• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran 4 Tulisan tematik

Konflik

Konflik yang terjadi di desa Kalimendong pertama kali terjadi pada tahun 1998, yaitu ketika Perhutani melakukan penangkapan para pelaku penjarah kayu di kawasan hutan negara yang bersebelahan dengan desa Kalimendong. Perhutani melakukan penangkapan sembilan orang yang melakukan aksi penjarahan kayu, dan juga melakukan penyitaan barang bukti berupa kayu pinus yang sudah ditebang oleh para pelaku. Kemudian para pelaku yang berasal dari desa Kalimendong dan Temanggung tersebut diusir keluar dari desa dan dikenakan biaya denda atas kegiatan penjarahan yang mereka lakukan.

Munculnya kasus-kasus penjarahan diakibatkan oleh situasi negara yang tidak kondusif akibat fenomena politik runtuhnya Orde Baru, yang menyebabkan masyarakat berusaha mengambil sumber daya hutan yang selama ini tidak dapat mereka akses, yaitu terjadi pada saat pemindahan kekuasaan di tingkat pusat, sehingga tidak kondusif bagi keamanan hutan negara.

Akibat dari penjarahan tersebut, terjadi kerusakan hutan yang berdampak pada kerusakan ekologi berupa bencana banjir, dan bencana kekeringan di desa Kalimendong.

Pada tahun 2001, diberlakukannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan karena kerusakan hutan yang luar biasa, maka Pemerintah Daerah Wonosobo melakukan inisiatif dengan mengambil alih pengelolaan hutan negara dari Perhutani. Pengambil alihan tersebut dilakukan dengan cara mengesahkan Perda No 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Adanya Perda tersebut kemudian memunculkan konflik antara Perhutani dengan Pemerintah Daerah Wonosobo. Perda PSDHBM tersebut manjadikan Pemda Wonosobo sebagai aktor pengelola kawasan hutan negara, dan bukanlah Perhutani, sehingga dengan adanya PSDHBM, Perhutani tidak lagi menjadi pengelola hutan negara.

Adanya perda PSDHBM tidak berdampak ke desa Kalimendong. Warga desa Kalimendong tetap menggunakan PHBM sebagai acuan dalam pengelolaan hutan negara. pada akhirnya perda PSDHBM dicabut oleh Pemerintah Pusat, dengan diturunkannya surat dari Kementrian Dalam Negeri, sehingga PHBM menjadi model pengelolaan hutan yang kembali berlaku di Kabupaten Wonosobo.

Konflik mencapai puncaknya pada tahun 2004, yaitu ketika Perhutani kembali melakukan penangkapan para pelaku penjarah hutan dengan barang bukti kayu sebanyak 12 kubik. Akibat dari penangkapan tersebut, oknum dari desa Kalimendong membakar pos Tempat Pengumpulan Getah (TPG) milik Perhutani

sebagai aksi “balas dendam”. Disamping kerusakan hutan negara, kejadian

tersebut juga mengakibatnya 1.5 ton getah pinus yang sudah dikumpulkan menjadi hangus terbakar. Kejadian tersebut dapat terjadi karena minimnya pengawasan dari Perhutani, akibat minimnya jumlah personil penjaga hutan.

Setelah kejadian pembakaran pos TPG pada tahun 2004 hingga sekarang sudah tidak ditemukan adanya kasus penjarahan hutan di Desa Kalimendong. Situasi hutan negara mulai kondusif ketika program PHBM sudah dapat dilaksanakan dengan baik.

Implementasi PHBM sebagai resolusi konflik

Program PHBM awalnya diberlakukan oleh Perhutani melalui Surat Keputusan Direksi No 136/KTPS/DIR/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Adanya surat keputusan tersebut diakibatkan kondisi hutan negara yang semakin rusak, sehingga Perhutani melakukan evaluasi, yang kemudian disepakati untuk melibatkan masyarakat desa hutan untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan hutan negara dan juga kegiatan pengawasan hutan negara.

PHBM mulai diterapkan di Desa Kalimendong pada tahun 2002, bersamaan dengan berdirinya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang menaungi masyarakat Desa Kalimendong dalam mengikuti kegiatan PHBM. Agar memiliki kekuatan dan kepastian hukum, maka LMDH tersebut disahkan oleh Notaris di hadapan pihak Perhutani dan masyarakat Desa Kalimendong, kemudian LMDH tersebut diberi nama LMDH Rimba Mulya. Perhutani kemudian melakukan sosialisasi dengan masyarakat mengenai mekanisme, hak, dan kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam kegiatan PHBM. Masyarakat menganggap bahwa PHBM adalah sebuah kesempatan bagi masyarakat untuk ikut menjadi pelaku pengelola hutan.

Pada setiap proses PHBM, masyarakat selalu dilibatkan oleh Perhutani baik pada tahap perencanaan, pengambilan keputusan dan pembagian hasil PHBM, dengan proses tersebut, kepentingan masyarakat dan kepentingan Perhutani dapat terakomodasi dengan baik dan adil, serta saran dan kritik yang diberikan masyarakat terhadap Perhutani dapat diakomodasi dengan baik, dengan kata lain, proses komunikasi antara masyarakat dan Perhutani berjalan dengan baik, sehingga konflik dapat diselesaikan, serta kawasan hutan beserta sumber daya alam di dalamnya dapat terjaga dengan baik dan efektif. Hal serupa dituturkan oleh Ketua LMDH Rimba Mulya sekaligus Kepala Desa Kalimendong pada waktu itu, bapak NS (42 tahun).

“Perumusan kesepakatan tersebut dilaksanakan sebanyak 3 kali. Awal mulanya sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat dari hasil salak sebesar Rp. 1000/pohon/tahun (800 untuk Perhutani, 200 untuk LMDH). Selanjutnya Perhutani melakukan bantuan ke LMDH Rimba Mulya dengan memberikan bantuan bibit salak. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat karena perhitungan sharing profit hanya berdasarkan hitungan per pohon bukan per rumpun, sedangkan salak dalam satu pohon nya memiliki 3 rumpun, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi pesanggem”.

Selain melakukan Pemanfaatan Lahan Dibawah Tegakan (PLDT), masyarakat di bawah naungan LMDH juga melakukan berbagai kerja sama dengan Perhutani, seperti penebangan penjarangan sengon pada kawasan hutan negara yang terjadi pada tahun 2008, dan juga usaha kerja sama penyadapan pinus. Selain usaha kerja sama dengan Perhutani, masyarakat melalui LMDH juga melakukan usaha mandiri di bidang peternakan, perikanan, dan budidaya lebah madu. Berbagai kegiatan tersebut kemudian memberikan dampak positif kepada masyarakat berupa peningkatan pendapatan.

Awal mula LMDH Rimba Mulya berdiri, direncanakan diketuai oleh pak Aryanto, dengan anggota hanya dari tokoh-tokoh masyarakat desa. namun ketika pembahasan kesepakatan dengan Perhutani, pak Aryanto mengalihkan jabatannya ke pak Nisro dengan alasan ketidaksanggupannya untuk merumuskan kesepakatan bersama Perhutani. Perumusan kesepakatan tersebut dilaksanakan sebanyak 3 kali. Awal mulanya sharing profit antara Perhutani dengan masyarakat dari hasil salak sebesar Rp. 1000/pohon/tahun (800 untuk Perhutani, 200 untuk LMDH). Selanjutnya Perhutani melakukan invest ke LMDH Rimba Mulya dengan memberikan bantuan bibit salak. Kondisi ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi masyarakat karena perhitungan sharing profit hanya berdasarkan hitungan per pohon bukan per rumpun, sedangkan salak dalam satu pohon nya memiliki 3 rumpun, sehingga memberikan keuntungan yang besar bagi pesanggem.

Untuk ketentuan pembagian petak lahan, awal mulanya ditujukan kepada masyarakat yang tidak memiliki lahan dan yang memiliki lahan sedikti, seiring berjalannya waktu kemudian masyarakat lainnya yang sudah memiliki banyak lahan pribadi juga dapat mengakses lahan PHBM. Hal serupa juga dituturkan oleh KSS PHBM, yang juga ikut dalam rapat pembagian anak petak tersebut yang dilakukan di Balai Desa Kalimendong, bapak SKT (53 tahun).

“Ya PHBM sudah dapat diterima, malah masyarakat dan Pemerintah Desa sangat kooperatif dengan Perhutani, kita ga kesulitan menjelaskan PHBM kepada masyarakat pada waktu itu, dan masyarakat juga menilai PHBM sebagai pintu masuk bagi masyarakat untuk ikut mengelola lahan negara, ya melalui PHBM ada peningkatan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat, yang tadinya masyarakat tidak mempunyai lahan, melalui PHBM masyarakat memiliki lahan, walaupun statusnya bukan hak milik, tapi mereka diberi keleluasaan untuk ikut memanfaatkan lahan negara, jadi secara umum, tanggapan masyarakat waktu awal pelaksanaan PHBM ini sangat positif sekali”.

Secara umum setelah PHBM berjalan, masyarakat merasakan dampak yang positif, dengan keuntungan yang besar dari hasil salak, dan masyarakat merasakan PHBM mampu mensejahterakan masyarakat. Untuk komoditi salak, pesanggem

melakukan panen 2 kali dalam 1 bulan dengan jarak tanam 2.5m X 2.5m meter antar pohon salak, sehingga dengan luas lahan 1 Ha, pesangem mampu menanam 1600 pohon salak, dengan hasil minimal 6.5 Kuintal salak/panen, dengan harga jual salak 3500/kg kepada tengkulak, artinya dalam 1 Ha lahan salak akan memberikan pendapatan kepada pesanggem sebesar Rp. 4.500.000/bulan. Sedangkan untuk biaya produksi yang dikeluarkan pesanggem adalah untuk pupuk kandang adalah Rp. 400.000/bulan dan pengeluaran untuk tenaga kerja panen Rp 150.000/panen atau Rp. 300.000/bulan. Berdasarkan perhitungan tersebut, pesanggem mendapatkan keuntungan bersih Rp. 3.800.000/Ha/Bulan.

Implementasi PHBM dapat berjalan dengan baik, Perhutani dan masyarakat sama-sama merasakan dampak postifi dari adanya program PHBM. Salah satu dampak positif yang dirasakan adalah kembalinya ekologi hutan yang lestari serta sudah tidak adanya kasus penjarahan pohon sejak tahun 2004.

Tabel 1 Kerusakan hutan Desa Kalimendong

Tahun Petak

Kehilangan pohon Sisa pencurian Bencana alam pohon Kerugian X Rp. 1000 Pohon Kerugian X Rp. 1000 Pohon Volume (kubik) Kerugian X Rp. 1000 2004 42a, 42b, 42c - - 36 4 257 2005 - - - - 2006 - - - - 2007 42a - - - - 45 17.127 3.000 3 212 2008 44a, 42a - - - - 30 9.232 3 603 2009 - - - - 2010 - - - - 2011 42a, 42b - - - - 19 7.841 15 690 2012 44a - - - - 17 - 10 844 2013 44a 16 1 506 - - - - - 2014 44a 10 1 057 - - - - - Jumlah 26 2 563 36 4 257 111 34.200 33 349

Sumber : Sensus tegakan LMDH Rimba Mulya tahun 2014

Sampai pada akhirnya implementasi PHBM yang berjalan baik tersebut kemudian memunculkan konflik baru pada tahun 2012.

PHBM memunculkan konflik baru

Seiring berjalannya PHBM di Desa Kalimendong, kemudian memunculkan konflik baru antara masyarakat dengan Perhutani, permasalahan tersebut terjadi pada tahun 2012 akibat peningkatan biaya pembagian sharing yang harus dibayar oleh pesanggem kepada Perhutani, awalnya kesepakatan sharing yang harus dibayar adalah Rp. 1.000/pohon/tahun yang kemudian sharing tersebut naik menjadi sebesar Rp. 2000/pohon/tahun dengan komposisi. Hal tersebut kemudian menjadi permasalahan baru, ketika kenaikan tersebut dianggap memberatkan para

pesanggem.

Adanya kenaikan sharing itu membuat LMDH ingin mengakomodasi keinginan masyarakat mengenai kenaikan sharing. ketika ada rapat antara LMDH se-Kedu Utara dengan Perhutani, waktu itu ada tawar-menawar mengenai kenaikan sharing, namun LMDH di Sukoharjo dan LMDH lainnya menyetujui kenaikan sharing, karena pada LMDH-LMDH tersebut lahannya bagus dan tidak banyak tertutup oleh pinus, hanya LMDH Rimba Mulya saja yang tidak setuju dengan kenaikan harga sharing, sehingga LMDH Rimba Mulya kekurangan suara pada waktu itu dan tidak dapat mengakomodasi kepentingan anggotanya kepada Perhutani.

Kenaikan pembayaran sharing salak yang dianggap tidak adil itu kemudian menjadi keluhan bagi para pesanggem yang pada kawasan anak petak hutan yang

mereka kelola terdapat tutupan pinus yang sangat rapat sehingga menyebabkan salak yang ditanam di sela pinus menjadi tidak terkena sinar matahari yang cukup, sehingga menyebabkan tanaman salak tidak berbuah, akibatnya menjadikan

pesanggem melakukan tindakan ilegal, yaitu tindakan teresan yang bertujuan untuk mengurangi tutupan pinus. Namun, Perhutani tidak melakukan tindakan penangkapan atas tindakan pesanggem tersebut, melainkan hanya memberikan pembinaan dan peringatan.

Tabel 2 Persentase tutupan pinus

Petak Lahan PHBM Luas petak (Ha) Jumlah pohon Kerapatan pinus

42a 24.5 1 768 72.16 pohon/Ha

42b 12.2 2 761 226.31 pohon/Ha

44a 6.3 1 761 279.52 pohon/Ha

44b 27.9 833 29.85 pohon/Ha

Kawasan petak hutan yang memiliki tutupan pohon pinus paling padat berada di petak 44a, hal tersebut terjadi karena pada petak kawasan 44a memiliki tegakan pinus yang sangat padat, dengan kerapatan pinus 279,52 pohon/Ha. Kondisi tersebut menyebabkan mayoritas tanaman salak yang berada di petak 44a memiliki produksi yang sedikit, bahkan tidak dapat berproduksi. Kondisi tersebut juga menyebabkan para pesanggem yang memiliki petak lahan PHBM di petak 44a sering melakukan tindakan teresan, sampai pada tahun 2014 ditemukan 26 pohon pinus yang mati akibat tindakan teresan.

Proses akomodasi kepentingan masyarakat yang dilakukan oleh LMDH ketika terjadi peningkatan pembayaran sharing mengalami kegagalan dalam mengakomodasi kepentingan anggotanya agar kenaikan pembayaran sharing

tidak jadi dilakukan oleh Perhutani. Pihak Perhutani tetap melakukan kenaikan

sharing dan hubungan Perhutani dengan masyarakat tetap berjalan.

Proses implementasi PHBM yang kemudian dianggap tidak mengakomodasi kepentingan salah satu pihak dapat menjadi memicu terjadinya konflik manifest

baru antara Perhutani dengan masyarakat Kalimendong. Apabila permasalahan tersebut tidak dapat terselesaikan dengan baik, bukan tidak mungkin akan kembali terjadi konflik dengan wujud manifest antara Perhutani dengan masyarakat Desa Kalimendong.

Dokumen terkait