• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ayat-ayat tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ

ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR : TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan

1. Ayat-ayat tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk, karena Ia mengetahui keburukan dari perbutan buruk itu. Di dalam al-

Qur’anpun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.223

222 Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentunya. Lihat, Muhammad Imarah, al- Mu’tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, (Kairo: Dâr al-Syura, 1998), h. 80-81, meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Lihat, ‘Irfan Abdul Hamid, Dirasat fi al- Firaq wa al-Aqâ’id al-Islamiyyah, (Baghdad: Matba’ah As’ad, t.th.), h. 278

223 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah adalah surat al-Anbiya’ (21) : 23 dan surat al-Rûm (30) : 8 sebagai berikut:224













Artinya: Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan tetapi merekalah yang akan ditanya. (Q.S. al-Anbiya’ (21) : 23)225

Qadi Abdul Jabbâr mengatakan sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Yunan Yusuf mengatakan bahwa firman Allah pada surat al-Anbiya’ (21) ayat 23 yang dipahami oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, karena seluruh perbuatan Tuhan adalah baik, tidak pernah ada yang jahat.226

Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) yang

dipahami oleh Mu’tazilah adalah bahwa semua ciptaan Tuhan adalah haq,

yang mengandung arti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik dan Tuhan tidak mempunyai sifat jahat.





















224 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan

Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 552.

225 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 450. 226

Atinya: Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar (Q.S. al-Rûm (30) : 8)227

Qadi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan sebagaiman dikutip oleh M. Yunan Yusuf bahwa ayat-ayat tersebut di atas, menyatakan bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan mahasuci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu?228 Adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabbar, mengandung petunjuk

bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Andaikata melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia menciptakan langit dan bumi serta isinya yang hak, tentunya tidak benar atau

merupakan berita bohong.229

Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi dan kehendak mutlak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiabn itu dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia.230 Faham kewajban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (al-

227 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 571.

228 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90. 229 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90.

230 Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa al-

salah wa al-islah) mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini:

a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.

Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklîf wa lâ yûtaq)

adalah pertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.231

b. Kewajiaban mengirim Rasul

Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat

mengetahui hal-hal gaib,232 pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi

salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiabn untuk berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul, manusia tidak akan memperoleh kehidupan yang baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.233

c. Kewajiban menepati janji (al-wa‛d) dan ancaman (al-wa‛id)

dimaksud adalah kewajiabn Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi alairan Mu’tazilah. Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.

231 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.

232 Sebagaimana telah dilihat dalam pembahasan wahyu, fungsi wahyu bagi aliran

Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa yang telah diketahui manusia melaui akal.

233 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yakni keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan

ancaman adalah wajib bagi Tuhan.234

Faham kewajiaban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (al-

salah wa al-islah) menurut Asy’ariyah, sebagaimana dikatakan aliran

Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazâlî sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution sebagai berikut:

“…ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban, Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadapt makhluk. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan

bersifat tidak wajib (jâiz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai

sifat wajib.”235

Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran asy’ariyah menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari

234 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 132-133.

sendiri, dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’ yang dikutip oleh Harun Nasution, sebagai berikut bahwa Tuhan dapat meletakkan beban pada manusia yang tidak dapat dipikul. Al-Ghâzâlîpun mengatakan hal ini dalam al-Iqtisâd.236

Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi,237

aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa- apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Allah tidak mengutus Rasul kepada umat manusia, maka hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak mampu membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja yang ia kehendaki. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Kalau Tuhan menghendaki hidup dalam masyarakat kacau, Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.

Karena tidak mengetahui kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan

236 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129. menurut faham asy’ariyah, perbuatan

manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia. Ditinjau dari sudut pandang faham ini, pemberian beban yang tak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran asy’ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang terbatas

237 Pengiriman Rasul-rasul mempunyai yang besar bagi aliran asy’ariyah karena

mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniawian. Untuk mereka, seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib

menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan hadits. Di sini timbul persoalan bagi Asy’ariyah karena dikatakan dalam al-Qur’an secara tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi

ini, kata-kata arab man, alladzîna dan sebagainya yang menggambarkan arti

siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari sebagaimana dikutip Harun Nasution, bukan setiap orang, akan tetapi hanya sebagian.238

Dengan demikian lanjut Harun Nasution, kata siapa dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka

ia sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya.239 Ayat ini

mengandung arti bahwa bukan seluruhnya, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam hukuman bukanlah semua orang, tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun yang sebagian lagi, akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah, al-Asy’ari mengatasi persoalan kewajiban Tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.240

238Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133.

239 Ayat ini bisa dilihat pada surat al-Nisâ’ (4) : 10 yang berbunyi

                      

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Lihat terjemah Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 101.

Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara

Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.241 Aliran Maturidiyah

Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul di pandang Maturidiyah

Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.242

Sedangkan aliran kalam lainnya, seperti Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah, dan Maturidiyah Bukhara, tidak diperoleh informasi ayat-ayat al- Qur’an secara khusus yang di jadikan dalil dalam menopang pendapat mereka. Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi

kelak. Demikian ungkapan Harun Nasution.243

Masih mengutip Harun Nasution, bahwa aliran Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada

241 Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua sub sekte aliran

maturidiyah, yaitu maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara. Sub sekte pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansûr Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy. Adapun sub sekte yang ke dua, lahir di Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasir Muhammad al-Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H. dan meninggal pada tahun 493 H. lebih lanjut bisa dilihat, Abu al-Yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 11.

242 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 91.

orang yang berbuat baik., walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang-orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai dengan pandangan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat

wajib dan hanya bersifat mungkin saja.244

Mengenai memberi beban kepada manusia di luar batas kemampuan (taklîf ma lâ yûtaq), aliran Maturidiyah Buhkara menerimanya. Tuhan, kata al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya, aliran Maturidiyah

Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh

al-Fiqh al-Akhbar yang dikutip oleh Harun Nasution, al-Maturidi tidak setuju

dengan pendapat aliran Asy’ariyah, dalam hal ini karena al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban- kewajiban yang terpikul. Pemberian yang terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang

mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.245

Adapun mengenai pengiriman Rasul, aliran Maturidiyah golongan Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman Rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi. Dalam Isyarat al-

Maram, al-Bayadi yang di rujuk oleh Harun Nasution menjelaskan bahwa

244 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 128, 132, 133 245 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 130

keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul.246

Sedangkan mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara, tidak sefaham dengan aliran Asy’ariyah. Sebagaimana Harun Nasution mengutipnya sebagai berikut:

“…Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkenan memberikan maaf padanya, Tuhan akan memasukkan ia dalam surga-Nya, dan jika ia ingin memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkan untuk sementara atau selama-lamanya. Bahkan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada seseorang. Akan tetapi memberi ampunan kepada

orang lain sungguhpun dosanya sama”.247

Uraian al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiabn terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapat yang dijelaskan sebelumnya bahwa sekali-kali Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy’ariyah, sebagaiman diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-Nya. sebaliknya menurut maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin

melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. 248

246 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132. 247 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133-134.

248 Kontradiksi yang terdapat dalam pandangan al-Bazdawi ini mungkin timbul dari

3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang