• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Konflik kehutanan di kawasan Desa Kalimendong terjadi pada awal runtuhnya era Orde Baru pada tahun 1998. Konflik pada saat itu adalah banyaknya kasus penjarahan hutan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berasal dari Desa Kalimendong dan juga yang berasal dari luar Desa Kalimendong. Salah satu kasus yang terjadi adalah pada tahun 1998 terjadi penangkapan penjarahan kayu oleh pihak Perhutani, penangkapan tersebut dapat dilakukan karena adanya laporan dari masyarakat Desa Kalimendong yang melihat adanya kejadian penjarahan kayu di lahan hutan milik negara. Pada kejadian tersebut Perhutani menangkap sembilan (9) orang tersangka, salah satunya adalah warga Desa Kalimendong, warga tersebut adalah sebagai otak pelaku penjarahan hutan, selain itu Perhutani juga melakukan penyitaan barang bukti kayu pinus. Kemudian Perhutani bersama masyarakat melakukan perundingan terkait tindak lanjut dari penangkapan sembilan (9) tersangka ini, maka kemudian diputuskan hukuman denda yang kemudian uang denda tersebut akan dipergunakan untuk pembangunan masjid dan para tersangka tersebut diusir dari Desa Kalimendong. Banyaknya kasus penjarahan hutan pada masa itu kemudian menyebabkan lahan hutan negara mengalami kerusakan yang sangat parah, selain itu Perhutani juga selalu mencurigai masyarakat Kalimendong, sebagai pelaku penjarahan kayu di lahan negara. Hal tersebut dituturkan oleh Ketua LMDH Rimba Mulya bapak NS (42 tahun).

“Awal mula terjadi yaitu kasus pencurian kayu di hutan negara yang dilakukan oleh 9 orang yang berasal dari Temanggung, salah seorang warga mendengar bunyi mesin chainsaw para pelaku ketika melakukan aksi penebangan liar, kemudian warga mengumumkan kejadian tersebut dengan mengggunakan pengeras suara masjid, warga kemudian berkumpul dan berinisiatif menangkap pelaku tersebut bersama pihak Perhutani, ternyata otak pelaku pencurian tersebut adalah oknum yang berasal dari Desa Kalimendong. Serta kasus-kasus pencurian kayu yang terjadi pada tahun- tahun selanjutnya. Akibatnya Perhutani menganggap bahwa masyarakat Kalimendong adalah pelaku pencurian kayu di hutan milik negara, sehingga terjadi konflik antara masyarakat dengan Perhutani, kita berdua saling mencurigai. Konflik terjadi akibat kurangnya komunikasi antara masyarakat dan Perhutani dan akibat ga adanya mekanisme khusus yang mengatur pengelolaan hutan negara di wilayah administratif Desa Kalimendong. Konflik bermula pada tahun 1998 hingga tahun 2004 sampai akhirnya diterapkannya program PHBM oleh Perhutani pada tahun 2001”.

Pada tahun 2001 terjadi perbedaan pandangan pengelolaan hutan di kawasan Wonosobo antara Perhutani dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo. Hal

tersebut dilatarbelakangi kondisi hutan yang rusak parah dan dengan diberlakukannya UU tentang Pemerintah Daerah, maka tahun 2001 pemerintah Kabupaten Wonosobo mengesahkan Perda No 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM. Pemerintah menganggap bahwa dengan adanya UU Pemerintah Daerah, maka Pemerintah daerah dapat mandiri dalam melakukan pengelolaan hutan negara, hal tersebut kemudian menjadi permasalahan karena Perhutani menolak PSDHBM tersebut. Namun secara garis besar, konflik antara Perhutani dengan pemerintah Kabupaten Wonosobo tidak berpengaruh terhadap masyarakat Kalimendong. Dengan gejolak yang terjadi, masyarakat Kalimendong tetap melakukan pengelolaan hutan dengan konsep PHBM dan sama sekali tidak terganggu dengan adanya konflik antara PSDHBM dengan PHBM.

Aksi penjarahan di kawasan hutan negara terjadi selama tujuh (7) tahun hingga tahun 2004. Banyak faktor yang mendasari aksi penjarahan, selain adanya pergolakan pemindahan kekuasaan pada pemerintah pusat dan adanya oknum- oknum yang tidak bertanggungjawab mengajak masyarakat Desa untuk ikut memanfaatkan situasi pergolakan tersebut dengan ikut serta melakukan aksi penjarahan hutan, dan kemudian hasil penjarahan tersebut dijual kepada Broker-

broker kayu. Pada tahun 2004 kembali terjadi penangkapan pencurian kayu oleh

pihak Perhutani, sebanyak tiga (3) truk kayu pinus hasil penjarahan kayu berhasil disita oleh Perhutani, kemudian para pelaku tersebut diserahkan kepada pihak kepolisian. Akibatnya setelah kasus penangkapan tersebut, terjadi aksi pembakaran Pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani oleh oknum- oknum yang merasa dirugikan dari kejadian penangkapan tersebut. Sebanyak 1.5 ton getah pinus yang sudah dikumpulkan habis terbakar pada waktu itu, namun pelaku pembakaran tersebut tidak dapat ditangkap karena masyarakat Desa Kalimendong tidak mengetahui perihal pembakaran tersebut. Hal ini dituturkan oleh salah satu Mandor TPG Perhutani bapak YW (55 tahun).

“Tahun 2004 itu saya menyita barang bukti kayu yang sudah ditebang oleh penjarah, waktu itu kayu yang saya sita kira-kira sebanyak 3 truk, itu sekitar 10-12 kubik kayu pinus. Dampak dari penjarahan itu ya ke hutan, waktu itu hutan negara dirusak secara massal oleh masyarakat. Sedangkan dampak dari penangkapan penjarah itu pos TPG saya di bakar oleh oknum di Kalimendong, akibatnya 1.5 ton getah waktu itu ludes kebakar. Yang membakar pos itu ya bukan orang Kalimendong, tapi orang luar, waktu itu tidak ditangkap karena ya masyarakat di Kalimendong waktu itu sedang ada acara, jadi sibuk buat ngurus acara wayangan”.

Kondisi pengrusakan lahan hutan negara berlangsung lama hingga tujuh (7) tahun sampai akhirnya pada tahun 2005 hingga sekarang terjadi penurunan frekuensi pencurian kayu di kawasan Desa Kalimendong, walaupun PHBM sudah berdiri di Desa Kalimendong sejak tahun 2002, namun pada mulanya tetap saja terjadi kasus penjarahan kayu pada lahan hutan negara yang melibatkan warga Desa Kalimendong.

Awal mula PHBM diterapkan pada tahun 2002, kesepakatan pembagian

sharing profit pada Perjanjian Kerja Sama salak adalah sebesar

mengikuti PHBM diwajibkan menyetor Rp1000 per pohon salak kepada pihak Perhutani pada setiap tahunnya, hal tersebut tidak menjadi suatu permasalahan bagi masyarakat desa. kemudian pada tahun 2012 Perhutani mengajak semua LMDH di tingkat KPH Kedu Utara untuk rapat bersama membahas kenaikan

sharing profit. LMDH Rimba Mulya pada dasarnya tidak sepakat dengan

kenaikan harga yang diajukan Perhutani, yang awalnya sharing sebesar Rp1000/pohon/tahun menjadi Rp2000/pohon/tahun. LMDH Rimba Mulya saat itu tidak menyetujui hal tersebut karena pada beberapa kawasan, pesanggem

mengeluh bahwa di kawasannya memiliki kerapatan pinus yang terlalu rapat, sehingga menyebabkan salak yang berada di bawah tegakan pinus menjadi tidak terkena cahaya matahari dan tidak berbuah. Hal ini kemudian disampaikan LMDH Rimba Mulya kepada pihak Perhutani, namun karena kalah jumlah suara, maka Perhutani tetap memberlakukan sharing profit sebesar Rp2000/pohon/tahun. Hal tersebut terjadi karena mayoritas LMDH selain Rimba Mulya menyetujui kenaikan sharing profit tersebut, dikarenakan kawasan pada LMDH selain Rimba Mulya memiliki kondisi tutupan pinus yang jarang dan tidak sepadat di kawasan LMDH Rimba Mulya sehingga tidak mempengaruhi produksi salak. Akibatnya terjadi konflik antara Perhutani dan masyarakat Desa Kalimendong, bentuk protes yang dilakukan masyarakat Desa Kalimendong adalah dengan sengaja melakukan keterlambatan pembayaran sharing setiap tahunnya kepada Perhutani, dan melakukan pengrusakan tegakan pinus dengan teknik teresan.

Berdasarkan temuan tersebut, dapat diketahui sejarah panjang mengenai konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong, yang mengakibatkan kerugian ekonomi dan ekologi yang dirasakan baik oleh Perhutani maupun masyarakat Desa Kalimendong. Kerugian fisik berupa kerusakan hutan yang sangat besar yang mengakibatkan kerugian profit bagi Perhutani dan kerugian ekologi bagi masyarakat Desa berupa terjadinya bencana alam dan kekeringan. Setelah adanya PHBM, perlahan kondisi hutan negara yang dikelola LMDH Rimba Mulya semakin membaik, dan kasus konflik yang terjadi dapat teredam dan situasi perlahan menjadi kondusif bagi kedua pihak. Namun masalah baru kemudian muncul ketika PHBM tidak sejalan dengan kondisi dan kepentingan masyarakat, yang dapat memicu terjadinya konflik baru antara kedua belah pihak.

Berdasarkan kondisi perselisihan antara Perhutani dengan masyarakat terjadi dapat dibedakan menjadi tiga wujud, yaitu latent, emerging, dan manifest. Perwujudan konflik yang terjadi antara masyarakat dan Perhutani berupa konflik

emerging dan konflik manifest. Konflik emerging adalah konflik ketika pihak- pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, permasalahan jelas, tapi proses penyelesaian masalah masih belum berkembang, sedangkan konflik manifest adalah konflik ketika pihak-pihak sudah terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi dan proses penyelesaian sudah berkembang.

Wujud konflik emerging yang terjadi adalah ketika masyarakat melakukan keterlambatan pembayaran sharing profit, dan ketika masyarakat melakukan teknik teresan, yaitu tindakan melukai batang pinus yang dirasa mengganggu tanaman salak mereka, sehingga mengakibatkan pohon pinus tersebut mati secara perlahan. Sedangkan konflik manifest yang terjadi adalah ketika terjadinya penangkapan pelaku penjarah hutan dan pembakaran pos Tempat Pengumpulan

Getah (TPG) milik Perhutani oleh oknum masyarakat pada tahun 2004, yang mengakibatkan terbakarnya getah pinus sebanyak 1.5 ton.

Sumber-Sumber Konflik Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Konflik yang terjadi di kawasan Desa Kalimendong dapat disebabkan dari berbagai faktor yang kemudian dapat memunculkan akibat buruk dari adanya konflik tersebut. Berikut dijelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik yang terjadi di Desa Kalimendong.

Tabel 17 Sumber konflik pengelolaan sumber daya hutan Desa Kalimendong

Waktu kejadian

Pihak yang berkonfllik

Faktor-faktor penyebab

terjadinya konflik Akibat konflik 1998-2003 Perhutani dengan Masyarakat. Terjadi penangkapan penjarah hutan negara oleh masyarakat bersama Perhutani

 Gejolak reformasi, yaitu pemindahan kekuasaan pemerintah pusat yang mengakibatkan situasi tidak kondusif bagi keamanan hutan  Kurangnya komunikasi

antara Perhutani dan masyarakat terkait pengawasan hutan negara  Kurangnya tenaga

pengawas hutan Perum Perhutani

 Terjadi kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan ekologi, terjadinya bencana banjir dan kekeringan serta penurunan profit Perhutani  Hubungan Perhutani dan

masyarakat yang memburuk 2004 (sesudah adanya PHBM)/ Perhutani dengan Masyarakat. Terjadi penangkapan penjarah hutan dan pembakaran pos TPG oleh oknum Desa Kalimendong

 Pengawasan hutan yang sangat minim

 Jumlah personil penjaga hutan yang sedikit  Proses komunikasi yang

tidak terjalin baik antara Perhutani dan masyarakat

 Rusaknya pos TPG milik Perhutani

 Kerugian 1.5 ton getah pinus yang terbakar  Kerugian kerusakan hutan

negara 2012 (sesudah adanya PHBM) Perhutani, LMDH, dan Masyarakat. Terjadi perbedaan pendapat sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong yang diwakili LMDH Rimba Mulya

 Komunikasi yang tidak terjalin baik antara masyarakat dengan Perhutani

 Kondisi petak hutan yang padat tutupan pinus  Sharing profit yang

dianggap tidak adil bagi masyarkat

 Terjadi pengrusakan tanaman pinus oleh masyarakat Desa

Kalimendong, yaitu teknik teresan yaitu teknik melukai bagian bawah batang pinus yang menyebabkan pinus mati secara perlahan

 Keterlambatan

pembayaran sharing profit oleh masyarakat sebagai bentuk protes kepada Perhutani

Menurut Tadjudin (2000) dalam Dharmawan dan Marina (2011) dijelaskan bahwa konflik dapat bersumber dari empat perbedaan, diantaranya; perbedaan tata nilai, perbedaan persepsi, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak kepemilikan.

Perbedaan yang menjadi sumber konflik di kawasan Desa Kalimendong, diantaranya, perbedaan kepentingan antara Perhutani dan Masyarakat. Kepentingan yang dimiliki oleh Perhutani yaitu kepentingan untuk menjaga sumber daya hutan negara, dalam hal ini tegakan pohon yang menjadi aset ekonomi maupun aset ekologi bagi Perhutani. Sedangkan masyarakat memiliki kepentingan mengakses hutan negara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari seperti kayu bakar, kayu untuk membangun rumah, rumput untuk pakan ternak dan berbagai sumber daya lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari.

Perbedaan kedua adalah perbedaan persepsi. Perhutani menganggap bahwa masyarakat Desa Kalimendong adalah para pelaku penjarahan hutan milik negara, sedangkan masyarakat menganggap Perhutani adalah pihak yang merebut sumber daya hutan dari masyarakat.

Perbedaan ketiga adalah perbedaan hak kepemilikan yang terjadi antara Perhutani dengan Pemerintah Daerah Wonosobo dan masyarakat. Perhutani menganggap bahwa kewenangan kawasan hutan negara adalah kewenangan milik Perhutani. Sedangkan menurut Pemerintah Daerah Wonosobo, menganggap bahwa semua sumber daya yang berada di kawasan administratif Kabupaten Wonosobo merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Wonosobo, hal tersebut didasarkan pada Undang-Undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Sedangkan masyarakat tidak memiliki kewenangan hak kepemilikan berdasarkan hukum pada saat itu.

Konflik tersebut juga disebabkan oleh proses komunikasi yang tidak berjalan baik antara masyarakat dengan Perhutani, selain itu kasus penjarahan yang terjadi juga diakibatkan oleh situasi negara yang sedang tidak kondusif dan juga minimnya tenaga penjaga hutan yang dimiliki oleh Perhutani sehingga menjadikan kondisi tersebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik. Pernyataan serupa kemudian dituturkan salah satu mandor PHBM Perhutani, bapak TF (46 tahun).

“Kalau penjarahan ya karena pada waktu itu terjadi chaos di Indonesia, kita kan kekurangan personil dalam melakukan patroli pada waktu itu dan juga komunikasi kita sama masyarakat pada waktu itu belum sebaik sekarang ini, dan juga waktu terjadinya pembakaran itu menurut saya ibarat balas dendam lah dari oknum yang kita tangkap. Kalau akibat penjarahan itu hutan negara rusak semua, hampir semua kawasan hutan negara itu rusak karena penjarahan itu tadi. Kalau akibat pembakaran pos TPG itu ya getah pinus yang sudah dikumpulkan itu habis terbakar, padahal waktu itu sudah terkumpul kira-kira 1.5 ton getah pinus”.

Konflik dan berbagai faktor penyebabnya kemudian menimbulkan berbagai dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat dan Perhutani, akibat yang ditimbulkan dapat berupa kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, bahkan

berdampak pada sumber kehidupan masyarakat Desa Kalimendong. Bagi Perhutani, dampak negatif yang dirasakan adalah hilangnya aset tanaman pinus yang sudah mulai ada sejak tahun 1964 yang menimbulkan kerugian profit bagi Perhutani. Dampak buruk yang ditimbulkan dari kerusakan hutan juga dituturkan oleh salah satu pesanggem, yang tergabung sebagai anggota LMDH Rimba Mulya, bapak MS (42 tahun).

“Waktu dulu itu kayu yang dicuri penjarah itu banyak mas, ya akibatnya kan hutan jadi rusak mas, kalau yang kita rasakan waktu itu ya jalan Desa kita rusak, kan mereka pakai truk kesininya dan juga waktu itu pernah terjadi banjir, erosi tanah, longsor dan yang paling buruk ya waktu kekeringan, sangat sulit mencari air waktu itu, biasanya sumur warga sedalam 3 meter sudah ada air, ini bahkan bisa sampai 5 meter, kadang ya kering total”.

Adanya PHBM tidak serta merta langsung dapat menyelesaikan konflik, justru kemudian PHBM dapat memunculkan konflik yang baru, ketika kepentingan salah satu pihak tidak dapat terakomodasi dengan baik. Kasus yang terjadi di Desa Kalimendong setelah PHBM antara masyarakat dan Perhutani adalah ketika terjadi kenaikan sharing profit yang diberlakukan oleh Perhutani, yang awalnya disepakati sharing profit sebesar Rp1000/pohon/tahun kemudian berubah menjadi Rp2000/pohon/tahun, hal tersebut menjadi permasalahan bagi masyarakat ketika ada sebagian masyarakat yang kebagian petak lahan hutan negara dengan kondisi tutupan pinus yang sangat rapat, sehingga mengakibatkan tanaman salak mengalami penurunan produksi, bahkan bisa tidak berbuah sama sekali akibat tegakan pinus yang menutup cahaya matahari. Hal tersebut kemudian menjadikan beberapa masyarakat untuk melakukan kegiatan ilegal yaitu perusakan pohon pinus dengan teknik teresan, yaitu teknik melukai bagian bawah batang pinus dan bagian atas akar dengan menggunakan alat tajam, sehingga pinus akan mati secara perlahan, hal ini dilakukan masyarakat agar tegakan pinus tidak mengganggu tanaman salak yang ditanam oleh masyarakat di sekitar tegakan pinus tersebut. Beberapa pesanggem juga melakukan penanaman salak yang dianggap diluar ketentuan. Berdasarkan kesepakatan, masyarakat dapat menanam salak dengan jarak 2 meter dari setiap tegakan pinus, namun beberapa masyarakat bahkan ada yang menanam salak berdempetan dengan tegakan pinus. Selain itu beberapa masyarakat juga sengaja melakukan keterlambatan pembayaran sharing profit setiap tahunnya kepada Perhutani. Seluruh bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai bentuk protes yang dilakukan kepada pihak Perhutani. Hal serupa juga dituturkan oleh salah satu Mandor Perhutani, bapak YW (55 tahun).

“Masyarakat banyak yang melakukan teresan yaitu perusakan batang pinus bagian atas akar dengan menggunakan alat tajam, sehingga pinus menjadi kering dan mati perlahan. Memang pinusnya ga ditebang, tapi kan itu merusak, agar pinusnya mati. Selain itu, kan dulu kesepakatannya masyarakat menanam salak itu ada jarak tanamnya, kalau dari tegakan pinus ya seharusnya kurang lebih 2 meter jaraknya, ini malah di lokasi justru

tegakan pinus dan salak jaraknya dempetan, kan itu mengganggu tegakan pinus”.

Kegiatan illegal tersebut tidak dilakukan seluruh masyarakat Desa Kalimendong, melainkan hanya segelintir oknum pesanggem yang melakukan kegiatan tersebut, pihak Perhutani hanya memberikan teguran kepada pesanggem

yang ketahuan melakukan teresan, namun hal tersebut tetap dapat memicu terjadinya konflik dan kerusakan hutan.

Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Konflik

Menurut Fuad dan Maskanah (2000) berdasarkan levelnya, konflik dibedakan menjadi dua jenis, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal.

Konflik yang terjadi di Desa Kalimendong adalah konflik dengan level vertikal, yaitu ketika pihak yang berlawanan berada pada level yang berbeda, dalam hal ini level masyarakat Desa Kalimendong berada di bawah level Perhutani sebagai Perusahaan Umum yang memiliki wewenang penuh dalam mengelola hutan negara.

Perum Perhutani

Perhutani adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perusahaan Umum, yang bergerak dibidang kehutanan. Wilayah kerja Perum Perhutani meliputi kawasan hutan negara, baik hutan produksi maupun hutan lindung, di pulau Jawa dan Madura. Perum Perhutani mengemban tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan kegiatan pengelolaan hutan dengan memperhatikan aspek produksi/ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Dalam operasinya, Perum Perhutani berada dalam dalam pengawasan Kementrian BUMN dan bimbingan teknis dari Kementrian Kehutanan (Laporan Tahunan Perhutani 2013).

Sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan Madura, secara modern-institusional dimulai pada tahun 1897 dengan dikeluarkannya Reglement voor het beheer der

bosschen van den lande op Java en Madoera, Staatsblad 1897 nomor 61

(disingkat Bosreglement). Selain itu terbit juga Reglement voor den dienst van het Bochwezen op Java en Madoera (disingkat Dienst Reglement) yang menetapkan aturan tentang organisasi Jawatan Kehutanan, dan dibentuk Jawatan Kehutanan dengan Gouvernement Besluit (keputusan pemerintah) tanggal 9 Februari 1897 Nomor 21, termuat dalam Bijblad 5164 (Laporan Tahunan Perhutani 2013).

Sejak saat itu, hutan-hutan kayu jati di Jawa mulai diurus dengan baik, dengan dimulainya afbakening (pemancangan), pengukuran, pemetaan, dan penataan hutan. Aturan pengelolaan hutan di masa kolonial kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1930, pengelolaan hutan jati diserahkan kepada “Djatibedrif” atau perusahaan hutan jati dari Pemerintah Kolonial (Jawatan Kehutanan). Pada tahun 1940 pengurusan hutan jati dari “Djatibedrif” dikembalikan lagi ke Jawatan Kehutanan. Pasca kemerdekaan Republik Indonesia

tanggal 17 Agustus 1945, hak, kewajiban, tanggungjawab, dan kewenangan pengelolaan hutan di Jawa dan Madura oleh Jawatan Kehutanan Hindia Belanda q.q. den Dienst van het Boschwezen, dilimpahkan secara peralihan kelembagaan kepada Jawatan Kehutanan Republik Indonesia (Laporan Tahunan Perhutani 2013).

Selanjutnya melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1961, berdiri Badan Pimpinan Umum (BPU) Perusahaan Kehutanan Negara, disingkat

“BPU Perhutani”. Pada tahun 1972, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15

Tahun 1972, Pemerintah Indonesia mendirikan Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau disingkat Perum Perhutani. Melalui serangkaian PP, kemudian PN Perhutani Djawa Timur (Unit II) dan PN Perhutani Djawa Tengah (Unit I), dilebur kedalam Perum Perhutani, dilanjutkan dengan penambahan Unit III Perum Perhutani untuk daerah Jawa Barat. Dasar Hukum Perum Perhutani sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1972

juncto Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, kemudian

disempurnakan/diganti, berturut-turut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1999 dan Peraturan pemerintah Nomor 14 Tahun 2001 (Laporan Tahunan Perhutani 2013).

Secara garis besar, profil bisnis Perhutani dikelompokkan menjadi tiga (3) aktivitas, yaitu aktivitas utama, aktivitas bisnis, dan aktivitas pendukung. Aktivitas Utama bergerak di bidang pengelolaan sumber daya hutan yang terdiri dari perencanaan sumber daya hutan, reboisasi & rehabilitasi, perlindungan sumber daya hutan, kelola sosial lingkungan, dan produksi hasil kayu dan bukan hasil kayu. Aktivitas Bisnis yang dilakukan adalah aktivitas untuk memupuk keuntungan, yaitu dengan cara pemasaran kayu (log dan olahan), pemasaran non kayu dan jasa lingkungan, industri kayu dan non kayu, dan optimalisasi aset perusahaan. Sedangkan Aktivitas Pendukung yang dilakukan Perhutani adalah sumber daya manusia dan unsur pendukungnya, keuangan, kesekretariatan perusahaan serta kepatuhan, pengembangan strategi serta transformasi bisnis, perencanaan strategis perusahaan, dan pengawasan internal (Laporan Tahunan Perhutani 2013).

Pengelolaan hutan negara termasuk di wilayah Desa Kalimendong berada dalam wewenang Perhutani, sebelum berdiri PHBM, kerja sama yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat hanya sebatas tenaga kerja, yaitu ketika Perhutani mengadakan kegiatan penanaman di hutan negara, maka Perhutani mengajak masyarakat desa sebagai tenaga kerja dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut juga dituturkan oleh KSS PHBM KPH Kedu Utara, bapak SKT (53 tahun).

“Pada saat sebelum PHBM kan Perhutani berhubungan dengan masyarakat dan pemerintah hanya sebatas mencari tenaga kerja saja, semisalnya kalau ada kegiatan penanaman, barulah kita mencari tenaga kerja di desa, dan merekrut masyarakat, tapi itu dulu sebelum adanya PHBM”.

Selain perekrutan tenaga kerja, sebelum berdirinya PHBM di Desa Kalimendong sempat ada proses kerja sama yang dilakukan Perhutani dengan masyarakat desa, kerja sama tersebut adalah program Mantri Lurah. Kerja sama

Dokumen terkait