• Tidak ada hasil yang ditemukan

PHYSIOLOGICAL CONDITION AND QUALITY OF SEMEN GARUT RAM FED WITH DIFFERENT LEVELS OF

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Kandang

Suhu dan kelembaban lingkungan kandang sangat berpengaruh terhadap penampilan produksi maupun reproduksi seekor ternak. Ternak yang dipelihara di lingkungan suhu dan kelembaban yang tepat akan menampilkan produksi secara maksimal. Yousef (1985) menyatakan bahwa daerah Thermoneutral Zone (TNZ) untuk domba berkisar antara 22-31 oC. Apabila terjadi peningkatan suhu

42

lingkungan hingga mencapai 35 oC atau lebih akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam mempertahankan keseimbangan panas pada tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan serta kondisi reproduksi terutama proses spermatogenesis. Cuaca panas akan meningkatkan spermatozoa abnormal pada ternak domba (Rege et al. 2000).

Suhu lingkungan kandang domba penelitian adalah minimum 24±1 oC dan maksimum 33±1 oC dan kelembaban pada pagi hari 93±3% dan siang hari 68±9%. Suhu maksimum lingkungan kandang penelitian dua derajat di atas suhu TNZ. Tingginya suhu lingkungan akan menyebabkan cekaman panas. Namun respon setiap ternak berbeda terhadap suhu lingkungan tinggi. Faktor yang mempengaruhi cekaman panas adalah daya adaptasi dan aklimasi individu ternak, bangsa ternak, umur, dan jenis kelamin (Yousef 1985; Stockman 2006).

Suhu Rektal dan Laju Respirasi Domba Garut Jantan

Suhu rektal dan laju respirasi dapat digunakan sebagai indikator kondisi fisiologis domba terhadap perubahan lingkungan maupun makanan. Jika suhu lingkungan meningkat akan diikuti peningkatan suhu tubuh, laju pernafasan serta laju denyut jantung sebagai respon utama pada ternak, sedangkan respon kedua ialah proses metabolik, perubahan hormonal dan enzimatik, kemudian terjadi penurunan konsumsi pakan dan peningkatan konsumsi air minum (Smith & Mangkoewidjojo 1988; Stockman 2006). Peningkatan suhu lingkungan kandang dari suhu yang rendah pada pagi hari menjadi suhu panas pada siang hari dapat menyebabkan cekaman panas. Peningkatan frekuensi respirasi dan suhu tubuh merupakan respon ternak terhadap cekaman panas. Penyaluran beban panas terutama melalui pernafasan membutuhkan metabolisme yang cepat berupa percepatan sirkulasi darah yang akan menghantarkan beban panas tersebut sehingga meningkatkan daya pompa jantung (Yousef 1985; Robinson 2002).

Pada penelitian ini suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi suhu rektal domba percobaan. Nilai rataan suhu rektal domba seluruh perlakuan pada pagi hari berkisar antara 38.74 hingga 38.95oC dan pada siang hari berkisar antara 38.09-39.14oC . Nilai tersebut masih dalam kisaran normal karena suhu tubuh ternak domba dalam keadaan normal yaitu berkisar antara 38.2-40 oC (Smith & Mangkowidjojo 1988; Robinson 2002). Kelembaban siang hari yang

cukup rendah selama penelitian berlangsung memungkinkan domba garut tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan dengan cara melepaskan panas melalui evaporasi, sehingga dapat mengurangi cekaman yang biasanya dialami ternak pada siang hari.

Tabel 7 Suhu rektal dan laju respirasi domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca

Peubah Waktu Ransum perlakuan

R0 R1 R2 R3 Suhu Rektal (oC) Pagi 38.74±0.14 38.70±0.30 38.76±0.27 38.95±0,41 Siang 39.00±0.19 38.88±0.20 38.09±0.28 39.14±0,36 Frekuensi Respirasi (nafas/menit) Pagi 28.00±4.40 29.00±6.59 37.00±12.28 35.00±12.21 Siang 65.00±7.07 70.00±20.94 76.00±17.68 88.00±16.29 Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

Suplementasi Cr dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0.05) laju respirasi domba garut jantan. Suhu rektal dan laju respirasi domba garut jantan yang ransumnya disuplementasi dengan Cr dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rataan laju respirasi domba Garut jantan selama penelitian menunjukkan nilai di atas rata-rata frekuensi pernafasan ternak domba yang normal yaitu 15–25 nafas/menit (Smith & Mangkowidjojo 1988). Namun sesuai dengan hasil penelitian Hernaman (2001), bahwa kisaran frekuensi respirasi domba yang disuplementasi Zn pra cekaman sebesar 40 kali/menit dan pasca cekaman 104 kali/menit. Menurut Silanokove (2000), frekuensi respirasi dapat dijadikan indikasi cekaman panas, yaitu adalah 40-60 nafas/menit (cekaman ringan), 60-80 nafas/menit (cekaman sedang), dan 80-120 nafas/menit (cekaman berat). Pada perlakuan ransum R3, laju respirasi cenderung tinggi karena suplementasi Cr dan nilai NKAR 0 akan mempengaruhi keasaman cairan tubuh. Rendahnya pH darah akan menyebabkan penurunan HCO3-, akibatnya akan meningkatkan laju pernafasan (Robinson

44

Profil Hematologi Darah Domba Garut Jantan

Kadar hemoglobin plasma darah domba dengan ransum R0 (11.30 g%), R1(11.50g%) , dan R3 (11.20g%) dalam keadaan normal, kecuali domba yang mendapat ransum R2 (12.70g%) menunjukkan nilai hemoglobin sedikit di atas normal (Frandson 1992). Namun menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988) nilai kadar hemoglobin tersebut masih dalam batas normal yaitu 9 – 15 g%. Nilai rataan kadar hematokrit dan leukosit berada pada kisaran normal yaitu 11% menurut Frandson (1992) dan 29 – 35% menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Rataan kadar eritrosit sedikit di bawah batas normal yaitu 11 juta/ml menurut Frandson (1992) tetapi masih dalam batasan normal yaitu 4.0 – 12.0 juta/ml menurut Smith dan Mangkowidjojo (1988). Suplementasi Cr dalam ransum (R2 dan R3) cenderung menurunkan kadar eritrosit darah domba.

Kekebalan tubuh ternak selalu melibatkan sel darah putih yang berfungsi menjaga tubuh dari agen penyakit dan bakteri. Nilai rataan diferensiasi lekosit darah domba garut perlakuan menunjukkan nilai kadar netrofil yang lebih besar dibandingkan kisaran normal, sedangkan nilai kadar limfosit darah domba lebih kecil dari kisaran normal. Peningkatan nilai netrofil mencapai dua kali dari keadaan normal, hal ini mengindikasikan adanya cekaman panas terhadap ternak domba garut jantan percobaan. Pengukuran netrofil dan limfosit ini merupakan indikator cekaman panas yang biasa digunakan pada hewan ternak (Sugito et al. 2007). Nilai kadar netrofil darah domba yang disuplementasi dengan Cr (R1 dan R3) cenderung menurunkan nilai netrofil dibandingkan dengan kadar netrofil darah domba kontrol. Akan tetapi penelitian Chang et al. (1996) menunjukkan bahwa suplementasi Cr tidak mempengaruhi aktivitas fagositosit neutrofil.

Eosinofil merupakan sel pertahanan tubuh yang berguna jika terjadi infeksi parasit, terutama parasit cacing dan sel ini akan menelan dan menghancurkan cacing yang masuk ke dalam tubuh hewan melalui proses fagositosis. Nilai rataan kadar eosinofil yang berada diatas kadar normal menggambarkan terjadinya alergi pada ternak (Frandson 1992). Kadar eosinofil darah domba yang disuplementasi Cr (R1 dan R3) cenderung lebih rendah dibandingkan kadar eosinofil darah domba kontrol.

plasma darah domba. Kisaran nilai rataan kadar glukosa plasma darah domba Garut jantan adalah 42.76 –46.73 mg/dl. Hasil ini sama dengan penelitian Sano et al. (2000) bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba pada suhu TNZ tidak mempengaruhi kadar glukosa darah, dan kadar glukosanya berkisar 50–54 mg/dl. Nilai rataan kadar glukosa darah domba setelah 1.5 - 3 jam setelah makan adalah 45.25–65.63 mg/dl (Poli 1998).

Tabel 8 Profil hematologi darah domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi dengan Cr dan Ca

Peubah

Ransum Perlakuan Nilai Normal

R0 R1 R2 R3 Frand* Smith** Hemoglobin (g%) 11.30±1.03 11.50±0.84 12.70±1.21 11.20±1.72 11 9–15 Hematokrit (%) 31.83±4.58 33.67±2.88 34.00±2.83 30.00±5.55 32 29–45 Eritrosit (juta/ml) 9.57±2.12 8.85±2.20 10.61±1.73 8.31±2.11 11 4.0– 12.0 Leukosit (ribu/ml) 7.73±2.25 8.63±2.54 9.26±1.14 9.02±3.09 7–10 9.0 -15 Glukosa (mg/dl) 45.05±7.42 49.62±7.15 42.76±8.35 46.73±9.80 Differensiasi leukosit: Netrofil (%) 62.00±10.39 51.67±11.50 53.83±16.15 55.17±4.67 25-30 17.5- 50 Limfosit (%) 24.17±6.55 35.83±13.27 32.33±12.08 31.17±6.74 60-65 50–75 Monosit (%) 4.83±1.33 4.17±1.47 4.67±0.82 5.17±2.23 5 0–6 Eosinofil (%) 9.00±4.56 7.83±4.02 9.17±3.97 8.50±4.85 2–5 0–8 Basofil (%) 0 0.33±0.52 0 0.08±0.28 Netrofil/Lim- fosit 3.12±0.82 2.00±1.11 2.30±1.16 2.09±0.63 25/60 *Nilai normal berdasarkan Frandson (1992).

**Nilai normal berdasarkan Smith dan Mangkowidjojo (1988)

Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0.05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0), R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

Meskipun terdapat perbedaan nilai dari profil darah yang diuji tetapi secara statistik suplementasi Cr, Ca dan NKAR berbeda dalam ransum tidak mempengaruhi (P>0.05) profil darah domba penelitian (Tabel 8).

Kualitas Semen Domba Garut

46

reproduksi ternak. Spermatogenesis adalah proses pembentukan spermatozoa di tubuli seminiferi. Terdiri atas spermatositogenesis dan spermiogenesis. Selama spermiogenesis, potensi motilitas terjadi pada saat spermatozoa melalui epididymis, sedangkan kapasitas spermatozoa diperoleh di beberapa bagian organ reproduksi (Cheah & Yang 2011). Ketidakseimbangan mikro mineral dalam ransum dapat mempengaruhi spermatogenesis pada produksi, maturasi, motilitas dan kapasitas fertilisasi spermatozoa (Yakuubet al. 2009).

Pengujian kualitas semen dari seekor ternak dapat dilakukan secara makroskopis (tanpa mikroskop) dan mikroskopis dengan bantuan mikroskop. Secara makroskopis yang terdiri atas volume, pH, warna, dan konsistensi, ternyata suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda yang diberikan pada domba garut tidak mempengaruhi nilai peubah kualitas makroskopis semen domba Garut pada pengujian hari ke-0 (H0). Demikian pula pada pengujian hari ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas makroskopis semen domba Garut. Volume rataan semen pada hari ke-0 pengamatan (H0) berkisar antara 0.56 ml sampai dengan 0.71 ml, nilai rataan pH semen berkisar antara 6.25 sampai dengan 6.58 sedangkan peubah kualitas semen lainnya disajikan pada Tabel 9 untuk pengamatan H0, Tabel 10 untuk pengamatan H21 dan Tabel 11 untuk pengamatan H49.

Uji kualitas secara mikroskopis terdiri atas gerakan massa, motilitas spermatozoa, ratio spermatozoa hidup dan mati, morfologi spermatozoa normal dan konsentrasi spermatozoa per ml. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan pada hari ke-0, ke-21 dan ke-49, suplementasi Cr pada ransum Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas mikroskopis semen segar domba Garut. Hal ini menunjukkan suplementasi Cr dan Ca pada NKAR berbeda tidak mempengaruhi spermatogenesis pada domba Garut.

Proses fertilisasi melibatkan proses fisiologis dan biokimia kompleks yang tidak hanya dapat diukur melalui evaluasi semen rutin. Salah satu yang berperan adalah adanya enzim yang berfungsi untuk fertilisasi yang terdapat dalam akrosom. Karena akrosom terdapat dalam kepala spermatozoa dan karena permukaan spermatozoa dikelilingi oleh membran plasma maka keutuhan dari membran plasma perlu diuji. Salah satu cara pengujian membran plasma adalah

menggunakan larutan hipoosmotik yang dikenal dengan hypoosmotic swelling (HOS) test (Hafez 1993; Nur et al. 2005). Pengujian membran plasma utuh (MPU) dari spermatozoa dengan menggunakan hypoosmotic swelling test (HOS Test) telah terbukti baik digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi keutuhan membran spermatozoa berbagai ternak seperti, kuda, sapi, dan kambing (Fonseca 2005).

Berdasarkan hasil pengamatan, ternyata nilai MPU pada domba garut tidak dipengaruhi pemberian Cr pada Ca dan NKAR berbeda. Nilai kisaran MPU spermatozoa domba Garut adalah 62.33 – 70.07%. Nilai MPU ini lebih baik dibandingkan nilai MPU pada kambing Saanen yaitu 53.7% (Nuret al. 2005) dan domba merino 47.2% (Fukui et al. 2004). Integritas membran plasma ditentukan oleh komposisi membran plasma spermatozoa. Membran plasma spermatozoa mengandung fosfolipid dan plasmalogen yang terdiri atas polyunsaturated fatty acid(PUFA). Rantai panjang asam lemak dari posfolipid membran plasma berasal dari metabolisme asam lemak linoleat (C18:2 n-6) dan α-asam lemak linolenat (C18:3 n-3) (Lenzi et al. 1996). Nilai MPU yang baik ini diduga karena ransum percobaan mengandung minyak jagung yang kaya PUFA terutama asam lemak linoleat. Kadar asam lemak tertinggi pada minyak jagung adalah asam linoleat sebanyak 60.4% (NRC 1985).

Tabel 9 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H0 Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Volume (ml) 0.56 ±0.15 0.60 ±0.26 0.66 ±0.21 0.71 ±0.33 pH 6.58 ±0.55 6.40 ±0.33 6.45 ±0.36 6.25 ±0.15 Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.50 ±0.55 1.50 ±0.55 Konsistensi 1.83 ±0.98 1.83 ±0.41 2.33 ±0.82 2.33 ±0.83 Gerakan Massa 2.42 ±1.20 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0 Motilitas (%) 71.67 ±5.77 71.67 ±2.58 70.00 ±5 65.00 ±10.80 Sperma Hidup %) 80.53 ±11.76 84.95 ±1.88 83.95 ±5.11 77.61 ±3.22 Konsentrasi (juta spz/ml) 2637 ±1476 2741 ±933 2754 ±654 3504 ±312 Morfologi Spz Normal (%) 92.10 ±1.27 92.92 ±2.80 93.38 ±2.09 93.37 ±1.85 MPU (%) 70.07 ±13.25 68.70 ±12.05 62.33 ±3.78 66.27 ±9.09

Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

48

Tabel 10 Kualitas semen domba Garut jantan uang ransumnya disupelementasi Cr dan Ca pada H21 Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Volume (ml) 0.80 ±0.41 0.78 ±0.25 0.59 ±0.32 0.77 ±0.28 pH 6.35 ±0.23 6.33 ±0.35 6.32 ±0.24 6.35 ±0.23 Warna 1.33 ±0.52 1.00 ±0 1.17 ±0.41 1.00 ±0 Konsistensi 2.33 ±0.52 2.17 ±0.41 2.00 ±0.63 2.00 ±0 Gerakan Massa 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0 3.00 ±0 Motilitas (%) 67.50 ±2.89 74.00 ±2.24 71.67 ±5.77 74.00 ±8.22 Sperma Hidup (%) 81.08 ±5.64 87.43 ±4.70 85.07 ±5.67 85.62 ±10.71 Konsentrasi (juta spz/ml) 2741 ±721 2712 ±566 2591 ±746 2637 ±550 Morfologi Spz Normal (%) 88.77 ±9.90 93.80 ±1.03 91.61 ±2.38 89.16 ±12.43 MPU (%) 55.79 ±8.73 56.61 ±6.30 54.88 ±6.24 52.89 ±13.93 Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49 Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kental

Nilai warna: 1= putih susu, 2= kream

Tabel 11 Kualitas semen domba Garut jantan yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca pada H49 Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Volume (ml) 0.57±0.42 0.61±0.20 0.68±0.42 0.76±0.26 pH 6.37b±0.34 6.17b±0.08 6.48a±0.42 6.22b±0.04 Warna 1.67±0.52 2.00±0 2.00±0 2.00±0 Konsistensi 2.17±0.75 2.33±0.52 2.67±0.52 2.50±0.55 Gerakan Massa 2.92±0.20 2.67±0.26 3.00±0 2.92±0.20 Motilitas (%) 74.00±4.18 73.00±4.47 72.50±6.45 73.75±4.79 Sperma Hidup (%) 83.70±6.47 83.77±5.57 83.04±6.22 86.04±3.25 Konsentrasi (juta spz/ml) 2850±74 3100±473 3000±851 3258±778 Morfologi Spz Normal (%) 93.04±1.85 94.16±2.94 93.99±1.93 94.00±1.43 MPU (%) 64.34±4.97 61.63±8.84 58.20±5.57 57.13±6.24 Keterangan: Rataan perlakuan pada semua peubah tidak berbeda nyata (P > 0,05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

H0: pengamatan hari ke-0, H21: pengamatan hari ke-21, H49: pengamatan hari ke-49 Nilai konsistensi:1= encer, 2=sedang, 3=kental

Nilai motilitas spermatozoa pada pengamatan H0, H21 dan H49 cenderung menunjukkan kenaikkan (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71,67 pada H21; 72.50 – 74.00 pada H49). Terutama nilai motilitas spermatozoa pada perlakuan R3 terjadi peningkatan cukup tinggi yaitu dari 65.005 sampai 74.00%. Hal tersebut mengindikasikan adanya pengaruh pemberian pakan pada semua perlakuan yang telah memenuhi kecukupan nutrisi bagi ternak domba jantan. Jumlah Ca yang mencukupi pada ransum R3 diduga mempengaruhi peningkatan motilitas spermatozoa. Hal ini sejalan dengan Kanyinji dan Maeda (2010) dan Cheah dan Yang (2011) bahwa pemberian Ca dalam ransum dapat meingkatkan motilitas spermatozoa. Motilitas tertinggi terjadi pada H49 diduga karena lama proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay 2000). Menurut Robinson et al. (2006) lama spermatogenesis pada domba adalah 47 hari, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan sebelum dikawinkan. Sehingga semua spermatozoa pada H49 merupakan spermatozoa yang telah dipengaruhi oleh nutrisi ransum perlakuan.

Motilitas dan MPU Spermatozoa Hasil Separasi

Sebelum dapat mengetahui perbedaan karakteristik spermatozoa X dan Y domba, spermatozoa dalam semen domba harus dilakukan separasi spermatozoa. Teknik separasi yang digunakan adalah separasi dengan kolom albumin. Menurut Saili (1999) teknik ini sederhana dan cukup baik untuk digunakan dan pada ternak sapi menghasilkan menghasilkan 73.5% spermatozoa Y pada fraksi bawah dan 71% spermatozoa X pada fraksi atas.

Hasil pengujian kualitas spermatozoa fraksi atas dan bawah semen domba Garut hasil separasi menggunakan metoda albumin disajikan pada Tabel 12. Motilitas spermatozoa hasil separasi tidak dipengaruhi oleh suplementasi Cr dalam ransum domba pada koleksi hari ke-0, 21 ataupun ke 49. Nilai rataan motilitas spermatozoa setelah separasi lebih rendah (5.00 – 23.33% spermatozoa fraksi atas dan 20.00 –32.50 spermatozoa fraksi bawah pada H0; 18.33–35.83% spermatozoa fraksi atas dan 22.50 –48.33% spermatozoa fraksi bawah pada H21; 17.50 – 31.67% spermatozoa fraksi atas dan 23.33 – 30.00% spermatozoa fraksi bawah pada H49) bila dibandingkan dengan motilitas spermatozoa sebelum

50

dilakukan separasi (65.00 – 71.60% pada H0; 67.50 – 71.67 pada H21; 72.50 – 74.00 pada H49). Hal ini disebabkan oleh perlakuan pada saat separasi yaitu sentrifugasi dan penggunaan media yang mengandung bahan kimia, yang akhirnya akan mempengaruhi viabilitas spermatozoa dengan terbukti dengan menurunnya nilai MPU dan nilai motilitas spermatozoa.

Tabel 12 Motilitas dan MPU spermatozoa fraksi atas dan bawah (%) hasil separasi albumin semen domba Garut yang ransumnya disuplementasi Cr dan Ca

Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 Hari ke-0: Fraksi Atas Motilitas 11.67 ±11.25 15.83 ±17.44 23.33 ±18.89 5.00 ±4.47 MPU 45.60 ±5.92 37.83 ±6.37 46.60 ±15.44 34.86 ±12.50 Fraksi Bawah Motilitas 23.33 ±27.51 20.00 ±22.80 32.50 ±29.62 27.50 ±31.10 MPU 41.11 ±4.47 35.41 ±12.41 45.42 ±6.33 37.61 ±18.35 Hari ke-21 Fraksi Atas Motilitas 23.33 ±18.89 35.83 ±23.96 18.33 ±25.43 25.00 ±24.08 MPU 49.13 ±14.4 38.98 ±8.67 36.47 ±13.42 42.77 ±8.66 Fraksi Bawah Motilitas 44.17 ±15.94 48.33 ±20.66 22.50 ±24.03 46.67 ±16.33 MPU 46.48 ±9.81 46.90 ±6.97 47.40 ±12.11 42.91 ±17.58 Hari ke-49 Fraksi Atas Motilitas 28.33±14.38 31.67±14.38 17.50±21.15 31.67 ±17.51 MPU 39.45±10.70 39.54±9.60 35.38±11.72 31.62 ±6.97 Fraksi Bawah Motilitas 30.00±10.49 29.17±15.30 23.33±16.63 28.33 ±9.83 MPU 47.46±16.96a 36.61±13.08b 36.84±10.66b 28.36 ±1.36b Keterangan: Nilai dengan huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)

R0 = Ransum basal (NKAR+14), R1 = R0 + Cr (NKAR+14), R2 = R0 + Ca (NKAR 0, R3 = R2 + Cr (NKAR 0)

Motilitas spermatozoa fraksi bawah cenderung lebih tinggi daripada motilitas spermatozoa fraksi atas, baik itu pada pengamatan H0, H21 dan H49. Hal ini dapat diduga karena fraksi bawah adalah fraksi yang terdiri atas sebagian besar spermatozoa Y daripada spermatozoa X. Kandungan DNA spermatozoa Y lebih rendah 2.78% daripada spermatozoa X; kepala spermatozoa Y lebih kecil

dan lebih ringan daripada spermatozoa X; panjang kromosom Y lebih pendek 2.35 kali daripada kromosom X (Shettles 1970). Oleh karena itu, gerakan spermatozoa Y lebih cepat daripada spermatozoa X (Ericsson & Glass 1982).

Suplementasi Cr dalam ransum domba tidak berpengaruh terhadap nilai MPU spermatozoa fraksi bawah maupun fraksi atas pada pengujian hari ke-0 dan 21. Nilai MPU pada spermatozoa yang dikoleksi pada hari ke-0 dan ke-21 tidak dipengaruhi oleh Cr yang diberikan dengan nilai MPU masing-masing 34.86 – 46.60% pada fraksi atas dan 35.41–45.42% pada fraksi bawah (H0) dan 36.47– 49.13% pada fraksi atas dan 42.91 – 47.40 pada fraksi bawah (H21). Pada hari pengujian hari ke-49, terlihat bahwa suplementasi Cr pada R3 menurunkan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah (28.36%). Spermatozoa pada fraksi bawah sebagian besar adalah spermatozoa Y yaitu 73.5% (Saili 1999). Penurunan MPU spermatozoa fraksi bawah diduga karena perlakuan suplementasi Cr dalam ransum berpengaruh menurunkan kualitas membran spermatozoa fraksi bawah. Hal ini diduga karena adanya penurunan kadar Ca dalam plasma semen akibat suplementasi Cr dalam ransum. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa suplementasi Cr dalam ransum domba Garut akan menurunkan kadar Ca semen (Tabel 3). Fungsi Ca dalam semen adalah meningkatkan motilitas spermatozoa (Cheah & Yang 2011), sehingga rendahnya kadar Ca dalam semen akan menurunkan motilitas spermatozoa.

Pada H49 nilai MPU ternyata berbeda antar ransum yang diberikan. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan Cr yang diberikan sudah mempengaruhi kualitas semen. Diduga kadar Cr dalam semen berpengaruh buruk terhadap integritas membran spermatozoa terutama pada spermatozoa fraksi bawah. Seperti diketahui proses spermatogenesis pada domba berlangsung antara 46-49 hari (Senger 2005; Bearden & Fuquay 2000) sehingga dapat dipahami jika perbedaan nilai MPU baru terlihat pada spermatozoa yang prosesnya sudah dipengaruhi oleh Cr yang diberikan. Hal in sejalan dengan pendapat Robinson et al. (2006) bahwa untuk memenuhi kebutuhan nutrien tertentu direkomendasikan pemberian pakan dilakukan 2 bulan (satu periode spermatogenesis) sebelum domba dikawinkan. Sehingga respon reproduksi karena pemberian nutrien akan terlihat. Tidak berpengaruhnya suplementasi Cr pada H0 atau H21 karena semen yang

52

diejakulasikan adalah hasil spermatogenesis satu bulan sebelumnya.

Spermatozoa Y tidak tahan pada kondisi asam, sebaliknya sperma X oleh karena itu pada kondisi asam yang akan membuahi sel telur adalah spermatozoa X, sehingga akan terbentuk zigot berkromosom XX dan menghasilkan anak betina. Sebaliknya, jika cairan tubuh basa, spermatozoa Y lebih tahan hidup dan kemungkinan yang akan membuahi gamet X pada sel telur sehingga terbentuk zigot XY sehingga menghasilkan anak jantan (Pratt et al. 1987). Kemungkinan karakteristik yang sama akan terjadi pula pada spermatozoa X atau Y bila keasaman plasma semen menjadi lebih asam atau basa. Hidayat (2009) melaporkan perubahan NKAR dapat mengubah keasaman plasma semen domba dan perubahan mulai terjadi pada hari ke-28, dimana pH plasma berkisar antar 5.9 sampai 7.3. Karakteristik spermatozoa seperti itu mungkin terjadi pula pada spermatozoa domba jantan yang diberi perlakuan R3. Hal itu terjadi karena ransum R3 mengandung Cr lebih banyak dan memiliki NKAR 0 atau lebih asam dibandingkan ransum R0, R1 dan R2.

Hasil uji MPU yang rendah pada fraksi bawah semen domba Garut dapat diartikan bahwa kemampuan fertilisasi spermatozoa fraksi bawah yang sebagian besar adalah spermatozoa Y adalah rendah. Sehingga diduga bila semen domba Garut hasil separasi pada perlakuan R3 jika diinseminasikan pada domba betina maka kemampuan spermatozoa Y untuk membuahi sel telur akan rendah dibandingkan spermatozoa X. Sehingga kemungkinan rasio anak yang lahir lebih banyak anak betina dibandingkan anak jantan.

SIMPULAN

1. Profil hematologi darah domba tidak dipengaruhi suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda, namun ada kecederungan memperbaiki kadar netrofil.

2. Suplementasi Cr pada ransum dengan Ca dan NKAR berbeda tidak mempengaruhi kualitas semen domba Garut secara makroskopis ataupun mikroskopis.

3. Suplementasi Cr dalam ransum yang mengandung NKAR asam menurunkan pH semen dan nilai MPU spermatozoa fraksi bawah pada hari ke-49.

DAFTAR PUSTAKA

Alsaiady M. et al. 2004. Effect of chelated chromium supplementation on lactation performance and blood parameters of Holstein cows under heat stress.Anim Feed Sci Technol.117(3-4): 223-233.

Anderson RA, Polansky MM. 1981. Dietary chromium deficiency: Effect on sperm count and fertility in rats.Biol Trace Element Res 3:1-5

Al-Muffarej SI, Al-haidary IA, Al-Kraidees MS, Hussein M. 2008. Effect of chromium dietary supplemention on the immune response and some blood biochemical parameters of tranport-stressed lambs. Asian-Aus J Anim Sci 21(5):671-676.

[AOAC] Association of Official of Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. 18th Ed. Assoc. Off. Anal. Chem., Arlington

Arifiantini RI, Yusuf TL,Toelihere MR. 2004. Proses Produksi Semen Beku Kerbau dengan Sistem Minitub. Laboratorium Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan. Departemen Reproduksi dan Kebidanan, FKH IPB. Astuti WD, Sutardi T, Evvyernie D, Toharmat T. 2006. Inkorporasi kromium

pada khamir dan kapang dengan substrat singkong yang diberi kromium anorganik.Med Pet 29: 83-88.

Bearden HJ, Fuquay JW. 2000. Applied Animal Reproduction. Missisisipi State University.

Berlinguer F et al. 2003. Superoxide dismutase affects the viability of thawed European mouflon (Ovis g. musimon) semen and the heterologous fertilization using both IVF and intracytoplasmatic sperm injection. Repr Fertility and Development 15: 19–25

Carry EE, Allaway WH. 1971. Determination of chromium (III) in yeast. Food Technol Biotechnol4: 291-297.

Chan PS, West JW, Bernard JK, Fernandez JM. 2005. Effects of Dietary Cation- Anion Difference on Intake, Milk Yield , and Blood Components of the Early Lactation Cow.J Dairy Sci 88: 4384-4392.

Chang X, Mallard BA, Mowat DN. 1996. Effects of chromium on health status, blood neutrophil phagocytosis and in vitro lymphocyte blastogenesis of dairy cows.Veterinary Immunology and Immunopathology. 52:37-52

Cheah Y, Yang W. 2011. Functions of essential nutrition for high quality spermatogenesis.Advance in Biosci Biotechnol 2:182-197.

Ericsson RJ, Glass RH. 1982.Functional Differences Between Sperm Bearing The X Or Y Chromosome. In Amann RP, Seidel Jr GE , Editor. Prospects for Sexing Mammalian Sperm. USA: Colorado Associated University Press.

54

Fathul F, Toharmat T, Permana IG, Boediono A . 2008. Keasaman Cairan Tubuh dan Rasio Kelamin Anak Domba Garut (Ovis aries) yang Diberi Kation- Anion Ransum yang Berbeda.Med Pet31(2):87-98

Fonseca JFet al. 2005. The hypoosmotic swelling test in fresh goat spermatozoa. Anim Repr Sci 2(2):139-144.

Frandson RD. 1992.Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Fukui Y et al. 2004. Validation of the Sperm Quality Analyzer and the Hypo- osmotic Swelling Test for Frozen-thawed Ram and Minke Whale (Balaenoptera bonarensis) Spermatozoa.Repr50(1): 147-154

Hafez ESE. 1993. Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea Febiger, Philadelphia

Hernaman I. 2001. Metabolit dan Respons Antibodi Pasca Cekaman Transportasi pada Domba dengan Ransum yang Disuplementasi Seng dan Minyak Ikan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hidayat R, Toharmat T, Boediono A, Permana IG. 2009. Manipulasi kondisi fisiologis dan keasaman semen melalui pengaturan perbedaan kation anion ransum dan suplementasi asam lemak pada domba Garut.JITV14(1): 25-35. Kanyinji F., Maeda T. 2010. Additional dietary calcium fed to Barred Plymouth Rock roosters reduces blood cholesterol, elevates seminal calcium, and enhances sperm motility, thermo-tolerance and cryosurvivability. Anim repr sci 120:158-165.

Khosrowbeygi A, Zarghami N. 2007. Levels of oxidative stress biomarkers in seminal plasma and their relationship with seminal parameters. BMC Clinical Pathology 7:6

Kobayashi T, Miyazaki T, Natori M, Nozawa S. 1991. Protective role of superoxide dismutase in human sperm motility: superoxide dismutase

Dokumen terkait