• Tidak ada hasil yang ditemukan

CORAK PEMIKIR AN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR : TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CORAK PEMIKIR AN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR : TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM"

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

KONSENTRASI TAFSIR HADITS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

CORAK PEMIKIRAN KALÂM

TAFSÎR

FATH AL-QADÎR

: TELAAH PEMIKIRAN

AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Salman Harun

KONSENTRASI TAFSIR HADITS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

Tesis

Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.

Oleh Hasani

NIM: O5.2.00.1.05.01.0011

Pembimbing,

Prof. Dr. H. Salman Harun

KONSENTRASI TAFSIR HADITS

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR:

TELAAH PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM

A. Latar Belakang Masalah

Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1.

Al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1: 2), penyembuh

penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela terhadap kitab dan

syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad

Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang kekal, sebagai pelita

yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang yang berkata

berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang mengamalkannya akan

mendapat pahala; orang yang menghakimi dengannya adalah adil; dan siapa

yang mengajak orang lain untuk mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan

yang lurus.2

Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena

itu, al-Qur’an dan Hadis perlu ditafsirkan.

Menelusuri sejarah penafsiran Qur’an, Muhammad Husain

al-Dzahabi membagi sejarah tafsir kedalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:

1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua

perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442

2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

(5)

Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,

kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase

perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),

yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa

hidup al-Dzahabi).3

Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa

menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang

samar-samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,

sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.4 Sikap

Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan

kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).

Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama

dan utama.

Menurut Mustafa Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan

al-Qur’an meggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah

(perbuatan).5 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak

3 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), cet. Ke 7, h. 13-14.

4 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h. 2.

5 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,

(6)

sampai kepada kita. 6 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir

sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:

1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;7

2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;8

3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan

pengetahuan yang mereka miliki;9

4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahl al-kitab yang telah masuk

Islam tentang masalah tertentu;10 dan

5. Bertumpu pada syair-syair.11

Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka adalah

murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan Irak.12

Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan

dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir

pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan

(kodifikasi) hadis Rasulullah Saw.

6 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl Tafsîr, (Kuwait: Dâr

al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35.

(7)

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah

berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam

Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.13

Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah

tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan

masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam

penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj

(pendekatan) tafsir dari manhaj atsari ke manhaj ra’yi, dan berkembang pula

tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.

Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra

kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak

sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).14

Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan Tafsîr wa

al-Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,

secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (laun

al-‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak

madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi

atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak

ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan

menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun

13 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan

Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63.

14 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,

(8)

al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan

berpijak pada realitas sosial.15

Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam

al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian

masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli,

adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran

akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan

keragu-raguan.16 Dalam kaitan ini, ilmu kalam disamping membahas soal-soal

kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada

ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim,

soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan

musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan

penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 17

Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu

yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah

imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam

akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.18

Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,

menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari

bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah

15 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 15

16 Lihat Mustafa Ábd al-Raziq, tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:

1959), h. 261

17 Lihat Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30

18 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),

(9)

yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung

kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa

ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.19

Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid

memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang

membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut

‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan

kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh

dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.20

‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah

imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk

membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama

lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di

dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam

menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat,

hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan

al-Qur’an.21

Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr, karya Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad

19 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah

Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261.

20 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 21 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:

(10)

Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab

dalam hal ini adalah madzhab syiah zaidiyah.22

Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih

13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,23 dan 1 kitab tafsir tentang

Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.24 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6

kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.25 Salah satu dari sekian

banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî26 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.

Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling

pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah

orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah

disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari

keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan

tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah

yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam

dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari

sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan

22 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang

bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.

23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249.

25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan

411.

26 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah

(11)

Utsman bin ‘Affan27, yang paling dekat dengan jamaah Islam

(Suni-Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke

derajat kenabian.

Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling

utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para

sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan

mengakui kepemimpinan meraka.28 Di antara ajaran sekte ini juga adalah

Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada

Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah

tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan

Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,

sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm

Mafdûl.29

Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang

lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam

tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal

27 Lihat, Imâm Abî Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm Syahrastanî, Ta’liq

al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155

28 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan

perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68

29 Lihat, Ahmad Syarasytânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h.

(12)

abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun,

al-Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr

adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental.

Al-Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang

ulama yang terkenal di Yaman.30

Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah

mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih

relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota

San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,

sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup.31 Lalu, pada usia

kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri

dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.32

Pada tesis ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî

yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min

‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang

diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadis,

Kairo-Mesir, tahun 2007.

Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath

Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama,

al-Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara

30 Syaukânî, Badr Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d Qarn Sabi‘, (Beirut: Dâr

al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215

31 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr Kutub

al-Haditsah, t.th.), h. 30-33.

32 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr Kutub

(13)

metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang

menjelaskan maksud-maksud dari Qur’an menggunakan ayat-ayat

al-Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode

dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam

menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.33

Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah

Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini

berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid

ibn ‘Ali ibn al-Husain RA.34 Madzhab Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali

Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-122 H.).

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang perlu

melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath Al-Qadîr:

Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.

B. Permasalahan

Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal

adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak

rasional35 serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional36.

33 Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir:

Maktabah Wahbah, 1985), Juz I, h. 152.

34 Mustafa al-Ghurâbi, Firâq Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda

al-Muslimin, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.), h. 289, lihat pula, Muhammad Husein

al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M./1421 H.), Juz 3, h. 6.

35 Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan

(14)

al-Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada

corak pemikiran kalam apa sebenarnya yang dipakai al-Syaukânî dalam tafsir

Fath al-Qadîr itu? Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr bercorak rasional atau tradisional? Atau bahkan bukan

kedua-duanya, akan tetapi merupakan campuran dari keduanya?

Dengan demikian, masalah yang akan diteliti terfokus kepada

penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan

masalah-masalah kalam dalam tafsir Fath al-Qadîr. Sistematika masalah-masalah kalam yang

dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada buku yang ditulis oleh

Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah

Analisi Perbandingan. Sistematika ini dipakai karena dipandang mampu

menampung masalah-masalah yang terdapat dalam problem kalam itu

sendiri.

Di samping itu, sistematika tersebut bertitik tolak dari sudut pandang

yang tidak terikat pada salah satu aliran kalam tertentu sehingga

memungkinkan adanya kelonggaran dalam menerapkan sistematika tersebut

dalam tafsir Tafh al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang penulis ambil

Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat, Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.

36 Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak

(15)

adalah a.) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b.) Keadilan Tuhan, c.)

Perbuatan-perbuatan Tuhan, d.) dan Sifat Tuhan.

1. Identifikasi Masalah

Penelitian yang diberi judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath

al-Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî dalam Teologi Islam” bermula dari

keinginan untuk memperoleh jawaban secara konseptual mengenai

pemikiran-pemikiran al-Syaukânî terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu

kalam. Dalam tesis ini sebagai sampel, penulis akan membahas tentang tafsr

Fath Al-Qadîr mengenai ayat-ayat kalam sebagai topik sentral dan

masalah-masalah penting lainnya sebagai pelengkap pembahasan ini.

Dari asumsi-asumsi yang muncul di atas, maka muncul pula sederetan

masalah dalam identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut?

1. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran al-Syaukânî

terhadap ayat-ayat kalam?

2. Bagaiman corak kalam pemikiran al-Syaukânî dalam Tafsir Fath

al-Qadîr?

3. Apakah penafsiran-penafsiran dalam tafsir Fath al-Qadîr bercorak

rasioanal seperti corak pemikiran kalam Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand, ataukah bercorak tradisioanl seperti corak

pemikiran kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukahra, atau

merupakan campuran keduanya?

2. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya ayat-ayat kalam dan luasnya ruang lingkup

(16)

kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan,

perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.

3. Perumusan Masalah

al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada

Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah,

Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.37 Berdasarkan latar belakang masalah

yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokok, yakni:

corak pemikiran kalam apa yang digunakan Syaukânî dalam tafsir Fath

al-Qadîr?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dimensi kalam dalam pemikiran al-Syaukânî ini dipilih, karena

sepengetahuan penulis belum ada yang mengangkat tema al-Syaukâni dalam

bidang kalam, padahal beliau dikenal sebagai tokoh Syi’ah Zaidiyah yang

lebih cenderung kepada Salaf (Asy’ariyah) dan al-Syaukânî memiliki karya

tafsir sebagai representasi dari pemikirannya.

Kajian tentang pemikiran al-Syaukânî secara utuh masih tergolong

sedikit dilakukan oleh para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim.

Sepanjang pengetahuan penulis dengan merujuk kepada informasi penelitian

yang dilakuakan oleh Dr. Nasrun Rusli, kajian secara utuh dan serius tentang

pemikiran al-Syaukânî hanya baru dilakukan oleh sarjana Mesir. Yakni

Ibrâhîm Ibrâhîm Hilâl melalui tesis Magisternya di fakultas Dâr al-‘Ulûm

37 Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

(17)

Universitas Kairo, yang berjudul Walâyah Allah wa al-Tharîq Ilaihâ. Tesis

tersebut khusus membahas tentang pandangan kesufian al-Syaukânî,

terutama yang menyangkut wali Allah. Kajian kesufian yang dibimbing oleh

Mahmûd Qâsim, pakar falsafah Islam tersebut memusatkan kajian pada karya

al-Syaukânî yakni al-Qatr al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî. Di dalam karya al-Qatr

al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî tersebut dilampirkan pula karya al-Syaukânî yang

menjadi sumber kajian tersebut setebal 315 halaman, melebihi tebal

pembahasan Hilâl, yang hanya setebal 200 halaman.

Setelah itu, Hilâl juga melihat bagaimana pandangan al-Syaukânî

tentang ijtihad dan taqlid, yang dituangkan dalam satu karya ringkas berjudul:

al-Imâm al-Syaukânî wa al-Ijtihâd wa al-Taqlîd. Seperti karya terdahulu, Hilâl

juga melampirkan karya al-Syaukânî yang menjadi sumber kajian itu.38

Dalam karya orang Indonesia, Penulis menemukan beberapa kajian

tentang al-Syaukânî pertama, pada aspek fiqih yang ditulis oleh Dr. Nasrun

Rusli, M.A., yang berjudul ”Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya

dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” karya ini merupakan

Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998 yang kemudian

menjadi sebuah buku dengan judul yang sama seperti Disertasinya, terbitan

Logos tahun 1999 . Karya ini memfokuskan pada kajian ushul fiqih yang

dilakukan al-Syaukânî secara kritis yang kemudian Nasrun Rusli mencoba

kaitkan dengan pembaharuan hukum di Indonesia, dan dari karya ini bisa

dilihat bahwa al-Syaukânî membangun sebuah metodologi ijtihad yang

memperlihatkan kemandiriannya dalam berfikir.

38 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan

(18)

Kedua, pada aspek pemikiran politik yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, dengan judul Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath al-Qadîr,

karya ini merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997. penelitian ini

menghasilkan beberapa kesimpulan yang sangat mendasar tentang

kepemimpinan, musyawarah, keadilan, hidup berserikat dan berkumpul yang

dipahami dari kitab tafsir Fath al-Qadîr karya al-Syaukânî.39

Dan yang ketiga, kajian tentang illat dalam konteks Usul Fiqh yang

ditulis oleh M. Syafi’i dengan judul Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî

Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Karya ini

merupakan Tesis pada IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun

1993. Tesis ini merupakan kajian ilmiah terhadap sebuah kitab Usul Fiqih

karya al-Syaukânî. Secara khusus Tesis ini mengangkat syarat-syarat illat

yang terdapat dalam kitab tersebut.40

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Menjelaskan pendekatan (manhâj) dan metode (tarîqah) tafsir

al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qâdir;

2. Menjelaskan dan memahami paradigma pemikiran kalam

al-Syaukânî;

3. Menjelaskan corak kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr;

39 Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi IAIN

Jakarta, 1997.

40 M. Syafi’I, Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab Irsyâd

(19)

4. Mengungkapkan kemungkinan adanya dua paham yang berbeda

yang terdapat pada pemikiran kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath

a-Qadîr.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak:

pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang kalam secara

konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi

ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah

disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan

tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman

manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian

pemikiran kalam al-Syaukânî kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori

terhadap tafsir Fath al-Qadîr; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah

bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari.

Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain

dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa

menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru

sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library

research), yaitu dengan membaca karya-karya al-Syaukânî sebagai data

(20)

al-Syaukânî sebagai data sekunder.41 Dan kajiannya secara deskriptif dan

analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman

masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat

sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.42

Deskriptif43 analitis44 yakni analitis dalam pengertian historis dan

filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup

pada suatu zaman yang lalu,45 maka secara metodologis menggunakan

pendekatan sejarah (historical approach),46 yang mengungkap hubungan

seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang

tokoh.47

Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary

resources). Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir

41 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, lihat pula, Noeng

Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49.

42 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2003), h. 63.

43 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat, Departemen

Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 258.

44 Analitis adalah penguraian Sesutu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan

bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 43.

45 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat,

(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 61.

46 Syahrin Harahap, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang

Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press, 1995), h. 18.

(21)

Fath Qadîr Jâmi‘ Baina Fannai Riwâyat wa Dirâyat min ‘Ilm

al-Tafsîr.48

Sedangkan data sekundernya penulis mengunakan buku-buku yang

terkait dengan cakrawala pemikiran al-Syaukânî dan ilmu-ilmu yang terkait

dalam berbagai bidang ilmu, khusunya tentang kalam dari sisi rasional atau

tradisional. Selanjutnya, karena penelitian ini, ingin mengungkap apakah

corak kalam al-Syaukânî rasioanla atau tradisional, maka penulis merujuk

kepada dari aliran muktazilah misalnya Syarh al-Ushûl al-Khamsah karya

Qâdi al-Qudât Abu Hasan ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad bin al-Khalîl bin

‘Abdullah al-Hamdân al-Asad Abadî (w. 459 H.). Dan dari aliran Asy’ariyah

adalah al-Ibânât al-Ushûl al-Diyâna dan al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig

wa al-Bida‘ masing-masing karya al-Syaikh al-Imam Abî al-Hasan ‘Alî bin

‘Ismâ‘îl al-Asy’ari (w. 324 H.). Sedangkan dari aliran Maturidiyah Bukhara

adalah Kitab Ushûl al-Din, karya Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi. Selain

itu juga penulis menghadirkan karya lain yang masih ada keterkaitan dengan

pembahasan tesis ini diantaranya Konsep Ijtihâd al-Syaukânî karangan Dr.

Nasrun Rusli, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, karya ini

merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997 karya Dr. H. Ahmad

Fahmy Arief, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan

karya Prof. Dr. Harun Nasution, dan lain-lain.

48 Tafsir ini merupakan karya monumental al-Syaukânî yang menjadi objek

(22)

Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada

buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang

diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun

2007.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini

ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang

terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar

belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan

penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab kedua membahas biografi al-Syaukânî, meliputi biografi singkat

dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan murid-muridnya, serta

hubungan al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah.

Bab ketiga membahas tentang pendekatan (manhâj) dan metode

(tarîqah) tafsir Fath al-Qâdîr karya al-Syaukânî, yang meliputi mengenal tafsir

Fath al-Qadîr, pendekatan (manhâj) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr, dan metode (tarîqah) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr.

Bab keempat membahas Analisis corak kalam tafsir Fath Al-Qadîr

telaah atas pemikiran al-Syaukânî dalam teologi Islam. Bab ini menjadi inti

pembahasan dalam kajian ini, meliputi: kekuasaan Tuhan dan kehendak

(23)

Tuhan. Masing-masing butir, dibagi lagi menjadi dua sub tema: pertama,

ayat-ayat kalam dan pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Dan kedua adalah pandangan

al-Syaukani berkenaan dengan masalah-masalah kalam yang dibahas.

Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik

dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah

pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat

(24)

H. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dari bab terdahulu terutama dalam bab IV,

dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran kalam yang terdapat dalam tafsir

Fath al-Qadîr adalah “bercorak tradisioanal, atau yang lebih tepat dikatakan

semi rasional (campuran antara rasional dan tradisional)”. Karena sejauh

penelitian dalam tesis ini, penafsiran al-Syaukani juga ditemukan penafsiran

tradisional, kadang pula terdapat penafsiran yang bercorak rasional.

Tergantung kepada ayat yang diteliti, seperti yang diungkapkan dimuka.

Campuran antara corak kalam rasional dan tradisioanalnya

al-Syaukani barangkali lebih kepada keterpengaruhan pemikiran Mu’tazilah

terhadap Syiah Zaidiyah yang ia anut.

Namun, perlu ditambahkan bahwa corak tradisional pemikiran kalam

yang terdapat dalam tafsir Fath al-Qadîr tersebut, tidaklah seluruhnya sejalan

dengan pemikiran kalam yang dibawa oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah

Bukhara. Begitu juga dengan corak rasionalnya al-Syaukani tidak selalu

sejalan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.

Secara umum, dari empat persoalan kalam yang dianalisis, yakni a)

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b) keadilan Tuhan, c)

perbuatan-perbuatan Tuhan yang dibagi menjadi tiga yakni antropomorfisme,

ru’yatullah dan penciptaan al-Qur’an, dan d) sifat-sifat Tuhan, yang dibagi

lagi menjadi tiga yaitu: memberi beban di luar kemampuan manusia,

pengiriman Rasul dan janji dan ancaman. Masalah pada poin a,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan Asy’ariyah. Sedangkan pada

(25)

atas keduanya rasional dan tradisional. Kemudian masalah perbuatan Tuhan,

pemahaman al-Syaukani sejalan dengan corak rasional dan tradisional. Hal

itu terlihat, ketika al-Syaukani membahas tantang permasalahan memberi

beban di luar kemampuan manusia, Al-syaukani lebih kepada pemikiran

Mu’tazilah. Sedang pengiriman Rasul, al-Syaukani lebih dekat memakai

pendekatan yang digunakan oleh Asyariyah dan ketika al-Syaukani

membahas tentang ayat janji dan ancaman pemahamannya sejalan dengan

corak rasional. Dan yang terakhir tentang masalah sifat-sifat Tuhan,

al-Syaukani menggunakan pemahaman tradisional. Pemahaman al-al-Syaukani

ketika membahas antropomorfisme menggunakan pemahaman campuran

antara rasional dan tradisional, tentang ru’yatullah lebih menggunakan

pemahaman rasional, dan tentang penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani lebih

memilih tidak bersikap (tawaqquf).

Kemudian berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, al-Syaukani berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya. Artinya di tangan Allahlah semua

keputusan baik maupun buruknya. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak

Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah

mempunyai jalannya sendiri, yakni sunnatullah.

Pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak

mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan dengan paham

yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak

(26)

Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan

kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman

al-Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh

aliran Asy’ariyah.

Aliran al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai

kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun

kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu

berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia dalam hal ini dianggap

lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya

pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.

Kemudian, keadilan Tuhan. al-Syaukani nampaknya termasuk dalam

dua aliran corak kalam yakni corak tradisioanl dan rasional. Keadilan Tuhan

dalam fersi aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan

yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya.

Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang

memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.

Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional

tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani

terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum

bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada

aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih

(27)

al-Syaukani dalam menggunakan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang

keadilan Tuhan sesuai dengan rasional dan tradisional.

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf

ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan

Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat

memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam

kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan

perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”.

Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan

pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani

menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman

Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara

gamblang. Kalau memang benar al-Syaukani menganut aliran salaf,

seharusnya pemikiran al-Syaukani berpandangan bahwa pengiriman Rasul

itu wajib. Namun, sayang penulis belum menemukan dari pemikiran

al-Syaukani tersebut.

Berkenaan dengan janji Tuhan, tergambar dalam penafsiran

al-Syaukani, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji. Maka kalau demikian,

maka al-Syaukani menganut pemikiran kalam Mu’tzilah.

Tentang sifat-sifat Tuhan al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung

kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam

rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni al-Syaukani dalam memahami

nash-nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam

(28)

Pada penelitian ayat-ayat pada bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi

istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak

dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.

Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung

ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf yang dibahas pada bab IV

yang lalu. Jadi lebih tepat al-Syaukani di katakatan memiliki corak

rasional-tradisional.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya

al-Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,

cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.

Ru’yatullah dalam pandangan al-Syaukani adalah, Tuhan dapat

dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala. Penafsiran al-Syaukani ini

jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan

dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi

bukan dengan mata kepala.

Dalam masalah penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani tidak sependapat

dengan Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan

bersifat baharu dan al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai

Qadim. Menurut al-Syaukani, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan

umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan

yang diambil al-Syaukani adalah tawaqquf (tidak bersikap).

Dari tinjuan ulang yang tersaji di atas jelas terlihat bahwa al-Syaukani

dapat dimasukkan antara keduanya yakni corak rasional dan tradisional.

(29)

uraian di atas, lebih kuat kecenderungannya kepada madzhab salafiyah,

walaupun pada awalnya al-Syaukani penganut paham Zaidiyyah, di mana

paham tersebut pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah,

sehingga dalam proses mencari dan menemukan kebenaran berfikir dari

al-Syaukani tidak mutlak pada pendirian sendiri.

Corak kalam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr menurut hemat

penulis kurang rasional, karena dari beberapa ayat tantang kekuasaan mutlak

Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan,

dalam paparan tafsirnya cenderung kepada ketentuan Allah Swt, di mana

manusia tidak memiliki kemutlakan dan kekuasaan. Bahkan semua

perbuatan dan gerak langkah yang dilakukan manusia dan lain sebagainya

(30)

Riwayat Hidup Penulis

Hasani Ahmad Syamsuri, lahir 21 Februari 1982 di Pabean,

Pulomerak, Cilegon, Banten. Anak kesebelas dari 12 bersaudara dari pasangan ayah Ahmad Syamsuri dan Ibu Sunariyah. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri Pecinan (pagi) dan memperoleh Ijazah tamat belajar pada tahun 1995 serta Madrasah Ibtidaiyah (sore) pada tahun 1995, ia meneruskan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) al-Khairiyah Karang Tengah hingga tamat pada tahun1998. Selanjutnya melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) al-Khairiyah, dan diselesaikan pada tahun 2001. dan pada waktu yang bersamaan antara MTs dan Aliyah belajar di Pondok Pesantren Ma’had Nurul Qamar yang sekarang berubah nama menjadi Banu al-Qamar di bawah asuhan K.H. Hasbullah Qamar dari tahun 1996-2001, semuanya dilewatkan di Cilegon, Banten.

Pada tahun 2001 hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis, yang dapat diselesaikan dalam waktu 3,5 lulus tahun 2005 dengan judul Skripsi ”Hadîs Tentang Adzan Ditinju Dari Segi Sejarah; Kajian Masalah Adzan Subuh dan Jum’at ” di bawah bimbingan Dr. H. Ahmad Luthfi Fathullah, M.A. dan Drs. Bustamin, MBA.

Pada tahun 2001 - sekarang mengikuti Program S-2 perguruan tinggi yang sama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pendidikan ini sedang proses penyelesaian. Menulis Tesis dengan judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah Atas Pemikiran al-Syaukani dalam Teologi Islam” di bawah bimbingan Prof. Dr. H. Salman Harun. Di tahun yang sama (2001) ia mengikuti program Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ke VIII MUI DKI Jakarta setara dengan S-2 non Tesis dan diwisuda (lulus) pada tahun 2007 oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Dr. H. Fauzi Bowo.

(31)

dari tingkat Kabupaten sampai ke Nasional, dan tahun 2004 meraih juara I, MTQ tingkat Nasional Oxford dan Depag RI, hingga mengantarkan menuju tanah suci Baitullah (rumah Allah). Di dunia kerja kini menjadi staff Haji dan Umrah al-Tur Travel, lt. 2 Wisma Usaha UIN Jakarta. Pada tahun 2007 ini, sedang merintis dan mendirikan Travel dan Tour bergerak di bidang Umrah dan Haji, Ticketing, dan Touring.

Di sela-sela rutinitas aktifitas tersebut, juga mengabdi sebagai pengajar di berbagai tempat, antara lain di SMP 87 Pondok Pinang Jakarta, Yayasan al-Khairiyah Kebon Jeruk Jakarta, dan Pondok Pesantren Nurul Iman, Tangerang, Banten, semuanya mengajar Tilawah al-Qur’an. Selain mengajar pengajar privat al-Quran di berbagai tempat. Selain itu, mengabdi sebagai Muadzin tetap Masjid Fathullah UIN Jakarta. Juga terlibat aktif dengan dunia dakwah melalui berbagai mimbar, imam, dan sebagai Qari’ (pembaca al-Qur’an) dari tingkat kampung, masjid, instansi pemerintah, hotel, Kampus (Wisuda, Seminar Nasional-Internasional, Pengukuhan Guru Besar dan Dr. H.C.) hingga menuju ke Istana Presiden dan Wakil Presiden.

(32)

untuk menunaikan puji dan syukur, selain kepada Dzat yang maha terpuji yaitu

Allah Swt. Salawat dan salam, kita mohonkan kehadirat-Nya, semoga selalu

dipersembahkan kepada Nabi dan Rasul penutup, yaitu Muhammad Saw.

beserta segenap keluarga dan sahabtnya; bahkan umatnya hingga akhir zaman.

Atas karunia-Nya pula, penulisan tesis ini yang berjudul “Corak pemikiran

kalam tafsir Fath al-Qadîr: telaah atas pemikiran al-Syaukani dalam teologi

Islam” ini dapat diselesaikan. Sehubungan dengan terselesaikannya tesis ini,

sungguh pada tempatnyalah apabila penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua banyak pihak baik secara langsung maupun

tidak langsung ikut berpartisipasi membangun teori dan data. Sehingga, tesis ini

dapat selesaikan sebagaimana mestinya. Maka, penulis selayaknya mengabdikan

budi baik kepada para pihak yang telah membantu dengan ungkapan syukur

al-hamdulillah yang tidak terhingga.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Dosen Pembimbing penulis, Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, atas

segala bimbingan, dorongan, bantuan serta nasehatnya selama proses penulisan

tesis.

Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada kedua orang tua yang

paling penulis hormati dan banggakan, yakni Ahmad Syamsuri dan Sunariyah

yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan motivasi serta doa yang tulus

bagi keberhasilan penulis dalam mengukir kehidupan yang berguna bagi nusa,

(33)

K.H. Moh. Ardani, Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan dan Dr. Yusuf Rahman, yang

telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dan konsultasi bahkan ngaji

kitab tafsîr Fath al-Qadîr. Beliau-beliau menjadi pembimbing lepas penulis,

sehingga penulis mendapat beberapa rujukan penting dalam rangka

merampungkan tesis ini.

Dan kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di

sini, penulis ucapkan banyak terima kasih, karena tanpa bantuan mereka, tesis ini

tidak mungkin dapat terselesaikan.

Kiranya tesis ini tidak dapat dikatakan sempurna, karena tesis ini hanya

satu usaha dan upaya kecil dalam rangka menambah khazanah keilmuan Islam

khususnya kajian tafsir dengan corak kalam. Namun demikian, harapan penulis,

tesis ini dapat bermanfaat dan kontribusi yang baik bagi umat dan

perkembangan keilmuan. Amin.

Masjid Fathullah UIN Jakarta

(34)

ABSTRAK ……… i KATA PENGANTAR ………. iii DAFTAR ISI ……… vi PEDOMAN TRANSLITERASI ……… viii LEMBAR PENGESAHAN ………... xii LEMBAR PERNYATAAN ……… xiii LEMBAR PERSEMBAHAN ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………...……….. 1

B. Permasalah ……… 14

C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ………...…... 17 D. Tujuan penelitian ………...……… 19 E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ……….…………. 20 F. Metodologi Penelitian ………..……….. 21 G. Sistematika Penulisan ………. 23

BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ

A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal ... 25 B. Karya-Karyanya ... 33 C. Guru dan Murid-Muridnya ... 37 D. Al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah ... 44

BAB III MANHAJ DAN METODE TAFSIR FATH AL-QADÎR

A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunanya

... 55 B. Pendekatan (manhâj) Tafsir al-Syaukâni dalam Tafsir Fath

al-Qâdîr ... 62 C. Metode (tarîqah) Tafsir Syaukâni dalam Tafsir Fath

(35)

A. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ... 76 1. Ayat-ayat Kalam tentang Kekuasaan dan Kehendak

Mutlak Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah

Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ... 77 2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam

tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ... 84 B. Keadilan Tuhan ... 94

1. Ayat-ayat kalam tentang Keadilan Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ... 96 2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam

tentang Keadilan Tuhan ... 106 C. Perbuatan-perbuatan Tuhan ... 116

1. Ayat-ayat kalam tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ... 118 2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam

tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan ... 127

D. Sifat-sifat Tuhan ……… 133

1. Ayat-ayat kalam tentang Sifat-sifat Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,

Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ... 133 2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam

tentang Sifat-sifat Tuhan ... 154

BAB V Kesimpulan ………. 175

(36)

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

ب B be

ت T te

ث Ts te dan es

ج J je

ح H h dengan garis bawah

خ Kh Ka dan ha

د D de

ذ Dz de dan zet

ر R er

ز Z zet

س S es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis di bawah

ض D de dengan garis di bawah

ط T te dengan garis di bawah

ظ Z zet dengan garis di bawah

عkoma terbalik di atas hadap kanan

غ Gh ge dan ha

ف F ef

(37)

ن N en

و W we

ه H ha

ء apostrof

ي Y ya

2. Vokal

Vocal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari

fokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau divtong.

a.Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ــــــَــــــ a Fathah

ــــــِــــــ i Kasrah

ُـــــ

ــــــ u Dammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

يــــــَــــــ ai a dan i

وـــــَـــــــ au a dan u

c. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺄــَـــ â a dengan topi di atas

ﻲـــِـــ î i dengan topi di atas

(38)

maupun qamariyyah. Contoh al-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân.

4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam bahasa Arab dilambangkan tanda ( ّ ),

dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan

huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal itu tidak berlaku jika huruf

yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata samdang yang diikuti oleh

huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan

al-darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Penulisan ta marbûtah jika berdiri sendiri atau ta marbûtah diikuti oleh

kata sifat (na‘t) maka dialihaksarakan menjadi huruf h. contoh: ﺔﻘﯾﺮﻃ ditulis

tarîqah, ﺔﯿﻣﻼﺳﻻا ﺔﻌﻣﺎﺠﻟا dialihaksarakan menjadi al-jâmi‘ah al-Islâmiyyah. Namun

jika ta marbûtah diikuti kata benda maka huruf tersebut diaksarakan menjadi t.

(39)

FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKANI

DALAM TEOLOGI ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqasyah

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 23 Oktober 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar M.A. pada konsentrasi Tafsir Hadits.

Jakarta, 23 Oktober 2007

Sidang Munaqasyah,

Ketua, Pembimbing,

Dr. Yusuf Rahman, M.A. Prof. Dr. H. Salman Harun

Hari/tgl.: Hari/tgl.:

Penguji:

Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A.

(40)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Allah

berfirman bahwa al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1:

2), penyembuh penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela

terhadap kitab dan syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada

Nabi Muhammad Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang

kekal, sebagai pelita yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang

yang berkata berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang

mengamalkannya akan mendapat pahala; orang yang menghakimi

dengannya adalah adil; dan siapa yang mengajak orang lain untuk

mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus.2

Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena

itu, al-Qur’an dan Hadits perlu ditafsirkan. Kata tafsîr3 (exegesis) berasal dari

1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua

perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442

2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h.1-2

3 Uraian secara mendalam berkenaan dengan asal usul kata tafsir, dapat dibaca

(41)

bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian

menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (izhâr) atau menjelaskan.4 Ibnu Manzûr

dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti

menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu

lafaz yang susah dan pelik. 5 A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr

merupakan bentuk masdar yang berarti menjelaskan, memberi komentar,

menterjemahkan atau mentakwilkan.6 Ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan

bahwa secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan

merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan

ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.7

Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa

yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.8

Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn al-Zarkâsyi (745-749

H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk

memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya

7, h. 12-13, lihat pula, Muhammad bin Abdullah al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut-Libanon: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 2, h. 147-149

4 Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, Ta’rifât, (Beirut: Dâr Kutub

al-‘Arabi, 1405 H.), h. 87

5 Lihat pula Ibnu Manzûr al-Afrîqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.), j.5,

h.55.

6 Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan

Buku PP al-Munawwir, 1984), h.1134.

7 Abi al-Husein ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Mustafa

al-Babi al-Halabi, 1970), juz IV, h. 504

8 Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Jilid

(42)

Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang

terkandung di dalamnya).9

Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam Q.S.

al-Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan

dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.10 Dan di

antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun

ada juga yang membedakannya. Kontroversi ini disampaikan antara lain oleh

al-Zarqânî.11

Menelusuri sejarah penafsiran Qur’an, Muhammad Husain

al-Dzahabi membagi sejarah tafsir ke dalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:

Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,

kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase

perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),

yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa

hidup al-Dzahabi).12

Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa

menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang

samar-samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,

9 Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

(Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 1, h. 13.

10 Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), h. 97.

11 Al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim al-Zarqânî, Manâhil ‘Irfân fi ‘Ulûm

al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, h. 4-6, lihat pula Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî

‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, h173-174 .

12 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

(43)

sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.13 Sikap

Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan

kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).

Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama

dan utama.

Menurut Mustafa Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan

al-Qur’an menggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah

(perbuatan).14 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak

sampai kepada kita. 15 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir

sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.

Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap

maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sepeninggal beliau (11 H.), kepeloporannya di

bidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang

ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Râsyidîn; Abu Bakar (w. 13 H.),

‘Umar bin Khattâb (w. 23 H.), Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H.), dan ‘Ali bin Abî

Tâlib (w. 40 H.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b

(w. 20 H.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44 H.).16 Di

13 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h. 2.

14 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,

t.th.), juz 1, h. 5.

15 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl Tafsîr, (Kuwait: Dâr

al-Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35.

16 lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz

(44)

samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para

penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 H.), Anas bin

Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73 H.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah (w.57 H.),

dan Amr bin As. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir.17

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam

menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:

1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;18

2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;19

3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan

pengetahuan yang mereka miliki;20

4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah masuk

Islam tentang masalah tertentu;21 dan

5. Bertumpu pada syair-syair.22

Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka

adalah murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan

Irak.23 Di Makkah yang merupakan murid dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs yaitu

Sa‘îd bin Jubaîr (w. 94 H.), Mujâhid (w. 100 H.), Ikrimah (w. 105 H.), Tâwus

bin Kaisân al-Yamânî (w. 105 H.), dan ‘Ata’ bin Abî Rabâh (w. 114).24

17 Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut:

Mansyûrât ‘Asr Hadîts, 1393 H.), h. 343, lihat pula Muhammad Husain Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 49.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam prinsip pembelajaran etika menjadi prinsip utama. Interaksi edukatif antara pendidik dan peserta didik harus selalu dijaga. Menurut ibnu Jamaah dalam abdul Majid disebutkan

Filsafat pendidikan Islam yang bersifat profan sehingga filsafat pendidikan Islam mengiedalkan pendidikan yang integral antara kepentingan duniawi dan

Disisi lain, Hamka juga memberikan pandangan bahwa pemimpin dan kepemimpinan dijanjikan oleh Allah dijelaskan dengan terang bahwa perkara yang membentuk

Dari ungkapan al-Ghazali di atas dapat ditarik pemahaman bahwa pada dasarnya maslahat hajiyat dan tahsiniyyat tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum

Allah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Setelah mendengar ayat ini, mereka mengatakan bahwa tangan Allah itu terbelenggu dengan

adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan

1. Para mufassir berpendapat bahwa kandungan surat Al-Israa‟ ayat 23-24 adalah Allah SWT memberi perintah kepada manusia supaya bertauhid dan beribadah kepadaNya

Selain itu, hadis-hadis tersebut menyiratkan bahwa mencari ilmu atau menuntut ilmu adalah salah satu tanggung jawab seorang Muslim, dan tidak ada lapangan pengetahuan atau