• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... I-1

3.1.2. Backlog Perumahan

A. Jumlah Backlog Rumah

Perhitungan backlog perumahan dalam Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) tahun 2016 diperoleh dari selisih antara ketersedian dan kebutuhan rumah pada tahun 2015. Kebutuhan rumah pada ahun 2015 didasarkan pada jumlah kepala keluarga (KK) pada tahun tersebut. Backlog tertinggi pada tahun 2015 terdapat pada Kota Administratif Jakarta Timur yaitu sebesar 87.479 unit dan terendah terdapat pada Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yaitu sebesar 5.350 unit.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1. Backlog Rumah Tahun 2017

Sumber: RP3KP DPRKP Provinsi DKI Jakarta, 2016

Data backlog sebagai gambaran kebutuhan perumahan sangat diperlukan untuk menjadi dasar pertimbangan dalam perencanaan pembangunan dan pengembangan perumahan. Kebutuhan perumahan semakin berkembang seiring berkembangnya jumlah penduduk. Menurut Chander (1979) dalam Komarudin (1997), lima komponen kebutuhan rumah adalah :

No Kabupaten/Kota Rumah Tahun 2015 Backlog Tahun 2015

1 Jakarta Pusat 205,642 22,904 2 Jakarta Utara 386,249 50,580 3 Jakarta Barat 560,090 55,800 4 Jakarta Selatan 461,357 85,071 5 Jakarta Timur 623,475 87,479 6 Kepulauan Seribu 5,350 485

2,242,163

302,319 Jumlah

Backlog Rumah Tahun 2015

3. Rumah yang harus diganti sesuai dengan perencanaan (normal replacement);

4. Rumah yang dibutuhkan karena pertambahan penduduk (new households);

5. Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sejak tahun-tahun sebelumnya (fulfilment of housing deficit).

B. Permasalahan Penyediaan dan Pembiayaan Perumahan Dalam Upaya Mengurangi Backlog

Permasalahan perumahan yang terkait dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti backlog rumah, banyak dipengaruhi oleh regulasi perumahan yang ada dalam mendukung penyediaan rumah yang layak dan terjangkau bagi MBR. Regulasi dalam hal pembiayaan merupakan salah satu contoh regulasi yang memiliki peran yang penting dalam mendukung ketersediaan rumah yang layak huni dan terjangkau bagi MBR. Peran penting regulasi di bidang pembiayaan perumahan tersebut antara lain dapat terlihat melalui tersedianya pilihanpilihan untuk meningkatkan kemampuan membeli rumah yang memenuhi standar dan tersedianya mekanisme pembiayaan perumahan yang dapat dijangkau oleh MBR.

Dukungan pemerintah dalam bentuk regulasi untuk pembiayaan perumahan sudah mulai ada semenjak tahun 1974 dan terus berkembang hingga sekarang. Berbagai macam kebijakan dari mulai pemberian bantuan subsidi, pembangunan rumah murah lewat BUMN perumnas, mekanisme pembiayaan perumahan lewat KPR, tabungan perumahan, subsidi selisih bunga KPR, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sampai dengan penentuan harga maksimal rumah. Berbagai macam upaya sudah dilakukan oleh pemerintah untuk membantu kepemilikan perumahan bagi masyarakat khususnya MBR.

Dengan kelemahan-kelemahan tesebut, Pemerintah perlu melakukan suatu inovasi dalam hal regulasi pembiayaan perumahan agar percepatan pengadaaan perumahan dapat terwujud secara progresif. Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam merencanakan skema pembiayaan perumahan adalah bahwa berbagai perencanaan tersebut seyogyanya memanfaatkan sumber pendanaan yang beragam, sehingga tidak terlalu bergantung kepada dana Pemerintah.

1. Pemberian subsidi pada bidang perumahan merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah terhadap penyediaan perumahan khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Dari koreksi harga pasar perumahan yang sangat tinggi tidak memberikan peluang kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Pemberian

subsidi terhadap masyarakat berpenghasilan rendah ini diharapkan akan mewujudkan masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah.

2. Kendala yang menghambat pembangunan perumahan bersubsidi adalah rendahnya jumlah serapan perumahan bersubsidi apabila dibandingkan dengan semakin tingginya kebutuhan terhadap rumah. Kondisi itu menjadi salah satu penghambat meningkatkan penjualan terutama untuk perumahan menengah ke bawah. Di sisi lain, saat ini, pembiayaan perumahan masih ditangani perbankan semata. Akses masyarakat berpenghasilan rendah kepada pembiayaan

3. Kebijakan Pembiayaan Perumahan mengalami banyak perubahan dalam beberapa dekade terakhir. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan yang menyebakan perbandingan antara jumlah MBR dan supplai rumah subsidi cukup besar sehingga nilai backlog perumahan di Indonesia tetap tinggi.

Pemerintah perlu melakukan suatu inovasi dalam hal regulasi pembiayaan perumahan agar percepatan pengadaaan perumahan dapat terwujud secara progresif. Inovasi dalam pengembangan kebijakan pembiayaan perumahan merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah juga seperti dalam amanat UU No.1 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman tidak hanya tugas pemerintah pusat.

4. Kebutuhan dana untuk mencapai target program rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang difasilitasi melalui kredit pemilikan rumah (KPR) yang cukup besar tidak mungkin sepenuhnya dari budget pemerintah, sehingga penting untuk mengutilisasi solusi pendanaan dari pasar modal.

5. Perlu adanya suatu lembaga pembiayaan yang dibentuk pemerintah memiliki mandat untuk mengaplikasikan sekuritisasi aset KPR untuk mengembangkan pembiayaan sekunder, serta meningkatkan pendanaan pembiayaan perumahan MBR jangka panjang ke penyalur KPR yang dapat menaikkan kuantitas KPR untuk MBR.

Pembiayaan tersebut juga mendukung program KPR fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, subsidi bantuan uang muka, tabungan perumahan rakyat, dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan.

6. Mortgage bank dianggap dapat memberikan solusi bagi permasalahan menurun drastinya kemampuan sebagian besar masyarakat dalam kepemilikan rumah, karea pembiayaan perumahan melalui KPR bank komersil saat ini tidak stabil akibat adanya mismatch pembiayaan perumahan yang berjangka Panjang dengan sumber pembiayaan bank yang berjangka pendek.

3.1.3. Kawasan Permukiman Kumuh

Data yang digunakan untuk mengidentifikasi kawasan permukiman kumuh di Provinsi DKI Jakarta mengacu pada data Badan pusat Statistik (BPS). Penelitian kawasan kumuh pertama kali dilaksanakan oleh BPS pada tahun 1993, kemudian setiap tiga/empat tahun berikutnya dilakukan evaluasi terhadap RW-RW yang dikategorikan kumuh. Berdasarkan Evaluasi RW Kumuh DKI Jakarta Tahun 2013 yang dipublikasikan oleh BPS DKI Jakarta, terdapat pada 181 kelurahan dari 261 kelurahan dengan luasan sebesar 1.024,52 Ha di 223 RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta.

Tabel 3.2. Jumlah RW Kumuh di DKI Jakarta Tahun 2013

Sumber: BPS, 2017

Adapun berdasarkan data baseline Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, permukiman kumuh terdata di 115 kelurahan dengan luasan 1003.01 Ha dan sebaran lokasi sebagaimana dapat dilihat pada peta berikut ini:

Gambar 3.1. Peta Indikasi Sebaran Kawasan Permukiman Kumuh Sumber: Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pada tahun 2017, BPS Provinsi DKI Jakarta kembali melakukan evaluasi terhadap RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian RW kumuh dilaksanakan di seluruh RW yang masih berkategori kumuh pada tahun 2013, ditambah dengan RW Kumuh hasil penelitian Kotaku tahun 2016. Selain itu, dimasukkan juga RW yang berasal dari hasil wawancara dengan lurah/aparat kelurahan pada pendataan tahun 2017 yang mengusulkan adanya RW lain yang menurut persepsi mereka dinilai kumuh. Jumlah seluruh RW yang diteliti pada Pendataan RW Kumuh tahun 2017 untuk masing-masing sumber sebagai berikut :

Tabel 3.3. Jumlah RW dalam Pendataan RW Kumuh 2017

Sumber: BPS, 2017.

Dalam menentukan kekumuhan suatu RW, digunakan 11 variabel kumuh dalam Pendataan RW Kumuh pada tahun 2017 di DKI Jakarta, yaitu:

1. Kepadatan penduduk 2. Kepadatan bangunan

3. Konstruksi bangunan tempat tinggal

4. Keadaan ventilasi dan pencahayaan bangunan 5. Tempat buang air besar

6. Cara membuang sampah 7. Pengangkutan sampah 8. Keadaan drainase/saluran air 9. Keadaan jalan lingkungan 10. Penerangan jalan umum 11. Tata letak bangunan

Hasil pendataan RW kumuh yang dilakukan pada tahun 2017 menunjukkan beberapa perubahan dari tahun 2013. Dari jumlah RW kumuh tahun 2013 yang sebesar 223 RW berkurang menjadi 222 RW karena ada 1 RW di Jakarta Utara telah digusur yaitu RW 13, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Kecamatan Kelapa Gading. Perubahan lain yang terjadi pada tahun 2017 adalah pergeseran klasifikasi kekumuhan. Secara umum, dari 222 RW kumuh

tahun 2013 menunjukkan pergeseran atau perubahan menjadi lebih baik pada tahun 2017.

Dalam kurun waktu 4 (empat) tahun, dari 222 RW kumuh tersebut, sebanyak 9 RW menjadi tidak kumuh pada tahun 2017. Pergeseran tersebut terjadi di 4 wilayah, yaitu Jakarta Selatan dan Jakarta Timur yang masing-masing sebanyak 2 RW, Jakarta Pusat sebanyak 1 RW dan Jakarta Utara sebanyak 4 RW. Dengan demikian, masih ada sebanyak 213 RW yang bersumber dari RW kumuh BPS 2013 masih tetap kumuh dan tersebar dalam 4 klasifikasi kumuh, yaitu kumuh berat, sedang, ringan dan sangat ringan. Secara total, dari 213 RW kumuh tersebut, sebanyak 13 RW kumuh berat, 66 RW kumuh sedang, 106 RW kumuh ringan dan 28 RW kumuh sangat ringan.

Jumlah Kawasan atau RW Kumuh yang bersumber dari Kotaku 2016 sebenarnya berjumlah 227 RW yang tersebar di 6 wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta. Sebanyak 206 RW kumuh tersebut sudah tercatat atau masuk di dalam direktori RW kumuh BPS 2013, sehingga selisihnya sebanyak 21 RW yang menjadi tambahan dalam Pendataan RW Kumuh 2017 yang berasal dari RW Kumuh Kotaku 2016. Hasil pendataan tahun 2017 terhadap 21 RW kumuh Kotaku 2016 menunjukkan bahwa dari 21 RW kumuh tersebut, dalam waktu setahun terdapat 2 RW yang menunjukkan perbaikan menjadi tidak kumuh, yaitu 1 RW di Jakarta Timur yaitu RW 06, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar dan 1 RW di Jakarta Barat yaitu RW 11, Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora.

Jika seluruh RW kumuh yang bersumber dari RW kumuh BPS 2013 dan Kotaku 2016 digabungkan, maka jumlah RW kumuh yang didata atau diteliti berjumlah 244 RW. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa hasil pendataan yang dilakukan pada RW kumuh BPS 2013 ditemukan adanya 1 RW yang telah digusur, sehingga jumlah RW kumuh yang akan didata atau diteliti menjadi 243 RW. Hasil pendataan dari 243 RW kumuh yang menjadi sasaran tersebut, terdapat 11 RW yang berubah menjadi tidak kumuh (2 RW dari Kotaku 2016 dan 9 RW dari BPS 2013) dan sisanya sebanyak 232 RW tetap masuk dalam kategori RW kumuh. Kesebelas RW tidak kumuh tersebut tersebar di 6 wilayah kota administrasi di DKI Jakarta, sebanyak 2 RW di Jakarta Selatan, 3 RW di Jakarta Timur, 1 RW di Jakarta Pusat, 1 RW di Jakarta Barat, dan 4 RW di Jakarta Utara.

Selain dari direktori RW kumuh BPS 2013 dan Kotaku 2016 yang memang sudah tersedia, pada Pendataan RW Kumuh 2017 ini juga dibuka peluang bagi setiap kelurahan untuk dapat mengusulkan RW yang menurut lurah/aparat kelurahan juga kumuh. Berdasarkan persepsi kelurahan, terdapat sebanyak 277 RW yang diusulkan untuk didata pada pendataan

mengusulkan jumlah RW terbanyak adalah Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat dengan jumlah masing-masing sebesar 76 RW, sementara Kepulauan Seribu hanya mengusulkan 1 RW saja.

Berdasarkan hasil pendataan BPS, sebanyak 64 RW dari 277 RW (23,10%) yang diusulkan oleh kelurahan ternyata masuk dalam kategori RW tidak kumuh, dan ini terdapat di semua wilayah kabupaten/kota kecuali Kepulauan Seribu. Sisanya sebanyak 213 RW masuk ke dalam kategori kumuh.

Jumlah RW yang menjadi target pendataan secara keseluruhan berjumlah 521 RW yang bersumber dari 3 sumber informasi. Namun karena ada 1 RW di Jakarta Utara yang berasal dari direktori RW kumuh BPS 2013 yang ternyata sudah digusur (seperti telah disebutkan sebelumnya), maka jumlah RW yang didata menjadi 520 RW yang tersebar di 6 wilayah kabupaten/kota di DKI Jakarta. Secara total, dari seluruh RW yang didata tersebut (520 RW), sekitar 53 persen berasal dari usulan kelurahan, sementara sisanya berasal dari direktori RW kumuh BPS 2013 dan Kotaku 2016. Hasil pendataan lapangan dari 520 RW yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di DKI Jakarta dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.4. Jumlah RW Kumuh 2017 di DKI Jakarta

Sumber: BPS, 2018

Dari tabel 3.7. terlihat bahwa jumlah RW Kumuh untuk Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan memiliki 90 lebih RW Kumuh. Dengan peringkat pertama jumlah RW Kumuh sebanyak 98 (Jakarta Pusat), peringkat kedua, jumlah RW Kumuh 92 RW (Jakarta Barat), dan peringkat ketiga jumlah RW Kumuh sebanyak 90 (Jakarta Selatan). Jumlah RW kumuh paling sedikit adalah di Kepulauan Seribu, yaitu sebanyak 7 RW saja.

Tabel 3.5. Rangking Jumlah RW Kumuh Berdasarkan Kabupaten/Kota, 2017

Sumber: BPS, 2018

Untuk lebih jelasnya pemetaan permasalahan untuk peningkatan pelayanan perumahan rakyat dan kawasan permukiman dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.6 Pemetaan Permasalahan untuk Peningkatan Pelayanan Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman

No. Masalah Pokok Permasalahan Akar Masalah 1. Kualitas Pelayanan

DPRKP Jumlah SDM DPRKP

Terbatas a. Alokasi Anggaran Pelaksanaan Program dan Belanja Pegawai b. Kebutuhan Operasional Pelaksanaan

Tupoksi 2. Backlog

Hunian/Perumahan Tinggi

a. Tumbuh Permukiman Liar/Ilegal

b. Perumahan Tidak Layak Huni

c. Permukiman Kumuh

a. Kebutuhan Jumlah Hunian meningkat

 Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta

 Migrasi Penduduk.

b. Lemahnya daya Beli Masyarakat untuk memiliki Hunian

 Kemampuan Ekonomi Rendah Bagi MBR

 MBR Kesulitan akses Pembiayaan Perumahan

c. Ketersediaan Lahan terbatas

 Harga Lahan Tinggi

 Terbatasnya Ketersediaan Harga lahan yang terjangkau

 Harga Rumah/hunian tinggi

No. Masalah Pokok Permasalahan Akar Masalah

 Urbanisasi b. Kemiskinan

 keterbatasan pengetahuan, ketrampilan, dan modal

 persaingan yang sangat ketat diantara sesama pendatang c. Kesenjangan Pelayanan sarana dan

prasarana.

 Pembangunan yang tidak merata

 Keterbatasan lahan dan tingginya harga tanah

Sumber: Hasil Kajian 2018

Analisis permasalahan dan tantangan utama yang diharapi oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi DKI Jakarta pada tabel III.1 di atas adalah berdasarkan hasil identifikasi capaian kerja pada periode sebelumnya ditambah dengan isu strategis yang ada pada masa periode sekarang.

Dokumen terkait