• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAUN KERITING KUNING ABSTRAK

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai Februari 2009 hingga Februari 2010. Penanaman cabai dilakukan di rumah kaca KP. Cikabayan Dramaga; pengamatan trikoma dan sel palisade di Lab. Ekofisiologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB; analisis aktivitas enzim peroksidase di Lab. Rekayasa Bioproses PAU IPB; serta analisis akumulasi asam salisilat di Balai Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Departemen Pertanian Cimanggu Bogor.

Bahan dan Metode

Bahan yang digunakan adalah enam genotipe cabai, yaitu IPB C10, IPB C12, IPB C14, IPB C15, IPB C26, dan 35C2. Empat genotipe IPB C10, IPB C12, IPB C14, dan IPB C15 telah digunakan pada penelitian I (Karakterisasi Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum spp.)). Pemilihan genotipe berdasarkan pada pengelompokan genotipe pada penelitian pertama dan hasil skrining beberapa genotipe oleh Ganefianti (2008). Isolat Begomovirus yang digunakan adalah isolat Segunung yang merupakan koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor. Alat yang digunakan adalah

spektrofotometer, alat PCR, mikroskop optik, muscle color chart, dan High- Performance Liquid Cromatography (HPLC).

Penularan Begomovirus dengan Serangga Vektor B. tabaci

Inokulasi dilakukan menggunakan vektor B. tabaci (kutukebul) (Aidawati et al. 2002) pada tanaman umur 15 hari setelah semai (hss) yaitu pada fase kotiledon yang telah membuka penuh. Pemeliharaan B. tabaci dan prosedur penularan Begomovirus menggunakan serangga vektor dilakukan sesuai dengan prosedur yang dilakukan Pico et al. (1999). B. tabaci dipelihara pada tanaman kapas dalam kurungan kedap serangga. B. tabaci dewasa diberi periode makan akuisisi pada

tanaman cabai yang bergejala selama 24 jam. Setelah itu sebanyak 10 ekor B. tabaci

dipindahkan ke tiap tanaman cabai sehat yang kemudian ditutup dengan kurungan kain kasa. Periode makan inokulasi ini dilakukan selama 48 jam. Setelah inokulasi,

B. tabaci dimatikan melalui penyemprotan dengan insektisida. Tanaman cabai dipelihara sampai timbul gejala hingga periode produksi. Sebagian tanaman cabai yang diinokulasi digunakan sebagai bahan pengamatan dan pengujian respon ketahanan serta pengukuran bobot buah. Tanaman yang tidak diinokulasi digunakan untuk pengukuran dan pengamatan sifat struktural.

Rancangan Percobaan

Rancangan disusun berdasarkan Split Plot. Untuk pengamatan produksi, terdiri dari 3 ulangan dan aktivitas enzim peroksidase dengan 2 ulangan. Setiap ulangan terdiri atas 10 tanaman. Petak utama adalah perlakuan inokulasi dan tanpa inokulasi, anak petak adalah ulangan. Pengamatan sifat struktural dan respon ketahanan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok Lengkap 3 ulangan. Pengamatan sifat struktural dilakukan dengan masing-masing ulangan 3 sudut pandang yang berbeda pada daun yang tidak diinokulasi Begomovirus. Pengamatan respon ketahanan cabai pada masing-masing ulangan menggunakan 5 tanaman bergejala. Respon 6 genotipe cabai yang digunakan tersebut telah diketahui berdasarkan penelitian sebelumnya, yaitu IPB C12 sebagai genotipe tahan, IPB C14 dan IPB C15 moderat tahan, IPB C10 dan IPB C26 moderat rentan, serta 35C2 genotipe rentan (Ganefianti 2008). Sebagai kontrol adalah tanaman tanpa perlakuan infeksi Begomovirus.

Peubah Pengamatan

Pengamatan sifat-sifat struktural meliputi jumlah dan kerapatan trikoma, panjang dan lebar sel palisade, serta ketebalan daun. Pengamatan sifat-sifat biokimia meliputi pengukuran enzim peroksidase dan asam salisilat. Pengamatan faktor produksi dilakukan terhadap bobot buah. Deteksi PYLCV menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction).

Prosedur dan cara pengamatan sifat struktural, biokimia, faktor produksi, dan deteksi PYLCV pada masing-masing peubah disampaikan berikut ini.

a. Jenis Gejala dan Persentase Kejadian Penyakit

Pengamatan jenis gejala dilakukan pada saat panen pertama, dimana pada fase tersebut umumnya tanaman telah memiliki tingkat kestabilan perkembangan gejala lanjut. Pengamatan masa inkubasi dilakukan sejak tanaman diinokulasi Begomovirus hingga 75 hari setelah inokulasi.

b. Kerapatan Trikoma, Sel Palisade, dan Ketebalan Daun

Pengambilan sampel untuk pengukuran kerapatan trikoma, sel palisade, dan ketebalan daun dilakukan saat inokulasi (15 hss), yaitu fase kotiledon (daun ke-0) sampai daun ke-8 dalam keadaan segar pada daun yang tidak diinokulasi Begomovirus. Daun 0 merupakan fase kotiledon, daun ke-1 hingga ke-3 adalah fase vegetatif awal, daun ke-4 hingga ke-5 adalah fase vegetatif akhir, daun ke-6 hingga ke-8 adalah fase generatif.

Sampel daun cabai dibagian tengah dipotong-potong berukuran sekitar 2 x 0.5 cm2. Kemudian sampel diletakkan dalam posisi tegak pada tempat yang telah disediakan dan ditambahkan setetes air terus-menerus hingga seluruh sampel tertutup oleh air. Silet tajam sekali pakai dipegang dari samping. Setelah itu, sampel siap diiris dengan ketebalan ±10 µm, bila hasil irisan terlalu tebal atau tipis, diulangi hingga sesuai yang dikehendaki. Hasil potongan dimasukkan dalam cawan petri dengan menggunakan kuas gambar, bila hasil potongan melekat di pisau dapat ditetesi dengan aquades, posisi pisau berada di depan bahan yang akan dipotong. Kemudian, potongan tersebut diletakkan di bawah mikroskop dan diamati dengan perbesaran 10x. Kerapatan trikoma dihitung di bawah mikroskop optik menggunakan bantuan hand counter. Ketebalan dinding sel palisade dan ketebalan daun difoto menggunakan kamera digital Olympus 10 megapixel dan dihitung menggunakan bantuan mikrometer.

c. Akumulasi Asam Salisilat

Analisis kuantitatif dilakukan oleh Balai Penelitian Pasca Panen Departemen Pertanian menggunakan metode High Pressure Liquid Cromatografy (HPLC) (Blair et al. 1978). Uji pendahuluan dilakukan pada saat 48 jam setelah inokulasi (jsi), 72 jsi, 96 jsi, dan 120 jsi. Analisis akumulasi asam salisilat dilakukan terhadap kotiledon hingga daun termuda (pucuk) pada waktu 120 jsi. Sampel yang digunakan 0.2 g/sampel dalam keadaan segar.

d. Aktivitas Enzim Peroksidase

Analisis dilakukan oleh Laboratorium Bioproses dan Rekayasa PAU IPB dengan metode yang dikembangkan Zen et al. (2002). Analisis dilakukan terhadap kotiledon hingga daun termuda (pucuk) pada waktu 120 jsi. Sampel yang digunakan 0.5 g/sampel dalam keadaan segar. Penentuan aktivitas enzim peroksidase dilakukan berdasarkan absorbansi dari larutan yang diperiksa.

Sepuluh gram daun cabai digerus dalam mortar dalam 100ml aquades pada suhu 4˚C sampai homogen, kemudian disaring dengan kertas saring. Selanjutnya, filtrat disentrifugasi pada suhu 4˚C selama 15 menit pada 4500 putaran per menit. Supernatan yang diperoleh digunakan sebagai ekstrak enzim. Ekstrak enzim disimpan dalam lemari es sebelum ditentukan aktivitasnya. Pyrogallol sebagai donor dibuat dengan mencampur 10 ml larutan pyrogallol 0.5 M dengan 12.5 ml bufer fosfat pH 7.0, selanjutnya campuran tersebut diencerkan dengan aquades sampai volume 100 ml. Hidrogen peroksidase dibuat dengan mencampur 2.0 ml H2O2 0.01 N dengan 10.0 ml bufer fosfat 0.05 M Ph 7.0. Dengan penambahan hidrogen peroksida, pyrogallol akan teroksodasi oleh enzim peroksidase dan menghasilkan purpurogallin yang berwarna merah jingga.

Aktivitas enzim peroksidase ditentukan dengan menggunakan dua tabung. Tabung pertama sebagai blanko berisi campuran yang terdiri dari 5.0 ml ekstrak enzim dan 5 ml larutan pylogallol. Campuran ini diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 ml. tabung kedua berisi campuran yang terdiri dari 50 ml ekstrak enzim, 5 ml larutan pirogalol dan 5.0 ml H2O2 dengan konsentrasi 1%, diukur absorbansinya dengan spektrofotometer

pada panjang gelombang 420 m dan diamati perubahan nilai absorbansinya sampai angka konstan. Waktu yang diperlukan untuk mencapai absorbansi yang konstan dicatat. Perubahan nilai absorbansi menunjukkan adanya reaksi pembentukan senyawa purpurogallin dari oksidasi pyrogallol oleh peroksidase dan H2O2. Penentuan aktivitas enzim peroksidase dilakukan berdasarkan absorbansi dari larutan yang diperiksa sengan rumus sebagai berikut: V= A/(t x c), dimana V adalah aktivitas enzim dinyatakan sebagai unit aktivitas enzim/gram sampel daun, A adalah selisih absorbansi sesudah dan sebelum penambahan hidrogen peroksida, t adalah waktu yang diperlukan untuk perubahan absorbansi, dan c adalah konsentrasi enzim dalam gram berat bahan. e. Pengamatan Komponen Produksi

Pengamatan berdasarkan IPGRI (1995) Descriptor for capsicum (Lampiran 1).

f. Deteksi PYLCV Menggunakan Teknik PCR dan Hibridisasi Dot Blot

Deteksi diawali dengan isolasi DNA total, kemudian dimasukkan dalam mesin PCR dan divisualisasi pada gel elektroforesis. Produk PCR kemudian digunakan untuk mendeteksi konsentrasi Begomovirus menggunakan teknik Hibridisasi Dot Blot. Prosedur Hibridisasi Dot Blot mengikuti panduan Roche

(2004). Tahapan deteksi dengan metode PCR dan Hibridisasi Dot Blot adalah sebagai berikut.

Isolasi DNA Menggunakan Metode CTAB (Doyle and Doyle 1990 yang dimodifikasi). Bufer ekstraksi (CTAB bufer) sebanyak 10 ml yang mengandung 1% merkaptoetanol dipanaskan dalam penangas air pada suhu 65˚C selama 10 menit. Sampel daun tanaman cabai digerus menggunakan mortar sampai lembut dengan menambahkan 500 ml bufer ektraksi. Hasil gerusan yang lembut kemudian ditambahkan lagi 250µl bufer ektraksi dan dimasukkan dalam tabung mikro ukuran 1.5ml. Inkubasi campuran hasil gerusan dan bufer ekstraksi diinkubasi pada suhu 65˚C selama 60 menit dan setiap 10 menit tabung mikro dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Kemudian campuran diambil dari penangas air dan didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang, kemudian

ditambahkan 500µl campuran kloroform:isoamilalkohol (CI) dengan perbandingan 24:1. Campuran divortex selama 5 menit kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 12.000 rpm. Supernatan yang terbentuk diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke tabung mikro yang baru. Di dalam supernatan ditambahkan 1/10 sodium asetat (CH3COONa) dan dicampur dengan baik. Setelah itu, ditambahkan 2/3 x volume isopropanol atau 2.5 x volume etanol absolut untuk prosipitasi DNA dan dicampur dengan membolak-balik tabung perlahan. Inkubasi -20˚C semalam. Sentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan DNA. Cairan dibuang dan endapan DNA dicuci dengan etanol 70% kemudian disentrifugasi lagi selama 5 menit pada kecepatan 8000 rpm. Cairan dibuang dan endapan DNA yang telah dicuci, kemudian dikeringkan. Setelah kering, endapan DNA dilarutkan kembali dengan 50-100 ml bufer TE.

Analisis PCR (Rojas et al. 1993). Campuran reaksi PCR dipersiapkan dengan mencampur 2.5 µl bufer 10x+Mg2+, 2.5 µl sukrosa10x, 0.5 µl dNTP, 1 µl primer AV1 (V1), 1 µl primer AV1 (C1), 0.2µl Taq DNA polymerase, dan 2 µl template DNA dari sampel daun cabai. Program amplifikasi pada mesin PCR terdiri atas pradenaturasi pada suhu 94˚C selama 4 menit, denaturasi 94˚C 1 menit, anneling 55˚C 1 menit, amplifikasi 72˚C 1 menit dan extention 72˚C 5 menit. Siklus yang dibutuhkan selama 30 kali. Selanjutnya hasil amplifikasi PCR divisualisasi menggunakan gel agarose elektroforesis.

Elektroforesis Gel Agarosa. Sebanyak 0.4 g agarosa ditambah 40 ml bufer TAE/TBE 0.5x, dipanaskan hingga terlarut dan didiamkan 30 menit hingga suhu ±50˚C sebelum ditambahkan 2µl Ethidium Bromide. Larutan agarosa dituang ke dalam cetakan gel yang telah disiapkan sebelumnya dan didiamkan hingga 60 menit hingga agarosa memadat. Hasil PCR ditambah loading dye dengan perbandingan 5:1. Sampel dimasukkan ke dalam tiap sumuran. Sampel dianalisis pada gel elektroforesis 50 V selama 60 menit. Visualisasi dilakukan menggunakan sinar ultraviolet pada transiluminator.

Teknik Hibridisasi Nonradioaktif (Hibridisasi Dot Blot)

Persiapan Sampel Daun Bergejala dan Membran. Sebanyak 1µl DNA hasil amplifikasi PCR diteteskan pada membran nilon (Hybond-N, Amersham). Membran dipotong sesuai kebutuhan dan dipotong pada bagian ujung kanan sebagai tanda memulai blot. Membran direndam beberapa detik dalam larutan DEPC, direndam kembali dengan SSC 20x selama 3 menit dan dikeringkan di atas kertas saring Whatman steril. Membran siap diblot sesuai rancangan desain. Membran diletakkan di atas sinar ultraviolet selama 3 menit dalam ruang gelap sebelum dilakukan hibridisasi.

Dig-DNA Labbeling. Pembuatan larutan pelacak DNA dengan menambahkan aquabidest ke dalam DNA template 1µl hingga mencapai 16µl. Larutan pelacak DNA didenaturasi dalam penangas air 65ºC selama 10 menit dan segera dipindahkan dalam wadah yang berisi es. Dig-High Prime (Vial 1) 4µl ditambahkan ke dalam larutan pelacak tersebut dan disentrifugasi 5000 rpm 2 menit. Campuran larutan pelacak DNA dan Dig-High Prime diinkubasi 1 jam atau semalam. Selanjutnya ditambahkan 2µl 0.2M EDTA pH 8.0 dan dipanaskan dalam penangas air 65ºC 10 menit untuk menghentikan reaksi.

Prehibridisasi DNA. Membran yang telah ditetesi dengan cairan daun bergejala ditempatkan dalam wadah plastik. Larutan prehibridisasi DIG Easy Hib 10ml/100cm2 dipanaskan pada suhu hibridisasi 42ºC 30 menit dan digoyang.

DIG-Labeled DNA Probe 25µl/ml didenaturasi 100ºC selama 5 menit dan langsung ditempatkan pada wadah yang berisi es. DIG-Labeled DNA Probe

ditambahkan ke dalam larutan DIG Easy Hib yang telah dipanaskan sebelumnya (3.5ml/100cm2 membran). Larutan dicampur dengan baik dan jangan sampai terjadi pembentukan busa.

Hibridisasi DNA. Membran direndam dalam larutan prehibridisasi yang telah ditambahkan Dig-DNA Labeling (larutan pelacak). Perendaman dilakukan semalam pada suhu 42˚C sambil digoyang. Membran dicuci 2 x 5 menit menggunakan 2x SSC, 0.1% SDS pada suhu 25ºC dan digoyang. Membran

dicuci kembali 2 x 15 menit menggunakan 0.5x SSC, 0.1% SDS pada suhu 65ºC dan digoyang.

Deteksi imunologi. Larutan hibridisasi yang mengandung pelacak DNA dan telah digunakan dimasukkan ke dalam tabungmikrobaru dan disimpan pada suhu -20˚C sampai digunakan kembali. Membran dicuci 5 menit pada suhu ruang dengan 100 ml larutan washing bufer. Membran diinkubasi selama 30 menit dalam 100ml blocking solution. Membran diinkubasi 30 menit dalam 20 ml antibody solution. Selanjutnya membran dicuci kembali 2 x 15 menit dengan larutan washing bufer. Membran diinkubasi 5 menit dalam 20 ml detection bufer.

Membran diinkubasi dalam 10 ml color substrate solution dalam keadaan gelap hingga 16 jam digoyang perlahan untuk proses pewarnaan. Prinsip kerja pewarnaan tersebut adalah terjadinya komplementasi antara pelacak DNA Begomovirus dengan DNA Begomovirus pada sampel yang diuji. Proses hibridisasi bereaksi positif bila terjadi perubahan warna menjadi ungu. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 ml TE bufer atau aquabidest selama 5 menit. Visualisasi intensitas warna ungu pada bulatan (dot blot) sampel dapat diamati.

Analisis data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan struktural, aktivitas enzim peroksidase dan produksi dianalisis nilai ragam, bila berbeda nyata dilanjutkan uji Duncan (DMRT) pada taraf 5%. Data analisis asam salisilat disajikan dalam bentuk grafik. Intensitas penyakit (IP) dihitung menggunakan rumus IP= [Վ(ni x zi)/(N x Z) x 100%] (Djatmiko et al. 2000; Yusnita dan Soedarsono 2004; Ganefianti et al.

2008), dengan i=0-5, ni=jumlah tanaman bergejala dengan nilai skor tertentu, zi=nilai skor gejala, N=jumlah total tanaman yang diamati, dan Z=nilai skor tertinggi. Skor gejala yang digunakan adalah: 0=tanpa gejala; 1=kuning; 2=kuning mengikuti tulang daun; 3=kuning hampir di seluruh bagian tumbuhan; 4= kuning dan terjadi perubahan bentuk daun menjadi keriting; 5= daun kuning keriting serta tanaman menjadi kerdil. Nilai IP yang didapat selanjutnya digunakan untuk mengelompokkan tingkat

ketahanan genotipe cabai terhadap Begomovirus dengan kriteria: imun (I) jika IP=0%; tahan (T) jika 0<IP≤5%; agak tahan (AT) jika 5<IP≤10%; agak rentan (AR) jika 10<IP≤20%; rentan (R) jika 20<IP≤40%; dan sangat rentan (SR) jika IP≥40%. Korelasi antar karakter dilakukan pada data pengamatan dan pengujian sifat struktural, biokimia, intensitas penyakit, dan produksi.

Dokumen terkait