• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Desember 1979 yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari Keluarga Bapak H. Drs. Taufik Amirudin AK dan Ibu Hj. Hattantinah.

Penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Bandung pada tahun 1997. Tahun 1998 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program S1 di Universitas Padjadjaran, Fakultas Pertanian, Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan dan berhasil meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2003.

Pada tahun 2005 penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian dan ditempatkan di Stasiun Karantina Pertanian kelas I Merauke hingga tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis dipindahtugaskan ke Balai Uji Terap Teknik dan Metode Karantina Pertanian Bekasi hingga sekarang. Tahun 2012 penulis mendapatkan beasiswa BPPSDM Kementerian Pertanian untuk melanjutkan studi pada program Pascasarjana Magister (S2) Program Studi Entomologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Latar Belakang

Ekspor komoditas pertanian merupakan program pemerintah yang terus digalakkan di samping industri dan jasa untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Komoditas ekspor pertanian Indonesia antara lain kopi, lada, kakao, karet, buah, sayuran segar dan tanaman hias (bunga potong) merupakan beberapa komoditi unggulan untuk ekspor yang sangat diminati oleh negara-negara lain.

Bunga merupakan komoditas hortikultura yang pertumbuhan ekspornya semakin meningkat dan mempunyai prospek baik sebagai sumber devisa negara. Salah satu jenis bunga yang sangat digemari adalah Chrysanthemum indicum, karena memiliki keragaman, baik dari segi penampilan, bentuk maupun warnanya. Kesinambungan komoditas ini baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya perlu dijaga untuk memasuki pasar luar negeri yang lebih baik. Bunga krisan merupakan salah satu tanaman hias yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pada tahun 2012 ekspor bunga krisan ke beberapa negara tujuan ekspor mencapai 50.92 ton dengan nilai sekitar US $ 1 031 511 (BPS 2013). Tujuan ekspor bunga krisan ini meliputi Jepang, China, Taiwan, Hongkong, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura. Selain negara kawasan Asia, negara-negara lain yang merupakan pasar potensial bunga potong di antaranya Amerika Serikat, Canada, Columbia, Belanda, Italia, dan Jerman. Meski demikian, volume ekspor tanaman hias Indonesia khususnya bunga krisan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara lain.

Hal ini diakibatkan beberapa kendala di antaranya adalah terbawanya organisme pengganggu tumbuhan (OPT) pada bunga yang diekspor. OPT yang sering menyerang bunga krisan di antaranya adalah thrips, Thrips parvispinus merupakan salah satu hama utama pada tanaman krisan. Hama ini selain merusak tanaman melalui aktivitas makan juga dapat menjadi vektor virus mosaik (Deligeorgidis et al. 2006). Menurut Prabaningrum dan Moekasan (2007), warna bunga krisan dapat menjadi daya tarik bagi thrips untuk hinggap dan hidup pada bunga. Thrips dikenal sebagai hama yang sulit dikendalikan karena ukurannya yang kecil dan perilakunya yang tidak terlalu mudah diketahui (Laksanawati 1996).

Dalam era perdagangan bebas, setiap negara pengekspor perlu memperhatikan kesehatan dan kualitas produk pertaniannya jika ingin bersaing dengan negara lain. Di samping itu, bunga potong dan tanaman hias yang akan diekspor harus memenuhi protokol ekspor komoditas hortikultura yang salah satunya adalah bebas dari organisme penganggu tumbuhan karantina (OPTK). Negara pengimpor akan menerima bunga krisan dari Indonesia apabila ada jaminan bahwa komoditas tersebut bebas dari infestasi hama yang dibuktikan dengan dokumen tentang perlakuan yang digunakan. Indonesia pernah gagal mengekspor paprika ke Taiwan karena diduga paprika tersebut terinfestasi lalat buah. Buah mangga dari Indonesia ditolak oleh Taiwan, Jepang dan Korea karena terinfestasi lalat buah. Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya penanganan OPT secara komprehensif.

2

Fumigasi sebagai salah satu perlakuan karantina tumbuhan bertujuan untuk membebaskan media pembawa dari OPT/OPTK. Fumigasi merupakan cara yang sangat luas dilakukan dalam kegiatan karantina, baik pada produk buah, sayuran maupun tanaman hias. Keunggulan fumigasi adalah dapat dilakukan pada komoditas dalam jumlah besar secara bersamaan sehingga dapat menghemat waktu. Fumigan yang banyak digunakan adalah metil bromida (MB), fosfin padat (PH3) dan etil format. Metoda fumigasi yang diterapkan secara luas pada beberapa komoditas seperti biji-bijian di gudang penyimpanan diketahui menyisakan residu dan tidak aman bagi kesehatan manusia. Fumigan MB yang memiliki keefektifan yang baik ternyata telah dibatasi penggunaannya karena dapat merusak lapisan ozon (Maha 1997), menurunkan kualitas pada komoditas bunga potong yang sensitif terhadap MB (Wang dan Lin 1984), dan diketahui meninggalkan residu yang bersifat karsinogenik pada komoditas yang difumigasi (Pusat Karantina Pertanian 2000). Sementara itu, fumigasi dengan menggunakan fosfin formulasi padat memerlukan waktu papar yang lama, meninggalkan residu dan tidak dapat diaplikasikan pada komoditas dengan kadar air yang tinggi karena mudah terbakar (Barantan 2013).

Penelitian untuk mendapatkan alternatif fumigan yang memiliki keefektifan yang lebih baik namun tidak berdampak negatif bagi komoditas, manusia, hewan dan lingkungan perlu dilakukan. Salah satu alternatif fumigan yang mulai banyak digunakan adalah fosfin formulasi cair (gas yang dikemas dalam silinder bertekanan tinggi). Keberadaan fumigan fosfin formulasi cair dapat memecahkan permasalahan aplikasi fosfin dalam bentuk padat, mengingat fosfin formulasi cair sudah berbentuk gas fosfin yang bertekanan ditempatkan dalam tabung. Sifat fisik serta sifat kimia fumigan formulasi cair berbeda dengan fosfin padat. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia dan Thailand telah menggunakan fosfin formulasi cair untuk perlakuan fumigasi dalam membebaskan hama pada berbagai komoditas seperti kopi, kakao, tembakau, buah-buahan dan bunga. Selain itu, fosfin formulasi cair juga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif perlakuan karantina tumbuhan karena sesuai dengan ketentuan International Sanitary and Phytosanitary Measurement (ISPM) No. 28 (Barantan 2013).

Menurut Barantan (2013), penggunaan fosfin formulasi cair sebagai alternatif dapat digunakan terhadap berbagai komoditas yang bermasalah apabila difumigasi dengan fosfin formulasi padat. Fosfin formulasi cair yang diperdagangkan dalam tabung bertekanan tinggi dicampur dengan karbon dioksida (CO2). Hal ini karena fosfin formulasi cair memilki sifat-sifat 1) tidak mudah terbakar sebab fosfin cair adalah campuran gas dari 2% fosfin dalam 98% karbon dioksida (CO2), 2) reaksi sinergis dengan CO2, 3) stabilitas gas konsentrasi fosfin formulasi cair dapat lebih mudah dipertahankan selama fumigasi dan akan konstan selama berlangsungnya fumigasi sejak awal dilepaskan. Karbon dioksida adalah gas pembawa (carrier) yang sangat baik untuk fosfin dan tidak menyebabkan fosfin cair menjadi mudah terbakar dengan udara, beberapa penelitian telah menunjukkan efek sinergis bila CO2 digunakan dengan fosfin cair. CO2 cenderung menyebabkan pernapasan serangga menjadi lebih cepat sehingga spirakel akan terbuka ketika bernapas dan mengambil dosis mematikan dari fosfin cair lebih banyak,

Fosfin telah digunakan sebagai fumigan untuk mengendalikan hama gudang selama lebih dari 6 dekade (Chaudry 1997). Menurut Barantan (2013), fosfin cair efektif mengendalikan berbagai serangga pada konsentrasi 200 - 1 000 ppm tergantung pada jenis serangga dan tempat fumigasi dilakukan. Di negara Chili fosfin telah diuji dan digunakan pada berbagai varietas buah segar dan sayuran untuk penanganan pengendalian pascapanen pada temperatur rendah (Horn et al. 2005). Fosfin digunakan secara luas untuk mengendalikan berbagai hama gudang, namun diperlukan konsentrasi dan lama waktu papar yang sesuai untuk masing-masing spesies hama (Bond et al. 1969).

Menurut Karunaratne et al. (1997), beberapa serangga sangat rentan terhadap fosfin yang mana pada konsentrasi 600 ppm dan suhu 20ºC yang dipapar selama 2 jam efektif dalam mengendalikan Heliothrips haemorrhoidalis. Sementara itu perlakuan fumigasi pada konsentrasi ≥250 ppm dan waktu papar ≥18 jam pada suhu 2ºC efektif dalam mengendalikan Frankliniella occidentalis. Fumigasi pada konsentrasi 1 000 ppm dan suhu 2ºC tidak menyebabkan kerusakan pada selada dan brokoli, kemudian perlakuan fumigasi pada 500 dan 1 000 ppm tidak menyebabkan kerusakan dan aman untuk strawberry (Liu 2008). Hingga saat ini belum diketahui konsentrasi dan waktu papar yang efektif untuk pengendalian T. parvispinus pada bunga krisan pada suhu di indonesia yang berkisar antara 26-35ºC dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui konsentrasi dan lama waktu papar yang efektif untuk imago T. parvispinus pada bunga potong krisan dan tidak menyebabkan penurunan kualitas pada bunga potong krisan.

Tujuan

Untuk menentukan konsentrasi fosfin formulasi cair dan lama waktu papar yang efektif sebagai fumigan terhadap imago T. parvispinus pada bunga potong krisan dan pengaruhnya terhadap kualitas bunga potong krisan.

Hipotesis

Fumigan fosfin cair pada konsentrasi dan lama waktu papar tertentu efektif untuk mengendalikan imago T. parvispinus dengan tingkat mortalitas 100% dan tidak berpengaruh terhadap kualitas bunga potong krisan.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi perlakuan karantina terhadap konsentrasi dan waktu papar yang efektif dari fosfin cair untuk mengendalikan imago T. parvispinus pada bunga potong krisan dengan tingkat mortalitas 100 % dan tidak berpengaruh terhadap kualitas bunga potong krisan.

Dokumen terkait