya merasakan kenyamanan

ketika berada di desa tersebut.

Buat Abang saya Hendra Yaman Togatorop dan Hindon, Donal kakak

saya Ida, Hetty, Helma, terimakasih buat doa dan dukungan serta semangatnya

untuk menyelesaikan bangku perkuliahan. Buat sahabat-sahabat saya: Lina

Manalu, Obrin Yuniarti Sianturi, Mega Natalia, Debora Ginting, Simson

Simanullang dan Gintarius Ginting. Terspesial buat sahabat yang menjadi kekasih

Hati saya Candra Sinabutar yang merelakan waktu, tenaga, dan pemikirannya

untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih buat segala nasihat, dukungan,

semangat, canda tawa yang kalian berikan dan sudah kita lewati.

Kerabat-kerabat Mahasiswa/i Antropologi angkatan 2010: Selly A, Rina

Berutu, Dina Aulia, Zulham Rusdi, Eki Gunawan, Iyan Sinuraya, Denni Nasution,

(6)

persatu. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan yang telah

diberikan kepada saya.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini,

yang telah membantu penulisan skripsi dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang

Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh

semua pihak kepada penulis. Menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil

penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu koreksi dan

masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan oleh penulis guna

penyempurnaannya. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang

memerlukannya.

Medan, Agustus 2014

(7)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di

Departemen Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, Medan. Untuk memenuhi persyaratn tersebut saya

telah menyusun sebuah skripsi dengan judul “Etnografi Berbagai Aturan

Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol,

Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun”.

Ketertarikan penulis mengkaji masalah ini dilatarbelakangi karena melihat

keadaan lingkungan yakni menjamurnya keramba jarring apung di sekitar

pinggiran Danau Toba. Dengan hal tersebut penulis melihat bagaimana

pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan masyarakat. Secara umum

tulisan ini menggambarkan pengelolaan yang dilakukan masyarakat Haranggaol

untuk meraih keuntungan finansial. Akan tetapi menimbulkan permasalahan lain

yakni lingkungan, melalui tulisan ini diharapkan dapat menyadarkan pihak-pihak

terkait (stakeholders) yang mengelilingi Danau Toba mengingat Danau Toba

mengingat danau mengingat danau tersebut merupakan slaah satu warisan dunia

yang terdapat di Indonesia.

Tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan saya sangat mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga tulisan ini benar-benar

bermanfaat bagi pembaca.

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORIGINALITASI……….. i

ABSTRAK………... ii

UCAPAN TERIMAKASIH……… iii

KATA PENGANTAR………. vi

DAFTAR ISI……… vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Masalah dan Latar belakang... 1

1.2Tinjauan Pustaka... 11

1.3Rumusan Masalah... 15

1.4Lokasi Penelitian………..… 16

1.5Tujuan dan Manfaat Penelitian... 17

1.6Metode Penelitian... 18

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data……… 19

1.6.2 Pengalaman Penelitian……… 21

1.6.3 Analisis Data……… 30

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Gambaran Umum Desa Haranggaol...………. 31

2.2 Sejarah Desa Haranggaol………. 33

2.3 Bahasa……… 34

2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang……… 35

2.5 Sarana Jalan dan Angkutan……… 38

2.6 Sarana Kesehatan……….. 39

2.7 Sarana Pendidikan ……… 40

2.8 Keadaan Penduduk ……….. 41

2.8.1 Jumlah Penduduk ………. 41

2.8.2 Kompsisi Penduduk……….. 43

2.8.2.1 Berdasarkan Agama……… 43

2.8.2.2 Berdasarkan Mata Pencaharian……… 44

2.8.2.3 Berdasarkan Pendidikan……….. 44

2.9 Gambaran Umum Keramba Jaring Apung Haranggaol…… 45

2.9.1 Luas dan Jumlah Keramba Jaring Apung……… 46

2.9.2 Keadaan Lingkungan……… 48

(9)

BAB III. PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG HARANGGAOL

3.1Sejarah dan Perkembangan Keramba Jaring Apung……… 54

3.2 Pengelolaan Keramba Jaring Apung... 60

3.2.1 Syarat Mendirikan Keramba ……… 64

3.2.2 Kepemilikan……… 67

3.2.3 Tugas dan Pembagian Kerja ……… 69

3.2.4 Modal Produksi dan Gaji Anggota……… 71

3.2.5 Pembangunan Keramba Jaring Apung………… 73

3.2.6 Jenis Ikan Dalam Keramba Jaring Apung…… 79

3.2.7 Jenis Pakan Yang Diberikan……… 80

BAB IV. BERBAGAI ATURAN HUKUM DALAM PENGELOLAAN KERAMBA JARING APUNG 4.1 Aturan Pemerintah……… 83

4.2 Aturan Masyarakat……… 90

4.2.1 Pandangan Masyarakat Terhadap Alam……… 91

4.2.2 Aturan Yang Berlaku Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung……… 94

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan……….. 100

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sarana kesehatan... 39

Tabel 2. Sarana Pendidikan di Kelurahan Haranggaol... 40

Tabel 3. Penyebaran Jumlah Penduduk………. 42

Tabel 4. Jumlah Penduduk ... 42

Tabel 5. Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama……… 43

Tabel 6. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian……… 44

(11)

ABSTRAK

Helpi Yohana Togatorop, 2014 judul skripsi: ”Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, foto dan lampiran surat penelitian.

Hukum adalah aturan-aturan, norma-norma dan azas-azas. Aturan adalah seperangkat ketetapan yang diperlukan agara ada efisiensi dalam usaha mengejar tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang terumus dalam hukum dengan institusi-institusi dan perilaku orang dalam menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal untuk dapat menempatkan hukum dalam struktur sosial maka yang diperlukan terlebih dahulu adalah menyikapi masyarakat dan kebudayaannya sebagai suatu keseluruhan. Sehingga keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Beroperasinya hukum dalam kehidupan sehari-hari inilah yang dilihat dalam penelitian ini. Judul Etnografi Berbagai Aturan Hukum Dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung Di Haranggaol bertujuan melihat bagaimana koeksistensi hukum normatif dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya di desa penelitian. Sehingga pengelolaan yang dilakukan dapat menjadi suatu keberlanjutan bagi mata pencaharian masyarakat.

Metode yang dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik wawancara mendalam, observasi dan observasi partisipasi. Dengan tujuan membongkar pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan oleh masyarakat di Haranggaol dalam meraih keuntungan financial. Dalam menemukan data, peneliti tinggal bersama penduduk sekitar dan ikut merasakan pengelolaan-pengelolaan yang dilakukan masyarakat.

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Saat ini keramba jaring apung merupakan mata pencaharian utama pada

masyarakat yang hidup di sekitar Danau Toba. Sebelumnya, keramba jaring apung

hanya menjadi mata pencaharian tambahan karena sektor pertanian, perdagangan

dan pariwisata masih merupakan pemberi kontribusi utama bagi pendapatan

masyarakat Danau Toba. Merosotnya sektor pariwisata sekitar tahun 19981 dan

sektor pertanian tahun 2002 membuat semakin banyaknya keramba jaring apung

di pinggiran Danau Toba.

Keramba jaring apung di kawasan Danau Toba terdapat di lima lokasi

yakni: Desa Sebaganding, Desa Sirungkungan, Desa Silima, Desa Simanindo, dan

Desa Haranggaol. Dari kelima desa tersebut, hingga saat ini Haranggaol

merupakan sentra terbesar keramba jaring apung. Penetapan Haranggaol menjadi

sentra keramba jaring apung ini karena di desa tersebut berdiri ribuan keramba

jaring apung dengan hasil panen ribuan ton pertahunnya. Hal ini juga

      

1

Pada tahun 1998 terjadi krisis nasional multidemensi seperti keamanan, politik, sampai pada krisis moneter yang sangat melumpuhkan perekonomian membuat tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Danau Toba sehingga banyak hotel yang beralih fungsi menjadi rumah dan tempat ibadah, kapal tidak lagi jalan karena tidak ada penumpang, harga bahan pokok terus melejit, belum lagi penggundulan hutan yang dilakukan para pembalakliar yang kemudian menyebabkan penyusutan air danau, dan bukit-bukit yang gundul, jalanan hancur keindahan Danau Toba pun hilang dari pandangan mata. Tahun 2002 menjadi tahun penurunan bagi pertanian sebab telah terjadi serangan hama, ditambah tidak mendukungnya kondisi lahan, serta kesulitan mendapatkan air untuk irigasi membuat masyarakat tidak lagi bertani. (Keramba Apung Danau Toba,

http://www.indosiar.com/ragam/keramba-apung-danau-toba_39189.html diakses sabtu, 13 July 2013 9:41:51 PM).

(13)

diungkapkan oleh bapak Gerrad Saragih selaku ketua Asosiasi petani ikan

keramba jaring apung Haranggaol “setidaknya terdapat 361 kepala keluarga

dengan 10.010 petak keramba yang berada di Kelurahan Haranggaol”.

Keramba jaring apung telah memproduksi ikan tawar sebanyak 78.374 ton

pertahunnya di kawasan Sumatera Utara. Berikut data yang disampaikan oleh

Kepala UPT Budidaya Perikanan Sumatera Utara “produksi ikan di Sumatera

Utara tahun 2012 sebanyak 175.721 ton pertahunnya dengan rincian: ikan laut

34.906 ton, udang 4.248 ton dan ikan tawar 136.565 ton. Dari produksi 136.565

ton, produksi ikan air tawar pertahunnya sebanyak 78.347 ton pertahunnya

disumbangkan oleh keramba jaring apung dari Desa Haranggaol”2.

Keramba jaring apung telah menjadi solusi bagi masalah ekonomi setelah

terjadinya krisis moneter di Desa Haranggaol. Terbukti dari keuntungan keramba

yang bisa mencapai lima juta hingga tujuh juta setiap lima bulan sekali per petak

keramba jaring apung. Hasil tersebut disampaikan para petani dilapangan dengan

perkiraan sebagai berikut: ukuran satu keramba 5 x 5 meter dengan modal delapan

juta rupiah saat mendirikan bangunan keramba jaring apung. Untuk satu keramba

jaring apung bisa menampung lima ribu ekor ikan nila dengan produksi mencapai

satu setengah ton dan harga jual Rp 20.000 – Rp 24.000 per kilogram.

      

2

(14)

Keramba jaring apung memang telah menjadi solusi bagi perekonomian

masyarakat Haranggaol. Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan “keramba

jaring apung memberikan dampak yang buruk bagi lingkungan terutama pada

kualitas air Danau Toba”. Seperti yang telah disebutkan oleh Badan Lingkungan

Hidup (BLH) Sumatera Utara bahwa telah terjadi degradasi kualitas air danau.

Penyebabnya adalah pakan ikan yang tidak termakan sekitar 30-40 persennya

atau sekitar 49.3 ton perharinya terbuang dan menjadi pencemaran air.3 Fases dan

urine yang semua terbuang ke air menyebabkan munculnya gulma dan eceng

gondok yang merusak pemandangan, iritasi kulit seperti gatal-gatal bagi pengguna

air danau untuk mandi. Bahkan keadaan terburuk yang telah terjadi yakni petaka

virus herves koi 2004 yang mengakibatkan ribuan ikan mati mendadak sehingga

masyarakat terpaksa mencium aroma busuk selama satu minggu penuh serta

kerugian material yang harus ditanggung oleh petani ikan.

Dalam penelitian Bapedalda Kabupaten Simalungun, ditemukan indikasi

bahwa keramba jaring apung akan menimbulkan gangguan kesehatan manusia.

Gangguan tersebut berupa terancam keracunan dan kemungkinan terburuknya

adalah terganggunya fungsi otak. Pernyataan ini disebabkan oleh meningkatnya

kadar Nitrogen (NH–N3)4 yang terkandung pada pakan (pelet) ternak ikan

peliharaan dalam keramba atau sisa makanan dari restoran yang di buang ke

Danau Toba. Plankton–plankton yang sudah tercemar dikonsumsi oleh ikan dan

      

3

Buletin Danau Toba, Vol IV edisi ke II, Media Simalungun, 2011.

4

(15)

dengan sendirinya ikan tersebut akan mengandung bakteri berbahaya.

Selanjutnya, manusia mengkonsumsi ikan–ikan yang sudah mengandung bakteri

yang dapat membahayakan kesehatan manusia seperti menurunnya stamina

ketahanan tubuh secara drastis, lemah otak serta lambat laun rapuh tulang.

Untuk menanggulangi pencemaran tersebut, pemerintah dalam hal ini

Menteri Lingkungan Hidup sebenarnya telah menetapkan aturan mengenai

pengelolaan sumber daya alam perikanan yakni;

1. UUD 1945, dalam pasal 33 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.

Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Artinya tercantum dasar demokrasi

ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah

pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran

masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang ketentuan dasar pokok-pokok Agraria

(UUPA), mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan segenap sumber daya alam untuk

kesejahteraan rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada

pemerintah daerah.

3. UU No. 9 Tahun 1985 tentang perikanan yang menetapkan

ketentuan-ketentuan mengenai alat penangkapan ikan, syarat-syarat teknis

(16)

yang boleh ditangkap serta daerah penangkapan. Setiap usaha

perikanan juga diwajibkan memiliki surat izin usaha perikanan.

4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010

yang menyatakan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang tidak

menyusun Analisis mengenai Dampak Lingkungan, wajib menyusun

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan UKL dan

UPL

5. PP No. 15 Tahun 1990 tentang Perizinan Usaha Perikanan,

penangkapan ikan dicantumkan koordinat daerah tangkap, ukuran

kapal, serta jenis alat tangkap yang digunakan.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional dimana kawasan Danau Toba dan sekitarnya

ditetapkan sebagai kawasan Strategis Nasional, sehingga usaha yang

dilakukan di sekitar wilayah Danau Toba agar selalu berwawasan

lingkungan,

Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah sepertinya tidak memberikan

hasil secara maksimal bagi penanggulangan pencemaran yang terjadi di sekitar

Danau Toba. Dalam penelitian, masyarakat menyatakan bahwa danau adalah

hak penuh masyarakat. Hal ini terbukti dari siapapun dapat mendirikan

keramba, berapapun yang diinginkan selama memiliki modal. Berbeda dengan yang terjadi di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan,

masyarakat mengelola keramba jaring apung dengan menggunakan metode

(17)

masyarakat sehingga danau kemudian menjadi lestari. Masyarakat di Danau

Tempe memiliki hak untuk mengusahakan danau yang dikenal dengan hak

ongko. Hak ongko adalah hak untuk memonopoli penangkapan ikan pada

bagian-bagian tertentu dari danau, sungai, dan rawa dengan ketentuan

yakni tidak menangkap ikan/mengeksploitasi pada kawasan yang telah

disepakati.

Berdasarkan subjeknya hak ongko terbagi atas dua yakni hak ongko

arajang5 serta hak ongko milik pribadi. Pemanfaatan ongko adalah 100

meter dari tepi danau, pemberlakuan ini juga sama dengan aturan

pemerintah mengenai lokasi perikanan yang wajib berada 100 meter dari tepi

danau.Hak ongko arajang diberlakukan ketika air di danau surut dan pagar

bambu (belle’) yang sebelumnya dipasang setinggi 1,25 meter6 tampak di

permukaan danau. Sehingga, pada saat itu eksploitasi perikanan di Danau

Tempe merupakan hak milik bersama, dan sebaliknya ketika belle’ tidak

tampak disebabkan air danau pasang maka ekspoitasi danau adalah milik

pribadi.

Seluruh kebersihan dan kelestarian danau dijaga oleh pemegang hak

ongko pribadi. Apabila terjadi pelanggaran maka akan dikenakan denda

sebesar seribu rupiah dan hukum kurungan 3 bulan. Hak ongko pribadi

ditentukan melalui sebuah proses pelelangan sumber daya alam oleh

      

5

Hak ongko arajang adalah hak ongko yang bersifat milik bersama (commen property) pada masyarakat Sulawesi Selatan.

(18)

mekanisme pasar yang diakui oleh pemerintah setempat. Hasil dari

pelelangan ini kemudian meningkatkan pendapatan daerah7.

Pengelolaan danau pada basis kearifan lokal tidak hanya terdapat di

Sulawesi, di bagian Sumatera Utara juga terdapat pengelolaan yang hampir

mirip dengan ongko-ongko yakni lubuk larangan8. Lubuk larangan terdapat

Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumtera Utara.

Sistem pengelolaan sungai dengan lubuk larangan hampir sama dengan

sasi9 di Maluku. Dalam konteks lubuk larangan di Mandailing Natal, larangan

paling utama adalah mengambil ikan di bagian aliran sungai yang sudah

ditetapkan sebagai lokasi lubuk larangan selama jangka waktu tertentu,

biasanya satu tahun. Dalam perkembangan kemudian, secara teknis

pengelolaan lubuk larangan hampir sama dengan memelihara ikan di empang

(tobat, Bhs Mandailing), karena itu lubuk larangan sering juga disebut

      

7

Saad, Sudirman. Puralisme Hukum dan Masalah Lingkungan, kasus Penangkapan Ikan di Danau Tempe, Sulawesi Selatan dalam buku Hukum dan kemajemukan budaya, Masinambow K. M Jakarta 2000, Yayasan Obor Indonesia.

8

Tradisi pengelolaan lubuk larangan adalah sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa yang sudah berlangsung di daerah Kabupaten Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan selama puluhan tahun, bahkan di beberapa tempat sudah berlangsung jauh sebelumnya meskipun polanya relatif berbeda dengan yang berlaku sekarang. Pola pengelolaan lubuk larangan sekarang diadaptasi oleh penduduk setempat dari tradisi pengelolaan lubuk larangan di wilayah tetangga mereka yaitu Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Sebagian besar komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing Natal adalah orang Mandailing (Kotanopan dan Batang Natal) dan sisanya adalah orang Ulu (Kec. Muara Sipongi). (Lubis, Zulkifli, 1999 Rekayasa Modal Sosial Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam: Studi Kasus Pengelolaan Lubuk Larangan di Kecamatan Kotanopan Tapanuli Selatan. Laporan penelitian, tidak diterbitkan)

9

(19)

penduduk sebagai tobat rarangan (kolam di dalam sungai) yang dimiliki

bersama oleh suatu komunitas. Status penguasaan terhadap bagian aliran

sungai yang ditetapkan menjadi lubuk larangan berubah dari sumberdaya akses

bebas (open access) ke sumberdaya milik komunal (communally owned

resources).

Lubuk larangan dikelola oleh suatu panitia yang dibentuk melalui

musyawarah desa yang bertugas selama setahun sampai lubuk larangan dibuka.

Tugas lain panitia adalah mengkoordinasikan berbagai aktivitas yang berkaitan

dengan pengelolaan, lubuk larangan, mulai dari saat penutupan lubuk,

mengawasi pencurian ikan dan pelanggaran aturan, melakukan usaha

pembiakan ikan, mengkoordinasikan pembuatan aturan main, menegakkan

aturan main, menyiapkan festival pembukaan lubuk larangan, membukukan

hasil dan menyalurkannya untuk tujuan yang telah ditetapkan, dan lain

sebagainya.

Lubuk larangan dikelola dengan mengacu pada seperangkat nilai-nilai

bersama, norma dan sanksi, serta aturan-aturan tertentu yang ditetapkan

bersama melalui musyawarah desa. Acuan normatif berupa nilai, norma dan

sanksi-sanksi biasanya dirujuk dari khasanah budaya (Mandailing dan Ulu) dan

agama (Islam), sedangkan aturan main yang menyangkut teknis dikreasikan

sendiri oleh setiap komunitas sesuai dengan kebutuhannya atau melalui imitasi

dan penyesuaian dari aturan yang berlaku di komunitas lain. Meskipun

(20)

pengelola), tetapi semua aturan berlaku kepada siapapun yang berinteraksi

dengan lubuk larangan.

Aturan main yang ada, baik lisan maupun tertulis, biasanya terkait

dengan tindak pencurian, tata tertib pelaksanaan festival pembukaan lubuk

larangan, dan aturan pembagian serta pemanfaatan hasil pengelolaan. Proses

penegakan aturan main dalam keseluruhan tahap pengelolaan lubuk larangan

akan melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat, baik panitia, aparatus

desa, tokoh masyarakat dan toko agama, aparat pemerintah kecamatan (jika

diperlukan), dan berada di bawah kontrol semua warga komunitas. Sanksi

terhadap pelanggaran aturan main bisa berupa kewajiban membayar denda,

sanksi sosial, dan sanksi hukum (negara).

Sanksi denda inilah yang dijadikan masyarakat Mandailing sebagai dana

untuk mengatasi persoalan bersama yang mereka hadapi (persoalan publik)

seperti, kesulitan keuangan untuk membangun atau membiayai lembaga

pendidikan, kebutuhan membangun rumah ibadah, santunan untuk anak yatim

dan fakir miskin, membangun jalan desa, sarana olah raga, organisasi

kepemudaan, dsb. Yang terpenting adalah lubuk larangan di daerah ini

menjadikan suatu kekuatan desa dalam mencapai kesejahteraan bersama tanpa

mengabaikan kelestarian lingkungan.

Peningkatan pendapatan dan kelestarian lingkungan oleh usaha keramba

jaring apung dengan memperhatikan aspek lingkungan tidak hanya dirasakan

(21)

dirasakan oleh masyarakat di Srilanka tepatnya di 3 wilayah yang tertata yakni:

Polonnaruwa, Udawalawe, Nuwara Eliya. Keramba jaring apung dilokasi ini,

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan dan pemberian pakan berupa

pellet yang berada dibawah instruksi ahli teknologi makanan. Sehingga,

dampak-dampak yang ditimbulkan oleh keramba jaring apung ini dapat

diminimalisir oleh petani ikan. Keramba jaring apung memberikan di lokasi ini

memberikan manfaat seperti:

1. Budidaya keramba dapat menaikkan produksi ikan.

2. Efisiensi penggunaan sumberdaya karena penebaran, pemberian makan,

dan pemanenan yang telah terorganisir dan dioptimalkan.

3. Budidaya keramba memerlukan modal yang relatif terjangkau karena

memanfaatkan keberadaan air tawar.

4. Memberikan kesempatan kerja pada anggota masyarakat.

5. Para konsumen beruntung pula karena terjaminnya penyediaan ikan yang

konstan bahkan bertambah serta;

6. Budidaya keramba dapat memberikan pendapatan yang lebih teratur

kepada masyarakat.

Manfaat dari keberadaan keramba ini juga dirasakan oleh masyarakat di

desa penelitian yakni Haranggaol, namun karena tidak adanya kejelasan

pengelolaan oleh masyarakat membuat permasalahan semakin kompleks. Di satu

sisi memang pencemaran yang disebabkan oleh keramba jaring apung memang

sangat mengkwatirkan seperti degradasi kualitas air, iritasi kulit, gulma, enceng

(22)

sisi lain bahwa keramba merupakan mata pencaharian utama yang menopang

kehidupan masyarakat sejak berkurangnya pariwista sehingga diperlukan

penelitian, untuk membongkar pengetahuan masyarakat mengenai aturan-aturan

dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya sehingga dapat dikombinasikan

seperti yang terjadi di Danau Tempe antara pengelolaan menurut perspektif

negara dan pengelolaan menurut masyarakat setempat. Mengapa? Karena

mengingat bahwa Danau Toba adalah ikon Sumatera Utara yang selayaknya harus

dijaga dan dilestarikan namun bukan hanya danau yang harus dilestarikan, dijaga

dan diselamatkan, seluruh komponen yang terdapat di sekitar Danau Toba harus

dilindungi (masyarakat dan penghidupannya). Mengingat ada 361 kepala

keluarga yang menggantungkan kehidupannya pada keramba ikan di Desa

Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun, akan

menjadi sebuah ironi jika para stakeholders (pemangku kepentingan) hanya

memikirkan kelestarian lingkungan tetapi mengabaikan hak-hak masyarakat

setempat. Sehingga, penelitian ini akan bertujuan menggambarkan bagaimana

aturan-aturan pengeolalaan keramba ikan jaring apung menurut perspektif

masyarakat.

1.2 Tinjauan Pustaka

Berbicara mengenai aturan tidak terlepas dari hukum. Menurut para ahli

hukum, hukum adalah aturan-aturan, norma-norma, dan asas-asas. Aturan adalah

seperangkat ketetapan yang diperlukan agar ada efisiensi dalam usaha mengejar

tujuan. Ahli hukum beranggapan bahwa tidak ada perbedaan antara apa yang

(23)

menyikapi aturan-aturan dan norma-norma tersebut (Ihromi 1998:1). Padahal

keberhasilan hukum ditentukan oleh beroperasinya10 hukum dalam kehidupan

sehari-hari.

Sally Falk Moore (1993: 149-150) menyebutkan bahwa hukum dan

konteks sosialnya haruslah diteliti secara bersamaan dengan menggunakan metode

semi otonom11. Misalnya dalam kasus penelitian ini, aturan pengelolaan keramba

jaring apung secara normatif belum tentu dijalankan oleh masyarakat

Haranggaol. Hal ini bisa saja karena masyarakat telah menghasilkan aturan-aturan

dan adat kebiasaan serta simbol-simbol yang berasal dari kegiatan sehari-hari

dalam pengelolaan keramba jaring apungnya. Namun, di lain sisi aturan dan

kebiasaan yang mereka lakukan rentan terhadap pihak luar yang mengelilinginya.

Pihak lain yang dapat merentankan posisi pengelolaan oleh masyarakat

adalah hukum normatif pemerintah. Yang secara normatif kebijakan pemerintah

untuk pengelolaan sumber daya alam telah diterbitkan melalui undang-undang.

Bisa saja undang-undang yang dibuat oleh pemerintah tidak cukup efektif untuk

memitigasi persoalan sehingga masyarakat kembali menggunakan aturan-aturan

yang mereka hasilkan sendiri atau sebaliknya mengikuti aturan normatif.

Bidang semi otonom Sally Falk Moore menjadi penting untuk mempelajari

hukum, Hoebel juga menyebutkan bahwa untuk dapat menempatkan hukum

      

10

Berlangsungnya/berjalannya hukum dalam kehidupan sehari-hari, pemberlakuan hukum dalam dunia empiris.

11

(24)

dalam struktur sosial, maka lihatlah dahulu masyarakat dan kebudayaannya

sebagai suatu keseluruhan. Namun, seringkali terjadi di Indonesia adalah

ketidaksinergian aturan hukum normatif dengan apa yang diinginkan oleh

penduduk lokal sehingga menyebabkan kegagalan program. Hal ini di ungkapkan

oleh Robins 2004 dalam ekologi politik bahwa “seringkali persoalan lingkungan

terjadi disebabkan oleh ketidaksinergian kebijakan pemerintah dengan peranan

masyarakat dalam kepemilikan sumber daya alam yang ada”. Kegagalan ini

adalah kurangnya peran aktif masyarakat dalam proses pembuatan hukum.

Misalnya dalam UUD 1945 telah ditetapkan bagaimana seharusnya sumber daya

alam dikelola, tiga hal yang menjadi fokus utama dalam undang-undang yakni:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas

kekeluargaan,

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi mayarakat dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta

3. Negara memiliki hak menguasai atas segenap sumber daya alam demi

mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun penerapan

undang-undang ini belum tampak nyata dirasakan oleh masyarakat.

Pada masyarakat sekitar pesisir khususnya masyarakat nelayan yang

hingga kini masih tergolong miskin dengan pendidikan yang sangat rendah,

didominasi oleh tamatan SD sekitar 45%, dan 15% dari mereka paling tinggi

lulusan SMP, selebihnya tidak bersekolah12. Artinya pengelolaan yang

ditetapkan oleh pemerintah masih bersifat sentralistik dan tidak memberikan

      

12

(25)

peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam menentukan format

kebijaksanaan mengelola sumber daya alamnya.

Format kebijakan mengelola sumber daya alam menurut masyarakat

sebenarnya perlu diimplementasikan. Pengimplementasian tersebut sebagai wujud

dari pengakuan masyarakat lokal dalam UU No 22/1999 tentang otonomi daerah

bahwa masyarakat lokal memiliki kekuasaan dan berhak memilih

program-program yang sesuai untuk kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini dikarenakan

mereka lebih mengerti keadaan lingkungannya, jika demikian maka keberhasilan

konservasi dan pengelolaan sumber daya alam secara normatif pun akan

berlangsung dengan lancar.

Ketika terjadi interaksi hukum negara dengan hukum masyarakat dalam

satu lapangan kajian yang sama disebutlah sebagai pluralism hukum

(Benda-Beckmann dalam Masinambow 1990:2). Aturan masyarakat inilah yang dikaji

dalam antropologi hukum. Menurut Benda Beckmann (1979, 1986) antropologi

hukum mempelajari proses-proses sosial dimana pengaturan mengenai hak dan

keawajiban warga diciptakan, diubah, dimanipulasi, diinterpretasikan dan

diimplementasikan oleh masyarakat tersebut sehingga antropologi hukum

merupakan sebagai perilaku sosial. Menurut Bohannan, antropologi hukum

hendak memahami cara-cara masyarakat mempertahankan nilai-nilai yang di

(26)

Naomi Quinn (1981:413-437) menyebutkan antropologi hukum

menganalisis bagaimana aturan hukum beroperasi didalam kehidupan sosial atau

bagaimana hukum lokal berinteraksi dengan hukum negara. Contoh keberhasilan

interaksi hukum negara dan hukum lokal mengakibatkan kelestarian lingkungan

dan kesinambungan kehidupan masyarakat adalah kasus penangkapan ikan di

Danau Tempe, Sulawesi Selatan (Sudirman Saad dalam Hukum dan

kemajemukan budaya). Pengakuan atas hak ongko oleh pemerintah menghasilkan

suatu tatanan hukum baru yang terbukti menciptakan kedamaian dalam

masyarakat. Kasus ini merupakan indikasi bahwa partisipasi rakyat dalam

penentuan format kebijaksanaan relatif tinggi, meningkatkan pendapatan asli

daerah dan peningkatan produksi ikan serta memperlihatkan bagaimana

koeksistensi13 hukum negara dan hukum lokal saling menguntungkan semua

pihak.

Setiap daerah memiliki aturan-aturan tersendiri menurut budayanya karena

mempunyai pengetahuan, harapan-harapan dan kepentingan-kepentingan yang

berbeda terhadap sumber daya alamnya begitu juga dengan Danau Toba.

Bagaimana masyarakat menanggapi persoalan yang ada di Danau Toba? Aturan

seperti apa yang diberlakukan untuk keberlangsungan keramba? Adakah

koeksistensi hukum seperti hak ongko yang terdapat di Sulawesi atau lubuk

larangan Mandailing Natal? Dengan menggunakan analisis antropologi hukum

diharapkan penelitian ini dapat mengungkapkan hal-hal terkait dengan aturan

      

13

(27)

hukum dalam pengelolaan keramba sebagai mata pencaharian hidup di

Haranggaol.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah adalah berbagai aturan hukum

dalam pengeolalaan keramba jaring apung di Desa Haranggaol, Kecamatan

Haranggaol Horison, Kabupaten Simalungun. Bagaimana aturan hukum negara

secara normatif dapat berkoeksistensi menghasilkan suatu kesinambungan bagi

pengelolaan keramba jaring apung. Permasalahan dijabarkan kedalam beberapa

pertanyaan penelitian yakni:

1. Bagaimana aturan-aturan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya

alam perikanan?

2. Bagaimana aturan-aturan hukum dalam pengelolaan keramba jaring

apung menurut masyarakat?

3. Aturan yang bagaimana semestinya dilakukan untuk keramba jaring

apung?

1.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Haranggaol Kelurahan Haranggaol

Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Pemilihan Lokasi ini

berdasarkan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa desa ini merupakan

sentra terbesar pembudidayaan ikan dalam keramba jaring apung, terdapat 361

(28)

Lokasi ini dapat ditempuh sekitar 4-5 jam dari kota Medan dengan

angkutan umum maupun kendaraan pribadi melalui

Medan-Berastagi-Saribudolok-Haranggaol maupun melalui jalur Medan-Pematang Siantar dan

kemudian Haranggaol dengan biaya Rp 50.000. Sarana jalan raya ketempat ini

memang tidak begitu mulus, terdapat sejumlah titik jalanan yang berlubang.

Berikut ini peta lokasi penelitian, Haranggaol ditandai dengan garis berwarna

merah pada peta tersebut.

Sumber: Dokumen Kabupaten Simalungun

1.5 Tujuan dan Manfaat

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ialah

untuk menggambarkan atau mengungkapkan berbagai aturan-aturan keramba ikan

jaring apung dalam pengelolaannya di Desa Haranggaol dan bagaimana

koeksistensi hukum normatif dengan hukum masyarakat sehingga menghasilkan

(29)

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan referensi bagi

masyarakat dikalangan akademisi, mahasiswa, aktivis dan lain sebagainya,

khususnya bagi mereka yang berlatarbelakang disiplin ilmu antropologi yang

ingin mengkaji lebih dalam tentang Danau Toba terutama masalah keberadaan

keramba dan pengelolaannya. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini diharapkan

menjadi sebuah sarana pengembangan diri untuk lebih paham akan ruang lingkup

kajian antropologi.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara-cara dan prosedur yang dilakukan

untuk mengumpulkan data secara bertanggungjawab sesuai dengan masalah yang

diteliti dan displin ilmu pengetahuan yang bersangkutan sehingga dalam ilmu

Antropologi penelitian ini akan diarahkan menjadi penelitian kualitatif bersifat

deskriptif, yaitu data akan menjelaskan atau menggambarkan makna serta

proses-proses suatu fenomena atau gejala sosial suatu masyarakat yang diteliti

(Koentjaraningrat, 1981 : 30) dengan tujuan akhir dari penelitian ini adalah

etnografi.

Untuk mendeskripsikan secara rinci maka peneliti melakukan penelitian

lapangan (field research) selama dua bulan. Selama dua bulan tersebut peneliti

mencoba memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli

mengenai pengelolaan keramba jaring apung. Jika kemudian ada data yang belum

lengkap maka peneliti akan datang kembali guna melengkapi data tesebut.

(30)

yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah penduduk sekitar Haranggaol

dengan mata pencaharian keramba jaring apung. Petani keramba ini dibagi lagi

menjadi dua kategori yakni;

1. Petani dengan jumlah keramba 20-100 lobang. Informan ini

dianggap penting karena melalui mereka dapat diketahui bagaimana

memperoleh izin mendirikan keramba sampai pada permodalan.

2. Anggota, yang dimaksud dengan anggota adalah mereka yang

mengelola ikan, bekerja profesional untuk pemilik keramba.

Jumlah dari informan sendiri tidak dibatasi selama orang/informan tersebut dapat

memberikan informasi yang dibutuhkan.

1.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa pengumpulan data

primer yakni observasi partisipasi, wawancara, dan pengembangan raport terhadap

informan. Peneliti juga melakukan pengumpulan data sekunder yakni

pengumpulan data dari beberapa buku, jurnal, majalah, koran dan hasil penelitian

para ahli lain yang berhubungan dengan masalah pengelolaan keramba,

pembudidayaan ikan tawar dalam keramba jaring apung guna menambah

pengertian dan wawasan peneliti demi kesempurnaan akhir penelitian ini. Maka

dengan demikian peneliti melakukan 2 teknik pengumpulan data; primer dan

(31)

a. Observasi dan Observasi Partisipasi

Dalam metode observasi atau pengamatan, peneliti berada di

tengah-tengah masyarakat (petani keramba) untuk melihat atau mengamati serta

menuliskan hasil pengamatan yang diperoleh dalam sebuah catatan lapangan

(fieldnote). Peneliti juga melakukan observasi partisipasi yakni ikut serta dalam

proses-proses yang dilakukan masyarakat pada keramba seperti pemberian pakan

ikan dan proses pemanenan ataupun pemeliharaan ikan dalam keramba.

b. Wawancara

Wawancara merupakan metode yang efektif untuk mengumpulkan data

atau keterangan tentang kejadian yang tidak dapat diamati. Adapun yang akan

ditanyakan kepada para informan adalah jenis dan bahan pangan, sistem

pengelolaannya, jumlah pakan yang diberikan, proses pembuatan keramba,

aturan-aturan yang berlaku yang harus ditaati untuk keberlangsungan keramba

yang bersifat tertulis ataupun lisan (kearifan lokal). Teknik ini bertujuan untuk

memperoleh data mengenai pendirian-pendirian masyarakat yang diteliti tentang

rumusan masalah yang dikaji oleh peneliti (Singarimbun dan Effendi, 1984 : 145).

Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara mendalam (depth interview)

dengan menggunakan pedoman wawancara serta instrument wawancara, untuk

merekam dan mencatat hasil wawancara digunakan alat seperti tape recorder,

(32)

c. Pengembangan Raport

Peneliti berusaha membangun raport yang baik terhadap informan untuk

mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian, serta untuk membuat

informan menjadi lebih nyaman dan mudah terbuka atas jawaban-jawaban dari

pertanyaan penelitian yang ditanyakan. Sebelumnya peneliti telah menjalin raport

dengan informan yakni pada saat melakukan pra lapangan pada saat itu penduduk

sekitar cukup ramah dan kooperatif saat melakukan wawancara awal, maka

peneliti rasa tidak sulit saat melakukan penelitian.

1.6.2 Pengalaman Penelitian

Alasan saya mengambil judul ini karena menurut saya tema ini cukup

menarik hati saya. Dimana beberapa literatur dari berbagai media elektronik

menyebutkan terjadi mengalami kemunduran pariwisata di Danau Toba. Hal ini

disebabkan oleh jenis usaha baru yakni keramba jaring apung. Cukup miris

memang ketika berbicara objek pariwisata di Sumatera yang diagungkan adalah

Danau Toba namun terus mengalami permasalahan lingkungan. Kemudian ketika

mata kuliah ekologi kami belajar bagaimana alam di Sumatera khususnya Danau

Toba dan permasalahan yang ada disana. Dari hasil pembelajaran tersebut, saya

mendapat pemahaman Danau Toba tidak dikelola dengan baik sehingga

diperlukan berbagai kebijakan untuk membenahinya.

Keramba jaring apung itu hanya satu penyebab dari permasalahan

(33)

Danau Toba dan yang paling perlu diketahui bahwa air Danau Toba disuplay oleh

19 sungai. Sungai ini memiliki anak sungai yang dimanfaatkan untuk irigasi,

sepanjang perjalanannya air sungai itu dimanfaatkan untuk hal yang sama. Jadilah

permasalahan yang diakibatkan sisa pupuk pada tanaman menjadi lipat ganda.

Jadi jika ingin membenahi Danau Toba jangan melupakan berbagai daerah

yang berkaitan dengan ekosistemnya kira-kira begitulah kesimpulan pelajaran hari

itu. Tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut. Danau Toba memang sama

sekali tidak mendapat polesan. Keindahan alamnya seakan dianggurkan begitu

saja. Pembangunan tidak dikelola secara baik, tidak pula diperhatikan secara

konsisten dan tegas. Saya kemudian mencari berbagai literatur, mengapa Danau

Toba menyusut peminatnya, beberapa literature menyebutkan keramba menjadi

penyebab utamanya. Meskipun hasil pembelajaran saya menyebutkan, keramba

hanya segintir permasalahan yang ada. Akan tetapi saya sependapat bahwa

keramba menjadikan pemandangan indah Danau Toba terlihat kumuh.

Beberapa lokasi keramba yang dikelola oleh masyarakat, umumnya berada

dipinggiran danau tanpa aturan yang jelas. Letaknya sembarangan, meskipun

sudah ada aturan pemerintah yang menetapkan pendirian bangunan di sekitar

danau, sungai, laut dan waduk adalah 100 meter dari bibir pantai tampaknya tidak

terealisasi di Danau Toba bahkan mungkin di seluruh Indonesia. Perbedaan

tampak jelas antara keramba milik warga dengan milik sebuah perusahaan asing

yang letaknya teratur, rapi dan menjorok ketengah danau di wilayah Lottung,

(34)

Perusahaan ini berdiri di wilayah Kabupaten Samosir, izin berdirinya sejak

tahun 1998. Meskipun sama-sama memiliki limbah dari pembudidayaan ikan akan

tetapi milik perusahaan lebih mudah dikontrol dan diawasi. Pengelolaannya juga

wajib memiliki analisis dampak lingkungan, hal ini berbeda dengan milik warga

yang letaknya tidak teratur dan semraut. Kesemrautan ini sangat terlihat jelas di

Haranggaol. Sehingga saya menetapkan, Haranggaol sebagai lokasi penelitian ini.

Penetapan lokasi ini sebagai fokus tempat juga didukung oleh dosen pembimbing

saya saat itu.

Haranggaol adalah sebuah desa yang masuk kedalam wilayah

administratif Kabupaten Simalungun. Sebelumnya, saya tidak pernah dari sini.

Saya memanfaatkan bantuan teman saya dari facebook untuk mengumpulkan data

awal saya. Ia bernama Saveraldo Saragih. Jadi ketika itu data yang diberikannya

cukup membantu saya, sampai akhirnya saya langsung datang dan mengobservasi

tempat ini. Masyarakat disini ramah, dan berpikiran terbuka. Bersolidaritas tinggi

dan menjunjung nilai persaudaraan. Saveraldo memiliki nama panggil Eppo,

Ayahnya cukup baik dan terpandang di desa ini. Beliau seorang pengusaha sebuah

toko Muara Jaya. Dari tutur orang Batak, saya memanggil beliau dengan tulang14.

Ketika sampai, ia menyambut saya dengan hangat kemudian bertanya

maksud dan tujuan saya. Saya menjelaskan bahwa saya ingin mengumpulkan data

skripsi. “tenang ma ham ulang pola stress pakoni, sadarion pe boi do siap ta baen

(tenanglah kamu, jangan stress karenanya, satu hari inipun bisanya selesai itu

       14 

(35)

kita buat). Sebenarnya saya kurang mengerti dengan tutur kata beliau, untuk

menghargainya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sepertinya adalah cara

terbaik. Saat itu bahasa merupakan salah satu kendala bagi saya, meskipun saya

orang Batak akan tetapi penggunaan bahasanya agak sedikit berbeda di desa ini.

Hal ini disebabkan bahasa Simalungun merupakan bahasa yang digunakan di desa

ini.

Esokan harinya tulang menelpon Kepala Desa, sesaat setelah ditelpon

bapak Janes Sitanggang selaku Kepala Desa Kelurahan Haranggaol datang. Dan

disampaikanlah tujuan dan maksud kehadiran saya. Dengan hangat beliau

menyuruh saya langsung datang ke kantor mengambil data dan menyerahkan surat

lapangan. Pagi pada 08 April 2014 saya ke kantor Kelurahan Haranggaol yang

berbentuk seperti balai kesehatan. Terdapat beberapa ruangan berbentuk persegi.

Disebuah ruangan dekat koridor saya dipersilahkan petugas untuk masuk. Namun

kepala desa tidak ada, beliau sedang meminum kopi pagi itu. Jadi saya berbincang

dengan seorang pegawai bernama ibu Purba yang ternyata adalah Isteri dari

kepala desa.

Ibu Purba langsung menyuruh saya untuk melihat sebuah papan statistik

wilayah dan peta Haranggaol. Beliau sedang disibukkan mengobrol dengan

sesama pegawai. Ada 3 orang yang terdapat di ruangan tersebut. Karena suasana

tidak kondusif saya meminta izin, setelah mencatat data kependudukan.

Setelahnya saya bertemu dengan bapak Janes disebuah warung kopi sebelah

kantor kelurahan. Beliau yang melihat saya langsung mengajak saya kembali

(36)

Beliau sangat membantu saya menemukan data awal seperti sejarah dan

perkembangan keramba, kemudian beliau menyarankan saya menemui beberapa

orang petani keramba yang sudah lama berkecimpung didunia budidaya perikanan

ini. Beliau juga langsung memberikan nomor handphone orang-orang tersebut.

Kemudian saya kembali kerumah bang Eppo dan menanyakan orang-orang

tersebut. Iapun tertawa dan mengatakan bagaimana masih takut sama orang

Haranggaol (sambil tersenyum)?

Awalnya saya takut dengan cerita bahwa orang Haranggaol yang

bermayoritas suku Simalungun adalah Pardatu Bolon15. Menurut ceritanya bahwa

siapapun orang dengan niat tidak baik akan di busung16 jika ke daerah ini. Hal ini

sempat saya tanyakan kepada bang Eppo yang menanggapi saya dengan tertawa

sambil berkata “Simalungun abad ke berapa itu nang”. Yah akhirnya pandangan

streotipe tentang orang Simalungun terpatahkan setelah penelitian lapangan saya

ke desa ini. Setelah pulang dari kantor kepala desa, saya meminta izin berkeliling

desa kepada Tulang Eppo. Belian pun kemudian mengizinkan saya bahkan

menyuruh Eppo menghantar, saya cukup tahu bahwa Eppo memiliki pekerjaan

yang tidak bisa ditinggalkan sehingga saya menolak.

Dengan membawa kamera saya berkeliling desa, sambil menikmati

teriknya suasana hari itu. Desa Haranggaol memiliki keterikatan marga secara

geneologis territorial paling tidak mereka terikat secara garis klan besar

      

15

Orang yang suka berdukun, dan menyebarkan penyakit melalui ilmu mistik.

16

(37)

Saragih17. Jadi kesolidaritasan di Desa Haranggaol ini terbangun oleh tali

persaudaraan. Jika tidak bermarga Saragih, bermarga Purba yang memiliki isteri

boru Saragih. Atau ibu dari marga Purba tadi adalah boru Saragih.

Esokan harinya saya dihantarkan bang Eppo ke rumah seorang petani ikan

bermarga Saragih, memang hampir 50% masyarakat di Haranggaol bermarga

Saragih. Ia bernama Toja Saragih. Sekitar 4 tahun lalu ia mendirikan keramba

milik sendiri, sebelumnya ia mengurus keramba ayahnya. Setelah ayahnya

meninggal, beliau kemudian melanjutkan usahanya. Tulang Toja, sangat ramah

dan terbuka terhadap pertanyaan-pertanyaan saya.

Pada suatu hari, setelah beberapa minggu mencari data terjadi sebuah

kesalah pahaman diantara kami tepatnya dengan isteri tulang Toja. Saat itu isteri

tulang Toja yang bekerja sebagai Bidan ikut kekolam dan sedang duduk di sopo.

Di depan sopo terdapat sebuah meja dan beberapa kursi, saya meletakan catatan

yang berisi outline, daftar wawancara, penulisan yang akan saya lakukan dan

beberapa hal lain untuk kelanjutan skripsi ini. Nantulang (sebutan untuk isteri

tulang) membacanya dan muncullah sensitifitas terhadap saya. Namun ia tidak

langsung menyatakannya kepada saya. Saya sedang asik merekam dan bercerita

dengan tulang di kolam, sehingga tidak menghiraukan catatan tersebut.

      

17

(38)

Keesokan harinya, tulang Toja secara halus tidak bersedia saya

wawancarai. Saya tidak ambil pusing dan mencari informan lain. Dua hari

kemudian keadaan sama, tulang Toja masih tidak ingin saya wawancarai. Sampai

akhirnya, saya pergi ke kolam mereka bersama dengan bang Eppo dengan

menumpang kapal milik tulang Gerhad Saragih. Sebelum ke kolam tulang Toja

kami singgah ke kolam tulang Gerhad dan ikut memberi makan ikan. Setelahnya

kami diantar anggota tulang Gerhad ke kolam tulang Toja. Beliau sedikit

menunjukan ekspresi terkejut dan tidak suka.

Secara spontan, nantulang yang saat itu berada di kolam berkata “udahlah

dek, sebaiknya kamu jangan melanjutkan skripsimu kalau hanya untuk merusak

pendapatan kami”. Saya cukup terkejut mendengarnya dan memberanikan

bertanya perihal pernyataan tersebut. Beliaupun menceritakan mengenai catatan

yang dibacanya, bang Eppo yang mendengarkan penjelasan tersebut tidak dapat

berkata apapun. Namun dengan sigap, ia memberikan saya kesempatan untuk

menjelaskan tujuan akhir penulisan ini.

Saya menjelaskan bahwa penulisan ini hanya ingin mengetahui

pengelolaan keramba jaring apung yang dilakukan masyarakat. saya sampai

memberikan salinan surat izin penelitian dari fakultas (surat ini saya bawa dalam

catatan) untuk menyakinkan bahkan saya juga memberikan proposal rancangan

penelitian yang telah diseminarkan dan berjanji tidak akan merusak mata

pencaharian masyarakat Haranggaol. Beliau yang masih belum percaya kemudian

memberikan hak penuh kepada suaminya. Apakah masih ingin diwawancara atau

(39)

berlebihan, tidak mungkin panogolan18 ini membuat yang tidak baik untuk

masyarakat disini”. Meskipun tulang juga masih ragu, akan tetapi tampaknya ia

memberikan saya kesempatan untuk menyelesaikan penulisan ini.

Setelah beliau yakin kepada saya, wawancara kami semakin intens dan

beliau sering mengenalkan saya kepada rekan-rekannya sesama pengusaha ikan.

Mulai dari pengusaha dengan 5 unit sampai 50 unit. Ada tulang Makdin, tulang

Gerhard Saragih, Sihite (merupakan anggota tulang Toja) dan beberapa informan

lain yang mereka ingin disebut namanya. Dan saya menghormatinya.

Biasanya kami mengobrol setelah memberikan makan ikan, karena petani

di Haranggaol memiliki kebiasaan “ngumpul” seusai memantau ikan. Tempat

berkumpulnya tidak jauh dari rumah bang Eppo, tepat disebelah rumahnya. Saya

membuat wawancara dengan para petani tidak begitu formal, bahkan tanpa

mereka sadari saya seringkali mencari informasi dengan mengobrol ringan (ini

disarankan oleh pembimbing sebelum ke lapangan). Saya melakukan semacam

focus group discussion (FGD) dengan petani ikan di warung dengan tema

kesadaran mereka terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi karena keramba.

Mereka sebenarnya sadar, akan tetapi mereka tidak punya pilihan. Sudah cukup

lama dan terlanjur mendirikan keramba dengan modal mencapai 30jutaan untuk

mendirikan bangunan keramba belum termasuk modal untuk benih ikan. Memang

modal tersebut sudah kembali saat ini, akan tetapi jika diberhentikan maka

Haranggaol akan kembali lumpuh seperti setelah terjadi hama pertanian.

      

18

(40)

Usaha keramba jaring apung ini dijadikan masyarakat sebagai suatu mata

pencaharian yang mampu melipat gandakan pendapatan. Pasalnya sekali panen

petani meraup keuntungan lima juta rupiah perlobang kolam. Jika seorang petani

memiliki 10 lobang maka sekali panen ia mendapat keuntungan mencapai 50 juta

rupiah. Dan banyak penyebab yang menjadikan mereka sulit di berikan

pemahaman, pendapatan membutakan mereka dan ketidak percayaan mereka

terhadap pemerintah yang hanya menjanjikan tanpa pembuktian membuat usaha

keramba jaring apung terus tumbuh pesat di Haranggaol.

Selain pemerintah yang menurut masyarakat hanya mengumbar janji,

mereka juga memiliki kekuatan yang bernama solidaritas. Solidaritas ini dibangun

berdasarkan genealogis. Dimana semua penduduk memiliki hubungan darah dan

sistem kekerabatan. Sehingga sosialisasi yang bagaimanapun akan sulit ketika

menyangkut keramba. Sama seperti pertama kali para informan yang menaruh

rasa curiga kepada peneliti.

Janji yang dilontarkan pemerintah menjadi janji manis yang berubah getir

dalam kehidupan mereka. Pesan mereka kepada saya saat penelitian ini usai

adalah tetaplah menjadi rendah hati, jangan sombong dan jangan lupa ketika

sudah menjadi sukses. Pesan yang paling penting dan harapan para informan

adalah jangan merusak ketenangan yang sudah tercipta di Desa Haranggaol

dengan menuliskan yang tidak baik, tulislah apa adanya dan sebagaimana

(41)

Pemerintah yang menginginkan danau milik masyarakat Haranggaol ini

kembali seperti semula perlu tindakan ekstra. Diperlukan penelitian yang

berkelanjutan, dan tindakan nyata untuk merealisasikan Haranggaol sebagai

destinasi wisata. Jadi jika ingin melakukan kesadaran dan pemahaman kepada

para petani, belajarlah bagaimana pengelolaan yang mereka lakukan. Pelajari

bagaimana kebudayaan mereka. Sehingga usaha untuk melestarikan Danau Toba

sebagai ikon Sumatera Utara tercapai. Haranggaol yang memang indah dengan

tumpukan keramba banyak mengajarkan saya tentang kekuatan hukum

masyarakat bernama unnamed low. Sehingga koeksistensi sangat diperlukan

untuk keberlanjutan mata pencaharian keramba jaring apung ini.

1.6.3 Analisi Data

Setelah melakukan semua teknik penelitian dan menemukan data maka

peneliti akan melakukan analisis data. Data yang telah ditemukan dari lapangan

akan dikelompokkan ke dalam kategori-kategori yakni sejarah perkembangan

keramba, pengelolaan serta aturan-aturan yang dijalankan untuk proses

keberlangsungan keramba dan mencari hubungan-hubungan data tersebut.

Sehingga, pada saat melakukan penulisan akhir akan mudah menyimpulkan

(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Desa Haranggaol

Secara Administratif Desa Haranggaol termasuk dalam wilayah Kelurahan

Haranggaol kecamatan Haranggaol Horisan Kabupaten Simalungun. Luas desa ini

mencapai 1.493,8 Ha. Batas-batas wilayah Desa Haranggaol terdiri dari:

1. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bandar Saribu

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Danau Toba

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Siboro

4. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Tangga Batu

Selain Desa Haranggaol, Kelurahan Haranggaol terdiri dari beberapa desa

lainnya yaitu Desa Sigunggung, Desa Tangga Batu, Desa Siboro, Desa Bandar

Saribu, Desa Purba Saribu, Desa Mariah Purba. Letak astronomi Desa

Haranggaol secara umum terletak pada 2°48´46´´-2°52´31´´LU dan 98° 35´

51´´-94° 45´ 11´´ BT. Berada pada ketinggian 751-1400 meter diatas permukaan laut

dengan rata-rata suhunya adalah 28-39°. Keadaan iklimnya adalah beriklim

dingin.

Desa Haranggaol merupakan sebuah kota Kecamatan Haranggaol Horisan.

(43)

alam Haranggaol di kelilingi hamparan pegunungan, sebelah selatannya

berbatasan langsung dengan luasnya Danau Toba. Sementara kontruksi tanahnya

Desa Haranggaol adalah berbatu-batuan.

Sepanjang perjalan menuju Haranggaol, pemandangan yang tersaji adalah

kosongnya lahan pertanian sehingga tampak gersang. Memang ada beberapa lahan

pertanian yang ditanami dengan tomat , akan tetapi tomat-tomat ini seperti hidup

segan mati tak mau dan dibiarkan begitu saja. Tampak pula beberapa pohon

mangga di pinggir jalan yang kasusnya juga sama seperti tomat. Buah-buah kecil

yang belum matang berjatuhan di jalanan, buah-buah itu masih mentah namun

sudah berjatuhan sehingga tidak menghasilkan.

Memasuki wilayah perkampungan, dapat dilihat perumahan yang

bertingkat dengan bangunan batu berderet membelakangi Danau Toba. Tidak

tampak seperti wilayah pedesaan Batak yang terkenal dengan rumah-rumah

panggung. Memang hampir seluruh perumahan Batak sudah berubah menjadi

perumahan yang lazim dilihat diperkotaan.

Haranggaol memiliki sebuah pasar tradisional bernama Tiga Langgiung

yang artinya pasar di tepi danau, karena lokasinya yang berdekatan dengan danau.

Dahulu pasar dibuka dua kali seminggu setiap senin dan kamis. Sekarang, pasar

tradisional ini dibuka sekali seminggu yakni setiap senin. Menurut warga hal ini

disebabkan tidak adanya hasil pertanian seperti waktu dulu ditambah merosotnya

(44)

Dahulu Haranggaol merupakan daerah tujuan wisata yang cukup

dihandalkan oleh Kabupaten Simalungun. Terdapat beberapa objek wisata di

tempat ini yakni pantai Sigunggung, pantai Sigumba. Dekat dengan pantai-pantai

ini terdapat fasilitas penginapan. Akan tetapi penginapan ini sepertinya mati suri

saat ini, tidak ada wisatawan yang berkunjung bahkan karena tidak adanya

pengunjung yang menginap menyebabkan para pengusaha hotel ini beralih mata

pencaharian menjadi petani keramba (Skripsi Keristina Ginting, Peralihan Mata

Pencaharian Masyarakat dari sektor pariwisata ke sektor perikanan, Sosiologi

USU, 2009).

Kini pemandangan yang terlihat setiap hari di Haranggaol adalah lalu

lalangnya mobil pengangkut ikan hasil panen dan pengangkut bibit. Pada malam

hari, hasil panen akan dibawa ke kota sedangkan pagi hari mobil pickup

pengangkut bibit sampai dari berbagai tempat seperti Rantau Parapat, Padang,

Palembang, Jawa dan lainnya. Namun ketika ruas kanan dan kiri berpapasan

pickup penganggkut ikan, maka salah satu mobil harus mengalah dan

menyudutkan mobilnya hampir mendekati jurang. Hal ini terjadi karena jalan di

desa ini tidak cukup untuk dilalui oleh dua mobil sekaligus.

2.2 Sejarah Desa Haranggaol

Desa Haranggaol adalah sebuah desa yang terletak di Kelurahan

Haranggaol, Kecamatan Haranggaol Horisan, Kabupaten Simalungun. Dulunya

Desa Haranggaol bernama Desa Tiga Linggiung yang artinya adalah pasar di

(45)

Danau Toba. Pada tahun 1960 nama desa ini diubah menjadi Desa Haranggaol.

Jika dipisahkan dari suku katanya Harang artinya ladang sedangkan Gaol artinya

pisang, maka secara harfiah Haranggaol merupakan ladang pisang.

Pada tahun tersebut masyarakat Desa Linggiung yang telah diubah

menjadi Desa Haranggaol mayoritasnya adalah petani pisang. Pada saat itu juga,

pisang dari tempat ini terkenal di Simalungun sehingga perpindahan nama

tersebut sangat tepat. Seiring pertumbuhan penduduk pada tahun 1974 Desa

Haranggaol diubah menjadi Kelurahan Haranggaol. Mulanya kantor kelurahan

terletak di pinggir danau, namun pada tahun 1985 kantor terhempas ombak

sehingga hampir seluruh bangunan rusak parah. Kemudian kantor ini dipindah ke

balai desa yang berada tidak jauh dari kantor sebelumnya. Sehingga sampai saat

ini kantor kelurahan ini masih berbentuk kantor balai desa.

Penduduk asli Haranggaol adalah suku Simalungun ditambah dengan

pendatang seperti suku Toba, Karo dan Jawa serta Padang. Hingga saat ini Desa

Haranggaol bermayoritas suku Simalungun dengan bahasa Simalungun.

Masyarakat Haranggaol hidup rukun dan saling berdampingan.

2.3 Bahasa

Bahasa merupakan sarana dalam melakukan pergaulan manusia dalam

komunikasinya. Itulah sebabnya bahasa merupakan satu unsur penting dalam

kebudayaan. Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dipersatukan dengan

(46)

tanah air masih banyak suku bangsa yang masih menggunakan bahasa daerahnya

sebagai alat komunikasi.

Begitupula yang terdapat di daerah penelitian ini, bahasa yang sering

dipergunakan adalah bahasa Simalungun. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk

di desa ini adalah suku bangsa Simalungun. Memang ada suku lain seperti Batak

Toba, Karo, Jawa dan Padang. Namun, mereka juga menggunakan bahasa

Simalungun pada saat bertemu dengan orang Batak. Suku bangsa pendatang ini

beradaptasi dengan baik sehingga terjadi akulturasi19. Akan tetapi para pendatang

ini juga tidak menghilangkan kebudayaan aslinya. Seperti saat berkomunikasi

dengan warga dari suku yang sama, mereka akan menggunakan bahasa daerah

mereka. Penggunaan bahasa Simalungun juga berdasarkan konteks, misalnya saat

berbicara dengan orang yang lebih tua menggunakan kata “nasiam/ham” dan

menghindari kata “ambia” karena dianggap tidak sopan. Kata ambia digunakan

untuk tutur sebaya.

Penyebutan masyarakat untuk keramba jaring apung adalah kolam atau

beberapa informan juga menyebutkannya dengan sebutan tambak. Sehingga

ketika peneliti dalam tulisannya menyebutkan kolam berarti yang di maksud

adalah keramba jaring apung.

      

19

(47)

2.4 Pola Permukiman Penduduk dan Pemanfataan Ruang

Pola permukiman menunjukan tempat bermukim manusia dan bertempat

tinggal menetap serta melakukan kegiatan atau aktivitasnya sehari-harinya.

Permukiman dapat diartikan sebagai suatu daerah dimana penduduk

terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan setempat untuk

mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan hidupnya. Begitu pula

dengan desa Haranggaol telah mengalami beberapa kali perubahan permukiman

untuk mempertahankan, mengembangkan serta melangsungkan kehidupannya.

Persebaran bentuk permukiman pada desa ini berada di sekitar pinggiran

Danau Toba. Bentuk rumah yang membelakangi danau dan saling berhadapan

dengan rumah lainnya. Adapula rumah yang membelakangi pegunungan seperti

disekitar jalan Siboro, Desa Haranggaol jalan besar. Rumah-rumah tersebut

membelakangi perbukitan dan berhadapan dengan Tiga.

Menurut informasi yang peneliti kumpulkan di lapangan, kondisi rumah

pada sekitar 1974-an berupa rumah bara20. Kemudian pada tahun 1990-an bentuk

rumah berganti menjadi rumah semi permanen hingga saat ini sudah menjadi

rumah batu permanen bertingkat. Perubahan bentuk rumah ini disebabkan oleh

perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Anak-anak penduduk yang

mengadu nasib di kota kemudian membenahi rumahnya seperti bentuk-bentuk

rumah di kota. Dan banyak diantara penduduk yang merubah rumahnya

       20 

(48)

disebabkan pendapatan dari sektor perikanan dalam keramba jaring apung di

danau.

Pendapatan dari sektor jaring apung juga mengambil alih dalam perubahan

yang terjadi di Haranggaol. Menurut beberapa informan ketika bertani, berdagang

dan berpariwisata, pendapatan mereka hanya cukup untuk sekolah anak, dan

kebutuhan sehari-hari. Hingga kemudian saat beralih pada mata pencaharian

keramba jaring apung mereka mendapat keuntungan yang besar dan mulai bisa

membangun perumahan, membeli kendaraan dan menambah aset lain.

Saat ini, seluruh rumah di Desa Haranggaol telah memakai jasa

perusahaan listrik Negara (PLN). Untuk mendapatkan air dahulu masyarakat

langsung memanfaatkan air sekitar danau. Namun, saat ini masyarakat tidak perlu

kesusahan untuk mendapatkan air bersih tersebut. Sebab, di kelurahan ini telah

memiliki sarana air bersih yang dikelola oleh PAM dan di aliri kerumah-rumah

penduduk.

Dahulu penduduk desa ini memanfaatkan lahan perbukitan sebagai

pertanian bawang dan pisang serta mangga. Hingga pada tahun 2000-an

pemanfaatan lahan berkurang hampir 70%. Penurunan ini terjadi setelah serangan

hama pada tanaman pertanian. Saat ini pemanfaatan ruang di Desa Haranggaol

(49)

Desa Haranggaol ini merupakan sebuah perkampungan yang bersifat

geneologis territorial21. Selain dihuni oleh suku Simalungun, Haranggaol dihuni

oleh penduduk pendatang seperti suku Batak Toba, Karo, Jawa, Padang. Dengan

demikian mayoritas suku di Haranggaol ini adalah suku Batak Simalungun

dengan Marga Saragih, Sinaga , Purba dan sedikit bermarga Silalahi, Aritonang,

Sirait, Nainggolan dan lain-lain.

2.5 Sarana Jalan dan Angkutan

Sarana jalan yang terdapat di daerah penelitian berada dalam kondisi yang

kurang baik. Hal ini dirasakan oleh peneliti berserta penumpang lain yang menuju

Desa Haranggaol ini, misalnya sepanjang jalan simpang Haranggaol menuju

Haranggaol. Pada lokasi ini terdapat sejumlah lubang aspal yang membahayakan

pengendara. Itulah sebabnya para pengendara diharuskan berhati-hati jika

melewati lokasi ini. Namun demikian Desa Haranggaol telah memiliki jalan yang

menghubungkan satu kelurahan ke kelurahan lain, satu desa menuju desa lain,

bahkan dari desa menuju kota.

Sarana transportasi yang digunakan ke Haranggaol adalah angkutan umum

berupa bis dengan merek angkutan CV. Sinar Sepadan trayek Saribu

dolok-Haranggaol. Mobil tersebut digunakan untuk mengangkut penumpang menuju ke

Kaban Jahe. Jadi penumpang dengan tujuan ke Haranggaol hanya sampai di

simpang Haranggaol, harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan sepadan

       21

Gambar

Tabel 1. Sarana kesehatan............................................................................
Tabel 1 Sarana kesehatan
Tabel 2
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah unit Keramba Jaring Apung (KJA) ikan nila dan ikan campuran sangat berkaitan langsung terhadap jumlah produksi KJA ikan nila dan produksi KJA ikan campuran.Semakin

Adapun skripsi ini yang berjudul “Dampak Aktivitas Keramba Jaring Apung (KJA) Terhadap Kelimpahan Plankton di Danau Toba – Haranggaol.”.. Penulis juga menyampaikan terima

Analisis Kelembagaan dalam Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT. Waduk Cirata yang merupakan Pembangkit Listrik terbesar

Perbedaan jumlah pendapatan yang diperoleh petani dalam usahatani ikan mas sistem keramba jaring apung ini dipengaruhi oleh perbedaan jumlah biaya yang dikeluarkan

Parameter kualitas air yang penting di sekitar keramba jaring apung di Danau Maninjau telah menunjukkan kadar yang tidak mendukung untuk kehidupan ikan di dalam

Estimasi Daya Dukung Perairan Danau Toba Sumatera Utara Untuk Pengembangan Budidaya Ikan Dengan Keramba Jaring Apung.. Kajian Kondisi Morfometri Dan Beberapa Paramater

Judul Skripsi :Dampak Kegiatan Budidaya Keramba Jaring Apung Terhadap Kualitas Air Danau Toba Di Kecamatan Haranggaol Horison Kabupaten Simalungun Sumatera

Akan tetapi, dalam penulisan ini, dampak negatif dari adanya keramba jaring apung KJA akan lebih dibahas mendalam mengingat dampak negatif ini sangat merugikan dan membahayakan