• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian

Penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk menggali lebih dalam pengalaman ibu yang memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai. Hasilpenelitian ini memunculkanlima tema yang memberi suatu gambaran atau fenomena pengalaman ibu yang memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai. Hasil yang dibahas adalah karakteristik partisipan dan tema hasil analisa data penelitian.

4.2 Karakteristik Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 8 orang. Kedelapan partisipan dalam penelitian ini telah memenuhi kriteria dan bersedia untuk diwawancarai serta menandatangani persetujuan menjadi partisipan penelitian sebelum wawancara dimulai. Para partisipan adalah ibu yang memiliki anak autis yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai. Semua partisipan berasal dari wilayah kota Binjai. Usia kedelapan partisipan antara 34-48 tahun. Dari kedelapan partisipansatu orang beragama Buddha, beragama Islam enam orang, dan beragama Kristen satu orang. Pendidikan terakhir terakhir SD sebanyak satu orang, SMP sebanyak dua orang dan SMA sebanyak lima orang. Kedelapan partisipan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Usia anak antara 10-17 tahun. Jenis kelamin anak perempuan sebanyak dua orang dan laki-laki sebanyak 8 orang. Karakteristik partisipan selengkapnya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1.

Karakteristik Partisipan

Karakteristik Frekuensi Persentase (%) Usia Ibu 34 - 40 tahun 4 50 41 - 48 tahun 4 50 Agama Buddha 1 12.5 Islam 6 75 Kristen 1 12.5 Pendidikan Terakhir SD 1 12.5 SMP 2 25 SMA 5 62.5 Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 8 100

Tabel 4.2.

Karakteristik Anak Partisipan

Karakteristik Frekuansi Persentase (%) Usia Anak 10 tahun 3 30 12 tahun 2 20 13 tahun 3 30 15 tahun 1 10 17 tahun 1 10

Jenis Kelamin Anak

Perempuan 2 20

Laki-laki 8 80

4.3 Hasil wawancara pengalaman ibu yang memiliki anak autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai

Tema yang teridentifikasi dari hasil wawancara adalah sebanyak lima tema yang memaparkan berbagai pengalaman ibu yang memiliki anak autis di SekolahLuar Biasa (SLB) Binjai. Kelima tema tersebut meliputi: 1)mengalami masalah psikologis dan fisik, 2) menerima kondisi anak yang mengalami autis, 3)

memberi perawatan anak yang mengalami autis, 4) mengalami kesulitan dalam merawat anak, dan 5) harapan ibu.

4.3.1 Mengalami masalah psikologis dan fisik

Berdasarkan analisa data didapatkan bahwa ibu yang memiliki anak autis mengalami masalah psikologis dan fisik selama merawat anak.Adapun masalah yang dialami ibu dibagi menjadi dua sub tema yaitu masalah psikologis dan masalah fisik.

1. Masalah psikologis

Hasil penelitian menunjukkan berbagai macam reaksi ketika mengetahui anaknya terdiagnosa autis. Berbagai pendapat diungkapkan oleh partisipan, mulai dari perasaan sedih dan menangis, perasaan tidak percaya akan kondisi yang dialami anaknya, perasaan khawatir akan masa depan anak. Beberapa ibu juga merasa bingung dan tidak mengerti tentang autis sehingga mereka terus bertanya- tanya dan berusaha mencari tahu tentang autis.

a. Merasa sedih

Lima dari kedelapan partisipan mengatakan bahwa mereka sangat sedih saat mengetahui bahwa anak mengalami autis. Hal ini sejalan dengan pernyataan partisipan yang mengatakan bahwa:

“....Nangis ajalah, nangis terus apalagi ini anak pertama, laki lagi...”

(Partisipan 1) “....ya rasanya gimana lah ya, sedih lah. Apalagi kan ini anak satu-satunya....”

(Partisipan 2)

“....sedih, karna kan keknya anak saya sendiri disitu yang autis, anak-anak yang lain kan keknya nggak ada....”

b. Merasa Tidak Percaya

Tiga dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka merasat tidak percaya bahwa anak mengalami autis. Hal ini sejalan dengan pernyataan partisipan yang mengatakan bahwa:

“....Kadang mikir ya kok anak saya bisa kek gini yah gitu, apa salah saya gitu, kadang mikir kek gitulah...”

(Partisipan 1) “....mikirin apa salah saya gitu sampai punya anak kek gitu....”

(Partisipan 3) c. Merasa Bingung dan Tidak Mengerti

Partisipan mengatakan bahwa mereka merasa bingung dan tidak mengerti mengenai tentang autis. Hal ini sejalan dengan pernyataan partisipan yang mengatakan bahwa:

“....awal mula kan kita nggak tau kalau dia autis. Zaman-zaman dulu kan langka punya anak autis, saya kira karena terlambat ngomong ntah apa jadi setelah 3 tahun lah dokter bilang...”

(Partisipan3) “....reaksinya bingunglah ya autis ya apa ga ngerti....”

(Partisipan 8) d. Merasa Stres

Partsipan mengatakan bahwa saat merawat anak yang mengalami autis, mereka mengalami stres karena sulitnya mengatur anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....ya dulu stres karna gimana ya, inikan dulu lasak kali, aktif la gitu, jadi ya stres dan capek ngurus dia....”

“....ya sebenernya stres sih ya stres kalo ngadepin yang kaya gini sehari-hari kalo pas baik yaenak kalo pas lagi kek mana lagi pas bandel aduh kalo stres ya bisa nangis....”

(Partisipan 6) e. Merasa Khawatir

Empat dari kedelapan partisipan mengatakan bahwa ibu yang memiliki anak autis khawatir akan masa depan anak. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....karna kan nanti kan kita nggak muda trus. Nanti kalau besar yang jaga siapa. Apalagi kan ini cuma satu-satunya. Nggak ada adekny, nggak ada bangnya, gitu aja sedihnya....”

(Partisipan 2) “....kek mana nanti kedepannya dia itu gmana gitu kalo dia ga bisa jaga diri dia sendiri...”

(Partisipan 6) f. Masalah fisik

Empat dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka merasa capek merawat anak mereka yang mengalami autis karena lasak. Hal ini sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....inikan dulu lasak kali, aktif la gitu, jadi ya stres dancapek ngurus dia....” (Partisipan 2) “....awak cape ngikuti dia....”

(Partisipan 4) “....kita merawatnya susah kan jadi merasa capek karena dulunya itu kan dia lasaknya minta ampun...”

4.3.2 Menerima kondisi anak yang mengalami autis

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap kedelapan partisipan, ada tiga subtema yang diperoleh, yaitu ibu menerima kondisi anak dengan ikhlas, ibu merasa bersyukur dan ibu mendapatkan pembelajaran hidup. 1. Menerima kondisi anak dengan ikhlas

Enam dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka telah menerima kondisi anak mereka yang mengalami autis dengan iklas, meskipun awalnya mereka mengalami penolakan saat pertama kali mengetahui bahwa anak mereka mengalami autis. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini: “....ya kuncinya ikhlas aja ya emang ini udah dikasih sama Allah kaya gini gitu aja lah....”

(Partisipan 4) “....yah kita juga yah udah menerima apa adanya lah, nggak lagi jadi beban kalo sekarang mah, udah iklas lah....”

(Partisipan 6) “....berpikiran positif ajalah gitu, berbesar hati ya kan kalosekarang ini terus terang seikhlas2 nya punya anak indri....”

(Partisipan 8) 2. Merasa bersyukur

Tiga dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka merasa bersyukur dengan kondisi anak, bahkan ada pula yang mengganggap bahwa anak mereka adalah suatu kebanggan di keluarga mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....ya syukur dia lebih baik dari kawannya gitu aja....”

“....Ya disyukurin aja kadang ada yang lebih bawah dari kita yang lebih dari ini pun ada kan anak kita masih bisa berjalan , bisa makan bisa apa adakan yang tergeletak sama sekali ga ada perkembangannya itu kan ada juga..”.

(Partisipan 6) “....malah istilahnya ada kebanggaan malah pun sekarang gitu....”

(Partisipan 8) 3. Menjadikan pembelajaran hidup

Lima dari delapan partisipan mengatakan bahwa selama mereka merawat anak mereka yang mengalamai autis, mereka mendapatkan pembelajaran hidup yang dapat menjadikan mereka lebih bersabar. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“...Lebih baiklah, maksudnya mungkin istilahnya orang bilang kita dapat anak seperti itu karena ada salah dulunya. Makanya sekarang harus menjadi lebih baik lah dan lebih sabar....”

(Partisipan 1) “....makin sabar dan sabar, dan hiburan anak kek gitu,hiburan lah karena kan dulu menghadapi dia kek gitu dansekarang udah kek gini. Anak kek gini kan kadang ada lucu-lucuny juga, jadikan ketawa, jadi senang kita....”

(Partisipan 3) “....kita dilatih jadi lebih sabar gitu , selama merawat diagitu kan jadi ya harus sabar, kalo nggak yah gak bisa....”

(Partisipan 5) 4.3.3. Memberi perawatan anak yang mengalami autis

Berdasarkan analisa data didapatkan bahwa ibu memberi perawatan pada anak mereka yang mengalami autis. Adapun perawatan yang diberikan oleh ibu dibagi menjadi dua sub tema yaitu membawa ke pelayanan kesehatan dan perawatan yang dilakukan ibu dirumah.

1. Membawa ke pelayanan kesehatan

Partisipan mengatakan setelah menyadari bahwa perkembangan anak mereka tidak seperti anak normal lainnya, mereka langsung membawa anak mereka untuk periksa kedokter dan membawa anak terapi.

a. Membawa anak periksa ke dokter

Enam dari delapan partisipan mengatakan bahwa saat mereka melihat perkembangan anak mereka yang terlambat seperti terlambat bicara, dan tidak bisa interaksi, partispan mengatkan langsung membawa anaknya periksa ke dokter. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Cuma kalo ini kecil waktu udah demam dokter udah tau katanya ini ada kelainan gitu aja, ibu jangan marah ya ini ada kelainan....”

(Partisipan 6) “....ibu bawahlah ke dokter spesialis anak kan gitu trus ibu bilang sama dokternya itu anak saya kok ini ya dok blom pande cakap itu umur 2 tahun setengah waktu itu....”

(Partisipan 8) b. Membawa anak terapi

Tiga dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka membawa anak mereka ke tempat terapi setelah mereka mengetahui anak mereka mengalami autis. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Oiya langsunglah. Sudah tahu gitu kan saya langsung cari tempat terapi Simbolon apa lho gitu, lupa lho, di pelosok-pelosok. Baru satu tahun ini anak saya di sini, dulunya ikut terapi aja...”

(Partisipan 1) “....dibawa lah, dulu sempet ikut terapi, setelah tau gitu ada tempat terapi untuk autis ya diikuti...”

2. Memberi perawatan dirumah

Berdasarkan hasil wawancara pada partisipan didapatkan bahwa selain membawa ke pelayanan kesehatan, partisipan juga melakukan perawatan dirumah seperti: memberi vitamin, melakukan pengontrolan diet anak, mengajarkan anak sosialisasi, memantau aktivitas anak, dan membantu anak dalam kegiatan sehari- hari.

a. Memberikan obat

Partisipan mengatakan bahwa mereka memberikan obat berupa vitamin dan obat penenang kepada anak mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Ada, kalo dulu minum vitamin lah....”

(Partisipan 1) “....ada obat penenang. Dikasih setiap bulan....”

(Partisipan 2) ”.... Ya kan dikasih vitamin, dikasih ini, ya kan semua udahdicoba sama ke dokter....”

(Partisipan 6) b. Melakukan pengontrolan diet

Lima dari delapan artisipan mengatakan bahwa mereka melakukan pengontrolan diet terhadap anak mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Dulu kukasih diet dia, dia belum tau makanan, dia kan masi kecil, yang mana yang enak yang mana yang gak enak. Tepung roti gak masuk, coklat, kalo susu, susu kedelai. Kalo sekarang bebas....”

(Partisipan 1) “....sampai sekarang gula pun kami kuranginlah. Trus apa katanya,roti pun kan nggak boleh ya....”

“....kalo dulu kan diahipernya tinggi kan kita jaga makanannya perlu kitajaga....” (Partisipan 6) c. Mengajarkan anak bersosialisasi

Partisipan mengatakan bahwa mereka mengajarkan anak bersosialisasi agar anak tidak stres, dengan cara membawa anak pergi jalan-jalan dan membawa anak ertemu dengan teman sebaya nya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Sekali-sekali sama teman hang out gitu kan, keluar....”

(Partisipan 1) “....Dia harus berkawan kalo ga berkawan dia stres ngamuk aja pokoknya dia harus bermain gitu lah....”

(Partisipan 7) “....kadang dibawa ke tanah lapang kami suka bawa dia hariminggu, dia juga bosan dirumah ya kan....”

(Partisipan 8) d. Memantau aktivitas anak

Tujuh dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka selalu memantau anak saat beraktivitas, dan tidak pernah lepas dari pantauan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....istilahnya kaya ngangon kambing gitu, kita, tengoi main gitulah diwaktunya apa keluar masuk2...”

(Partisipan 4) “....Iya saya tungguin juga sampe pulang, macam sekrang ini lah. Iya,

bagaimana kan anak kita kalau nggak di awasi nanti sampai pulang dia bisa kemana-mana....”

(Partisipan 5) “....engga dia harus dijaga kemana pun dia ditengokan karnadia ga tau bahaya pasar pun dia ga takut kereta motor apapunga takut....”

Partisipan mengatakan bahwa mereka selalu membantu anak dalam melakukan berbagai kegiatan. Hal ini dikarenakan anak belum dapat secara mandiri melakukan kegiatan tersebut, misalnya makan mandi, berpakaian, dan lain-lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Kalo dulu itu ya dia semua kita bantu, makan disuapin, mandi juga....”

(Partisipan 5) “....Kalo kakanya kalo kancing baju baru dibantu. Dia pake celana dalam pake shortnya itu ga dibantu.pake sepatu dibantu....”

(Partisipan 6) 4.3.4 Mengalami kesulitan dalam merawat anak

Berdasarkan analisa data didapatkan bahwa merawat anak yang mengalami autis menemui banyak kesulitan. Adapun kesulitan yang dialami ibu dibagi menjadi empat sub tema yaitu kesulitan ibu mengatur anak, ibu harus selalu membantu anak dalam aktivitas, mengalami keterbatasan eknomi pada saat merawat, dan ibu mengalami keterbatasan aktivitas.

1. Kesulitan mengatur anak

Tiga partisipan mengatakan bahwa mereka kesulitan dalam mengatur anak karena lasak, san suka berteriak-teriak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Kan dulu lasak lho, jadi kita dulu fokus ke dia aja. Punyaanak nomor dua pun

kita gak bisa jaga....”

(Partisipan 1)

“....oh hambatannya banyak kali dek, ini kan suka apa gitu teriak-teriak gitu

kalaumalam-malam....”

(Partisipan 2)

Empat dari delapan partisipan mengatakan bahwa mereka harus selalu membantu anak melakukan aktivitas sehari-hari karena anak belum mampu mandiri. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....Nah disitulah mengurus dia yang lagi lasak-lasaknya,semua makan pun harus kita suapin, mandi dimandikan, semualah....”

(Partisipan 3) “....dia kalo mau sekolah bangun pagi mandi apa semua dibantu ngurus pake baju pake sepatu makan bapanya...”

(Partisipan 7) 3. Mengalami keterbatasan ekonomi

Berdasarkan hasil wawancara kepada partisipan selama merawat anak yang mengalami autis, memerlukan banyak kebutuhan termasuk biaya untuk terapi. Oleh karena itu banyak partisipan yang terpaksa berhenti membawa anak mereka untuk terapi bahkan ada yang tidak membawa anak terapi karena keterbatasan ekonomi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....iya terapi itu bukan bayarannya murah....”

(Partisipan 6) “....ya kami orang susah ga ada terapi2 lah....”

(Partisipan 7) 4. Mengalami keterbatasan aktivitas

Lima dari delapan partisipan mengatakan bahwa karena kesbukan merawat anak mereka berdampak pada aktivitas mereka di lingkungan, menjadikan mereka lebih sibuk, sehingga mereka tidak aktif lagi di lingkungan seperti pengajian di lingkungan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....dulu yah sewaktu belom lahir ini, masih sering ikut, gitu. tapi sekarang yah terbatas lah kan kita pun jaga anak dirumah, nanti kalau dibawa dia lasak kan gak enak sama yang lain....”

(Partisipan 5) “....ya aktif tapi mulai ada anak, orang ada apapun ga bisa kami tengok...”

(Partisipan 7) 4.3.5 Harapan ibu

Dengan anak yang mengalami autis otomatis harapan ibu bagi anaknya tidak terpenuhi, mengingat anak adalah masadepan bagi keluarga. Berikut pernyataan partisipan mengenai harapan ibu terhadap anak:

1. Mampu berinteraksi

Melihat keterbatasan yang dimiliki oleh anak penyandang autis adalah gangguan dalam hal interaksi, anak cenderung lebih suka bermain sendiri, bahkan untuk mendapat kontak mata anak pun terkadang susah. Hasil penelitian menunjukkan harapan ibu dengan anak yang menyandang autis adalah mampu berinteraksi seperti anak normal lainnya, sesuai dengan pernyataan partisipan: “....Ya itu lah, pokoknya dia gak bisa kayak anak normalpun gak masalah, misalnya ga bisa belajar kek anak normal bisa mengikuti seperti biasa, dia gak bisa ikuti gak papa,ada anak autis memang ada yang bisa ikuti, anak saya tidak sih nggak bisa. Cuma ya itulah penting bisa berteman dan bersosialisasi, gitu...”

(Partisipan 1) “....ya harapannya anak kami sehat, ya terserah yang diatas lah.nggak muluk- muluk kok. Yang penting anak sehat dan berteman sama kawan-kawannya....”

2. Menjadi lebih terarah dan pintar

Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan menginginkan agar anaknya lebih terarah dan pintar, ibu memiliki harapan untuk anaknya agar anak menjadi lebih terarah, sesuai dengan pernyataan partisipan :

“....ya semoga berubah dan berubah lagi. Pintarlah pintar dia....”

(Partsipan 3) “...harapannya ya lebih baik lagi lah karana kan tiap tahun diatambah tambah pintar , ya berharap dia normallah dia baca alquran pande...”

(Partisipan 4) 3. Mampu untuk mandiri

Hasil penelitian menunjukkan anak autis sangat bergantung pada orang lain terutama ibunya. Beberapa partisipan memiliki harapan anak mereka mandiri, agar mereka tidak bergantung lagi sama ibu mereka. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan partisipan berikut ini:

“....ya kalo bisa dia itu mandiri untuk diri dia sendiri gitu...”

(Partisipan 6) “....ya pengen dia sembuh ya kan normal gitulah Cuma ga pun normal istilahnya dia bisa mandiri untuk dirinya sendiri,jangan jadi menyusahkan kakanya atau pun adenya itu aja bisa aja mandiri untuk dirinya sendiri itu ajalah...”

Tabel 4.3. Matriks Tema

Pengalaman Ibu yang Memiliki Anak Autis di Sekolah Luar Biasa (SLB) Binjai No. Tema 1: Mengalamai masalah psikologis dan fisik

1. Sub Tema: Kategori:

1. Masalah Psikologis 1. Merasa sedih mengetahui anak autis

2. Merasa tidak percaya anak mengalami autis

3. Bingung dan tidak mengerti tentang autis

4. Merasa stres merawat anak 5. Khawatir dengan masa depan

anak

2. Masalah fisik 1. Merasa capek merawat anak 2. Tema 2: Menerima kondisi anak yang mengalami autis

Sub Tema:

1. Menerima kondisi anak dengan ikhlas 2. Merasa bersyukur

3. Menjadikan pembelajaran hidup 3. Tema 3: Memberi perawatan pada anak

1. Membawa anak ke pelayanan kesehatan

1. membawa anak periksa ke dokter

2. membawa anak terapi 2. Memberi perawatan dirumah 1. memberikan obat

2. melakukan pengontrolan diet anak

3. Mengajarkan anak

bersosialisasi

4. memantau aktivitas anak

5. membantu anak dalam kegiatan sehari-hari

4. Tema 4: Mengalami kendala dalam merawat anak Sub Tema:

1. Ibu sulit mengatur anak

2. ibu harus selalu membantu anak dalam melakukan aktivitas 3. Ibu mengalami keterbatasan ekonomi dalam merawat anak 4. Ibu mengalami keterbatasan aktivitas

5. Harapan Ibu Sub Tema:

1. ibu berharap anak mampu berinteraksi 2. ibu berharap anak bisa pintar

4.4 Pembahasan

Dalam pembahasan ini akan diuraikan teori-teori yang terkait dengan pengalaman ibu yang memilki anak autis. Dalam bagian ini akan diuraikan 5 tema yang telah dijelaskan oleh peneliti, meliputi: (1) mengalami masalah psikologis dan fisik, (2) menerima kondisi anak yang mengalami autis, (3) melakukan perawatan pada anak yang mengalami autis, (4) mengalami kendala dalam merawat anak, dan (5) harapan ibu. Tema-tema tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

4.4.1 Mengalami masalah psikologis dan fisik 4.4.1.1Mengalami masalah psikologis

Respon psikologis ibu berbeda-beda saat mengetahui anak mengalami autis.Berbagai pendapat diungkapkan oleh partisipan, mulai dari perasaan selalu sedih, khawatir, perasaan menolak, perasaan tidak percaya akan kondisi yang dialami anaknya dan sempat tidak ingin menerima kenyataan setelah ternyata mengetahui anaknya menderita autis. Beberapa ibu juga merasa bingung dan tidak mengerti tentang autis sehingga mereka terus bertanya-tanya dan berusaha mencari tahu tentang autis. Sebagian orang tua, awal melihat hal yang aneh pada anaknya, ibu merasa bingung dan tidak mengerti dengan kondisi anak, partisipan hanya berfikir mungkin ini hanya keterlambatan perkembangan pada anaknya.

Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Safaria (2005) bahwa kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan marah ketika mengetahui diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Perasaan ini muncul karena anak merupakan masa depan

keluarga, anak yang ditunggu-tunggu kehadirannya harus menderita suatu gangguan sebagaimana anak-anak lainnya. Perasaan tidak percaya bahwa anaknya mengalami autisme kadang-kadang menyebabkan orangtua mencari dokter lain untuk menyangkal diagnosis dokter sebelumnya. Setelah mengetahui fakta dari berbagai sumber, kebanyakan orangtua dengan perasaan amat terpukul dan terpaksa menerima kenyataan bahwa anaknya adalah penyandang autisme.

Hasil penelitian lain juga diungkapkan oleh Noor et al. (2014) perasaan ibu saat mengetahui anaknya menderita autisme adalah takut, syok, sedih, bingung, khawatir, bahkan terkadang merasa bersalah. Ibu lebih banyak memikirkan masa depannya kelak, pandangan keluarga, orang lain dan lingkungan sekitarnya terhadap anaknya karena dimasyarakat kondisi yang dialami anak seperti autisme ini masih jarang terjadi.

Saat merawat anak yang mengalami autis juga ibu merasakan stres yang disebabkan oleh kelelahan dalam merawat anak karenasulit diatur. Orang tua yang memiliki anak autis, terutama ibu, lebih beresiko mengalami mengalami stres dan tekanan psikologis saat mengasuh. Stress yang dialami oleh ibu yang mempunyai anak autis lebih tinggi tiga kali lipat dibandingkan stres yang dialami oleh ayah. Stres tersebut karena kelelahan merawat anak, pekerjaan, dan lebih sedikit memiliki waktu untuk rekreasi (Boyd, 2002; Hayes & Watson, 2012).

4.4.1.2Mengalami masalah fisik

Penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak autis mengalami masalah fisik seperti rasa capek saat merawat anak. Hal ini sejalan dengan Sebuah riset di Swedia tentang efek-efek kesehatan bagi orangtua yang

memiliki putra-putri ASD menemukan dampak kesehatan yang signifikan bagi ibu, khususnya jika anaknya hiperaktif atau memiliki masalah perilaku (Allik, Larson, dan Smedje, 2006). Tim riset lain menanyai 299 orangtua untuk mengkaji

Dokumen terkait