• Tidak ada hasil yang ditemukan

bagi Kesenian Tradisional

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 197-200)

1. Hak Cipta dan Ekspresi Budaya Tradisional

Di Indonesia, masalah hak cipta seniman diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Pengertian Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.1 Hak Cipta dipergunakan di

bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Hak Cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui maka negara memegang Hak Cipta atasnya, seperti karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. Negara juga memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.2

Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) merupakan pengetahuan, penemuan, dan praktik komunal masyarakat tradisional yang terwujud, baik dalam gaya hidup tradisional maupun teknologi yang asli, lokal, tradisional. EBT mencakup kecakapan teknik (know

how), keterampilan, inovasi, konsep, pembelajaran dan praktik kebiasaan lainnya yang

membentuk gaya hidup masyarakat tradisional, seperti a. karya susastra ataupun narasi informatif; b. musik, yaitu vokal, instrumental atau kombinasinya; c. gerak, yaitu tarian, beladiri, dan permainan; d. teater, yaitu pertunjukan wayang dan sandiwara rakyat; e. seni rupa, baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi yang terbuat dari berbagai macam bahan seperti kulit, kayu, bambu, logam, batu, keramik, kertas, tekstil, atau kombinasinya; f. upacara adat yang juga mencakup pembuatan alat dan bahan serta penyajiannya.

Negara Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil, sekitar 714 suku bangsa, dan sekitar 110 bahasa daerah memungkinkan adanya lebih dari ribuan seni pertunjukan di daerah-daerah. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu kebijakan pemerintah yang bersifat memberdayakan dan melindungi dari segala bentuk kepunahannya. Kebutuhan atas adanya kebijakan sinergis antarkementerian yang melindungi keberadaan seni pertunjukan daerah disebabkan oleh beberapa pertimbangan, yaitu Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia luas dengan kreativitasnya; munculnya berbagai klaim dari negara asing secara komersial terhadap hak cipta atau hak EBT di Indonesia. Dengan adanya lembaga yang secara khusus dan fokus menangani HKI di daerah akan mempercepat pendaftaran hak cipta seniman dan ekspresi budaya tradisional.

Kehidupan seniman tradisional adalah cerminan dari pengabdian tiada putus bagi upaya pelestarian dan keberlanjutan seni pertunjukan tradisional. Daya hidup

Kitab Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual, 2011, Bandung: Fokusmedia, 4. Kitab Undang-Undang, 2011, 10.

1 2

kesenian tradisional berada di tangan para senimannya. Di samping itu, masyarakat ikut mendukung pertumbuhan daya hidup seniman. Sebagian seniman hidup layak dan berkelebihan, tetapi banyak pula seniman yang di usia senjanya hidup memprihatinkan. Pemerintah seharusnya menyikapi dengan arif sisa-sisa kehidupan seniman tradisional melalui kebijakan dan upaya beserta implementasinya secara strategis agar hasil karya mereka tidak hilang dan atau berpindah ke tangan yang tidak seharusnya memiliki.3

Penyelesaian persoalan tersebut diperlukan suatu rekayasa sistem perlindungan seni secara sinergis di semua pemangku kepentingan untuk melindungi hak kekayaan intelektual atas hak cipta seniman tradisional dan atas ekspresi budaya tradisional. Sistem rekayasa budaya tersebut diharapkan mampu melindungi seniman tradisional dan karya ciptanya dalam rangka memperkuat ketahanan budaya nasional. Namun perlu dipikirkan kembali mengenai hukum negara yang melindungi hak cipta individu dan hak atas EBT. Selain itu, juga perlu dipikirkan kembali mengenai kontribusi perlindungan KI atas hak cipta seniman tradisional dan EBT di era globalisasi dan juga kebijakan serta strategi hukum perlindungan KI yang dikelola antarkelembagaan, baik di pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah.

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan perancangan “cetak biru” KI atas hak cipta seniman tradisional dan hak EBT. Cetak biru dibuat untuk menunjukkan adanya suatu sistem rekayasa budaya yang sinergis antarkementerian. Cetak biru menunjukkan pula kehadiran pemerintah sebagai pelindung seniman dan kesenian tradisional.

Berbicara tentang perlindungan seniman dan kesenian tradisional saat ini berarti akan mengamati keberhasilan dan kegagalan program pelestarian dan pemberdayaan seni pertunjukan tradisional, seperti ketoprak, ludruk, dan wayang wong, yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan penggiatnya. Penampilan seni pertunjukan tradisional adalah wujud pembacaan seniman tradisional terhadap persoalan-persoalan masyarakat, yang kemudian dicipta kembali melalui elemen-elemen pertunjukan tradisional. KI atas hak cipta dan EBT perlu dilindungi oleh hukum karena adanya dua alasan. Pertama, alasan nonekonomis, bahwa perlindungan hukum akan memacu untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini akan meningkatkan self

actualization. Kedua, alasan ekonomis bahwa perlindungan terhadap karya tersebut akan

memberi keuntungan materiil dari karya-karya ciptaannya. Di lain pihak, hal tersebut akan melindungi karya-karya mereka dari peniruan, dan pembajakan.

Suanda, Endo. 2012. Tidak Semua Kesenian Bisa Diperjualbelikan. http://warisanindonesia.com/ wimedia/2012/05/endo-suanda.jpg.

3. Pokok-Pokok Persoalan yang Ditemukan

Pemberdayaan seniman tradisional belum mampu menjadi cara untuk melindungi hak kekayaan kreatif bangsa sehingga perlindungan terhadap karya seniman belum mampu mewujudkan ketahanan budaya nasional. Kondisi tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, kurangnya kepedulian dan sinergisme kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang berpihak pada pemberdayaan seniman tradisional. Kedua, lemahnya hukum perlindungan KI terhadap hak cipta seniman. Ketiga, lemahnya apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan tradisional yang mengandung keunggulan nilai-nilai tradisional.

Sejarah kehadiran seni pertunjukan ketoprak di DIY dan sekitarnya dapat mewakili sebuah pertunjukan tradisional mampu hidup dan berkembang bersama dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya maupun di masyarakat penggiat dan penggemarnya. Semula pertunjukan ketoprak merupakan hiburan rakyat yang diciptakan oleh masyarakat di kota Solo. Mereka menyiapkan panggung dan berlagak menjadi raja, pangeran, atau puteri, dan siapa pun yang mereka inginkan. Pada perkembangannya, hiburan tradisional tersebut juga diminati oleh para anggota kerajaan, Pada awal abad ke-19, ketoprak dipentaskan di pendapa Wreksodiningrat, pendapa milik seorang bangsawan Keraton Solo. Di setiap penampilannya, selalu ada pelawak yang membuat ketoprak terasa semakin hidup. Tahun 1924, muncul kelompok ketoprak Kelilingan Langen Budi Wanodya yang pentas di daerah Demangan, Yogyakarta. Oleh karena mudah ditiru, bermunculan grup ketoprak dan hampir setiap kampung memiliki grup ketoprak.

Handung Kussudyarsana, tokoh ketoprak, berhasil mengamati perkembangan

perlindungan seniman dan kesenian tradisional di Yogyakarta sebagai berikut.4

a. Tahun 1887 sampai dengan tahun 1925 periode Ketoprak Lesung. Bentuk ketoprak Lesung menggunakan tetabuhan pokok yang disebut lesung, yaitu alat menumbuk padi yang terbuat dari kayu nangka atau jati. Alat-alat bunyi kemudian ditambah dengan potongan-potongan bambu kecil yang disebut kotekan. Mereka berdendang dengan iringan bunyi lesung yang dipukuli. Permainan ini disebut gejog.

b. Tahun 1925 sampai dengan tahun 1927 periode Ketoprak Peralihan. Pada periode ini, ketoprak menggunakan alat musik campuran, yaitu lesung ditambah dengan kendang, rebana, dan biola.

c. Tahun 1927 sampai dengan tahun 1945 periode Ketoprak Gamelan. Pada periode ini, ketoprak sudah tidak menggunakan instrumen-instrumen campur seperti pada Ketoprak Peralihan, tetapi sudah menggunakan gamelan nada slendro dan pelog, dan keprak.

d. Tahun 1937 sampai dengan tahun 1948 periode Ketoprak Keliling. Ketoprak keliling ini dinamakan ketoprak ongkek atau ketoprak ketan,. Ketoprak ini berpentas keliling ke kampung-kampung dan desa-desa.

e. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1964 periode Ketoprak Pembaruan I. Ketoprak ini diawali oleh Ketoprak Mataram Krido Raharjo. Soemardjono sebagai pembina

Handung Kussudyarsana. Tradisional, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989, 15–18. 4

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 197-200)