• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Mise en Scène bagi Perancangan Panggung Teater

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 72-76)

DRAMATURGI DAN PERANNYA

ANALISIS TEKSTUAL PERTUNJUKAN

6. Teori Mise en Scène bagi Perancangan Panggung Teater

Patrice Pavis mengungkapkan bahwa analisis tekstual panggung teater (teatrikal) secara teoretis mampu melekatkan teori pada praktik. Panggung teatrikal (theaterarbeit) — yang merupakan istilah Bertold Brecht, penulis dan sutradara Jerman— mengungkapkan jalinan antara refleksi praktik dan aktivitas teori. Dalam rangka mengikuti perkembangan panggung teatrikal ini diperlukan suatu model dialektika antara produksi dan resepsi panggung teatrikal yang melangkah jauh melebihi skema klasik tentang komunikasi dan resepsi. Teori panggung teatrikal memungkinkan hadirnya sebuah teori situasi resepsi yang berhubungan dengan konteks sosial dan evaluasi terus menerus dari penanda dan yang ditandai akibat perubahan yang juga terjadi terus menerus dalam konteks sosialnya.

de Marinis, 1993, 164. Periksa pula pendapat Wimsatt dan Breadley tentang intentional fallacy dalam Fowler, ed., 1973, 53.

Iser, The Art of Reading. A Theory of Aesthetic Response, 1980, 107. Periksa pula Iser, The Implied

Reader, 1974, 274-275.

Iser, The Implied Reader. 1974, 279

Istilah ‘ruang kosong’ (blank) dipakai oleh Iser, The Art of Reading. 1980, 182-183. de Marinis, The Semiotcs of Performance, 1993, 163-164.

44 45 46 47 48

Analisis dramaturgi klasik yang berusaha memberi tanda pada naskah drama dan menghadirkannya di atas panggung pertunjukan diubah menjadi praktik pemaknaan teatrikal yang memberi ruang bagi teks drama menjadi teks pertunjukan. Hal tersebut mengembangkan serangkaian penemuan baru yang bertentangan, saling tumpang tindih, dan menjauh satu sama lain, serta meniadakan pusat produksi secara menyeluruh. Terjadilah pluralitas penanggapan yang dikukuhkan melalui peningkatan wacana panggung, yaitu aktor, musik, irama menyeluruh dalam penampilan sistem tanda, serta menghilangkan hierarki di antara sistem pertunjukan yang selalu berubah dan selalu baru. Oleh karena itu, status teks drama secara radikal benar-benar diubah, tidak hanya menyebabkan perlengkapan panggung merepresentasikan naskah dan juga bukan sekadar mengonstruksi panggung untuk menyampaikan ideologi. Status teks drama menjadikan panggung sebagai obscure object of desire, yakni panggung yang hadir berkat keberagaman sudut pandang yang tidak terbatas dan tidak terkait satu dengan yang lain dan akan disesuaikan dengan cita rasa penikmatnya.

Selanjutnya, muncul teori yang disebut Pavis dengan teori mise en scène atau penataan adegan, pengadeganan. Mise en scène didefinisikan sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton.49 Mise en scène merupakan suatu struktur artistik yang unik dan memiliki perbedaan-perbedaan, yaitu suatu objek teoretis atau objek pengetahuan di panggung yang mengganti kehadiran seorang sutradara dan seniman pencipta lainnya. Analisis mise

en scène berarti membedakan teks drama dan teks pertunjukan. Teks drama merupakan

naskah verbal yang dibaca dan didengar dalam pertunjukan. Teks ini merupakan teks yang ditulis sebelum pengarang drama pertunjukan hadir; dan bukan teks yang ditulis dan hadir sesudah pelatihan improvisasi atau pertunjukan. Teks pertunjukan merupakan segala hal yang dicipta secara audio visual di atas panggung, tetapi belum dianggap sebagai suatu sistem makna, atau belum disebut sebagai suatu wilayah keterhubungan sistem penandaan pertunjukan sebelum mendapat tanggapan dari penonton.

Sebagai suatu sistem, kehadiran mise en scène dikarenakan oleh penerimaan dan rekonstruksi makna oleh penonton berkat proses penanggapannya. Pembacaan mise en

scène merupakan cara menginterpretasi sistem struktur yang diproduksi oleh artistik

pertunjukan teatrikal. Tujuannya bukan untuk melakukan rekonstruksi kehendak seniman, tetapi membantu penonton memahami sistem artistik yang diproduksi oleh seniman pencipta. Dengan demikian, Pavis mengatakan bahwa teori mise en scène— setelah ditanggapi—menunjukkan cara-cara penciptaan makna pertunjukan teatrikal dengan membayangkan suatu peradaban, yaitu suatu wujud keterhubungan antarmakna yang terjadi pada saat berbagai sistem tanda saling terkait. Namun demikian, pada saat akan menanggapi mise en scène, penanggap sering terjebak dalam analisis peran dan fungsinya secara normatif, terutama ketika sedang membangun makna. Oleh sebab itu, Pavis memberikan tujuh formula cara membaca mise en scène.50

Pavis, Theatre at The Crossroads of, 1992, 24. Pavis, Theatre at The Crossroads of, 1992, 26.

49 50

Formula pertama, mise en scène bukan merupakan pengulangan dari teks drama karena bukan merupakan suatu pertunjukan dari elemen-elemen dramatik teks drama.

Mise en scène menampilkan teks sebagai aktualisasi konkretisasi teatrikal tentang suatu

ungkapan yang sebenarnya.

Formula kedua, mise en scène tidak perlu “mengabdi” kepada teks drama. Teks drama klasik tidak harus memiliki kesamaan kovensi dengan pertunjukannya di masa kini karena telah memiliki wujud dan makna berdasarkan estetika dan prinsip-prinsip ideologinya. Hal yang aneh terlihat jika mise en scène masa kini menampilkan kembali

mise en scène yang dimiliki teks drama klasik Apabila hal itu yang terjadi, mise en scène

hanya menjadi alat tiruan atau pengulangan.

Formula ketiga, sebaliknya, mise en scène tidak harus “meleburkan” teks drama ke dalam pertunjukan. Teks drama tetap harus menjadi teks verbal meskipun telah dipanggungkan. Penonton tetap tidak akan sempat untuk membayangkan jarak waktu antara teks dan pertunjukan, meskipun keduanya tampil secara bersamaan. Dalam hal ini,

mise en scène tetap menjaga karakter pembedanya. Perbedaan tersebut akan menghadirkan

interpretasi terus menerus dari penanggapnya yang kemudian menghadirkan teatrikalitas yang berbeda, seperti pertunjukan Mahabharata yang dihasilkan Peter Brook. Ia menampilkan mise en scène teks pertunjukan Mahabharata, yang berasal dari budaya India, dengan mise en scène yang bukan murni budaya India.

Formula keempat, mise en scène yang berbeda-beda dari teks drama yang sama dalam waktu sejarah yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan proses membaca teks drama. Teks lama tidak berubah, tetapi semangat membaca tentu mengalami perubahan. Menurut Roman Ingarden dan Felix Vodička, teks dipahami sebagai hasil dari suatu proses konkretisasi. Menurut Jan Mukařovský, seperti yang dikutip Pavis, konkretisasi adalah totalitas konteks dari berbagai fenomena, seperti sosial, ilmu, filsafat, agama, politik, dan ekonomi, dari lingkungan saat peristiwa itu terjadi dengan cara yang berbeda-beda. Oleh karena itu, konkretisasi teks drama akan mengalami kemungkinan modifikasi untuk direkonstruksi.

Formula kelima, mise en scène bukan representasi referensi teks-teks di atas panggung pertunjukan. Lebih jauh lagi, referensi teks tidak dapat ditangkap jelas. Hal itu dikarenakan oleh teks pertunjukan merupakan simulasi atau ilusi yang ditampilkan melalui

tanda-Pertunjukan teater Mahabharata ditampilkan di Festival Avignon tahun 1985 di udara terbuka. Sutradara Peter Brook. Dikutip dari Andrew Todd and Jean-Guy Lecat, The Open Circle. Peter Brook’s

tanda yang secara konvensi disampaikan melalui simbol-simbol. Semua teks drama pasti memiliki ruang-ruang kosong dan membutuhkan mise en scène untuk menampilkannya di atas panggung pertunjukan. Daripada mencoba menemukan ruang-ruang kosong tersebut, Pavis menyarankan untuk lebih baik mencoba memahami proses kepastian (determinasi) dan ketidakpastian (indeterminasi) yang ditampilkan oleh teks drama dan pertunjukannya; mise en scène mampu mempertebal fungsi pengosongan atau pengisian kembali ruang kosong tersebut.

Formula keenam, mise en scène bukan campuran antara referensi teks drama dan referensi pertunjukan. Mise en scène merupakan teori fiksi yang diciptakan dan diperuntukkan bagi penonton. Fiksi dapat dipandang sebagai “istilah abu-abu”, sebagai suatu mediasi antara hal yang dinarasikan teks drama dan hal yang ditampilkan kembali dalam teks pertunjukan. Mediasi dianggap sebagai hasil representasi visual fiksi oleh penggarapnya dan kemudian ditampilkan di atas panggung pertunjukannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa memang ada keterkaitan antara teks drama dan pertunjukannya, tetapi keduanya bukan suatu terjemahan atau reduplikasi teks drama ke panggung. Keduanya merupakan suatu pemindaian dan penabrakan dunia fiksi yang dikonkretisasi oleh teks panggung. Kedua dunia fiksi inilah yang selalu menjadi wilayah tanggapan, baik dari seniman maupun penanggap.

Formula ketujuh, mise en scène bukanlah suatu realisasi performatif dari teks drama meskipun dalam teks drama tersebut terdapat juga arahan yang dapat menggiring seniman ke arah pembentukan mise en scène panggung. Sutradara atau penonton tidak perlu mengikuti cara arahan tersebut. Sutradara bebas memilih untuk mempergunakan cara arahan dalam teks drama atau tidak. Berdasarkan teori mise en scène, jika sutradara mengikuti arahan mise en scène teks sebagai arahan yang absolut, sebenarnya hal yang tidak tepat terjadi. Arahan tersebut seharusnya menjadi diskursus kemungkinan-kemungkinan kreativitasnya.

Ketujuh formula Pavis tersebut diperlukan untuk: pertama, menunjukkan perlunya teori mise en scène untuk membuat hipotesis bahwa mise en scène memantapkan jaringan antara teks drama dan teks pertunjukannya. Kedua, dengan menggunakan teori mise

en scène dimungkinkan pertunjukan teatrikal sebagai penampilan tanda-tanda tekstual

yang logis dan kronologis teramati. Artinya, penampilan mise en scène tidak lagi menjadi suatu wujud transformasi, tetapi menjadi wujud uji coba teoretis yang mendudukkan penulisan teks drama dan penciptaan teks pertunjukannya setara. Ketiga, teori mise en

scène juga dapat digunakan untuk menguji cara-cara panggung dan elemen pertunjukan

dalam memberi ruang hadir atas beragam interpretasi terhadap teks drama. Keempat, oleh karena itu, penggunaan mise en scène menyebabkan usaha interpretasi suatu pertunjukan teatrikal dapat menghasilkan mekanisme resepsi pertunjukan.

Masuknya teori mise en scène Pavis ke dalam penanggapan peristiwa teater mempengaruhi praktik penanggapan penonton dengan memisahkan produksi pertunjukan teatrikal dari aktivitas penanggapannya. Misalnya dalam karya-karya teatrikal semacam teater eksperimental, teater rakyat, teater multikultur, teater kolaborasi, happening, dan performance art, teori dan proses produksi pertunjukan yang dimaknai melalui penanggapan mise en scène memberi kemungkinan untuk diperbarui.

Dalam dokumen Kreativitas Seni dan Kebangsaan (Halaman 72-76)