• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Tinjauan Pustaka

3. Kode Etik Auditor

Aturan-aturan perilaku auditor adalah sebagai berikut: a. Perilaku Auditor Sesuai dengan Tuntutan Organisasi

1) Audior wajib mentaati segala peraturan dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Memberi contoh yang baik dalam mentaati dan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Tidak menyalahgunakan wewenangnya sebagai auditor artinya dalam melaksanakan tugasnya auditor tidak bermaksud untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, namun dimaksudkan bahwa tugas auditor adalah menilai proses kegiatan dan hasil kegiatan pihak yang diperiksanya, apakah pekerjaan yang diperiksa sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak wajar, dan apakah peraturan yang dipakai sebagai acuan tersebut masih dapat digunakan atau tidak serta memberikan rekomendasi dan melakukan pembinaan.

c) Tidak melakukan audit terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan surat perintah tugas.

d) Tidak menerima atau memberi imbalan dalam bentuk apapun kepada atau dari pihak yang secara langsung atau tidak turut menentukan penugasan tersebut.

2) Auditor harus memiliki semangat pengabdian yang tinggi kepada instansi atau unit organisasinya adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Mengutamakan kepentingan organisasi daripada kepentingan pribadi atau kelompok atau golongan.

b) Tidak menolak dan meninggalkan tugas tanpa alasan yang jelas.

c) Tidak menunda-nunda penugasan tanpa alasan yang jelas. 3) Auditor harus memiliki keahlian yang diperlukan dalam

tugasnya, keahlian ini meliputi keahlian mengenai audit antara lain adalah sebagai berikut:

a) Mampu dan bersedia memperaktekan pengetahuan tentang audit untuk menyelesaikan tugas.

b) Mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dan penuh minat atau perhatian terhadap pekerjaannya.

c) Mempunyai inisiatif dan kemauan yang keras untuk belajar. d) Dapat mengembangkan daya imajinasi atau analisis dan kemampuan konseptualnya dalam melaksanakan tugasnya. e) Mampu dan bersedia menerima kritik atau saran dari pihak

f) Mampu berkomunikasi secara tertulis maupun lisan dengan baik.

4) Auditor harus memiliki integritas yang tinggi yang dilandasi unsur jujur, berani, bijaksana dan bertanggung jawab adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Jujur yang merupakan perpaduan dari keteguhan watak dalam prinsip moral, tabiat, suka akan kebenaran, tulus hati serta berperasaan halus mengenai etika, keadilan dan kebenaran.

b) Berani dalam arti tidak dapat diintimidasi oleh orang lain dan tidak tunduk karena tekanan yang dilakukan oleh orang lain guna mempengaruhi sikap dan pendapatnya dan memiliki rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi berbagai kesulitan.

c) Bijaksana dalam arti mempunyai sikap yang selalu mempertimbangkan permasalahan berikut dampak atau akibat yang akan timbul terhadap kepentingan negara. d) Bertanggung jawab merupakan sikap yang tidak mengeluh,

menyalahkan orang lain atau mengakibatkan kerugian orang lain dan dapat menyelesaikan terhadap tugas yang diberikan sebagaimana mestinya.

5) Auditor dalam melaksanakan tugasnya harus selalu bersikap obyektif, dimana dalam menyatakan hasil audit harus sesuai

dengan fakta atau kondisi yang sebenarnya, tanpa dipengaruhi, prasangka, interpretasi maupun kepentingan - kepentingan pribadi auditor atau pihak – pihak yang berkepentingan dengan hasil audit adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Dapat mempertahankan kriteria atau kebijakan – kebijakan yang masih relevan atau berlaku.

b) Bersikap tegas dalam mengemukakan hal – hal yang menurut pertimbangan dan keyakinan perlu dilakukan. c) Tidak dapat diintimidasi serta tidak tunduk karena tekanan

orang lain, bersikap tenang dan mampu mengendalikan diri. 6) Auditor wajib menyimpan rahasia jabatan, negara, rahasia pihak yang diaudit dan hanya dapat mengemukakannya kepada pemerintah dan atau pejabat yang berwenang adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Dokumen tertulis seperti surat menyurat, notulen rapat dan lain – lain.

b) Informasi secara lisan dan atau rekaman – rekaman suara. c) Saling mengingatkan untuk senantiasa mematuhi kode etik.

1) Auditor berkewajiban saling memiliki rasa kebersamaan atau kekeluargaan diantara sesama auditor adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Saling berkomunikasi informasi yang dianggap penting mengenai obyek atau pihak yang pernah diauditnya kepada auditor yang lain akan menjalankan tugas terhadap obyek yang sama.

b) Tidak mengatasnamakan sesama auditor untuk tujuan yang bersifat pribadi.

c) Tidak berselisih pendapat dihadapan pihak yang diaudit. d) Tidak menjelek – jelekkan sesama auditor dihadapan pihak

yang diaudit.

e) Tidak mempermalukan sesama auditor dihadapan yang diaudit.

f) Tidak mengadu domba mengenai perilaku sesama auditor.

c. Perilaku Auditor dalam Interaksi dengan Pihak yang Diaudit 1) Setiap auditor harus senantiasa menjaga penampilannya sesuai

dengan tugas auditor adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Berpakaian sederhana, sopan, rapi sesuai dengan kelaziman.

b) Gaya bicara yang wajar, tidak berbelit – belit dan menguasai pokok permasalahan.

c) Nada suara yang wajar, sopan dan tidak berkesan emosional.

d) Cara duduk yang sopan.

2) Setiap auditor harus mampu menjalin iteraksi yang yang sehat dengan pihak yang diaudit adalah diantaranya sebagai berikut: a) Mampu berkomunikasi secara persuasif (tidak represif atau

agresif) dengan pihak yang diaudit.

b) Memperlakukan pihak yang diaudit sebagai subyek dan bukan sebagai obyek.

c) Dapat dan mampu atau mengerti terhadap tugas – tugas atau kesibukan yang diaudit, namun harus tetap menjaga kelancaran dan ketepatan dalam pelaksanaan tugas audit. 3) Setiap auditor harus mampu menciptakan iklim kerja yang sehat

dengan pihak yang diaudit adalah diantaranya sebagai berikut: a) Auditor harus selalu independen dan obyektif.

b) Tidak memanfaatkan pelaksanaan tugas untuk kepentingan diluar kedinasan.

c) Tidak berbelit – belit atau mengada – ada dalam mencari informasi atau data.

d) Dapat menumbuhkan dan membina sikap positif.

4) Setiap auditor wajib menggalang kerjasama yang sehat dengan pihak yang diaudit adalah diantaranya sebagai berikut:

a) Tidak mencari informasi atau data dari pihak yang tidak berkompeten mengenai masalah yang diauditnya.

b) Tidak membicarakan segi – segi negatif pihak yang diaudit dengan pihak yang berkepentingan atau tidak berkepentingan.

c) Saling mempercayai atau menghargai dan dapat berkerjasama dengan pihak yang diaudit sesuai dengan tujuan audit.

d) Bersifat mendidik terhadap yang diaudit dan mau membantu, mendorong, dan membina pihak yang diaudit bila ada permasalahan yang timbul dalam pekerjaannya. e) Tidak memberikan perintah – perintah yang sifatnya

pribadi terhadap pihak yang diaudit.

4. Variabel Kinerja

a. Komitmen Organisasional

Definisi organisasi menurut Edgar seperti yang dikutip Sutarto dalam “Dasar – dasar organisasi” (1998:35) adalah:

“Koordinasi yang rasional dari aktifitas – aktifitas sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan yang jelas, melalui pembagian kerja dan fungsi dan melalui jenjang wewenang dan tanggung jawab”.

Organisai disini adalah kantor akuntan publik tempat dimana auditor bekerja. Faktor yang dapat menimbulkan organisasi antara lain orang – orang, kerjasama dan tujuan tertentu. Berbagai

faktor tersebut tidak dapat saling lepas berdiri sendiri, melainkan saling kait merupakan suatu kebulatan. Asas – asas organisasi berperan dua macam yaitu pertama sebagai pedoman untuk membentuk struktur organisasi yang sehat dan efisien, dan peranan kedua sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan orang agar dapat berjalan dengan lancar.

Organisasi merupakan suatu wadah yang statis dan juga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang menggambarkan pola, skema, bagan, yang menunjukkan garis-garis perintah, kedudukkan karyawan hubungan yang ada dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian organisasi secara umum adalah sebagai suatu wadah yang secara struktural menggambarkan sejumlah manusia untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan mekanisme kerja dan pembagian fungsi.

Menurut Aranya et.al. seperti yang dikutip Trisnaningsih dan Iswati (2003) mengatakan bahwa:

“Komitmen organisasi didefinisikan sebagai: (1) Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan – tujuan dan nilai – nilai dan organisasi; (2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh – sungguh guna kepentingan organisasi; (3) Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi”.

Stephen P.Robbin dalam buku terjemahan Perilaku Organisasi (1996: 140) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai berikut:

“Komitmen organisasi adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu”.

Dalam penelitiannya Meyer and Allen (1991) yang dikutip Emilisa (2001) menyatakan bahwa menurut model ini komitment terhadap organisasi merupakan gabungan dari tiga komponen yaitu: 1) Affective Commitment berhubungan dengan emosional untuk mengidentifikasikan dirinya kepada organisasi dan merasa terlibat dalam organisasi.

2) Continuance Commitment adalah komitmen yang didasarkan atas besarnya biasa yang dikeluarkan jika mereka meninggalkan organisasi.

3) Normative Commitment menyangkut kewajiban untuk loyal kepada organisasi.

Dalam penelitiannya Aranya et.al. (1991) yang dikutip Emilisa (2001) menyatakan bahwa komitmen organisasi individu dapat diukur dengan kekuatan relatif dengan pengenalan dan keterlibatannya dalam organisasi.

Beberapa penelitian mendukung adanya hubungan yang signifikan antara komitmen organisasi dan intensi keluar. Individu yang memenuhi komitmen organisasi akan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi dan intensi keluar yang semakin rendah. Organisasi perlu mengkaji secara mendalam mengenai komitmen akuntan terhadap organisasi tempat mereka bekerja.

Tingginya perputaran pekerja (sering akuntan keluar masuk organisasi) dapat dianggap sebagai salah satu problem sangat penting yang dihadapi perusahaan akuntan publik. Dalam beberapa kasus komitmen organisasi dapat mengakibatkan hal – hal yang tidak diinginakan para peneliti perilaku cenderung mendefinisikan konsep komitmen pada organisasi dalam bentuk kombinasi dari sikap dan perilaku. Dengan demikian komitmen organisasi dapat dinyatakan sebagai pemihakan yang relatif kuat kepada organisasi tertentu dan berupaya mengerahkan tenaga dan pikiran untuk kebaikan organisasi dan tetap setia bekerja dalam organisasi tersebut.

Menurut Pangabean (2001) menyatakan bahwa setiap orang akan masuk ke dalam suatu organisasi, biasanya telah memiliki konsep tentang tujuan individu dan konsep tentang tujuan organisasi, sebaliknya organisasi sendiri juga telah mempunyai konsep tentang tujuan organisasi. Semenjak tahun 1970, komitmen organisasi dapat dipahami melalui dua pendekatan yaitu pendekatan perilaku dan pendekatan sikap. Dalam pendekatan perilaku, perhatian para peneliti adalah terhadap manifestasi dari komitmen yang tegas. Seorang karyawan menjadi terikat kepada organisasi karena “sunk cost” (gaji dan fasilitas yang merupakan fungsi dari usia dan masa kerja). Mereka akan sangat merasa rugi jika mereka pindah kerja.

Dalam penelitiannya Darlis (2001) yang dikutip Rivai (2001) alasan dipilihnya komitmen organisasi adalah dari asumsi bahwa komitmen organisasi dapat mempengaruhi motivasi individu untuk melakukan suatu hal. Komitmen organisasi menunjukan keyakinan dan dukungan terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai oleh orang. Komitmen organisasi yang kuat yang menyebabkan individu berusaha mencapai tujuan organisasi dan mengutamakan keputusan orang.

b. Komitmen Profesional

Menurut Aranya et al. (1981) dalam Trisnaningsih dan Iswati (2003) komitmen profesional didefinisikan sebagai berikut:

1) Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan- tujuan dan nilai dari profesi.

2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh- sungguh guna kepentingan profesi.

3) sebuah kepentingan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi.

Penelitian Wibowo (1996) seperti yang dikutip Puspa (2000) mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara pengalaman internal auditor dengan komitmen profesionalnya, lama bekerja hanya akan mempengaruhi pandangan professional hubungan dengan sesama profesi, keyakinan terhadap peraturan profesi dan

pengabdian profesi. Tenaga profesional telah dididik dengan adanya kode etik yang telah mengatur bahwa akuntan publik diwajibkan untuk memelihara dan meningkatkan profesionalisme, agar jasa yang dihasilkan senantiasa relevan dengan kebutuhan pemakai jasanya.

Penelitian Larson (1997) seperti yang dikutip Puspa (2000) menyatakan bahwa profesional lazimnya berada dengan para professional. Mereka mempunyai komitmen jangka panjang dan kuat pada bidang keahliannya, dan komitmen kepada profesi mereka yang jarang memperhitungkan jam kerjanya. Masyarakat menganggap para professional memiliki ilmu pengetahuan yang terkait dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan sentral dari suatu sistem sosial. Sebaliknya masyarakat juga mengharapkan para professional mempunyai komitmen untuk mengabdi kepada kepentingan publik, melebihi dari insentif material yang mereka terima.

Sampai sejauh mana anggota suatu profesi telah menjalankan nilai-nilai professional seperti yang diharapkan akan menjadi perhatian khusus masyarakat dan juga profesi itu sendiri. Suatu studi tentang tanggung jawab auditor (AICIPA, 1978) memperlihatkan bahwa ciri-ciri professional dari seorang akuntan publik adalah adanya dedikasi yang tinggi terhadap profesi, tanggung jawab yang tinggi terhadap pemakai informasi keuangan, dan loyal kepada profesi secara menyeluruh.

Dalam penelitiannya Mowday et al. (1979) yang dikutip Lekatompessy (2003) menyatakan bahwa dengan demikian individu dengan komitmen profesional yang tinggi dikarakteristikan sebagai (1) adanya keyakinan yang kuat dan penerimaan atas tujuan profesi; (2) kesediaan untuk berusaha sebesar-besarnya untuk profesi; (3) adanya keinginan yang pasti untuk keikutsertaan dalam profesi.

c. Motivasi

Robbins (1996) menyatakan bahwa kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individu dengan adanya motivasi.

Dalam penelitian Heidjrachman dan Husnan (2000) yang dikutip Trisnaningsih dan Iswati (2003) menyatakan bahwa motivasi dibagi menjadi dua yaitu motivasi positif dan motivasi negatif. Motifasi positif adalah proses untuk mencoba mempengaruhi orang lain agar menjalankan sesuatu yang kita inginkan dengan cara memberikan kemungkinan untuk mendapatkan “hadiah”. Sedangkan motivasi negatif adalah proses untuk mempengaruhi seseorang agar mau melakukan sesuatu yang kita tidak inginkan. Sedangkan menurut Abdurrahim (1998) hasil penelitiannya menyatakan adanya kesetaraan motivasi kerja dan kesempatan kerja pada beberapa profesi akuntan pria dan wanita.

Sutarto (1998:311) menyatakan ada beberapa macam teori motivasi diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Teori motivasi “klasik” dari Frederick W. Taylor

Konsep dasar teori motivasi klasik adalah seorang akan bersedia bekerja dengan baik apabila orang itu berkeyakinan akan memperoleh imbalan yang ada kaitannya langsung dengan pelaksanaan kerjanya. Menurut teori ini pemberian imbalan yang paling tepat dapat menumbuhkan semangat untuk bersedia bekerja lebih baik apabila diberikan pada saat yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2) Teori motivasi “kebutuhan” dari Abraham H. Maslow Teori motivasi kebutuhan ini mengikuti teori kebutuhan jamak bahwa seseorang berperilaku karena didorong oleh adanya keinginan untuk memperoleh bermacam-macam kebutuhan. Berbagai kebutuhan yang diinginkan seseorang itu berjenjang.

3) Teori motivasi “dua faktor” dari Frederick Herzberg Konsep dasar dari teori motivasi ini menyatakan bahwa dalam setiap pelaksanaan pekerjaan akan terdapat dua faktor penting yaitu faktor syarat bekerja dan faktor pendorong. Yang termasuk faktor syarat bekerja antara lain kehidupan gaji, kondisi kerja, keamanan kerja, hubungan antar pribadi dan

atasannya, teknik pengawaswan, status, kebijaksanaan dan administrasi instansi. Yang termasuk faktor pendorong ada enam antara lain yaitu tanggung jawab, potensi tumbuh, pekerjaan itu sendiri, kemajuan, pengakuan dan prestasi. 4) Teori motivasi “hubungan kerja kemanusiaan” dari Rensis

Likert

Konsep dasar teori motivasi ini adalah bahwa manajer harus dapat menumbuhkan perasaan para pegawai bahwa mereka memang sangat dibutuhkan oleh organisasi, bahwa tiap-tiap pegawai dapat diterima oleh kelompoknya disamping itu para pegawai diyakinkan bahwa mereka adalah termasuk orang-orang penting.

5) Teori motivasi “pengutamaan pengharapan” dari Victor H. Vroom

Konsep dasar teori motivasi ini adalah bahwa seorang akan terdorong untuk bekerja dengan baik apabila akan memperoleh suatu imbalan yang ada pada saat itu sedang dirasakan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi.

6) Teori motivasi “X dan Y” dari Douglas McGregor

Teori motivasi ini ditimbulkan sehubungan dengan adanya sifat orang. Douglas McGregor menyatakan bahwa teori X sehubungan dengan adanya orang yang bersifat buruk,

dan sehubungan dengan adanya orang yang bersifat baik ditumbuhkan teori Y.

7) Teori kebutuhan “ERG” dari Clayton P. Alderper

Teori ini menyatakan bahwa orang memiliki tiga macam kebutuhan yaitu existence (adanya), reladness (berhubungan), growth (pertumbuhan). Kebutuhan adanya berkaitan dengan kebutuhan akan kelangsungan hidup seseorang.

8) Teori kebutuhan “berprestasi” dari David C. MacClelland MacClelland berpendapat bahwa individu memiliki tiga macam kebutuhan yaitu berprestasi, persatuan, dan kekuatan. Kebutuhan berprestasi berarti seseorang akan terdorong bekerja dengan sungguh-sungguh apabila merasa akan memperoleh kesempatan untuk dapat menunjukan sepenuh kemampuan yang dimilikinya hingga dapat diperoleh hasil yang terbaik.

9) Teori motivasi “keadilan” dari Strecy Adams

Teori ini menyatakan bahwa input utama ke dalam pelaksanaan dan pemuasan adalah tingkat keadilan dan ketidakadilan yang dirasakan orang-orang dalam situasi kerja. Motivasi merupakan suatu proses psikologi yang mendasar

yang menimbulkan suatu perilaku untuk mencapai tujuan atau insentif.

Menurut Robbin (1996:155) dalam “perilaku organisasi” mendefinisikan motivasi sebagi berikut:

“Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan-tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi sesuatu kebutuhan individual”.

Motivasi akan sampai tinggi pada suatu derajat dimana ganjaran yang diterima seorang individu untuk kinerjanya memenuhi kebutuhan dominan yang konsisten dengan tujuan pribadi individu tersebut. Setiap perilaku individu tentu ada dasar alasannya mengapa seseorang bersedia melakukan jenis pekerjaan tertentu, mengapa orang yang bersedia bekerja lebih giat, sedangkan orang lain hanya bekerja biasa saja. Semua ini tentu ada dasar alasannya atau tentu ada suatu dorongan yang menyebabkan berbuat demikian atau dengan kata-kata lain pasti ada motivasinya.

d. Kesempatan Kerja

Ayu Chairina Laksmi (1997) yang dikutip oleh Yvonne Agustine S (2004) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa terdapat perbedaan signifikan pada persepsi akuntan publik pria

dan wanita terhadap isu mengenai kesempatan, penerimaan, komitmen dan akomodasi khusus. Persepsi akuntan publik yang dibedakan menjadi pria dan wanita terdapat sejumlah isu yang berkaitan dengan akuntan publik wanita dan ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai bagaimana sesungguhnya keadaan yang dihadapi oleh akuntan publik wanita di Indonesia. Kesempatan kerja dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai peluang untuk mendapatkan kesetaraan dalam pengembangan karir antara lain promosi dan mendapatkan penugasan serta dalam penetapan gaji dan kenaikan secara berkala. Isu tentang kesempatan kerja bagi akuntan publik wanita untuk menjadi patner, dan akuntan publik pria menyetujui bahwa akuntan publik wanita diberikan pembebanan tugas dan diizinkan untuk mengembangkan spesialisasi sesuai dengan profesinya yang sama dengan rekan prianya.

Dalam penelitiannya Trapp et al. (1989) yang dikutip Yvonne (2004) menyatakan bahwa isu tentang kesempatan bagi akuntan publik wanita menunjukan masih terdapat perbedaan signifikan antara akuntan publik pria dan akuntan publik wanita. e. Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (2003) yang dikutip Emilisa (2001) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai berikut:

“Kepuasan kerja merujuk kesikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja

yang tinggi menunjukan sikap yang positif terhadap pekerjaannya itu; seseorang yang tidak puas dengan pekerjaannya menunjukan sikap yang negative terhadap pekerjaan itu sendiri”.

Faktor-faktor yang menentukan kepuasan kerja:

1) Kerja yang secara mental menantang

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan- pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Pekerjaan yang kurang menantang mencipatakan kebosanan, tetapi yang terlalu menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal.

2) Ganjaran yang pantas

Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persesikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan standar pengupahan komunitas, kemungkinan besar akan menghasilkan kepuasan. Tetapi kunci yang menautkan upah dan kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, lebih penting lagi adalah persepsi keadilan. Sama halnya pula,

karyawan berusaha mendapatkan kebijakan dan praktik promosi yang adil bagi pria maupun wanita.

3) Kondisi kerja yang mendukung

Karyawan peduli bagi lingkungan kerja yang baik untuk kenyamanan promosi yang adil bagi pria maupun wanita.

4) Rekan sekerja yang mendukung

Orang-orang yang mendapatkan lebih dari sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi mendapatkan bahwa kepuasan karyawan meningkat bila penyelia langsung bersifat ramah dan memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukan suatu minat pribadi bagi mereka.

Kepuasan kerja wanita juga telah menjadi tema beberapa penelitian. Dalam penelitiannya Ward et al. (1986) yang dikutip Yvonne dan Indrianto (1999) menyatakan bahwa tingkat kepuasan kerja auditor wanita berada pada lima aspek, yaitu pekerjaan secara umum, supervisi, rekan kerja, promosi,

serta gaji. Secara umum auditor wanita tampak puas terhadap kebanyakan aspek pada lingkungan kerjanya, hanya saja area yang memberi kepuasan terendah bagi mereka adalah gaji dan kesempatan promosi yang tersedia.

Dalam penelitiannya Luthans (1995) yang dikutip Emilisa (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi. Pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya dari pada individual.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai perbedaan kinerja laki-laki dan wanita pada kantor akuntan publik telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut banyak memberikan masukan serta kontribusi tambahan bagi akuntan publik dalam meningkatkan kinerja lebih optimal yang berkaitan dengan rekruitmen pegawai, penilaian kinerja, perencanaan kerja, pendidikan profesi dan penetapan staff. Pada

Dokumen terkait