• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ

FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Allah

berfirman bahwa al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1: 2), penyembuh penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela terhadap kitab dan syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang kekal, sebagai pelita yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang yang berkata berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang mengamalkannya akan mendapat pahala; orang yang menghakimi dengannya adalah adil; dan siapa yang mengajak orang lain untuk

mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus.2

Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena itu, al-Qur’an dan Hadits perlu ditafsirkan. Kata tafsîr3 (

exegesis) berasal dari

1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua

perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442

2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h.1-2

3 Uraian secara mendalam berkenaan dengan asal usul kata tafsir, dapat dibaca

antara lain: Khalid Utsmân al-Tsabt, Qawâ’id al-Tafsîr Jam‘an wa Dirâsatan, (al-Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn ‘Affan, 1999), j. 1, h. 25-29, lihat pula, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), j. 1, cet. Ke

bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (izhâr) atau menjelaskan.4 Ibnu Manzûr dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu lafaz yang susah dan pelik. 5 A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr

merupakan bentuk masdar yang berarti menjelaskan, memberi komentar,

menterjemahkan atau mentakwilkan.6 Ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan

bahwa secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.7

Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa

yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.8

Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn al-Zarkâsyi (745-749 H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya

7, h. 12-13, lihat pula, Muhammad bin Abdullah al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut-Libanon: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 2, h. 147-149

4 Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-

‘Arabi, 1405 H.), h. 87

5 Lihat pula Ibnu Manzûr al-Afrîqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.), j.5,

h.55.

6 Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan

Buku PP al-Munawwir, 1984), h.1134.

7 Abi al-Husein ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Mustafa

al-Babi al-Halabi, 1970), juz IV, h. 504

8 Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Jilid

II, h.3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, h. 15.

Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang

terkandung di dalamnya).9

Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-

Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan

dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.10 Dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun ada juga yang membedakannya. Kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqânî.11

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-

Dzahabi membagi sejarah tafsir ke dalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:

Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat, kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi), yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa hidup al-Dzahabi).12

Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar- samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,

9 Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,

(Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 1, h. 13.

10 Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), h. 97.

11 Al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-

Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, h. 4-6, lihat pula Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî

‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, h173-174 .

12 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.13 Sikap

Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan

kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).

Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama dan utama.

Menurut Mustafa al-Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-

Qur’an menggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah

(perbuatan).14 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah

menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak sampai kepada kita. 15 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir

sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.

Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap

maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sepeninggal beliau (11 H.), kepeloporannya di bidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Râsyidîn; Abu Bakar (w. 13 H.), ‘Umar bin Khattâb (w. 23 H.), Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H.), dan ‘Ali bin Abî Tâlib (w. 40 H.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b (w. 20 H.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44 H.).16 Di

13 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

Rajawali Press, 1994), h. 2.

14 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,

t.th.), juz 1, h. 5.

15 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-

Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35.

16 lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz

samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 H.), Anas bin Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73 H.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah (w.57 H.),

dan Amr bin As. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir.17

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:

1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;18

2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;19

3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan

pengetahuan yang mereka miliki;20

4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah masuk

Islam tentang masalah tertentu;21 dan

5. Bertumpu pada syair-syair.22

Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka adalah murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan Irak.23 Di Makkah yang merupakan murid dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs yaitu

Sa‘îd bin Jubaîr (w. 94 H.), Mujâhid (w. 100 H.), Ikrimah (w. 105 H.), Tâwus bin Kaisân al-Yamânî (w. 105 H.), dan ‘Ata’ bin Abî Rabâh (w. 114).24

17 Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut:

Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1393 H.), h. 343, lihat pula Muhammad Husain al-Dzahabi, al- Tafsir wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 49.

18 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 37-44 19 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 35-46 20 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 57-58 21 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 61-62. 22 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 74-76. 23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 92. 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 93.

Sedangkan murid-murid sahabat yang terdapat di Madinah yang berguru kepada Ubaî bin Ka‘b yaitu Zaid bin Aslam (w. 182 H.), Abu al-Aliyah (w. 90 H.), dan Muhammad bin Ka’b al-Qurdî.25 Dan murid-murid sahabat di Irak

yang berguru kepada Abdullah bin Mas‘ûd yaitu ‘Alqamah bin Qais, Masrûq,

Marah al-Hamdânî, ‘Âmir al-Syu‘bî, dan al-Hasan al-Basrî.26

Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari salah satu di antara ketiga sumber yang dikemukakan di atas, Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in yang dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Ali al-Sâbûni dan al-Zarqâni mendefinisikan tafsîr bi al-Ma’tsur adalah sesuatu yang datang di dalam al- Qur’an, sunnah, ataupun perkataan sahabat, yang menjadi penerang bagi murâd (maksud) Allah terhadap kitab-Nya.27 Corak tafsir ini merupakan periode pertama dari perkembangan tafsir dan berakhir dengan berakhirnya masa tabi’in sekitar tahun 150 H.28

Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan (kodifikasi) hadis Rasulullah Saw. Mufasir-mufssir yang berkembang ketika itu adalah Yazîd bin Hârûn al-Sulamî (w.117 H.), Syu‘bah al-Hajjâj (w. 160 H.), Wakî‘ bin Jarâh (w. 197 H.), Sufyân bin ‘Uyaynah (w. 198 H.), Ruh bin

25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 104. 26 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 106-107.

27 Lihat Muhammad Ali al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlim al-

Kutub, 1985), h. 67, lihat pula, Muhammad Abdul Azim al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), j. II, h. 12

28 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Dâr al-

Maktabah al-Hadîtsah, 1976), juz I, h. 141, lihat pula, Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Zamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 13.

‘Ibâdah al-Basrî (w. 205 H.), ‘Abdurrazzâq ibn Himâm (w. 211 H.), Âdam bin Abî Iyâs (w. 220 H.), ‘Abd bin Hamîd (W. 249 H.), dan lain-lain.29

Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.30 Di antara

mereka adalah al-Zamakhsyârî (w. 528 H.), al-Wahîdî (w. 468 H.), al-Tsa‘labî (w. 427 H.), al-Qurtûbî (w. 671 H.), al-Râzî (w. 610 H.), dan al-Khâzin (w. 741 H.).31 di tangan merekalah muncul beberapa metode dan corak tafsir.

Maraknya hal ini sangat dipengaruhi latar belakang dan kecenderungan

keilmuan mereka dalam penulisan tafsir. 32 Pada fase ketiga, hadis-hadis dan

riwayat-riwayat menyangkut berbagai hal, termasuk tafsir telah beredar sedemikian pesat. Di samping itu, kemajuan sudah semakin pesat, sekian persoalan baru timbul di tengah-tengan masyarakat yang belum pernah

29 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 127-128.

30 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan

Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63.

31 Lihat, al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 32-183, lihat pula al-Marâghi,

Tafsîr al-Marâghî, h. 10-13.

32 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap al-

Qur’an memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa al-Qur’an tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekwensi logis dari keyakinan bahwa al-Qur’an, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), h.11

terjadi atau dipersoalkan di masa Nabi Muhammad Saw., sahabat, maupun tabi’in.

Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan

masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam

penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj

(pendekatan) tafsir dari manhâj atsari ke manhâj ra’yi, dan berkembang pula

tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir. Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak

sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).33

Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-

Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,

secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-

‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak

madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak

ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan

menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun

al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan berpijak pada realitas sosial.34

33 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,

Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. xxxiii-xxxiv

Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli, adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran

akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan keragu-

raguan.35 Dalam kaitan ini, ilmu kalam di samping membahas soal-soal

kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim, soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan

penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 36

Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam

akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.37

Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,

menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari

bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung

35 Lihat Mustafa ‘Abdurraziq, Tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:

1959), h. 261

36 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30

37 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),

kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa

ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.38

Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut ‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh

dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.39

‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat, hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan al-Qur’an.40

Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah

min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-

38 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah

Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261.

39 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 40 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:

Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab

dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah.41

Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih

13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,42 dan 1 kitab tafsir tentang

Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.43 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6

kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.44 Salah satu dari sekian

banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî45 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.

Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam

dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari

sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan

41 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang

bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam al-Dzahabî, Tafsîr wa al- Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.

42 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 43 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249.

44 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan

411.

45 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah

al-Syaukânî al-San’anî. Beliau lahir di desa Hijrah Syaukân, Yaman, pada hari Senin tanggal 28 Dzul Qa‘dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari selasa tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1259 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al- Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8

Utsman bin ‘Affan46, yang paling dekat dengan jamaah Islam (Suni-

Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke derajat kenabian.

Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan mengakui kepemimpinan meraka.47 Di atara ajaran sekte ini juga adalah

Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,

sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm

Mafdûl.48

Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal

46 Lihat, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, ta’liq al-

Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155

47 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan

perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68

48 Lihat, Ahmad Syahrastânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h.

abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al- Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al- Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang

ulama yang terkenal di Yaman.49

Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota