• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan penelitian keperawatan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengalaman ibu yang memiliki anak autis.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Autisme

2.1.1 Pengertian Autisme

Autis merupakan gangguan yang terjadi pada masa anak-anak, ditandai dengan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan tingkah laku yang terbatas dan berulang. Gejala autis timbul sebelum anak berusia 3 tahun, meskipun dalam beberapa kasus, tidak diakui sampai anak jauh lebih tua. Gangguan autis terjadi empat sampai lima kali lebih sering pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Anak perempuan dengan gangguan autis lebih cenderung memiliki keterbelakangan mental lebih parah (Sadock & Sadock, 2007).

Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui pengalamannya. Anak-anak dengan gangguan autistik biasanya kurang dapat merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak dengan orang. Orang dianggap sebagai benda yang tidak dapat diajak berkomunikasi dan berinteraksi (Hasdianah, 2013)

Autis adalah suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007).

2.1.2 Penyebab Autisme

Penyebab autis belum diketahui, tetapi kemungkinan penyebab autis lebih dari satu. Ada beberapa teori yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya autis (Sadock & Sadock, 2007):

2.1.2.1 Faktor biologi

Terdapat bukti kuat yang menunjukkan gangguan autis merupakan gangguan perkembangan otak yang berhubungan dengan abnormalitas struktur dan fungsi otak. Faktor ini dikarakteistikkan seperti penurunan jumlah sel purkinje pada bagian posterior inferior belahan otak, kecacatan pada dendrit dan perkembangan saraf di sistem limbik, hipoplasia pada lobulus otak ke VI, VII, dan ukuran struktur batang otak, vermis otak, serta komponennya signifikan lebih kecil pada penderita autis dibandingkan dengan grup kontrol (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.2.2 Faktor genetik

Beberapa hasil survei didapatkan 2-4% saudara kandung penderita autis juga mengalami autis. Para peneliti menampilkan DNA saudara kandung autis lebih dari 150 pasang, mereka mendapatkan bukti kuat mengenai bahwa kromosom 2 dan 7 mengandung gen yang terlibat dengan autis. Selain itu, ditemukan juga penyimpangan pada lengan panjang kromosom 15 dan kromosom sex. Lebih kurang 1% penderita autis juga mengalami fragile X syndrome, gangguan genetik pada lengan panjang kromosom X. Gangguan ini lebih rentan pada laki-laki sebab mereka hanya memiliki satu kromosom X dan sebesar 30-

50% fragile X syndrome berhubungan dengan gangguan mental (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.2.3 Faktor imunologi

Beberapa laporan menunjukkan bahwa ketidaksesuaian immunologi dapat berkontribusi pada gangguan autis. Limfosit anak-anak autis bereaksi dengan antibodi ibu dapat menyebabkan saraf embrio, extraembrio, dan jaringan mengalami kerusakan selama kehamilan (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.2.4 Faktor neuroanatomi

Anak-anak gangguan autis dilahirkan dengan ukuran otak yang normal. Akan tetapi, ukuran otak signifikan bertambah besar ketika berumur 2-4 tahun. Studi MRI yang membandingkan anak autis dengan anak normal sebagai kontrol menunjukkan 9 bahwa volume otak anak autis lebih besar, meskipun pada umumnya penderita autis yang mengalami retardasi mental yang berat memiliki ukuran kepala yang lebih kecil. Rata-rata kenaikan ukuran terjadi pada lobus occipital, lobus parietal, dan lobus temporal dan tidak terdapat perbedaan pada lobus frontal. Pembesaran spesifik pada hal ini tidak diketahui. Peningkatan volume dapat muncul mungkin dari 3 mekanisme yang berbeda, yaitu peningkatan neurogenesis, penurunan kematian neuronal, dan peningkatan produksi jaringan otak nonneural, seperti sel glial ataupun pembuluh darah. Lobus temporal dipercaya merupakan daerah yang penting terhadap abnormalitas pada penderita autis, hal ini didasarkan pada laporan yang menunjukkan beberapa orang penderita autis mengalami kerusakan pada lobus temporal. Pada hewan- hewan bila terjadi kerusakan bagian temporal akan mengalami kehilangan

perilaku sosial yang normal, kegelisahan, tingkah yang berulang – ulang, dan keterbatasan tingkah laku (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.2.5 Faktor Biokemikal

Beberapa studi melaporkan individu autis tanpa retardasi mental memiliki insidensi hiperserotonemia yang tinggi. Pada beberapa anak gangguan autis juga terdapat konsentrasi tinggi asam homovanillik (metabolisme utama dopamin) di cairan otak (CSF) yang berhubungan dengan tingkah laku meniru- niru dan menarik diri (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.2.6Faktor prenatal

Infeksi virus pada intrauterin dan gangguan metabolisme memiliki peranan penting dalam patogenesis gangguan autis. Intrauterin yang terpapar obat teratogenik, thalidomide, dan valproate implikasi menyebabkan gangguan autis (Sadock & Sadock, 2007).

2.1.3 Kriteria Diagnostik Autisme

Adapun kriteria anak dikatakan autis, yang didefinisikan oleh The DSM – V (Diagnostic and Atatistical Manual of Mental Disorder), edisike-5 dikembangkan oleh American Psychiatric Association adalah terdapat 6 gejala dari gangguan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru dengan minimal 2 gejala dari gangguan interaksi sosial dan masing-masing 1 gejala dari gangguan komunikasi, dan pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru.

Gangguan dari interaksi sosial yaitu: 1) gangguan pada perilaku nonverbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak isyarat yang biasanya

mengatur interaksi awal, 2) tidak mampu mengembangkan hubungan dengan teman sebayanya yang sesuai dengan tingkat perkembangannya, 3) kurangnya spontanitas membagi kebahagiaan, minat, ataupun hasil yang dicapai dengan orang lain, dan 4) kurangnya hubungan sosial dan emosional timbal balik.

Gangguan komunikasi seperti: 1) keterlambatan pada perkembangan bahasa verbal, 2) bila perkembangan bahasa adekuat, kurangnya kemampuan untuk memulai dan mempertahankan percakapan dengan orang lain, 3) penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan meniru-niru, dan 4) kemampuan bermain kurang variatif, kurang spontan.

Pola perilaku yang terbatas, berulang, dan meniru seperti: 1) menunjukkan minat yang terbatas, 2) terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada fungsinya, 3) menunjukkan gerakan-gerakan stereotip (misalnya menjentikkan jari-jari, membenturkan kepala, berayun ke depan dan belakang, berputar dan 4) seringkali terpukau pada bagian-bagian benda.

Terjadi keterlambatan/fungsi abnormal paling sedikit satu dari hal-hal berikut ini: interaksi sosial, kemampuan berbicara/ berbahasa, bermain imajinatif ataupun simbolik sebelum umur 3 tahun.

2.1.4 Penanganan Autisme

Berbagai jenis terapi yang dilakukan untuk anak autis, antara lain: 2.1.4.1 Terapi Obat (medikamentosa)

Terapi ini dilakukan dengan obat-obatan yang bertujuan untuk memperbaiki komunikasi, memperbaiki respon terhadap lingkungan, dan menghilangkan perilaku-perilaku aneh yang dilakukan secara berulang-ulang.

Pemberian obat pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, pemakaian obat yang tepat, pemantauan ketat terhadap efek samping obat dan mengenali cara kerja obat. perlu diingat bahwa setiap anak memiliki ketahanan yang berbeda-beda terhadap efek obat, dosis obat dan efek samping. Oleh karena itu perlu ada kehatihatian dari orang tua dalam pemberian obat yang umumnya berlangsung jangka panjang (Danuatmaja, 2003).

2.1.4.2 Terapi Pekerjaan

Bagi individu autis, terapi pekerjaan (OT: occupational therapy) dilakukan untuk meningkatkan keterampilan dalam hidup sehari-hari seperti pelatihan menggunakan toilet, megenakan pakaian dan memfokuskan gerak tubuh untuk semua kegiatan sehari-hari contohnya memperbaiki motorik halus (menggenggam pena untuk menulis atau menggunakan gunting untuk memotong), memperbaiki motorik kasar (bersepeda, menendang bola atau berlari), keterampilan mempersepsi (dibutuhkan untuk mengatur tubuh di dalam ruang dan mempertahankan suatu postur tubuh selain juga memilahkan di antara bentuk- bentuk dan mengestimasi jarak), keterampilan visual (untuk membaca dan menulis), dan keterampilan bermain (Sastry & Agirre, 2012)

2.1.4.3 Terapi Fisik

Para terapis fisik menggarap perkembangan otot, kekuatan dan koordinasinya, menargetkan keterampilan motorik kasar pada anak-anak seperti duduk, bergulung dan berdiri. Ketika anak bertumbuh, terapi fisik memfokuskan untuk menolong keterampilan yang mensyaratkan koordinasi lebih kompleks seperti menendang, melempar dan menangkap, dan menghindar. Fokusnya lebih

dari sekadar perkembanagan fisik, karena bisa meliputi juga kemampuan untuk terlibat di dalam olahraga dan permainan pada umumnya. Tujuan dan pendektan terapi fisik di titik ini bisa saja tumpang-tindih dengan tujuan dan pendekatan terapi pekerjaan. Terapi melalui makanan (diet therapy) diberikan untuk anak- anak dengan masalah alergi makanan tertentu sering terjadi anak autis, seperti gangguan pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan keracunan logam berat. Gangguan-gangguan pada fungsi tubuh ini yang kemudian akan mempengaruhi fungsi otak. Diet yang sering dilakukan pada anak autis adalah GFCF (Glutein Free Casein Free). Pada anak autis disarankan untuk tidak mengkonsumsi produk makanan yang berbahan dasar gluten dan kasein (gluten adalah campuran protein yang terkandung pada gandum, sedangkan kasein adalah protein susu). Jenis bahan tersebut mengandung protein tinggi dan tidak dapat dicerna oleh usus menjadi asam amino tunggal sehingga pemecahan protein menjadi tidak sempurna dan berakibat menjadi neurotoksin (racun bagi otak). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan sejumlah fungsi otak yang berdampak pada menurunnya tingkat kecerdasan. (Sastry & Agirre, 2012)

2.1.4.4 Terapi Biomedis

Terapi biomedis ini sebenarnya dipinam dari penggunan yang sudah mapan dibidang-bidang lain kedokteran yang kemudian diperluas atau diubah jika ingin digunakan untuk menangani autisme. Contohnya di dalam praktis klinik standar, chelation dapat digunakan untuk menangani keracunan akut, dan antbiotik menangani infeksi bakteri.

2.1.4.5 Terapi Sistem Kekebalan Tubuh

Terapi sistem kekebalan tubuh melibatkan pemberian antibodi untuk membantu individu melawan bakteri dan virus. Teori yang mendasarinya menyatakan bahwa individu tidak punya sistem kekebalan tubuh yang kuat atau tidak menghasilkan antibodi yang cukup sehingga membuatnya rentan dari infeksi yang menyebabkan simtom autisme muncul. Namun, tidak ada bukti yang bisa mengaitkan pemberian antibodi dengan perbaikan autisme. Selain itu biaya penanganan ini sangat mahal (Sastry & Agirre, 2012).

2.1.5 Dampak Autisme pada Orangtua

Mengasuh anak dengan autisme jauh lebih sukar daripada mengasuh anak biasa. Beberapa dampak autisme pada orangtua yang memiliki anak autis, antara lain (Sastry & Agirre, 2012):

2.1.5.1 Tekanan terhadap Sumber Daya

Orangtua yang memiliki anak autis menghadapi lebih banyak persoalan daripada orangtua dengan anak berkebutuhan khusus lainnya saat ingin mendapatkan perawatan kesehatan, intervensi dan terapi sesuai yang dibutuhkan putra-putri mereka. Tantangan-tantangan ini dan beban-beban finansial, pekerjaan dan waktu yang terkait, jelas besar sekali untuk keluarga-keluarga dengan ASD, bahkan mesti dibandingkan dengan keluarga yang anak-anaknya memiliki kebutuhan kesehatan mendesak.

Sebuah survei online menyimpulkan bahwa 80% dari 4.295 keluarga yang dipoling Interactive Autism Network (IAN) (2009) melaporkan bahwa situasi finansial mereka terpengaruh negatif lantaran mengasuh anak autis. Banyak juga

orangtua yang mencatat efek karier negatif lantaran terlalu banyak minta libur untuk mengasuh anak autis mereka, bahkan berhenti kerja atau studi mereka.

2.1.5.2 Stres Orangtua yang Anaknya Mengalami Autisme

Ibu yang memiliki anak autis mengalami stres lebih besar daripada ibu dari anak-anak sindrom X rapuh atau sindrom Down (Abbeduto dkk, 2004). Kekhawatiran akan masa depan anak berada di puncak daftar sembilan dari sepuluh orangtua, menurut survei IAN tahun 2009. Kebanyakan orangtua merasakan dampak negatif dari 3 hal berikut: perilaku anak, kemunduran, dan sulit diberikan perawatan. Penanganan yang melelahkan dan mengecewakan menyerang hampir separuh orangtua sebagai stresor negatif.

Meski banyak riset yang menyoroti para ibu, ternyata para ayah dari anak- anak dengan ASD juga mengalami stres, meski kadarnya lebih rendah. Secara umum, orangtua dari anak-anak autis melaporkan problem psikologis lebih banyak daripada orangtua lain, dan banyak mengalami perasaan terisolasi. Tantangan-tantangan stres lain juga umum dirasakan adalah depresi, kecemasan, dan kemarahan.

2.1.5.3 Efek bagi Kesehatan Fisik

Sebuah riset di Swedia tentang efek-efek kesehatan bagi orangtua yang memiliki putra-putri ASD menemukan dampak kesehatan yang signifikan bagi ibu, khususnya jika anaknya hiperaktif atau memiliki masalah perilaku (Allik, Larson, dan Smedje, 2006). Tim riset lain menanyai 299 orangtua untuk mengkaji kehidupan mereka secara detail. Dibandingkan dengan orangtua lain, orangtua dari anak autis terlibat di aktivitas fisik lebih buruk, selain juga kesehatan

psikologis dan hubungan sosial lebih buruk dengan seluruh kualitas hidup lebih rendah.

2.1.5.4 Efek bagi Pernikahan

Stres, tantangan finansial, sosial, psikologis dialami orangtua yang memiliki anak autis tentunya mempengaruhi juga hubungan suami-istri didalam keluarga. Banyak orangtua yang berjuang keras menghadapi anak ASD mereka mengatakan adanya tekanan pada pernikahan mereka, dan beberapa dari mereka melaporkan kepuasan lebih rendah dari hubungan mereka. Isu-isu pernikahan yang lain meliputi pembagian pekerjaan di rumah dan penyangkalan pasangan terhadap diagnosis. Sebuah penelitian menunukkan bahwa orangtua yang punya anak ASD memiliki tingkat perceraian lebih tinggi (23 lawan 14 persen di rentang usia pernikahan 6 tahunan). Bagi orangtua dikeluarga biasa, risiko perceraian mulai merosot setelah anak meraih usia 8 tahunan, namun bagi keluarga ASD, tidak ada penurunan dalam risiko perceraian (Hartley dkk, 2010).

2.2 Studi Fenomenologi

Fenomenologi adalah suatu ilmu yang memiliki tujuan untuk menjelaskan fenomena dalam bentuk pengalaman hidup. Penggunaan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi bertujuan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, mendalam, credible dan bermakna. Selain itu, pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami respon seluruh manusia terhadap suatu atau sejumlah peristiwa dan memberikan gambaran terhadap makna sebuah pengalaman yang dialami beberapa individu dalam situasi yang dialami. Pendekatan fenomenologi digunakan ketika sedikit sekali definisi atau

konsep terhadap suatu fenomena yang akan diteliti. Fenomenologi berfokus pada apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut. Penelitian dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu. Tujuan penelitian fenomenologi sepenuhnya adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul (Polit & Beck, 2012).

Didalam studi fenomenologi, sumber data utama berasal dari perbincangan yang cukup dalam (in-depth interview) antara peneliti dan partisipan dimana peneliti membantu partisipan untuk menggambarkan pengalaman hidupnya tanpa adanya suatu diskusi. Melalui perbincangan yang cukup dalam peneliti berusaha untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari partisipan (Polit & Beck, 2012).

Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidaklah banyak. Jumlah partisipan dari penelitian ini adalah kurang atau sama dengan 10 orang partisipan. Partisipan dalam penelitian ini menggunakan metode convenience sampling yaitu partisipan dalam suatu penelitian responden yang berhak mengisi kuesioner tergantung sepenuhnya kepada kemudahan peneliti (Sekaran, 2003). Teknik ini juga disebut teknik aksidental. Menurut Sugiyono (2006), sampel aksidental adalah teknik penentuan responden berdasarkan siapa saja yang secara kebetulan dipandang cocok sebagai sumber data makan akan dijadikan pastisipan.

Hasil penelitian dalam studi fenomenologi diperoleh melalui proses analisis data. Fenomenologist dalam proses analisis data yang terkenal adalah Collaizi, Giorgi dan Van Kaam. Ketiga tokoh tersebut berpedoman pada filosofi

Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena (Polit & Beck, 2012).

Colaizzi (1978, dalam Polit & Beck 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah yang harus dilalui untuk menganalisa data. Proses analisa tersebut meliputi:1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan mereka,2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, 3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan,4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema,5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi,6) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, dan 7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir .

Menurut Lincoln & Guba (1985, dalam Polit & Beck 2012) untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya (trustworthiness) maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu credibility, transferability, dependability, confirmability.

Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Artinya, hasil penelitian harus dapat dipercaya oleh semua pembaca secara kritis dan dari responden sebagai informan. Credibility termasuk validitas internal. Cara memperoleh tingkat kepercayaan yaitu perpanjangan kehadiran peneliti/pengamat (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi (triangulation), diskusi teman sejawat (peer debriefing), analisis kasus negatif (negative case

analysis), pengecekan atas kecukupan referensial (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota (member checking).

Transferability adalah kriteria yang digunakan untuk memenuhi bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks tertentu dapat ditransfer ke subyek lain yang memiliki topologi yang sama. Transferability termasuk dalam validitas eksternal. Maksudnya adalah dimana hasil suatu penelitian dapat diaplikasikan dalam situasi lain.

Dependability mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan

data, membentuk dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Kriteria ini dapat digunakan untuk menilai apakah proses penelitian kualitatif bermutu atau tidak. Teknik terbaik adalah dependability audit yaitu meminta dependen atau independen auditor untuk memeriksa aktifitas peneliti. Dependability menurut istilah konvensional disebut reliabilitas atau syarat bagi validitas.

Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan

kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. Confirmability merupakan kriteria untuk menilai kualitas hasil penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gangguan spektrum autism (Autism Spectrum Disorders/ASD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya kekurangan pada aspek komunikasi dan interaksi sosial, kesulitan dalam melakukan komunikasi verbal dan non verbal, tingkah laku terbatas dan berulang (American Psychiatric Association, 2000). Penyebab ASD dianggap sebagai kombinasi genetika dan faktor lingkungan yang belum diketahui (Hallmayer et al., 2011; Rutter, 2005). Menurut penelitian Smalley (1997) dalam Emam, Esmat, dan Sadek (2012) gangguan spektrum autism ini terjadi empat kali lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan.

Anak autis yang terlambat atau bahkan tidak mendapat intervensi hingga dewasa, maka gejala autis bisa semakin parah. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan terjadinya banyak kasus anak autis yang gagal dalam mengembangkan kemampuan sosial dan komunikasi. Untuk itu, perlu dilakukan terapi secara dini, terpadu, dan intensif sehingga anak mampu bergaul layaknya anak-anak yang lain yang tumbuh secara normal. Meskipun timbulnya gejala untuk kebanyakan anak-anak dengan autisme terjadi selama akhir masa kanak- kanak, beberapa anak mungkin tidak menunjukkan gejala sampai 2 tahun setelah periode perkembangan (Committee on Children with Disabilities, 2001). Hampir pada seluruh kasus, autisme muncul saat anak lahir atau pada usia tiga tahun pertama (Emam, Esmat, & Sadek, 2012)

Prevalensi ASD di Amerika Serikat meningkat dan sekarang diperkirakan 110 per 10.000 (673.000), mulai dari umur 3-17 tahun (Kogan et al., 2007). Menurut penyelidikan di Australia Barat, telah dilaporkan bahwa tingkat autisme pada anak-anak usia sekolah dasar adalah 64 anak per 10.000 dan untuk anak- anak SMA yaitu 79 per 10.000(Buckley &Autism Aspergers Advocacy Australia, 2006). Sedangkan di Indonesia berdasarkan hasil penelitian Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN), menyatakan bahwa pada tahun 2000 jumlah anak penyandang autis sekitar 10-15 dalam setiap 10.000 kelahiran. Pada tahun 2010 jumlah penderita autis mencapai 2,4 juta anak dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 237.5 juta orang dengan laju pertumbuhan 1,14% jumlah penderita autis di Indonesia. Jumlah penderita gangguan autis di Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan sekitar 500 orang setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik Nasional, 2010).

Menurut penelitian Woodgate dan Ateah (2008) tentang pengalaman orang tua yang memiliki anak dengan autisme di propinsi barat Kanada, dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak dengan autisme tidak hanya mempengaruhi peran mereka sebagai orangtua tetapi lebih ke titik mendefinisikan bagaimana mereka hidup di dunia. Orang tua mengalami perasaan berada di dunia mereka sendiri dan berjalan sendiri ke titik yang menjadi esensi dari pengalaman mereka. Penelitian ini juga menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak autis merasa terisolasi oleh masyarakat yang kurang pemahaman mengenai autisme.

Orang tua yang memiliki anak autis menghadapi serangkaian tantangan unik yang mempengaruhi psikologi mereka. Menurut penelitian sebelumnya (Hutton & Caron, 2005) saat setelah orang tua menerima diagnosis akhir bahwa anak mereka autis, sebagian orang tua merasa lega, ada juga yang merasakan perasaan keputusasaan, kesedihan dan bahkan kehancuran. Keberadaan anak autis dalam suatu keluarga membuat orangtua pasrah atau sebaliknya, orangtua menganggap anak autis sebagai suatu aib dalam keluarga. Orang tua yang memiliki anak autis, terutama ibu, lebih beresiko mengalami mengalami stres dan tekanan psikologis saat mengasuh (Boyd, 2002; Hayes & Watson, 2012) . Stress yang dialami oleh ibu yang mempunyai anak autis lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan stres yang dialami oleh ayah. Stres tersebut karena kelelahan merawat anak, pekerjaan, dan lebih sedikit memiliki waktu untuk rekreasi. Orang tua dengan anak autis juga meiliki tingkat perceraian yang lebih tinggi daripada orang tua yang memiliki anak normal (Howell, Littin & Blacher, 2015).

Setiap orangtua akan mengalami berbagai macam perasaan, reaksi emosional serta sikap yang berbeda-beda. Fenomena semakin meningkatnya jumlah prevalensi autisme, maka akan semakin banyak pula orangtua yang mengalami konflik batin dalam menerima keberadaan anaknya yang autis. Konflik ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan antara keinginan dan harapan orang tua yang tidak terpenuhi untuk memiliki anak yang dapat dibanggakan dalam keluarga, sehingga memberikan banyak pengalaman yang didapatkan orang tua dalam merawat anaknya. Banyaknya masalah yang dihadapi oleh anak autis sehingga memerlukan terapi yang spesifik dan orangtua harus tanggap dengan

cara penanganan anaknya, melakukan pendampingan yang intensif untuk memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan orangtua. Orangtua terutama ibu adalah seorang yang selalu bertanggung jawab dalam perawatan

Dokumen terkait