• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANION BALANCE

BAHAN DAN METODE Bahan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang B Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Desember 2008 sampai dengan Juli 2009.

Penelitian ini akan menggunakan domba betina sebanyak 17 ekor umur ± 20-30 bulan dengan bobot badan awal 30.3±1.98 kg. Setiap ekor betina dikawinkan dengan salah satu dari 3 pejantan yang telah diberi ransum perlakuan selama 49 hari. Pakan yang digunakan terdiri atas jerami jagung, jagung kuning, dedak halus, bungkil kelapa, bungkil kacang kedelai, minyak jagung, dan urea. Suplementasi mineral diberikan dalam satu kg ransum sebanyak 0.124 g ZnSO4

62

untuk semua ransum, 9.7 g CaSO4 + 5.5 g CaCl2 untuk ransum R2 (NKAR-10)

dan 9.7 g CaSO4 untuk ransum R3 (NKAR 0). Unsur Cr yang

disuplementasikan, berupa hasil fermentasi ragi dengan media kacang kedelai berkadar 3000 ppm Cr sebanyak 3 ppm (Astuti et al 2006). Ransum disusun secara isoenergi dan isoprotein sesuai rekomendasi NRC (1985) (Tabel 13).

Selama dalam proses perkawinan, pakan yang digunakan adalah pakan pada ransum percobaan (Tabel 13). Setelah domba betina bunting, pakan yang diberikan adalah ransum komersil untuk ternak ruminansia dan rumput lapang (Brachiaria humidicola) diberikanad libitum.

Tabel 13 Komposisi dan kandungan nutrien ransum domba Garut jantan dan betina pra-bunting

Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Basal (R01) Komposisi

Pakan

Kadar

(% BK) Nutrien Kadar

Hijauan jagung 35 Bahan kering (%) 90.31

Dedak halus 21.5 Abu (%) 7.4

Jagung kuning 19.65 Protein kasar (%) 13.5

Bungkil kedelai 13.6 Lemak kasar (%) 7.5

Bungkil kelapa 8 Serat kasar (%) 17.5

Urea 0.25 BETN (%) 44.4

Minyak jagung 2 TDN (%) 67.8

Jumlah 100 Energi Bruto

(Kkal/kg) 3263 Zn (ppm) 139.12 Mg (%) 1.46 Ransum Perlakuan Suplemen R02 R1 R2 R3 Cr (ppm) 5.59 8.59 5.59 8.59 Ca (%) 0.21 0.21 0.62 0.42

NKAR (meq) 14 (Basa) 14 (Basa) -10 (Asam) 0 (Asam)

Keterangan:

R0 = Ransum basal (NKAR +14), R1 = R0+Cr (NKAR+14), R2 = R0+Cr+ Ca (NKAR-10), R3 = R0+ Cr+Ca (NKAR0), penambahan mineral pada R1, R2, dan R3 melalui perhitungan.

1

Hasil analisis proksimat Lab Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fapet IPB, 2009 2

Hasil analisis mineral Lab. Nutrisi Ternak Perah Fapet, IPB dan Laboratorium Pakan Balitnak, 2009

Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah kandang betina individu, kandang domba pejantan dan pengusik, wadah pakan, wadah minum, timbangan 100 kg dengan ketelitian 0.5 kg, timbangan 5 kg dengan ketelitian 20 gram, dan timbangan O Haus 500 gram dengan ketelitian 0.1 gram, apron, Ultrasonography(USG) Aloka SSD 500 Japan.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan ulangan tidak seimbang. Perlakuan adalah pola perkawinan berdasarkan perbedaan jenis ransum yang diberikan kepada domba jantan dan betina sebelum dikawinkan. Pola perkawinannya adalah pola perkawinan berdasarkan jenis ransum perlakuan yang berikan kepada domba jantan dan betina dengan ulangan masing-masing 8, 5 dan 4 ulangan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (percobaan kualitas semen pada ternak domba Garut jantan), maka perlakuan pola perkawinannya adalah sebagai berikut:

RJA : Domba Jantan x Domba betina

R3 (Cr + Asam 0) R0 (Basa)

RBA: Domba Jantan x Domba betina

R1 (Cr+ Basa) R2 (Cr + Asam -10)

RJBB: Domba Jantan x Domba betina

R0 (Basa) R0 (Basa)

Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Analisis dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

Pelaksanaan Penelitian

Domba-domba betina dikandangkan sesuai dengan perlakuan perkawinan yang akan dilakukan. Setelah diistirahatkan satu hari, mulai esok hari dilakukan pengamatan tanda-tanda birahi pada setiap domba betina. Pengamatan domba birahi dilakukan oleh domba jantan pengusik. Pengamatan ini dilakukan setiap hari pada pagi dan sore hari. Bila ada domba yang birahi, domba betina langsung

64

dikeluarkan dan dimasukan ke kandang pejantan sesuai dengan perlakuan perkawinan kemudian dikawinkan. Perkawinan dilakukan selama domba betina masih birahi atau selama 2 hari Hal ini dilakukan sampai semua domba betina sudah dikawinkan. Kemudian untuk mengetahui keberhasilan perkawinan (domba bunting), dilakukan pengamatan kebuntingan setelah 3 minggu dengan menggunakan USG. Bila ada domba betina yang belum bunting, maka akan dikawinkan kembali pada siklus estrus berikutnya, sehingga semua domba betina menjadi bunting. Pengamatan konsumsi dilakukan setelah domba betina dinyatakan bunting (umur 3 minggu kebuntingan) karena setelah domba menjadi bunting, ransum perlakuan diganti menjadi ransum pemeliharaan sampai domba beranak.

Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati pada pada percobaan ini adalah:

1. Konsumsi ransum harian bahan kering (BK), protein, TDN, lemak kasar, serat kasar dan BETN (g/hari) domba betina bunting. Jumlah konsumsi harian (g/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah ransum yang diberikan (g) dengan jumlah sisa ransum keesokan harinya (g).

2. Pertambahan bobot badan domba betina bunting (kg/2 minggu). Pertambahan bobot badan harian dihitung setiap 2 minggu dengan cara menghitung selisih bobot badan setiap 2 minggu pengamatan.

3. Jumlah anak yang dilahirkan.

4. Rasio jenis kelamin anak, dihitung dengan cara membagi jumlah anak jantan dengan jumlah total anak sekelahiran pada setiap pola perkawinan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi BK Ransum, Nutrien dan Bobot Badan Domba Betina Bunting Ternak membutuhkan nutrien ransum untuk memenuhi kebutuhan akan nutrien bagi hidup pokok, aktivitas dan produksi maupun reproduksi. Pada setiap fase pertumbuhan, kebutuhan akan nutrien berbeda. Pada ternak betina yang sedang bunting kebutuhan akan nutrien meningkat karena terjadi pertumbuhan

400 500 600 700 800 900 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 RJA RBA RJBB

UmurKebuntingan (minggu)

K o n su m si B ah an K e ri n g ( g )

66

Tabel 14 Konsumsi nutrien pada domba Garut bunting (g) Umur Kebuntingan (minggu) PK TDN SK LK BETN 3 34.3 ±0.5 232.4 ±4.5 104.2 ±2.3 12.7 ±0.2 207.9 ±4.2 4 34.6 ±1.2 235.4 ±12.0 105.6 ±6.0 12.9 ±0.6 210.6 ±11.1 5 37.0 ±0.3 258.6 ±2.5 117.2 ±1.3 14.1 ±0.1 232.1 ±2.4 6 49.3 ±1.6 382.2 ±16.4 178.8 ±8.2 20.5 ±0.9 346.6 ±15.2 7 51.3 ±0.2 402.3 ±2.4 188.8 ±1.2 21.6 ±0.1 365.1 ±2.3 8 55.6 ±1.0 445.2 ±9.9 210.2 ±4.9 23.8 ±0.5 404.9 ±9.2 9 54.6 ±1.2 435.4 ±11.6 205.3 ±5.8 23.3 ±0.6 395.8 ±10.8 10 60.0 ±0.9 471.0 ±8.6 221.2 ±4.3 25.3 ±0.5 427.6 ±8.0 11 63.0 ±0.9 481.7 ±8.6 224.5 ±4.3 25.9 ±0.5 436.2 ±8.0 12 62.1 ±0.3 473.5 ±2.5 220.4 ±1.3 25.5 ±0.1 428.6 ±2.4 13 63.0 ±0.9 481.7 ±8.8 224.5 ±4.4 25.9 ±0.5 436.2 ±8.2 14 66.1 ±1.6 476.1 ±16.3 217.8 ±8.1 25.8 ±0.9 428.7 ±15.1 15 68.6 ±1.2 501.2 ±11.9 230.3 ±5.9 27.1 ±0.6 451.8 ±11.0 16 69.3 ±1.6 507.7 ±16.3 233.6 ±8.2 27.5 ±0.9 457.8 ±15.1 17 69.9 ±1.7 513.9 ±17.0 236.7 ±8.5 27.8 ±0.9 463.6 ±15.7 18 63.7 ±0.8 489.2 ±7.7 228.3 ±3.8 26.3 ±0.4 443.2 ±7.1 19 59.2 ±2.0 444.1 ±19.8 205.8 ±9.9 24.0 ±1.0 401.4 ±18.3

Tabel 15 Rataan bobot badan domba garut Betina selama kebuntingan (kg) Umur Kebuntingan (minggu) Perlakuan RJA RBA RJBB 0 31.2 28.8 30.1 6 32.6 30.8 33.4 8 32.8 33.3 33.9 10 35.6 34.4 33.5 12 34.9 34.9 34.3 14 35.0 35.8 34.5 16 36.1 35.8 36.5

Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)

Pada Tabel 15 disajikan rataan bobot badan domba Garut sejak awal kebuntingan sampai umur kebuntingan 16 minggu. Pada tabel tersebut tampak bahwa mulai minggu ke-6 umur kebuntingan, bobot badan domba garut bunting meningkat pesat. Hal ini sejalan dengan peningkatan konsumsi yang terjadi pada

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 6 8 10 12 14 16 RJA RBA RJBB

Umur Kebuntingan (minggu)

P er ta m h an B o b o t B ad an (k g/ ek o

68

produksi menjadi semakin diperlukan (Johnson 2000). Aplikasi teknologi tersebut mengakibatkan bergesernya rasio jenis kelamin ternak yang dilahirkan sesuai dengan yang diharapkan.

Pengaruh ransum perlakuan terhadap jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut disajikan pada Tabel 16. Pada perlakuan RBA, jumlah anak sekelahiran lebih banyak dibandingkan perlakan RJA dan RJBB. Sedangkan lama kebuntingan domba Garut dengan perlakuan RJA lebih lama 3 hari dibandingan pada domba garut dengan perlakuan RBA dan RJBB. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan domba dengan ransum perlakuan dipengaruhi oleh ransum perlakuan (Tabel 16). Pada perlakuan RJA yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA yaitu pejantan dengan ransum nilai NKAR 0 lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan RBA dan RJBB. Artinya anak yang dilahirkan dari perkawinan RJA lebih banyak betina dibandingkan dengan anak dari perkawinan RBA dan RJBB. Pengaruh ransum asam pada domba jantan mempengaruhi proses pembentukan dan viabilitas spermatozoa dalam saluran reproduksinya, dimana spermatozoa Y tidak tahan terhadap pengaruh asam dibandingkan spermatozoa X. Sehingga spermatozoa yang diejakulasikan pada saat kopulasi, spermatozoa X yang memiliki daya fertilitas dan viabilitas yang lebih tinggi dibandingkan spermatozoa Y.

Tabel 16 Jumlah anak sekelahiran, rasio jenis kelamin, lama kebuntingan dan bobot lahir anak domba Garut

Peubah Perlakuan

RJA RBA RJBB

Jumlah anak sekelahiran (ekor/induk) 2.00±0.76 3.00±1.41 2.25±0.84 Rasio kelamin anak (%) 50.00±43.14 75.00±30.00 77.48±44.72 Lama kebuntingan (hari) 150±3.04 147±3.40 147±2.70 Bobot Lahir (kg): Anak Satu 1.92±0.03 - 2.00±0 Anak Dua 1.92±0.25 1.58±0.75 1.77±0.59 Anak Tiga 1.33±0.39 1.47±0.21 1.08±0.44 Anak Empat - - - Anak Lima - 1.22±0.26 -

Keterangan: RJA : Domba Jantan R3 (Cr + NKAR 0) x Domba betina R0 (NKAR +14); RBA: Domba Jantan R1 (Cr+ NKAR+14) x Domba betina R2 (Cr + NKAR-10); RJBB: Domba Jantan R0 (NKAR +14) x Domba betina R0 (NKAR +14)

Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan anak hasil perkawinan RBA dan RJBB lebih tinggi dibandingkan perkawinan RJA dan lebih tinggi dari rasio alamiah. Hal ini diduga pengaruh dari ransum basal yang diberikan pada domba Garut betina. Ransum basa pada ransum perlakuan mengandung minyak jagung, yang mengandung banyak asam linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60,4% (NRC, 1994). Hasil penelitian Rosenfeld dan Robert (2004) menyatakan bahwa jenis kelamin dipengaruhi oleh makanan dan jika diberi makanan yang mengandung zat lemak ) > karbohidrat maka peluang untuk mendapatkan anak jantan sekitar 51-71% (pada tikus). Selain itu menurut Greenet al (2008) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan asam lemak tidak jenuh terproteksi pada ransum induk domba betina dapat menggeser rasio jenis kelamin ke arah jantan. Di samping itu ransum basa yang diberikan pada domba jantan RBA dan RJBB berpengaruh terhadap viabilitas spermatozoa, dimana spermatozoa Y lebih tahan pada kondisi basa. Penggunaan ransum basa domba Garut betina yang mengandung minyak jagung dapat meningkatkan rasio jenis kelamin ke arah jantan, tetapi pada perlakuan RJA yang ransum domba jantannya mengandung NKAR 0, dapat melawan atau menekan pengaruh tersebut.

Namun demikian, rasio jenis kelamin pada perlakuan RJA menurun dibandingkan perlakuan RBA dan RJBB. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh perlakuan ransum NKAR 0 pada ransum domba jantan terhadap penurunan rasio jenis kelamin anak domba yang dilahirkan. Berdasarkan hal tersebut, pengaruh penurunan NKAR pada ransum domba jantan dapat menggeser rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan. Diduga bahwa penurunan NKAR berpengaruh terhadap penurunan viabilitas spermatozoa Y selama transportasi spermatozoa dalam epididymis dan vas deferens menjadi ejakulat. Selama transportasi spermatozoa, terjadi interaksi antara spermatozoa dan makro nutrien dan mikronutrien yang dihasilkan oleh kelenjar vesikularis, ampula dan bulbourethralis yang akan mempengaruhi maturasi dan viabilitas spermatozoa (Senger 2005; Guyton & Hall 2006; Cheah & Yang 2011).

70

SIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan simpulan bahwa hubungan yang sangat erat antara umur kebuntingan dan pertambahan bobot badan betina bunting yang disuplementasi Cr dan penurunan NKAR. Suplementasi Cr dan penurunan NKAR pada ransum domba jantan dan betina tidak mempengaruhi lama kebuntingan. Jumlah anak sekelahiran pada anak domba hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dengan betina yang disuplementasi Cr dan penurunan NKAR -10 cenderung meningkat.

Rasio jenis kelamin meningkat dari rasio alamiah pada anak hasil perkawian domba jantan yang diberi ransum basa. Rasio jenis kelamin anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan domba jantan yang disuplementasi Cr dan NKAR 0 cenderung menurun.

DAFTAR PUSTAKA

Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation on lactation performance and blood parameters of Holstein cows under heat stress.Anim Feed Sci Technol.117(3-4): 223-233.

Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawed European mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologous fertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. CSIRO Repr Fertility Dev15:19–25

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Statistik Peternakan 2010. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. ISBN. 979-628-010-8. Jakarta.

Celik K, Serbest S, Vurur S, Pala A, Daglioglu K. 2003. Experiments to Investigate the Factors That Affect the Rate of Sex Constitution. Pakistan J Nutr2 (4): 238-241

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation- Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of the Early Lactation Cow.J Dairy Sci88: 4384-4392.

Cunningham EP. 1975. The effect of changing the sex ratio on the efficiency of cattle breeding operations.Livestock Prod Sci2:29-38.

Garner DL et al. 1983. Quantification of the X and Y chromosome bearing spermatozoa of domestic animal by flowcytometry. J Biol Repr28:312-321 Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A. 2008. Keasaman Cairan Tubuh

dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation- Anion Ransum yang Berbeda.Med. Pet. 31(2):87-98

Green MP et al. 2008. Nutritional skewing of conceptus sex in sheep: effects of a maternal diet enriched in rumen-protected polyunsaturated fatty acids (PUFA). Repr Biol Endocr 6:21

Hafez ESE. 1987. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger, Philadelphia.

Hendri. 1992. Usaha mengubah rasio sperma X dan Y dengan metode kolom menggunakan larutan Bovine Serum Albumin (BSA) dan penilaian angka kebuntingan serta perbandingan jenis kelamin anak pada kambing [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisi fisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anion ransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut.JITV14(1): 25-35. Johnson LA. 2000. Sexing mammalian sperm for production of offspring: the

state-of-the-art.Anim Repr Sci60-61:93-107.

Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers in seminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMC Clinical Pathology 7:6

Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role of superoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutase activity and lipid peroxide in human seminal plasma and spermatozoa.Hum Repr6(7):987-991. [17 September 2008]

Lindemann MD et al. 2004. A regional evaluation of chromium tripicolinate supplementation of diets fed to reproducing sows. J Anim Sci 82:2972- 2977.

Murray RK, Graner DK, Mayes PA, Rodwel VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, 26th edition. McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.

[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised Ed. Washington DC: National Academic Press.

[NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. Washington DC: National Academy Press.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient requirements of dairy cattle. 7threvised edition. Washington DC: National Academic Press.

Ozgocmen S, Sogut S, Fadillioglu E, Ardicoglu A, Ardicoglu O. 2003. Antioxidant status and lipid peroxidation in seminal plasma and spermatozoa of patients with ankylosing spondylitis. Rheumatology 42: 805-807

Pechova A, Pavlata L. 2007. Chromium as an essential nutrient : a review. Veterinarni Medicina52(1):1-18.

Pollard GV et al. 2001. Effects of organic chromium on protein synthesis and glucose uptake in ruminants.The Professional Anim Scientist17:261-266.

72

Rosenfeld CS, Robert RM. 2004. Maternal diet and other factors affecting offspring sex ratio : A Review.Biol Reprod71:1063−1070.

Rosenfeld CS.et al. 2003. Striking variation in the sex ratio of pups born to mice according to whether maternal diet is high in fat or carbohydrate. PNAS 10(8):4628–4632.

Saili T. 1999. Efektivitas penggunaan albumen sebagai medium separasi dalam upaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Y pada sapi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suttle NF. 2010. Mineral Nutrition of Livestock. 4th edition. CAB International, Wallingford. Hlm.453.

Dokumen terkait