• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Perbuatan Tuhan

BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ

ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR : TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

C. Perbuatan-perbuatan Tuhan

3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Perbuatan Tuhan

Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui keburukan dari perbutan buruk itu.249

Demikian pula dengan aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,

berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 250

Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji- Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik., walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang-orang yang berdosa besar.251

Apa yang dijelaskan dalam membicarakan perbuatan Tuhan di atas, seolah-olah menggambarkan bahwa perbuatan Tuhan bukanlah terbatas pada hal-hal yang baik saja, seperti yang dianut oleh aliran kalam rasional, daripada itu ingin pula untuk mempertahan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Allah memasukkan orang yang yang berbuat baik ke dalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa Tuhan dapat memasukkan orang yang jahat dalam surga, tidaklah bertentangan dengan rahmat Tuhan.

249 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 89.

250 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,

1990), h. 91

tetapi juga mencakup pada hal-hal yang buruk, seperti yang dianut oleh pemikiran kalam tradisional. Benarkah kesan itu? Baiklah ditelusuri penafsiran al-Syaukani terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil aliran kalam dalam menopang pendapat mereka tentang perbuatan- perbuatan Tuhan.

Firman Allah surat al-Anbiya’ (21) ayat 23, di tafsirkan oleh al- Syaukani dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan serta keperkasaan-Nya, sehingga tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang bertanya tentang qada dan qadar-Nya. Sebagaimana dalam penafsirannya sebagai berikut: "

لﻌﻔﻴ ﺎﻤﻋ لﺄﺴﻴ ﻻ

"

ﻡﻴﻅﻋﻭ ﻪﻨﺎﻁﻠﺴ ﺓﻭﻘﻟ ﻪﻨﺎﺤﺒﺴ ﻪﻨﺃ ﺔﻨﻴﺒﻤ ﺔﻔﻨﺄﺘﺴﻤ ﺔﻠﻤﺠﻟﺍ ﻩﺫﻫ

ﻩﺭﺩﻗﻭ ﻪﺌﺎﻀﻗ ﻥﻤ ﺀﻲﺸ ﻥﻋ ﻪﻘﻠﺨ ﻥﻤ ﺩﺤﺃ ﻪﻟﺄﺴﻴ ﻻ ﻪﻟﻼﺠ

"

ﻡﻫﻭ

"

ﺩﺎﺒﻌﻟﺍ ﻱﺃ

"

ﻥﻭﻟﺄﺴﻴ

"

ﺎﻤﻋ

ﻩﺩﻴﺒﻋ ﻡﻬﻨﻷ ﻙﻟﺫ ﻥﻋ ﷲﺍ ﻡﻬﻟﺄﺴﻴ ﻱﺃ ﻥﻭﻠﻌﻔﻴ

. ٢٥٢

“Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan” kalimat ini dimulai dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan-Nya serta keperkasaan-Nya tidak ada seorangpun dari

hamba-Nya yang bertanya tentang qada dan qadar-Nya “dan

mereka” yakni para hamba-Nya “bertanya-tanya” tentang apa yang mereka kerjakan” yakni Allah bertanya kepada hamba-Nya tentang

qada dan qadar karena mereka adalah hamba Allah.

Ayat di atas, berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah dan kuasa- Nya, yang mengisyaratkan Kepemilikan, Kuasa, serta Ilmu Allah yang Maha Mutlak, sekaligus mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai makhluk

252 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

bertanggung jawab. Allah Maha Pemilik mutlak lagi maha Kuasa, serta segala perbuatan-Nya sesuai hikmah dan kemaslahatan, karena itu apapun yang dilakukan-Nya tidak perlu Dia pertanggungjawabkan, tidak wajar pula di kecam atau dikritik. Berbeda dengan manusia, yang memang diciptakan Allah sebagai hamba yang sudah seharusnya taat pada Tuhannya.

Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) al-Syaukani mengatakan bahwa langit dan bumi diciptakan Tuhan dengan kebenaran, yakni kenyataan yang teratur. Sebagaimana penafsirannya sebagai berikut:

"

ﺎﻤﻬﻨﻴﺒ ﺎﻤﻭ ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ ﷲﺍ ﻕﻠﺨ ﺎﻤ ﻡﻬﺴﻔﻨﺃ ﻲﻓ ﺍﻭﺭﻜﻔﺘﻴ ﻡﻟﻭﺃ

"

ﻰﻨﻌﻤﻟﺍﻭ

:

ﺏﺎﺒﺴﺃ ﻥﺃ

ﺴﻔﻨﺃ ﻲﻫﻭ ،ﻡﻬﻟ ﺔﻠﺼﺎﺤ ﺭﻜﻔﺘﻟﺍ

ﻕﺩﺼﻭ ﷲﺍ ﺔﻴﻨﺍﺩﺤﻭ ﺍﻭﻤﻠﻌﻟ ﻲﻐﺒﻨﻴ ﺎﻤﻜ ﺎﻬﻴﻓ ﺍﻭﺭﻜﻔﺘ ﻭﻟ ﻡﻬ

ﻪﺌﺎﻴﺒﻨﺃ

"

ﻕﺤﻟﺎﺒ ﻻﺇ

"

لﺎﺤﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺏﺼﻨ لﺤﻤ ﻲﻓ ﺎﻫﺭﻭﺭﺠﻤﻭ ﻲﻫ ﻭﺃ ،ﺔﻴﺒﺒﺴﻠﻟ ﺎﻤﺇ

:

ﺔﺴﺒﺘﻠﻤ ﻱﺃ

ﻕﺤﻟﺎﺒ

. ٢٥٣

“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (Potongan ayat ini) memiliki makna bahwa diri mereka kalaupun saja mereka berpikir tentang dirinya sendiri tentu mereka akan mengetahuinya akan keesaan Allah serta kebenaran nabi-Nya. “kecuali dengan tujuan yang benar” dengan adanya

beberapa penjelasan. Kedudukan “al-haq” dimajrurkan menempati

pada posisi yang nasab karena sebagai hal. Memiliki makna yakni dengan cara yang benar.

Penafsiran al-Syaukani di atas, menunjukkan kecenderungan pemahaman bahwa Tuhan menciptakan yang buruk dan yang baik, tetapi Tuhan tidak ada berbuat yang buruk. Dalam pandangan al-Syaukani, kendati

253 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

tidak ada kekuatan yang meminta pertanggung jawaban perbuatan- perbuatan Tuhan, namun tidaklah berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang atas ciptaan dan milik-Nya.

Walaupun ungkapan-ungkapan al-Syaukani di atas, secara eksplisit menyatakan Tuhan juga mempunyai kewajiban melakukan yang baik, namun dengan menyebut penekanan pada Tuhan tidak akan melakukukan yang batil, dapatlah dipahami bahwa keengganan al-Syaukani dalam memakai kata “kewajiban Tuhan”. Karena kewajiban mengandung konotasi bahwa ada sesuatu yang memberikan kewajiban itu. Oleh sebab itu, kata kewajiban tidak layak diberikan kepada Tuhan. Akan tetapi bila hal itu dikaitkan dengan pemahaman al-Syaukani tentang adanya janji-jani Tuhan kepada manusia yang tidak akan dilanggar serta adanya sunnatullah yang berjalan dengan teratur tanpa adanya perubahan, mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kewajiban. Namun, perlu ditekankan bahwa kewajiban Tuhan di sini, bukanlah kewajiban yang di letakkan Tuhan sendiri buat diri- Nya.

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf

ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan

perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”, penjelasan ini,

merupakan tafsiran al-Syaukani terhadap ayat 286 surat al-Baqarah.254

Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara jelas.

Untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya pemahaman al-Syaukani tentang hal ini, perlu dilihat kembali pandangannya tentang fungsi wahyu. Wahyu menurut al-Syaukani memang penting sekali bagi kehidupan manusia. Pentingnya wahyu tersebut ditunjukkan oleh al-Syaukani pada tuntutan dan peringatan yang dibawa oleh wahyu itu sendiri. Tanpa tuntunan wahyu, manusia tidak tahu secara benar, Tuhan mana yang patut di sembah oleh manusia. Tanpa peringatan wahyu, manusia tidak tahu secara pasti, mana perbuatan yang mendapat ganjaran pahala dan mana yang mendapat siksa. Lewat pengiriman Rasul yang dilengkapi wahyu itulah, Tuhan tidak lagi dikatakan berbuat zalim. Pengiriman Rasul juga sebagai pertanda bahwa Tuhan tidak sewenang-wenang terhadap hamba-Nya.

Akhirnya, tentang janji dan ancaman Tuhan kepada manusia. Bagaimana sebenarnya pandangan al-Syaukani tentang hal ini? Telah disinggung di awal dalam pembicaraan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu berlaku dalam hikmat dan kebijaksanaan yang Mahatinggi.

254 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Dengan demikian, menurut al-Syaukani akal sehat manusia tidak akan menerima Tuhan melakukan kezaliman dengan menyiksa orang yang taat dan memberi pahala kepada orang yang durhaka.

Janji Tuhan tehadap orang yang disediakan masuk surga, demikian al- Syaukani dalam penafsiran ayat 20 surat al-Zumar, tidak akan dipungkiri oleh Tuhan.

Dari apa yang dipaparkan di atas, tidaklah terlalu sulit untuk menarik kesimpulan bahwa al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan juga berkewajiban pula untuk memenuhi janji dan melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana yang Dia janjikan dalam al-Qur’an. Sebab, bila Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan ancaman tersebut, berarti Tuhan melakukan kesewenang-wenangan. Dan hal ini jelas bertentangan dengan dengan sifat keadilan Tuhan serta hikmah kebijaksanaan yang Mahatinggi.