• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Teks dan Konteks bagi Kreativitas Pertunjukan Teater

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 63-68)

DRAMATURGI DAN PERANNYA

ANALISIS TEKSTUAL PERTUNJUKAN

4. Teori Teks dan Konteks bagi Kreativitas Pertunjukan Teater

Teks memiliki fungsi sebagai berikut. Pertama, memaknai kegiatan pasang surut peran pengarang sebagai suatu pusat, pembatas, dan penentu kebenaran terhadap suara dan makna; kedua, memaknai kegiatan pasang surut tampilan fenomena kesastraan yang

Keir Elam, The Semiotics of Theatre and Drama (London and New York: Routledge, 1980), 1-2. Periksa pula makna semiotik sebagai sistem tanda dan sistem komunikasi dalam Aart van Zoest, “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Serba-Serbi Semiotika, penyunting Panuti Sudjiman dan Aart van Zoest (Jakarta: Gramedia, Pustaka Utama, 1996), 5-6.

de Marinis, The Semiotics of Performance, 1993, 13.

Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 98. Periksa pula Patrice Pavis, Languages of The Stages. Essays in the Semiology of the Theatre (New York: Performing Arts Journal Publications, 1982), 30-31.

18

19 20

berbentuk rajutan kata-kata yang diatur agar menghasilkan makna; ketiga, memaknai kegiatan pasang surut pembacaan dan penulisan makna yang menghilangkan tanda;

keempat, memaknai kegiatan pasang surut aktualisasi kembali praktik sosial yang terlibat

di dalamnya; kelima, memaknai kegiatan pasang surut penyebaran kembali bahasa sebagai cara berkomunikasi yang terkait dengan ucapan yang berbeda.21

Fungsi teks yang mengalami pasang surut tersebut menyebabkan teks tidak lagi merupakan suatu praktik penandaan, tetapi praktik produksi makna, yaitu mempertemukan produser dengan pembacanya. Setelah teks dianggap sebagai produksi atau proses memaknai, praktik penandaan tidak lagi menjadi konsep yang memadai. Teks menjadi ruang polisemik yang berarti satu kata dengan memberi berbagai kemungkinan makna sehingga praktik membaca teks menggantikan praktik menandai teks. Pembacaan menyebabkan teks menjadi suatu produksi makna yang berkelanjutan sehingga subjeknya tetap harus berjuang. Subjek bergeser dengan tidak menjadikan pengarang sebagai subjek, tetapi pembaca. Oleh karena itu, teks tidak hanya mengembangkan luasnya kebebasan memaknai tetapi menuntut juga kesamaan jumlah produksi “membaca dan menulis”. Berbagai makna yang diakibatkan oleh tindak kebebasan pembacaan tersebut menyebabkan teks berkarakter plural.22

Pada saat teks teater berkarakter plural, kehadirannya tergantung pada cara pembaca membacanya. Agar pembacaan berfungsi, maka pertunjukan teks didudukkan sebagai sebuah teks. Teks menggambarkan wujud konkret peristiwa yang memiliki kesinam- bungan dan kerjasama antara estetika, seni rupa, sastra, skenografi, dan teks pertunjukan.23 Kerja analisis tekstual teater menyosialisasikan persepsi, inteleksi, tanda, tata bahasa, dan bahkan ilmu. Analisis pertunjukan teater yang dilakukan secara tekstual berkarakter paradoks. Artinya, terjadi pemaknaan interwacana dari persinggungan beragam peristiwa atau kegiatan yang mengakibatkan teater menjadi teks yang berkembang luas. Perluasan persinggungan menyebabkan teks menyerap konteks dan kemudian membentuk makna. Penyerapan dan pemaknaan konteks mengakibatkan teks teater menjadi baru. Menyerap konteks merupakan suatu praktik pembacaan dengan mengembara dan menggandakan makna terus menerus. Roland Barthes menyebut penyerapan konteks sebagai suatu kerja “buka batas” wilayah analisis. Teks teater menjadi paradigma suatu “bahasa” yang ditempatkan dalam suatu perspektif “bahasa-bahasa”.24 Dalam hal ini, akan terjadi per-temuan antara subjek (pembaca) dengan bahasa-bahasa. Dalam hal ini, fungsi teks teater adalah menguatkan pertemuan tersebut sehingga menghasilkan pengertian yang baru.

Praktik tekstual mempersiapkan dobrakan pada teks yang mengakibatkan suatu diskursus yang baru hadir, yaitu suatu bahasa underground yang memproduksi pengetahuan yang selama ini tidak disuarakan dan dipikirkan.25 Pengetahuan ini memunculkan teori

Roland Barthes, “Theory of the Text”, dalam Robert Young, ed. Unitying the Text. A Post Structuralist

Reader (London and New York: Routledge, 1981), 31—34.

Barthes, “Theory of the Text”, 1981, 42.

de Marinis, The Semiotics of Performance, 1993, 191. Periksa pula Barthes, Theory of the Text”, 1981, 45.

Barthes, “Theory of the Text”, 1981, 39. Barthes, “Theory of the Text”, 1981, 135.

21 22 23 24 25

teater secara diskursif dan a priori sebagai cara teks teater menyebar dan memantapkan pengaruhnya. Pada tahapan ini, teks diatur dan dihidupkan kembali secara plural. Artinya, bahwa makna teks belum menjadi hal yang tergesa untuk ditemukan, tetapi justru makna dilupakan. Proses ini mengungkapkan kepergian makna, dan bukan kehadirannya. Hal yang ditemukan dalam teks teater bukan struktur teks yang internal dan tertutup, tetapi “jalan keluar” bagi teater untuk menemukan teks lain yang kelak menyebabkan teks teater menjadi teater intertekstual.

Teori intertekstual mempunyai prinsip dasar bahwa setiap teks merupakan suatu produksi atau produktivitas permutasian teks-teks lain. Pembacaan intertekstual memiliki metode pemaknaan yang bekerja dengan cara menggabungkan dua wilayah yang selama ini dianggap bertentangan, yaitu wilayah struktur dan wilayah kolaborasi yang tidak terbatas. Melalui pembacaan intertekstual ditemukan langkah konsiliasi dan postulasi (tarik menarik) dari teks yang menunjukkan bahwa ternyata bahasa sebagai implementasi teks tidak memiliki keterbatasan dan tidak memiliki struktur makna yang mapan. Sebenarnya, makna yang ditemukan tidak seluruhnya menghilang, tetapi hanya dibatasi dan belum dirumuskan dengan jelas. Makna hanya berbentuk asumsi atau tanda yang belum beroleh wujud yang mapan Untuk itu, makna dipertemukan dengan didekatkan kepada teks lain.

Sebuah teks mendistribusikan bahasa. Setiap teks adalah suatu interteks.26 Teks yang lain hadir di dalamnya melalui beragam tingkatan dengan bentuk yang kurang dikenal, seperti teks dari budaya yang ada sebelumnya dan teks yang ada di sekitarnya. Teks dibaca dan terus dibaca dengan latar belakang teks lain, karena tidak ada sebuah teks pun yang mandiri. Penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks lain sebagai contoh, teladan, dan kerangka. Teks yang menjadi latar penciptaan karya baru disebut hypogram, dan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan hypogram disebut teks tranformasi.27 Setiap teks teater merupakan suatu jaringan baru yang berasal dari kutipan masa lalu. Julia Kristeva menganggap praktik kutipan dan penyebaran bahasa beserta ucapannya sebagai wujud translinguistik.28 Wujud tersebut tidak menyebabkan suatu teks teater otomatis menjadi sumber, sedangkan kehadiran teks teater baru tidak juga karena adanya pengaruh.29 Keduanya hadir secara interteks dalam suatu wilayah yang murni yang muncul secara otomatis tanpa dapat dipertanyakan penyebabnya dan ternyata juga keduanya dapat dipersandingkan. Teks-teks teater tersebut kemudian memproduksi jaringan atau rajutan baru. Prinsip praktik tekstual teater menunjukkan gambaran bahwa teks teater adalah sesuatu yang terajut. Teori teks teater menjadi suatu pembacaan terhadap rajutan dalam teksturnya, dalam rajutan kode, tanda, formula penciptaan, dan pembacaan. Hal itu dapat digambarkan seperti halnya laba-laba yang menenggelamkan dirinya sendiri dalam jaring yang dibuatnya. Teori teks teater dianggap

Barthes, “Theory of the Text”, 1981, 40.

Michael Riffaterre, Semiotics of Poetry (Bloomington and London: Indiana University Press, 1978), 11, 23.

Barthes, ”Theory of the Text”, 1981, 32-33. de Marinis, The Semiotics of Performance 1993, 131.

26 27 28 29

sebagai hipologi. Hypos adalah rajutan, tenunan, jaringan. Barthes menyebut teori teks adalah teori jaringan.30

Proses kerja intertekstual Kristeva tersebut menempatkan jaringan teks Barthes selaras dengan gagasan analisis tekstual pertunjukan de Marinis. Teori jaringan menjadi suatu metode yang digunakan untuk memaknai pertunjukan teater sebagai suatu objek pembacaan dengan menentukan elemen-elemen pertunjukan teatrikal. Teater memiliki elemen-elemen panggung bagi pemindahan suatu budaya sumber kepada budaya target, yaitu melalui konteks. Intertekstualitas di dalam pertunjukan teater merupakan praktik pembacaan teatrikal. Pavis menyatakan bahwa panggug memiliki peralatan transmisi yang tidak dimiliki media lain untuk berkomunikasi. Peralatan transmisi tersebut adalah elemen-elemen pertunjukan teatrikal yang terdiri dari aksi para pelaku, penulisan naskah drama, penyutradaraan, penataan artistik dan audio visual, pengelolaan produksi, dan penataan ruang riil dan ruang imajiner panggung pertunjukan.31

De Marinis menyebut tipe-tipe intertekstualitas teater sebagai intertekstual berlapis atau dimensi berlapis.32 Tipe-tipe intertekstualitas teater tersebut sebagai berikut. Lapisan

pertama, adanya kesamaan dan pengaruh yang tidak disengaja antara teks yang muncul

karena latar budaya-budaya yang sama. Misalnya, tingkah laku keseharian segolongan masyarakat yang sama dengan tingkah laku segolongan masyarakat tertentu yang berbeda meskipun dari latar budaya yang sama. Juga muncul perbedaan tingkah laku beberapa golongan masyarakat yang memiliki perbedaan budaya pula. Perbedaan struktur sosial ekonomi menyebabkan perbedaan cara berhubungan satu dengan lainnya.

Lapisan kedua, acuan yang disengaja, baik yang tampak maupun tersembunyi, oleh

teks-penciptaan penulisnya dengan teks lainnya yang berbentuk, baik kontemporer maupun tidak, baik dari genre yang sama maupun tidak, baik dari budaya tradisi yang sama maupun tidak. Pierre Francastel, seorang antropolog struktural, menyebut teks acuan tersebut suatu montase objek-objek budaya yang mendekatkan antara praktik artistik dengan kehidupan budaya, sosial, dan politik dalam ruang dan waktu tertentu. Fenomena ini seringkali diletakkan dalam kategori “kutipan estetis”.

Lapisan ketiga, di dalam kutipan dan acuan, baik disengaja maupun tidak disengaja,

kutipan estetis (teks estetis dan teks nonestetis) yang bervariasi pun ditemukan di dalamnya. Beberapa contoh di antaranya bentuk-bentuk scenery, kostum, rias, ilustrasi musik, gesture, lukisan, teks sastra, patung, atau karya arsitektur. Lapisan keempat merupakan ekspresi subjek yang tampil berlapis-lapis, yaitu lapisan penulisan drama, sutradara, pelaku, perancang artistik, perancang busana, dan pemusik. Batas lapisan intertekstual cenderung berpindah di antara elemen-elemen subjek tersebut, tergantung pada genre, periode, atau tradisi tekstualnya. Hal ini dapat dilihat, seperti pernah di masa lalu, seorang pimpinan produksi berlaku pula sebagai sutradara, seorang penulis

Barthes, “Theory of the Text”, 1981, 38.

Pavis, 1992, 200.Pavis menjelaskan tentang representasi budaya melalui teater menurut pendapat Barba, Brook, dan Schechner. Periksa juga Andrew Todd and Jean-Guy Lecat, The Open Circle (London: Faber and Faber Limited, 2003), 128-129.

de Marinis, The Semiotics of Performance ,1993, 131-135.

30 31

menjadi pelaku. Kemunculan teater sutradara meletakkan kekuasaan tidak lagi di tangan penulis drama tetapi di tangan sutradara. Demikian juga kehadiran suatu gaya teater menunjukkan adanya ruang dan waktu kesejarahan yang ditampilkan kembali.

Lapisan kelima merupakan acuan atau kutipan gaya penyutradaraan atau pemeranan

yang menunjukkan self-quotations. Kemudian sutradara mengambil kembali salah satu elemen produksi yang diciptakannya sebelumnya. Kemudian elemen tersebut ditampilkan kembali bersama dengan beberapa elemen panggung lainnya. Pemeran atau pelaku menampilkan kembali salah satu seni lakunya yang terbaik. Fenomena self-quotations berkembang melalui penulisan naskah drama, penyutradaraan, dan pemeranan atau laku.

Lapisan keenam adalah rangkaian ungkapan yang terdapat dalam teks kutipan

tidak pernah identik dengan teks sumbernya. Penyebabnya adalah teks pertunjukan tidak pernah terulang. Adanya konteks baru mengubah fungsi teks dan juga maknanya, serta memperkayanya dengan tujuan-tujuan yang baru, baik yang terucap maupun tidak. Sebuah kutipan di dalam rangkaian ungkapan yang kemudian menjadi sebuah pernyataan, juga merupakan suatu tindakan yang tidak terulang meskipun di dalam wujud yang sama. Oleh karena itu, tidak ada tampilan pernyataan tanpa ungkapan dari dua teks atau lebih. Jika pernyataan keduanya identik, ungkapannya tetap berbeda.

Lapisan ketujuh, tidak produktif dan kemampuan reseptif. Terdapat acuan yang

secara nyata menyebabkan penonton tidak dapat memahami karena adanya jarak pengetahuan ensiklopedik yang dimiliki antara pengirim dan penerima. Sebaliknya, penonton menemukan pertunjukan yang tidak tampak—atau setidaknya tidak disadari—, yaitu kutipan yang secara sadar ia percayai. Hal ini sebenarnya perbedaan antara kutipan yang ditransmisikan dan kutipan yang langsung diterima. Secara teoretis, hal tersebut melegitimasi konsep “intertekstual tidak disadari”. Dalam proses tersebut terjadi suatu produktivitas, suatu konstruksi dan bukan sekedar suatu konfirmasi.

Lapisan kedelapan, persoalan antara intertekstual sinkronik dijelaskan melalui

pemahaman konsep“teks sinkronik” dan “budaya sinkronik”. Teks sinkronik tidak berlaku pada apa saja yang secara kronologis milik zaman yang sama, tetapi lebih pada segala sesuatu yang disepakati oleh budaya keseharian, yaitu semua hal yang diberikan oleh budaya yang ada untuk status sebuah teks. Sesuatu ditampilkan oleh teks keseharian di dalam budaya keseharian. Namun demikian, tidak semua pesan yang terkait dengan ruang budaya keseharian dianggap sebagai teks dari sudut pandang budaya tersebut. Budaya sinkronik dikenali sebagai teks berkat kehadirannya sebagai milik zaman sebelumnya atau budaya lain. Berbagai budaya berada di dalamnya sehingga budaya sinkronik menjadi suatu fenomena “budaya multilingualisme” atau “multibudaya.”

Lapisan kesembilan, berbagai lapisan membutuhkan konsep budaya sinkronik yang

lebih luas, yang juga mengembangkan hubungan antara konsep ini dengan “kolektif memori nongenetik.” Selain kehadirannya sebagai alat penghasil teks, budaya sinkronik juga dipahami sebagai suatu alat tertentu bagi pelestari dan pengembang informasi. Di-namisme budaya, secara teoretis, membimbing konsentrasi pengalaman masa lalu dan muncul teks baru, baik melalui sebuah rancangan maupun arahan penciptaan. Asimilasi teks-teks budaya lain menghadirkan fenomena multikulturalisme, yaitu menghadirkan kemungkinan-kemungkinan dan mengadopsi gerakan konvensi gaya budaya lain.

Budaya multilingualisme dan multikulturalisme dalam kreativitas berteater memperluas wilayah kerja intertekstual teater dan proses kontekstualisasinya dalam rangka mendekatkan teks-teks dari masa yang lain atau wilayah yang berbeda dari teks yang telah dianalisis. Pada kajian ini, Franco Ruffini memberi batasan tentang kontekstualisasi, yaitu teks acuan “dikelilingi” oleh teks-teks lain, diintegrasikan pada teks budaya yang memiliki jarak yang terdekat dan terpilih. Teks-teks tersebut memiliki wilayah sumber yang berbeda, dasar yang berbeda dengan landasan target masa kini, atau hasil dari “penemuan kembali” yang berasal dari kerja “kembali ke sumber”. Jalur kontekstualisasi dapat berangkat dari penyeleksian daya gabung, dasar hubungan yang sudah terbukti, dan dari acuan eksplisit kepada teks acuan.33

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 63-68)