Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Entomologi dan Gedung Workshop Fumigasi dan X-Ray di Balai Uji Terap Teknik dan Metoda Karantina Pertanian, Bekasi dari bulan November 2013 hingga Juni 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah fumigan fosfin cair (ECO2FUME® ; CYTEC Australia), bunga potong krisan, imago T. parvispinus, buncis, polen, madu, tissue, disposable masker dan kertas label. Alat-alat yang digunakan meliputi nozzle gun, selang penyalur, selang monitor, alat ukur deteksi kebocoran gas (Dräger Pac 7000) , alat ukur konsentrasi gas (Dräger X-am 7000), SCBA (self contained breathing apparatus) (Dräger), kipas angin, timbangan digital, kotak fumigasi kedap udara, mikroskop stereo, mikroskop compound, thermometer, hand counter, dissecting set, kotak perbanyakan serangga, nampan plastik, tabung plastik dan kuas.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 5 tahap, yaitu: (1) Koleksi dan identifikasi serangga uji; (2) Perbanyakan (rearing) T. parvispinus; (3) Uji pendahuluan dengan 2 tahap untuk menentukan batasan kisaran waktu dan konsentrasi yang diperlukan dalam fumigasi fosfin cair terhadap T. parvispinus; (4) Uji lanjut aplikasi fosfin cair dengan beberapa konsentrasi dan waktu papar tertentu terhadap T. parvispinus dan (5) Uji validasi konsentrasi dan waktu papar yang paling efektif dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.
Koleksi dan Identifikasi Serangga Uji
Perbanyakan dilakukan dengan cara mengumpulkan thrips yang terdapat pada tanaman krisan dan bunga potong krisan di lapangan, dengan cara mengambil daun dan bunga yang terserang thrips kemudian dikumpulkan dalam suatu wadah untuk dibawa ke laboratorium. Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap thrips yang didapatkan untuk memastikan bahwa serangga yang akan diuji adalah T. parvispinus. Identifikasi dilakukan berdasarkan kunci yang dibuat oleh Sartiami dan Mound (2013).
Perbanyakan T. parvispinus
Metode perbanyakan T. parvispinus dilakukan berdasarkan Helen dan Glenys (2009) dengan sedikit modifikasi pada pakan yaitu pergantian pakan mentimun dengan buncis. Imago thrips dipelihara dalam kotak plastik perbanyakan (22cm x 22cm x 22cm) yang bagian samping dipasangi kain kassa dan bagian atas ditutup dengan menggunakan clingwrap. Di dalam kotak
perbanyakan ditempatkan polen, madu, gulungan kapas basah dan pakan berupa buncis. Selain itu ditempatkan juga kertas saring yang ditutup dengan ram kawat sebagai tempat untuk menyimpan buncis. Pada setiap kotak perbanyakan ditempatkan sebanyak 60 thrips betina dan 10 thrips jantan dan dibiarkan kawin untuk menghasilkan telur, nimfa, pupa dan imago.
Gambar 4 Kotak perbanyakan T. parvispinus a. Diagram kotak perbanyakan tampak samping b. Diagram kotak perbanyakan tampak atas c. Kotak perbanyakan tampak samping d. Kotak perbanyakan tampak atas
(Helen dan Glenys 2009)
Keterangan : c = buncis, cw = clingwrap, h = madu, m = ram kawat, p = pollen, pc = vial berisi kapas basah, pt = kertas saring, rb = perekat, s = jendela dengan lapisan kain, w = gulungan kapas basah.
Pelaksanaan fumigasi fosfin cair
Tahap awal dalam pelaksanaan fumigasi adalah proses persiapan yang meliputi penyiapan serangga uji dan pemeriksaan alat keselamatan fumigasi, alat ukur konsentrasi gas, dan alat deteksi kebocoran. Bagan tata letak susunan pemasangan alat fumigasi disajikan pada gambar 5. Setelah siap, dilakukan penghitungan dosis atau jumlah fumigan yang digunakan untuk masing-masing konsentrasi. Menurut Barantan (2013) dosis dan konsentrasi dari fosfin cair dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Dosis (kg) = 14.000 (ppm) perlakuan i konsentras x ) (m fumigasi kotak Volume 3
15
dengan menggunakan rumus tersebut akan didapatkan dosis yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi sesuai dengan perlakuan yang diinginkan, dimana 1 gram fosfin setara dengan 700 ppm.
Gambar 5 Bagan tata letak susunan pemasangan alat fumigasi
(a) kotak fumigasi kedap gas; (b) wadah berisi T. parvispinus dan buncis sebagai pakan; (c) selang monitor; (d) alat ukur konsentrasi; (e) tabung berisi fosfin cair; (f) selang penyalur gas; (g) alat deteksi kebocoran; dan (h) nozzle gun
Proses pelepasan gas (gassing) untuk setiap perlakuan dilakukan sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Pelepasan gas dilakukan melalui selang penyalur pada tabung fosfin cair yang di bagian ujungnya dipasang nozzle gun untuk pengeluaran fosfin cair dalam jumlah yang diinginkan (gambar 6a). Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi fosfin dalam ruang fumigasi menggunakan alat ukur konsentrasi gas fosfin yang dihubungkan ke selang monitor (gambar 6b).
Fumigasi berlangsung setelah pelepasan gas dilakuan sesuai dengan waktu papar yang diinginkan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran konsentrasi akhir menggunakan alat ukur konsentrasi gas fosfin. Bila konsentrasi mengalami penurunan artinya terjadi kebocoran dalam proses fumigasi sehingga harus dilakukan pengulangan, namun jika konsentrasi fosfin cair yang diukur konstan maka fumigasi dinyatakan berhasil (gambar 6c).
Pada tahap akhir dilakukan proses pembebasan fumigan (aerasi) dari kotak fumigasi yang bertujuan untuk membuang sisa fumigan di dalam kotak fumigasi sampai ambang batas aman (Threshold Limit Value / TLV). Batas aman tercapai
75cm x 75cm x 75cm
15cm x 14cm x 7.5cm
Tinggi : 146cm Diameter : 22cm
bila konsentrasi di dalam kotak fumigasi dibawah 0.3 ppm. Dalam melakukan aerasi harus menggunakan alat keselamatan diri sesuai standar (gambar 6d).
Gambar 6 Tahap urutan pelaksanaan perlakuan fumigasi a. Pelepasan gas (gassing);
b. Pengamatan konsentrasi awal; c. Pengamatan konsentrasi akhir;
d. Proses pembuangan gas fosfin (aerasi) Uji Pendahuluan
Uji pendahuluan dilakukan dalam 2 tahap untuk menentukan kisaran waktu papar minimal yang diperlukan dalam pelaksanaan perlakuan fumigasi dengan kombinasi konsentrasi fosfin cair. Pada tahap pertama konsentrasi fosfin cair yang digunakan terdiri dari 5 taraf konsentrasi yaitu 0, 200, 250, 300, dan 350 ppm dengan waktu papar 1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 18 jam dengan 3 ulangan. Serangga uji yang digunakan sebanyak 25 ekor imago T. parvispinus pada setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan terhadap mortalitas T. parvispinus pada 1 jam setelah waktu papar untuk tiap perlakuan.
Pada uji pendahuluan tahap kedua dilakukan 5 perlakuan konsentrasi yang lebih rendah dan diduga dapat menyebabkan mortalitas T. parvispinus sebesar kurang dari 100% yaitu 175, 125, 75, 25, dan 0 ppm dengan waktu papar 1 jam. Hasil uji pendahuluan ini dijadikan sebagai dasar dalam menentukan waktu papar dan konsentrasi perlakuan yang digunakan pada uji lanjut.
17
Uji Lanjut Aplikasi Fosfin Cair pada T. parvispinus
Uji lanjut dilakukan terhadap imago T. parvispinus yang dilakukan pada wadah plastik dan kotak fumigasi yang sama pada uji pendahuluan. Pada uji lanjut dilakukan 3 perlakuan waktu papar (1, 3, dan 6 jam) dan 9 perlakuan konsentrasi fosfin cair (200, 175, 150, 125, 100, 75, 50, 25, dan 0 ppm). Tiap perlakuan diulang 3 kali di tiap gelas plastik yang diisi 25 ekor imago T. parvispinus.
Seluruh tahapan pengujian baik uji pendahuluan maupun uji lanjut dilakukan pada wadah plastik yang berisi buncis sebagai pakan dan ditempatkan dalam kotak fumigasi (fumigation chamber) dengan ukuran 0.75m x 0.75m x 0.75m. Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Uji validasi dilakukan pada kombinasi waktu papar dan konsentrasi dengan hasil terbaik pada uji lanjut dan ditambah 1 perlakuan konsentrasi di atasnya untuk memperkirakan kemungkinan adanya penyerapan gas fosfin cair oleh bunga potong. Pada uji validasi dan pengaruh terhadap kualitas bunga potong ini dilakukan 4 perlakuan konsentrasi (250, 200, 175, dan 0 ppm) pada 3 waktu papar (1, 3, dan 6 jam) dengan 3 ulangan. Perlakuan diujikan pada masing-masing 1 ikat bunga potong krisan (terdiri dari 10 bunga potong) dan pada setiap ikat bunga diinfestasikan 25 ekor imago T. parvispinus. Bunga potong ditempatkan pada kotak kertas yang ditutup kain kassa. Setelah aplikasi fosfin cair, dilakukan pengamatan terhadap mortalitas T. parvispinus dan kualitas bunga potong krisan. Bunga potong yang telah difumigasi ditempatkan dalam ember yang berisi air dan pengamatan dilakukan pada 1, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP) untuk penurunan kualitas bunga khususnya layu dan bercak. Pengamatan dilakukan secara visual dengan teknik skoring. Skor kerusakan bunga diamati pada bagian yang layu dan terdapat bercak berdasarkan Smith (1989), sebagai berikut:
0 = tidak terjadi kerusakan ( bunga sehat) 1 = kerusakan 1- 25 % (bunga layu sebagian)
2 = kerusakan 26 - 50 % ( bunga layu sebagian hingga setengahnya) 3 = kerusakan 51 - 75 % (bunga layu hampir seluruhnya)
4 = kerusakan 76 - 100 % (bunga layu seluruhnya hingga mati) Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Tukey dengan tingkat kesalahan 5%. Pengolahan data menggunakan program statistik Minitab 16 dan program POLOPLUSuntuk analisis probit.
Hasil Koleksi dan Identifikasi Serangga Uji
Serangga uji dari lapangan yang diidentifikasi memiliki ciri morfologi yang sama berdasarkan Sartiami dan Mound (2013). Menurut kunci identifikasi, thrips ini termasuk ordo Thysanoptera famili Thripidae yang merupakan spesies Thrips parvispinus. Serangga dewasa berukuran sangat kecil, dengan panjang tubuh lebih kurang 1 mm, bewarna kuning pucat hingga coklat kehitaman, bagian kepala dan thoraks terlihat lebih pucat dibandingkan dengan abdomen, abdomen berbentuk kerucut dan berwarna gelap (gambar 7).
Gambar 7 Imago T. parvispinus pada perbesaran 40 kali
T. parvispinus memiliki antena yang terdiri atas 7 segmen dimana pada ruas kedua dan ketiga terdapat organ sensori yang berbentuk kerucut bercabang seperti garpu (gambar 8). Pada bagian kepala terlihat mata majemuk yang berukuran besar dan oseli yang memiliki pigmen berwarna merah. Tidak memiliki seta oseli 1 dan seta oseli 2 lebih pendek daripada seta oseli 3. Seta oseli 3 terdapat di bagian pinggir bagian depan segitiga oseli (gambar 9). Alat mulut terdiri atas satu mandibel bagian kiri sementara mandibel bagian kanan tereduksi, sepasang maksila yang berkembang dengan baik, labrum di depan dan labium di belakangnya.
19
Gambar 9 Kepala T. parvispinus pada perbesaran 40 kali
Pada bagian toraks, terdapat 2 pasang seta posteroangular yang panjang dan 3 pasang seta posteromarginal. Metanotum memiliki pola retikulasi seperti kotak yang berukuran sama, tidak terdapat sensila kampaniform dan memiliki mesofurka dengan spinula. Sayap thrips berumbai dengan warna gelap agak transparan, memiliki panjang sayap lebih dari setengah panjang abdomen. Pada sayap depan venasi pertama dan kedua terdapat deretan seta yang lengkap. Sayap T. parvispinus (gambar 10).
Gambar 10 Sayap T. parvispinus pada perbesaran 200 kali
Abdomen terdiri dari 11 segmen, pada tergit 8 tidak terdapat comb (deretan mikrotrikhia). Pada bagian sisi tergit 5 sampai 8 terdapat ctenidia dan pada tergit 8 ctenidia terletak di belakang spirakel (gambar 11).
Uji Pendahuluan
Perlakuan fosfin cair pada uji pendahuluan tahap pertama menunjukkan bahwa semua serangga uji mengalami kematian sebesar 100% pada seluruh perlakuan (Lampiran 1). Untuk itu pada uji pendahuluan tahap kedua ditentukan waktu papar yang tercepat yaitu 1 jam dengan konsentrasi yang lebih rendah dari 200 ppm. Hasil pengujian pada tahap kedua disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1 jam
Konsentrasi fosfin (ppm) Mortalitas ±SDa (%) 175 98.7 ± 2.3 a 125 90.7 ± 2.3 b 75 68.0 ± 4.0 c 25 57.3 ± 2.3 d 0 0.0 ± 0.0 e a
Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%
Sementara itu nilai penduga parameter toksisitas fosfin cair disajikan pada tabel 3.
Tabel 3 Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T. parvispinus Fumigan a ± GBa b ± GBa LC50 (SK 95%) (ppm)a LC95 (SK 95%) (ppm)a Fosfin Cair -2.104 ± 0.350 0.123 ± 0.726 20.670 (3.994 – 34.210) 220.642 (103.175 – 6312.276)
aa:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku. SK : selang kepercayaan
Uji Lanjut Perlakuan Fumigasi Fosfin Cair pada T. parvispinus
Hasil uji lanjut menunjukkan persentase mortalitas tertinggi aplikasi fosfin cair terjadi pada perlakuan dengan konsentrasi 200 ppm pada semua waktu papar dan pada konsentrasi 175 ppm pada waktu papar 6 jam (tabel 4). Nilai penduga parameter toksisitas LC50 dan LC95 terendah ditunjukan pada waktu papar 6 jam yaitu 17.323 dan 120.609 (tabel 5)
21
Tabel 4 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam
Konsentrasi fosfin (ppm)
Mortalitas ±SDa pada (%)
1 Jam 3 Jam 6 Jam
200 100.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 a 100.0 ± 0.0 a 175 97.3 ± 2.3 ab 98.7 ± 2.3 a 100.0 ± 0.0 a 150 94.7 ± 2.3 ab 97.3 ± 2.3 ab 98.7 ± 2.3 ab 125 91.0 ± 2.6 b 92.0 ± 0.0 bc 93.3 ± 2.3 bc 100 78.7 ± 2.3 c 89.3 ± 2.3 c 92.0 ± 0.0 c 75 70.7 ± 6.1 c 77.3 ± 2.3 d 84.0 ± 4.0 d 50 61.3 ± 4.6 d 70.7 ± 2.3 e 74.7 ± 2.3 e 25 56.0 ± 0.0 d 66.7 ± 2.3 e 70.7 ± 2.3 e 0 0.0 ± 0.0 e 0.0 ± 0.0 f 0.0 ± 0.0 f a
Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%
Tabel 5 Penduga parameter toksisitas fosfin cair terhadap mortalitas T. parvispinus dengan waktu papar 1, 3, dan 6 jam
Lama perlakuan (Jam) a ± GBa b ± GBa LC50 (SK 95%) (ppm)a LC95 (SK 95%) (ppm)a 1 -2.959 ± 0.415 0.172 ± 0.902 29.134 (11.866 – 43.251) 189.907 (126.878 – 479.579) 3 -2.483 ± 0.439 0.193 ± 0.102 20.232 (6.403 – 32.430) 148.351 (102.567 – 329.80) 6 -2.417 ± 0.465 0.216 ± 0.116 17.323 (5.493 – 28.078) 120.609 (86.465 – 230.913) aa:intersep regresi probit. b: kemiringan regresi probit. GB: galat baku. SK : selang kepercayaan
Uji Validasi dan Pengaruh pada Bunga Potong Krisan
Uji validasi dilakukan untuk konfirmasi keefektifan konsentrasi perlakuan fosfin cair dan kualitas bunga potong krisan. Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair pada bunga krisan dengan waktu papar 1, 3, dan 6 jam disajikan pada tabel 6.
Hasil pengamatan untuk pengaruh aplikasi fumigasi fosfin cair terhadap kualitas bunga potong krisan disajikan pada tabel 7. Secara visual tidak terjadi perubahan pada bunga potong krisan yang diberi perlakuan dibandingkan dengan bunga potong krisan yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Penampilan bunga potong krisan disajikan pada gambar 8, 9, dan 10 untuk masing-masing perlakuan waktu papar yang diamati setelah 1, 24, 48, dan 72 JSP.
Tabel 6 Persentase mortalitas T. parvispinus pada perlakuan beberapa konsentrasi fosfin cair yang dipaparkan 1, 3, dan 6 jam pada bunga krisan Konsentrasi fosfin (ppm) Mortalitas ±SDa pada (%)
1Jam 3 Jam 6 Jam
250 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a
200 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a 100.0±0.0 a
175 96.0±0.0 a 98.7±2.3 a 98.7±2.3 a
0 (Kontrol) 0.0±0.0 b 0.0±0.0 b 0.0±0.0 b
a
Rata-rata persentase mortalitas T. parvispinus. Rata-rata persentase mortalitas yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji tukey taraf 5%
Pengamatan pengaruh aplikasi fosfin cair terhadap kualitas bunga krisan dengan teknik skoring disajikan pada tabel 7.
Tabel 7 Rata-rata skor kerusakan bunga potong krisan pada pengamatan 1, 24, 48, dan 72 jam setelah perlakuan (JSP)
Lama pemaparan (Jam) Konsentrasi fosfin (ppm)
Rata-rata skor kerusakan bunga potong pada : (%) 1 (JSP) 24 (JSP) 48 (JSP) 72 (JSP) 1 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0 3 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0 6 250 0 0 0 0 200 0 0 0 0 175 0 0 0 0 0 (Kontrol) 0 0 0 0
23
Gambar 8 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 1 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)
Gambar 9 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 3 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)
1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan
48 Jam Setelah Perlakuan 48 Jam Setelah Perlakuan
72 Jam Setelah Perlakuan 72 Jam Setelah Perlakuan
1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan
48 Jam Setelah Perlakuan 48 Jam Setelah Perlakuan
72 Jam Setelah Perlakuan 72 Jam Setelah Perlakuan
Gambar 10 Penampilan bunga potong krisan setelah pemaparan 6 jam fosin cair pada pengamatan (a). 1 JSP, (b). 24 JSP, (c.) 48 JSP, dan (d). 72 JSP (JSP : jam setelah perlakuan)
Pembahasan Perbanyakan T. parvispinus
T. parvispinus meletakan telur pada buncis yang digunakan sebagai inang alternatif. Nimfa T. parvispinus instar 1 dan instar 2 bergerak aktif kemudian nimfa instar 3 dan 4 tidak aktif dan berperilaku seperti prapupa dan pupa pada serangga yang mengalami metamorfosis holometabola. Imago memiliki sayap berumbai yang digunakan untuk terbang jarak pendek atau meloncat. Selain itu imago T. parvispinus menunjukkan perilaku selalu mendekati sumber cahaya.
Thrips menghisap cairan buncis untuk memenuhi kebutuhan makanan, jaringan yang dihisap menjadi kosong dan diisi oleh udara yang menyebabkan perubahan warna pada buncis hingga berubah warna jadi kuning kecoklatan (Adiarto 2003). Sementara pada bunga, bagian yang terserang menjadi layu, mengering, dan rontok, ini disebabkan thrips berada pada putik untuk menghisap cairan yang kaya karbohidrat dari tangkai bunga yang berperan untuk pembentukan kelopak dan polen.
Menurut Mound dan Masumoto (2005) fase telur berkisar 3-7 hari, nimfa (2-4 hari), pra pupa dan pupa (2-3 hari), dan imago (20-25 hari), sementara hasil pada pengamatan fase telur berkisar 3-5 hari, nimfa (2-4 hari), pra pupa dan pupa (3-4 hari), dan imago (16-20 hari). Hal ini menunjukkan bahwa pada saat proses pemeliharaan T. parvispinus sesuai dengan keadaan untuk perkembangan T. parvispinus bagi kelangsungan hidupnya seperti suhu, kelembaban, dan ketersediaan sumber makanan.
1 Jam Setelah Perlakuan 24 Jam Setelah Perlakuan
48 Jam Setelah Perlakuan 72 Jam Setelah Perlakuan
25
Menurut Dibyantoro (1994) Thrips tabaci berkembang biak dengan cepat pada kelembaban 70% dan kisaran suhu 27-32oC. Pada kondisi tersebut akan memicu produksi hormon seks mereka sehingga terjadi perkawinan masal. Pada penelitian ini kelembaban berkisar 70-80% dan kisaran suhu 26-32 oC, sehingga sangat mendukung dalam perbanyakan T. parvispinus. Pada musim kemarau, perkembangan telur sampai dewasa 13–15 hari dan fase imago berkisar 15–20 hari, bila suhu di sekitar tanaman meningkat maka trips akan berkembang dengan lebih cepat.
Aplikasi Fosfin Cair terhadap T. parvispinus
Uji pendahuluan menggunakan 5 konsentrasi, menunjukkan mortalitas pada semua konsentrasi sebesar 100% kecuali pada kontrol yang menunjukan mortalitas 0%. Menurut Liu (2008) perlakuan fumigasi diatas 250 ppm dengan lama waktu diatas 18 jam pada suhu 2ºC efektif dalam mengendalikan F. occidentalis. Pada penelitian ini perlakuan konsentrasi terendah dalam waktu papar 1 jam telah menyebabkan mortalitas sebesar 100%. Respon thrips terhadap fosfin sangat rentan dibandingkan dengan beberapa serangga lain seperti aphid dan larva lepidoptera pada suhu diatas 24ºC (Karunatratne et al. 1997). Hasil pengujian ini dilanjutkan dengan uji pendahuluan tahap dua untuk mencari kisaran waktu papar dan konsentrasi yang akan digunakan pada uji lanjut yang akan dilakukan pada waktu papar 1 jam dengan konsentrasi dibawah 200 ppm.
Hasil uji pendahuluan tahap 2 menunjukan, pada konsentrasi antara 25 - 175 ppm dengan waktu papar 1 jam tidak ada perlakuan yang menunjukan persentase mortalitas sebesar 100%. Hal ini kemungkinan diakibatkan kurang lamanya waktu papar fumigasi atau kurang tingginya konsentrasi yang digunakan. Persentase mortalitas pada uji pendahuluan menunjukan rentang yang lebar antar perlakuan, untuk itu rentang interval konsentrasi antar perlakuannya dapat diperkecil. Kenaikan konsentrasi ternyata secara signifikan meyebabkan peningkatan persentase mortalitas.
Pada hasil uji lanjut dengan kombinasi 3 waktu papar (1, 3, dan 6 jam) dengan 9 konsentrasi (200, 175, 150, 125, 100, 75, 50, 25, 0 ppm) pada suhu berkisar 26-32º C, terlihat bahwa dengan adanya peningkatan konsentrasi fosfin cair akan meningkatkan mortalitas thrips dan dengan bertambahnya lama waktu papar juga meningkatkan mortalitas thrips. Perlakuan pada konsentrasi terendah (25 ppm) pada lama waktu 1, 3, dan 6 jam terjadi peningkatan mortalitas jadi 56%, 3 jam sebesar 66.67% dan pada 6 jam sebesar 70.67%. Hal ini juga terjadi pada perlakuan lainnya. Mortalitas sebesar 100% ditunjukan pada konsentrasi 200 ppm pada waktu papar 1, 3, dan 6 jam dan 175 ppm pada waktu papar 6 jam. Selain faktor konsentrasi dan waktu papar, faktor lain yang berpengaruh adalah suhu, pada suhu tinggi dapat meningkatkan mortalitas, akibat semakin aktifnya pergerakan serangga yang menyebabkan pernafasan serangga menjadi lebih cepat sehingga lebih banyak menghirup fosfin cair.
Pengaruh waktu papar memiliki dampak terhadap toksisitas fosfin cair, ini diperlihatkan dari nilai LC50 dan LC95, semakin lama waktu papar nilai LC yang ditunjukan lebih rendah dibandingkan dengan waktu papar yang lebih pendek. Nilai LC50 untuk masing-masing waktu papar 1, 3, dan 6 jam berturut-turut adalah 29.134 ; 20.232 dan 17.323 ppm. Terlihat pada konsentrasi 17.323 ppm dengan waktu papar 6 jam menunjukan mortalitas sebesar 50 % sementara waktu papar 1
jam membutuhkan konsentrasi lebih tinggi yaitu 29.134 ppm, sehingga ada keterkaitan antara waktu papar dan konsentrasi. Menurut Hole et.al. (1976) fumigasi menggunakan fosfin dengan konsentrasi rendah pada waktu papar lebih lama akan lebih efektif dibandingkan dengan konsentrasi fosfin yang tinggi pada waktu papar yang singkat. Penentuan konsentrasi fosfin bergantung pada berbagai faktor antara lain kondisi lingkungan, penyimpanan, lama perlakuan serta jenis serangga utama yang dikendalikan (TDRI 1983).
Pada uji validasi, aplikasi konsentrasi 200 ppm dengan waktu papar 1 jam menunjukan kematian 100% dan tidak berdampak pada kualitas bunga potong krisan. Persentase rata-rata kerusakan yang diamati terhadap tingkat layu dan bercak pada bunga (tabel 7) baik itu 1, 24, 48, dan 72 JSP, tidak menunjukan penurunan kualitas seperti layu dan timbul bercak bila dibandingkan dengan kontrol (Gambar 8, 9, dan 10).
Fumigan fosfin cair merupakan insektisida yang tergolong kedalam racun pernapasan. Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk kedalam tubuh serangga melalui sistem pernapasan (sistem trakea) yang kemudian diedarkan keseluruh tubuh (Untung 1993). Menurut Tarumingkeng (1992) insektisida yang mempengaruhi sistem pernapasan serangga berperan menghambat enzim pernapasan berupa penghambatan sistem transpor elektron dan fosforilasi oksidatif.
Cara kerja fosfin di dalam tubuh serangga terjadi dengan pembukaan spirakel yang mengakibatkan hilangnya air pada tubuh serangga sehingga terjadi dehidrasi yang menybabkan kematian pada T. parvispinus (Valmas et al. 2008). Selain itu menurut Wirawan (2006) fosfin akan menghambat terbentuknya adenosin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi bagi serangga dan penghambatan kerja enzim suksinat dehidrogenase yang mengakibat perubahan alur reaksi metabolisme. Proses pembentukan ATP terjadi melalui proses respirasi yang salah satu fasenya adalah transport elektron, apabila fase ini terhambat pembentukan ATP menjadi terganggu, sementara fumigan akan terikat pada sitokrom yang terdapat pada mitokondria dan mengganggu proses transport elektron sehingga serangga akan mati kehabisan energi.
Menurut Barantan (2013) cara kerja dari fosfin cair yaitu adanya efek sinergis dengan CO2 ketika digunakan bersama dengan fosfin dan juga sifat stabilitas dari konsentrasi fosfin cair lebih mudah dipertahankan selama fumigasi jika dibandingkan dengan fosfin padat. CO2 mampu meningkatkan pernapasan serangga sehingga spirakel akan terbuka ketika bernapas yang akan mempercepat serangga dalam mengambil konsentrasi yang mematikan dari fosfin cair. Hal ini menyebabkan penggunaan fosfin cair lebih efesien untuk mencapai hasil yang diinginkan dan waktu papar aplikasi fosfin cair dapat dipersingkat.
Tidak adanya penurunan kualitas bunga potong krisan yang di aplikasikan fosfin cair sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Karunaratne et al. (1997) yang menyatakan bahwa perlakuan fumigasi fosfin dengan konsentrasi dibawah 4 000 µL/L pada bunga tulip degan waktu 2 dan 4 jam menunjukan hasil yang tidak berbeda dengan bunga yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Penelitian perlakuan fosfin cair pada bunga krisan di China pada konsentrasi 0.76 ; 1.52; 3.04 mg/l dengan lama waktu 2, 5, 8, dan 11 hari pada temperatur 2ºC tidak menunjukan kerusakan terhadap perkembangan bunga (Zhang et al. 2012).
27
Suhu saat aplikasi fosfin cair berkisar antara 26-32ºC, pada suhu tersebut menyebabkan waktu papar yang diperlukan untuk aplikasi fosfin cair menjadi lebih cepat. Pada suhu tinggi waktu papar untuk aplikasi fosfin cair lebih cepat karena menyebabkan aktivitas serangga meningkat dibandingkan pada suhu rendah. Ketika aktivitas meningkat maka proses respirasi yang terjadi menjadi lebih cepat dan gas fosfin cair yang terhirup jadi lebih banyak sehingga mempercepat mortalitas, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Song et al. (2011) yang menyebutkan kondisi optimal untuk fumigasi fosfin cair yaitu pada suhu ≥ 26ºC.
Kualitas bunga setelah perlakuan tampak normal, karena fosfin cair yang digunakan merupakan campuran 2% fosfin dan 98% CO2 dimana CO2 dibutuhkan oleh tanaman dalam fotosintesis atau asimilasi karbon. Konsentrasi gas CO2 yang tinggi dapat memperpanjang masa simpan dengan cara menghambat proses respirasi (Salunkhe et al. 1990). Pada bunga potong, etilen dapat merangsang gugurnya kuncup bunga, sementara CO2 berefek antagonis terhadap etilen (Wills