• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai Oktober 2011.

Bahan

Bahan yang digunakan adalah serbuk gergaji, dedak, ampas tahu, tepung limbah udang, kapur pertanian, susu skim, glukosa, media agar WYE (Water-yeast extract), media PDA (Potato Dextrose Agar), isolat aktinomiset APS 7, APS 9, APS 12, ATS 5, dan biakaan cendawan Sclerotium rolfsii.

Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan

Isolat murni aktinomiset didapatkan dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Proteksi Tanaman. Isolat aktinomiset APS 7, APS 9, dan APS 12 berasal dari tanah bagian top soil sekitar perakaran sawit (Putra 2011) sedangkan aktinomiset ATS 5 berasal dari tanah persawahan (Himmah 2012). Perbanyakan isolat murni dilakukan dengan menumbuhkan inokulum pada media agar WYE (0.25 g yeast extract, 0.5 g K2HPO4, 18 g agar, dan 1 L aquades) (Crawford et al.

1993) dan diinkubasi pada suhu ruang 28 ⁰C selama 7-14 hari. Pertumbuhan isolat berhasil jika terdapat koloni aktinomiset yang tumbuh dan mengeluarkan spora seperti berdebu (merupakan eksospora yang terbentuk), mengandung pigmen tertentu, dan berbau khas tanah.

Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

Isolat S. rolfsii disiapkan dengan menumbuhkan bulatan miselium cendawan (diameter 0.5 cm) pada media PDA (20 g dextrose, 200 g ekstrak kentang, 15 g agar, dan 1 L aquades) lalu diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang 28 ⁰C. Isolat siap digunakan jika ada pertumbuhan miselium tipis, berwarna putih, dan teratur yang tumbuh memenuhi isi cawan. Pada umur tua miselium ini akan berubah menjadi butiran bulat (tidak beraturan) dengan permukaan yang licin. Mulanya berwarna putih kemudian menjadi kecoklatan dinamakan

11 sklerotium, ini digunakan sebagai struktur bertahan pada kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset

Pengujian antagonis aktinomiset menggunakan metode peracunan media tumbuh S. rolfsii. Media yang digunakan adalah PDA yang telah disterilisasi pada suhu 121 ⁰C selama 15 menit. Masing-masing aktinomiset berumur 14 hari sebanyak satu ose diinokulasikan ke dalam 15 ml media cair WYE ( 0.25 g yeast extract, 0.5 g K2HPO4, dan 1 L aquades) (Crawford et al. 1993) dan diinkubasi

pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 7, 14, 21 dan 28 hari. WYE cair yang mengandung biakan aktinomiset, masing-masing sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung ependorff lalu sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit hingga didapatkan supernatan yang mengandung senyawa bioaktif aktinomiset.

Supernatan dimasukkan ke dalam erlenmayer steril 200 ml dan dipanaskan pada inkubator pemanas dengan suhu 65 ⁰C selama 30 menit. Selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 60 menit lalu dipanaskan kembali selama 30 menit dengan suhu yang sama, hal ini bertujuan untuk mematikan sel vegetatif aktinomiset. Cairan yang mengandung senyawa bioaktif dicampurkan ke dalam media PDA yang telah dicairkan (suhu 50 ⁰C). Media PDA yang telah tercampur oleh senyawa bioaktif aktinomiset kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri (diameter 9 cm). Setelah itu, pada pusat cawan petri diinokulasikan bulatan koloni

S. rolfsii (diameter 0.5 cm) berumur 7 haripada masing-masing perlakuan. Media biakan lalu diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang 28 ⁰C. Percobaan dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan miselium pada setiap perlakuan. Persen penghambatan pertumbuhan S. rolfsii dihitung dengan persamaan:

Daya hambat (%) = Dk−Dp

Dk

 100%

Keterangan:

DK = diameter koloni S. rolfsii pada kontrol DP = diameter koloni S. rolfsii pada perlakuan.

12 Aktinomiset yang memiliki keefektifan tertinggi dalam menekan pertumbuhan

S. rolfsii digunakan sebagai pengujian pembiakan pada media limbah organik. Isolat yang terseleksi kemudian dilakukan perbanyakan.

Pembiakan Aktinomiset pada Media Limbah Organik Persiapan Media Limbah Organik

Bahan yang digunakan sebagai komposisi utama terdiri dari serbuk gergaji dan dedak. Serbuk gergaji berasal dari limbahvpabrik penggergajian yang merupakan jenis kayu kihiyang (Albizzia procerra) sedangkan dedak didapatkan dari toko pertanian. Serbuk gergaji dan dedak disaring guna mendapatkan bagian yang lebih halus dan dijemur agar terhindar dari serangan mikroorganisme gudang. Bahan tambahan untuk menunjang nutrisi terdiri dari ampas tahu, tepung limbah udang, kapur pertanian, glukosa, dan susu skim. Ampas tahu diperoleh dari pabrik pengolahan tahu yang terletak di daerah Cibanteng, Bogor. Ampas tahu diperas dengan saringan kain dan dijemur hingga kering kemudian dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi tepung. Sedangkan tepung limbah udang berasal dari limbah udang yang terdiri dari kepala, ekor dan cangkang udang yang dijemur dan dikeringkan dengan oven lalu dihaluskan hingga menjadi tepung.

Pembuatan Media Limbah Oganik

Bahan-bahan pembuatan media limbah organik dicampurkan hingga kondisi homogen dengan penambahan air sebanyak 30 ml untuk media serbuk gergaji dan 50 ml untuk media dedak. Indikator penambahan air yang cukup yakni jika media digenggam tidak hancur (menggumpal) dan tidak sampai meneteskan air. Setelah tercampurnya semua bahan media limbah organik, maka dilakukan penyesuaian tingkat keasaman pada media dengan derajat keasaman 6.5-8.0. Kondisi ini merupakan pH optimum untuk syarat hidup aktinomiset. Kemudian bahan yang telah tercampur dimasukkan ke dalam plastik polipropilen 1 kg tahan panas sebanyak 200 g. Setelah itu ujung plastik diberi cincin pipa (diameter 4 cm) kemudian lubang cincin disumbat menggunakan kapas dan ditutup dengan kertas putih (13 cm x 9 cm) guna meminimalkan terjadinya kontaminasi. Komposisi tiap bahan yang diperlukan untuk membuat 200 g media aktinomiset sebagai berikut:

13 Tabel 1 Komposisi bahan media serbuk gergaji

Bahan Komposisi bahan (g) Komposisi bahan (%) Serbuk gergaji 90.0 45.0

Ampas tahu 88.6 44.3 Kapur pertanian 5.4 2.7 Glukosa 10.0 5.0 Susu skim 5.0 2.5 Tepung limbah udang 1.0 0.5

Tabel 2 Komposisi bahan media dedak

Bahan Komposisi bahan (g) Komposisi bahan (%) Dedak 90.0 45.0

Ampas tahu 77.0 38.5 Kapur pertanian 17.0 8.5 Glukosa 10.0 5.0 Susu skim 5.0 2.5 Tepung limbah udang 1.0 0.5

Media tumbuh serbuk gergaji dan dedak kemudian disterilisasi pada suhu 120 ⁰C selama 15 menit untuk mengindari terjadinya kontaminasi. Media tumbuh disimpan pada suhu 28 ⁰C selama 24 jam sebelum diinokulasikan dengan biakan aktinomiset.

Pembiakan Aktinomiset

Pembiakan dilakukan dengan mencampurkan 10 ml air steril ke dalam biakan aktinomiset (berumur 14 hari) kemudian spora dipanen menggunakan spatula steril hingga tersuspensi. Suspensi spora yang telah tercampur diambil sebanyak 1.25 ml (satu gram media terdapat koloni aktinomiset dengan kerapatan 1103 cfu/ml) lalu dilarutkan ke dalam 8.75 ml air steril hingga total menjadi 10 ml. Suspensi sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam 200 g media limbah organik kemudian suspensi dihomogenkan bersamaan dengan media. Semua proses inokulasi aktinomiset ke dalam media dilakukan secara aseptik. Media diinkubasi selama 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu pada suhu ruang 28 ⁰C. Pengulangan dilakukan sebanyak lima kali.

14

Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik

Penghitungan populasi aktinomiset dilakukan dengan metode pengenceran berkala (100, 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5) pada media tumbuh yang telah diinkubasi selama 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu. Metode pengenceran dilakukan dengan memasukkan 1 g media limbah organik ke dalam tabung reaksi berisi 10 ml air steril sebagai pengenceran 100, Kemudian diambil sebanyak 1 ml larutan dari tabung pengenceran 100 dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml air steril sebagai pengenceran 10-1 lalu pengenceran dilakukan pada tabung berikutnya. Setiap pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5 diambil masing-masing sebanyak 0.1 ml untuk disebar secara merata pada media agar WYE menggunakan glass bead. Setelah itu diinkubasi selama 3-7 hari untuk menghitung populasi koloni aktinomiset. Indikator adanya koloni aktinomiset yakni terdapat koloni tunggal berukuran 1-10 mm yang memiliki filamen berdebu seperti miselium dan berbau khas tanah. Data diambil berdasarkan penghitungan koloni yang terdapat pada media agar WYE, koloni dihitung menggunakan metode plate count berlatarbelakang hitam dengan kisaran 30-300 koloni/cawan menggunakan alat Handy Tally Counter (Hadioetomo 1990). Populasi aktinomiset APS 7 pada media limbah organik dihitung dengan persamaan:

Populasi bakteri= X  V

p  r  g

Keterangan:

X = rataan koloni aktinomiset dengan faktor pengenceran ke- (cfu/ml) V = volume pengenceran media (ml)

p = faktor pengenceran ke-

r = volume suspensi yang disebar pada cawan (ml) g = bobot media yang digunakan (g).

Analisis Data

Data pengamatan uji in vitro penghambatan S. rolfsii oleh aktinomiset ditabulasi menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan data penghitungan kepadatan populasi aktinomiset diolah menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) 9.1.3 untuk Windows. Pengaruh yang berbeda nyata akan dilakukan uji lanjut selang berganda Duncan pada taraf nyata () = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat Aktinomiset

Pada permukaan agar aktinomiset dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri non aktinomiset (Rao 1994 dalam Puryantiningsih 2009). Aktinomiset merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur berupa filamen lembut seperti hifa atau miselia (Madigan et al. 2006).

Gambar 1 Koloni aktinomiset pada media agar WYE, APS 7 memiliki koloni dengan bentuk sirkular tak penuh dan berwarna coklat kekuningan dengan hifa aerial yang menutupi permukaan koloni (A), APS 9 memiliki koloni dengan bentuk sirkular penuh dan berwarna putih dengan hifa aerial yang tidak menutupi permukaan koloni (B), APS 12 memiliki koloni dengan hifa aerial menyebar teratur ke segala arah dan berwarna coklat (C), ATS 5 memiliki koloni dengan bentuk pipih memanjang dan berwarna abu-abu dengan hifa aerial yang menutupi permukaan koloni (D).

A B

16 Pertumbuhan aktinomiset pada media agar khususnya media agar WYE menampakan karakter morfologi yang berbeda-beda pada tiap jenisnya (Gambar 1). Pertumbuhan aktinomiset pada permukaan agar sangat lambat. Mula-mula permukaan agar relatif licin kemudian membentuk tenunan hifa udara yang menunjukan konsistensi berdebu. Koloni aktinomiset melekat erat pada permukaan agar menghasilkan berbagai pigmen yang menimbulkan warna pada miselium vegetatif, miselium udara dan substrat (Schaad et al. 2000). Hal ini menunjukan bahwa aktinomiset menghasilkan eksospora berupa rantai spora (disebut konidia), yang hanya dimiliki oleh genus aktinomiset dari semua golongan bakteri. Isolat aktinomiset APS 7, APS 9, dan APS 12 merupakan isolat yang berasal dari tanah bagian top soil sekitar perakaran sawit (Putra 2011) sedangkan aktinomiset ATS 5 merupakan isolat yang berasal dari tanah persawahan (Himmah 2012).

Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset

Uji kemampuan aktinomiset menghambat pertumbuhan miselium S. rolfsii

dilakukan pada media PDA yang telah diberi larutan senyawa bioaktif aktinomiset. Berbagai penelitian membuktikan bahwa aktinomiset mampu menghambat pertumbuhan berbagai patogen. Isolat Streptomyces sp. dibuktikan mampu menekan pertumbuhan Pythium ultimo pada tanaman selada (Crawford et al. 1993) dan Streptomyces nigrifaciens juga mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii pada tanaman buncis (Reddy 2010).

Pengaruh senyawa bioaktif aktinomiset terhadap pertumbuhan miselium cendawan S. rolfsii menunjukkan hasil yang bervariasi jika dibandingkan dengan kontrol (Gambar 2). Kemampuan daya hambat isolat aktinomiset terhadap pertumbuhan miselium cendawan S. rolfsii merupakan suatu akibat adanya aktivitas antimikroba yang dimiliki oleh aktinomiset.

Aktinomiset merupakan mikroorganisme yang mampu mensintesis banyak senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder, antibiotik, pestisida, antiseptik, selulase, dan xylanase (Oskay et al. 2004). Aktinomiset juga mampu menghasilkan senyawa antimikrob seperti tertasiklin, streptomisin, eritromisin, kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).

17

Gambar 2 Variasi aktivitas penghambatan pertumbuhan miselium S. rolfsii oleh senyawa bioaktif aktinomiset APS 7 (A), APS 9 (B), APS 12 (C), ATS 5 (D) dan kontrol (tidak diberi larutan senyawa bioaktif aktinomiset) (E).

Tabel 3 Persentase penghambatan senyawa bioaktif APS 7, APS 9, APS 12 dan ATS 5 terhadap Sclerotium rolfsii

Perlakuan Daya hambat (%)*

Mg 1 Mg 2 Mg 3 Mg 4 Kontrol 0.00 0.00 0.00 0.00 APS 7 46.42 74.02 91.73 79.87 APS 9 21.42 41.96 26.04 35.50 APS 12 17.50 38.98 23.88 69.50 ATS 5 1.75 18.97 64.06 56.12

*Rata-rata dari dua ulangan yang diukur pada hari ke-3 setelah masa inkubasi. Mg = minggu.

Dari keempat isolat aktinomiset yang digunakan untuk pengujian antagonis terhadap cendawan hanya APS 7 yang memiliki daya hambat tertinggi pada pertumbuhan S. rolfsii (Tabel 3). Daya hambat APS 7 pada minggu pertama inkubasi sebesar 46.42% diikuti dengan nilai APS 9 dan APS 12 masing-masing sebesar 21.42% dan 17.50% sedangkan penghambatan terendah berada pada isolat ATS 5 sebesar 1.75%. Pada inkubasi minggu kedua nilai penghambatan tertinggi berada pada isolat APS 7 sebesar 74.02% sama seperti kondisi minggu sebelumnya isolat APS 9 memiliki nilai lebih tinggi dari pada isolat APS 12 sebesar 26.04% dan penghambatan terendah pada isolat ATS 5 sebesar 38.98%.

A B C

18 Semua isolat yang digunakan mengalami peningkatan kemampuan daya hambat dari minggu sebelumnya.

Pada inkubasi minggu ketiga APS 7 memiliki nilai penghambatan pertumbuhan miselium cendawan tertinggi sebesar 91.73%, kondisi sangat berbeda dari minggu sebelumnya bahwa ATS 5 berada pada nilai tertinggi setelah APS 7 sebesar 64.06%. Isolat APS 7 dan ATS 5 mengalami peningkatan nilai daya hambat sedangkan isolat APS 9 dan APS 12 mengalami penurunan nilai sebesar 26.04% dan 23.88% jika dibandingkan dengan minggu kedua. Peningkatan daya hambat pada masa inkubasi minggu keempat hanya terjadi pada isolat APS 12 dan APS 9 dengan nilai 69.50% dan 35.50%. Kondisi sebaliknya pada isolat APS 7 dan ATS 5 terjadi penurunan nilai sebesar 79.87% dan 56.12%. Walaupun kondisi demikian, isolat APS 7 tetap berada pada nilai tertinggi uji penghambatan pertumbuhan miselium Sclerotium rolfsii. Meningkat dan menurunnya persentase daya hambat setiap masa inkubasi, diduga karena perbedaan isolat aktinomiset mempengaruhi jenis dan efikasi senyawa bioaktif yang dihasilkan.

Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik

Pembiakan aktinomiset APS 7 pada media tumbuh serbuk gergaji dan dedak menunjukkan adanya kondisi yang fluktuatif pada jumlah populasi (Gambar 3).

Gambar 3 Perkembangan populasi aktinomiset APS 7 pada media serbuk gergaji dan dedak dengan masa inkubasi dari minggu ke nol sampai minggu kedelapan. 6,00 6,50 7,00 7,50 8,00 8,50 9,00 0 2 4 6 8 L o g po pu la si ( cf u/g r m edia )

Waktu pengamatan (minggu setelah inokulasi) serbuk gergaji dedak

19 Media yang telah diinokulasikan oleh suspensi aktinomiset dilakukan analisis penghitungan koloni yang tumbuh dengan metode pengenceran berseri yang disertai dengan teknik pencawanan. Penghitungan kepadatan populasi dimulai pada inkubasi minggu ke nol hingga minggu kedelapan. Pengambilan data dilakuakan setiap dua minggu sekali.

Tabel 4 Rata-rata koloni aktinomiset APS 7 pada media serbuk gergaji dan dedak Media Rata-rata koloni aktinomiset (10

6

cfu/g media)* ± SD Mg 0 Mg 2 Mg 4 Mg 6 Mg 8 Serbuk gergaji 7.90a ± 5.28 71.50a ± 19,42 50.20a ± 15.05 148a ± 17.25 335a ± 128.93

Dedak 3.16a ± 1.49 34.75b ± 11.12 28.80a ± 15.72 143.5a ± 34.62 331a ± 206.22 *Angka selajur yang diikut oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata ()= 5%.

SD = standar deviasi. Mg = minggu inkubasi.

Berdasarkan penghitungan yang telah dilakukkan (Tabel 2), diketahui bahwa terdapat perbedaan jumlah populasi aktinomiset APS 7 pada setiap minggunya. Pertumbuhan aktinomiset pada media serbuk gergaji dan dedak memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dikatakan bahwa media serbuk gergaji dan media dedak memiliki potensi yang sama dalam pembiakan aktinomiset. Media serbuk gergaji memiliki nilai log populasi aktinomiset sebesar 6.81 (7.9106 cfu/g media) pada inkubasi minggu ke nol. Peningkatan populasi terjadi dari minggu sebelumnya dengan nilai sebesar 7.84 (71.5106 cfu/g media). Pada masa inkubasi minggu keempat, terjadi penurunan nilai log populasi sebesar 7.68 (50.2106 cfu/g media). Kondisi terus meningkat pada inkubasi minggu keenam sebesar 8.16 (148106 cfu/g media) disusul dengan nilai 8.48 (335106 cfu/g media) pada inkubasi minggu kedelapan.

Keadaan yang sama terjadi pada media dedak dengan nilai log populasi awal sebesar 6.44 (3.16106 cfu/g media) diikuti dengan terjadinya peningkatan pada minggu kedua sebesar 7.52 (34.75106 cfu/g media). Penurunan populasi terjadi pada inkubasi minggu keempat sebesar 7.40 (28.80106 cfu/g media) kemudian disusul dengan nilai populasi yang terus meningkat pada minggu

20 keenam dan kedelapan dengan nilai 8.16 (143.5106 cfu/g media) dan 8.45 (331106 cfu/g media).

Meningkatnya jumlah populasi aktinomiset diduga karena adanya nutrisi pada media kultur yang diperoleh dan digunakan untuk menunjang pertumbuhan aktinomiset. Sedangkan berkurangnya jumlah aktinomiset diduga karena pengurangan aktivitas yang disebabkan oleh adaptasi awal pemindahan bakteri ke medium kultur baru (media limbah organik), berkurangnya sumber hara esensial dan terbentuknya senyawa penghambat pertumbuhan.

Berdasarkan jumlah populasi dan rata-rata koloni aktinomiset pada masing-masing media uji, menunjukkan bahwa aktinomiset mampu beradaptasi dengan baik terhadap media alternatif yang terdiri dari beberapa komponen limbah organik. Perpaduan antara limbah serbuk gergaji/dedak, ampas tahu, tepung limbah udang serta penambahan bahan penunjang lainnya terbukti dapat mendukung pertumbuhan aktinomiset. Bahan penunjang yang digunakan untuk membuat media alternatif seperti glukosa, susu skim dan tepung limbah udang memiliki komposisi jumlah bahan yang sama pada setiap media uji kecuali jumlah ampas tahu dan kapur pertanian. Pada media serbuk gergaji terdapat 44.3% ampas tahu dan 2.7% kapur sedangkan pada media dedak hanya terdapat 38.5% ampas tahu dan 8.5% kapur.

Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam 100 g serbuk gergaji yakni 35,3 g serat kasar, 31 g selulosa, 30,9 g lignin, 0.9 g protein kasar, dan 1.9 g lemak kasar (Suriawiria & Unus 2006). Berdasarkan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam serbuk gergaji, media ini dapat dijadikan bahan utama sumber karbon, fosfor, belerang, dan kalium yang telah tersedia dalam jaringan kayu. Sesuai dengan karakteristik aktinomiset yang mampu mendegradasi selulosa dan lignin di samping fungi, kapang, dan khamir (Xu et al. 1996), maka serbuk gergaji dapat dijadikan media tumbuh karena kandungan selulosa dan lignin yang tinggi.

Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat dalam 100 g ampas tahu yakni 17.4 g karbohidrat, 67.5 g protein, 10.6 g lemak, dan 4.499 g mineral (Sulistiani 2004). Sumber protein didapatkan dari ampas tahu dan komposisi asam amino dari ampas tahu cukup baik (Sulistiani 2004). Adanya kandungan protein

21 yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan aktinomiset, karena bila kekurangan protein atau salah satu asam amino esensial akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan secara menyeluruh sesuai dengan derajat kekurangannya.

Pembiakan aktinomiset pada media dedak didasarkan pada kandungan nutrisi yang terdapat di dalamnya. Dalam 100 g dedak mengandung 70 g karbohidrat, 12 g lemak, dan 16 g protein serta terdapat 200 mg vitamin B15 (Blair 2008). Media ini menyumbang banyak karbohidrat untuk pertumbuhan aktinomiset dilihat dari jumlah kandungan karbohidrat dalam 100 g dedak. Pemberian kapur pada media berfungsi untuk mengontrol pH, selain itu kapur juga mengandung kalsium, kandungan kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan aktinomiset. Jumlah kapur pada media dedak yang tinggi menandakan bahwa media ini memiliki tingkat derajat keasaman yang tinggi pula. Aktinomiset dapat tumbuh pada pH 6.5-8.0, hal ini menujukkan bahwa bakteri ini hanya dapat hidup pada lingkungan yang memiliki pH netral sampai sedikit basa.

Penampakan media dedak setiap minggunya memiliki tingkat kebasahan yang lebih tinggi dari pada media serbuk gergaji. Hal ini didasarkan pada karakteristik dedak yang higroskopis, diperkuat dengan ditambahanya ampas tahu pada media dedak menjadikkan media ini selalu dalam keadaaan basah atau tidak kering. Aktinomiset relatif menyukai kondisi lingkungan yang kering atau sedikit air (Hasegawa et al. 2005). Media serbuk gergaji memiliki kondisi yang selalu kering, sesuai dengan komponen yang terdapat didalamnya berupa serat kasar dari kayu yang memiliki daya serap yang tinggi terhadap air.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari keempat isolat aktinomiset (APS 7, APA 9, APS 12, dan ATS 5) hanya isolat APS 7 yang memiliki potensi sebagai agens pengendalian hayati terhadap Sclerotium rolfsii dengan nilai penghambatan sebesar 91.73% pada inkubasi minggu ketiga. Secara umum baik media serbuk gergaji maupun media dedak keduanya memiliki potensi dijadikan media tumbuh aktinomiset APS 7. Komposisi bahan pada media serbuk gergaji yang terdiri dari 45% serbuk gergaji, 44.3% ampas tahu, 2.7% kapur pertanian, 5% glukosa, 2.5% susu skim, dan 0.5% tepung limbah udang mampu mendukung pertumbuhan aktinomiset dengan nilai rata-rata populasi tertinggi sebesar 335106 cfu/g pada masa inkubasi minggu kedelapan. Begitu pula pada media dedak dengan komposisi bahan yang terdiri dari 45% dedak, 38.5% ampas tahu, 8.5% kapur pertanian, 5% glukosa, 2.5% susu skim, dan 0.5% tepung limbah udang juga mampu mendukung pertumbuhan aktinomiset dengan nilai rata-rata populasi sebesar 331106 cfu/g pada masa inkubasi minggu kedelapan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk pengujian keefektifan aktinomiset menghambat pertumbuhan Sclerotium rolfsii pada tahap in vivo dan pembiakan aktinomiset pada media tumbuh limbah organik dengan aplikasi dilapangan serta melihat daya simpannya dalam jangka waktu tertentu.

KAJIAN AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK

Dokumen terkait