• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sclerotium rolfsii

Sclerotium rolfsii merupakan patogen penyebab penyakit busuk pangkal batang yang pada umumnya terdapat pada tanaman persemaian namun juga dapat menyerang tanaman dewasa. Cendawan ini bersifat polifag sehingga kisaran inangnya sangat luas antara 200-500 spesies. Beberapa tanaman yang kerap diserang patogen ini adalah kedelai, kacang tanah, tembakau, cabai, dan terong (Punja & Rahe 2011). Infeksi patogen ini menyebabkan kehilangan hasil hingga 32.3% (Fichtner 2006). Patogen pada umumnya berada pada daerah tropik beriklim panas namun lembab dengan suhu sekitar 20-30 ⁰C. Pada daerah subtropik cendawan ini dapat membentuk spora seksual berupa basidiospora yakni Corticium rolfsii dan Pellicularia rolfsii (Ferreira & Boley 2000). Proses pemencaran dan pertahanan diri dengan membentuk struktur yang dapat bertahan hidup selama setahun di dalam tanah (disebut sklerotium). Sklerotium berbentuk bulat (tidak beraturan) dengan ukuran diameter 0.5-2.0 µm dan pada umumnya tampak berwarna putih namun berkembang cepat menjadi kecoklatan (Semangun 1993).

Gejala awal pada tanaman yang terserang S. rolfsii berupa nekrosis dan kelayuan pada daun. Gejala berikutnya terlihat kumpulan hifa berwarna putih pada jaringan yang terinfeksi dan dapat menimbulkan kebusukan pada pangkal batang. Selain menyebabkan busuk pada pangkal batang, Wahyuni & Wiwiek (1979) melaporkan bahwa patogen ini dapat menyebabkan busuk akar rimpang kunyit di pembibitan.

Pengendalian patogen ini dapat dilakukan secara mekanik, fisik, kultur teknis, kimiawi dan hayati. Sclerotium rolfsii pada umumnya sulit untuk dilakukan pengendalian secara kultur teknis dan kimiawi karena memiliki kisaran inang yang luas. Pada pengendalian secara hayati, beberapa mikroorganisme seperti cendawan Trichoderma harzianum (Tindaon 2008), Pseudomonas flourescens (Rismawan 2011), Bacillus subtilis, Gliocladium virens, Penicillium

spp. (Ferreira & Boley 2006), dan Streptomyces nigrifaciens (Reddy 2010) dapat digunakan untuk mengendalikan patogen S. rolfsii.

5

Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau kegiatan patogen dalam menyebabkan suatu penyakit oleh satu atau lebih organisme antagonis selain manusia baik secara aktif maupun manipulasi lingkungan dan inang (Baker & Cook 1974). Pengendalian hayati bersifat ekologis dan berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin mendatangkan efek samping negatif bagi lingkungan hidup. Berkelanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan agens hayati untuk bertahan dan menjaga agar upaya pengendalian tidak merosot atau terus berlangsung (Basukriadi2003).

Menurut Istikorini (2002), pengendalian hayati yang bersifat ekologis dan berkelanjutan mengacu pada bentuk pertanian dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada. Pemanfaatan mikroorganisme antagonis dapat menjaga keseimbangan ekologi karena sumber daya tersebut dikembalikan lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan.

Contoh mikroorganisme antagonis yang digunakan untuk pengendalian hayati yakni Pseudomonas fluorescens untuk mengendalikan Ralstonia solanacearum pada tanaman cabai (Ratdiana 2007). Trichoderma harzianum

mempunyai kemampuan menekan patogen penyebab busuk umbi dan hawar daun pada tanaman kentang Phythopthora infestan (Purwantisari et al. 2008).

Gliocladium sp. mampu mengendalikan Rhizoctonia solani pada tanaman jagung (Syatrawati 2005) dan menekan pertumbuhan jamur akar putih pada tanaman karet (Silalahi & Suriadi 2008). Pemanfaatan Streptomyces spp. dapat menekan serangan Fusarium oxysporum pada tanaman pisang (Sudarma 2010). Pengendalian dengan menggunakan musuh alami merupakan langkah yang tepat guna menunjang pertanian yang ramah lingkungan.

Aktinomiset

Aktinomiset merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur berupa filamen lembut seperti hifa atau miselia (Madigan et al. 2006). Pada permukaan agar aktinomiset dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri non aktinomiset. Koloni bakteri non aktinomiset memilki struktur berlendir dan tumbuh dengan cepat, sedangkan koloni aktinomiset muncul perlahan

6 menunjukkan konsistensi berdebu dan melekat erat pada permukaan agar (Rao 1994 dalam Puryantiningsih 2009). Beberapa aktinomiset mampu menghasilkan beragam senyawa yang dapat berfungsi sebagai antimikroba dan memacu pertumbuhan pada tanaman. Berbagai senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh aktiomiset, khususnya Streptomyces spp. berupa tetrasiklin, streptomisin, eritromisin, kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).

Aktinomiset juga mampu mensintesis banyak senyawa bioaktif berupa antibiotik, pestisida, antiseptik, selulase, dan xylanase (Oskay et al. 2004). Kemampuan aktinomiset menghasilkan antibiotik dan antimikrob dapat dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilaporkan oleh Crawford (1993) yang menyatakan bahwa aktinomiset yang berasal dari rizosfer dan non rizosfer dapat bersifat antagonis pada tanaman selada yang terserang oleh patogen akar

Pythium ultimo. Penelitian lain dapat membuktikan bahwa isolat aktinomiset seperti Streptomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan patogen Bacillus sp. dan Pyricularia oryzae pada tanaman padi (Prabavathy et al. 2006) serta menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora Pachirizi pada tanaman kedelai (Kurniawan 2003).

Selain dapat menghasilkan senyawa aktif, aktinomiset juga dapat berperan sebagai pemicu pertumbuhan tanaman seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Patil et al. (2011) bahwa aktinomiset mampu memicu pertumbuhan tanaman tomat dan menginduksi senyawa fenolat untuk menambah daya tahan terhadap serangan Rhizoctonia solani. Khamna et al. (2010) melaporkan Streptomyces viridis mampu meningkatkan perkecambahan dan panjang akar tanaman jagung serta memperbanyak polong pada tanaman kacang melalui dihasilkannya IAA.

Limbah Organik Serbuk Gergaji

Di Indonesia ada tiga jenis industri kayu yang secara dominan menggunakan kayu dalam jumlah relatif besar antara lain industri kayu lapis, kertas, dan penggergajian kayu. Limbah industri dari kayu lapis dan kertas telah dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahannya sebagai bahan bakar. Namun Limbah industri penggergajian kayu belum dimanfaatkan secara optimal (Priyono

7 2008). Limbah ini terdiri dari kulit kayu, potongan kayu dan serbuk hasil gergajian. Limbah berupa potongan kayu telah dimanfaatkan sebagai inti papan blok dan bahan baku papan partikel. Sedangkan limbah berupa serbuk kayu pemanfaatannya hanya digunakan sebagai bahan bakar tungku (dibakar begitu saja) tanpa penggunaan yang berarti atau dibiarkan menumpuk sehingga dapat menyebabkan pencemaran (Febrianto 1999).

Untuk mengurangi tingkat pencemaran, maka pemanfaatan serbuk gergaji harus dilakukan lebih optimal agar mempunyai nilai ekonomi. Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam 100 g serbuk gergaji yakni 35,3 g serat kasar, 31 g selulosa, 30,9 g lignin, 0.9 g protein kasar, dan 1.9 g lemak kasar (Suriawiria & Unus 2006). Beberapa pemanfaatan serbuk gergaji yang telah dilakukan berupa penggunaan serpihan dan potongan kayu untuk dijadikan arang (Amin 2000) dan media tanam jamur tiram (Sariyono 2008).

Masih banyak limbah serbuk gergaji yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Oleh karena itu, pencarian alternatif untuk membuat limbah serbuk gergaji kayu lebih bermanfaat masih dilakukan. Salah satunya digunakan untuk media pembiakan massal aktinomiset. Aktinomiset seperti bakteri pada umumnya, membutuhkan sumber karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P) untuk menunjang pertumbuhannya (Pelczar & Chan 2007). Zat-zat (karbohidrat dan lignin) yang terkandung di dalam serbuk gergaji dibutuhkan oleh aktinomiset untuk tumbuh. Aktinomiset memiliki kemampuan mendegradasi bahan organik seperti selolusa dan lignin (Xu et al. 1996).

Dedak

Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Dalam tahap pascapanen tanaman padi menjadi beras, pada proses penggilingannya menghasilkan produk samping antara lain menir, beras pecah, sekam, dan dedak. Menir dan beras pecah dapat digiling menjadi tepung sebagai bahan berbagai kue dan makanan lainnya. Sekam dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar serta kompos. Sementara dedak padi saat ini hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan belum banyak digunakan sebagai sumber pangan manusia (Made & Andi 2010). Dedak terdiri dari lapisan sebelah luar butiran beras dan sejumlah lembaga beras (Mc Cascill & Zhang

8 1999). Penggilingan satu ton gabah menghasilkan dedak sebanyak 60-80 kg (Goffman et al. 2003).

Dedak mengandung asam lemak tak jenuh esensial dan bermacam-macam vitamin (B1, B2, B3, B5, dan B6) serta mineral. Disamping zat gizi, dedak juga mengandung komponen bioaktif seperti antioksidan (tokoferol, tokotrienol, dan oryzanol) dan asam pangamik. Kandungan nutrisi yang terdapat di dalam 100 g dedak adalah 70 g karbohidrat, 12 g lemak, dan 16 g protein serta terdapat 0.2 g vitamin B15 (Blair 2008).

Berdasarkan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam dedak, banyak peternak menggunakan dedak sebagai pakan untuk unggas. Selain sebagai pakan ternak, dedak berpotensi sebagai bahan pangan karena mengandung pati dan minyak. Pada proses pembiakan aktinomiset dedak dapat dijadikan sebagai sumber karbon (C), nitrogen (N), vitamin B1, dan B2.

Ampas Tahu

Tahu merupakan makanan tradisional sebagian besar masyarakat di Indonesia. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max).

Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat yang lebih dikenal sebagai ampas tahu merupakan limbah padatan yang memiliki jumlah protein bervariasi tergantung pada proses pembuatannya.

Pembuatan tahu secara tradisional menghasilkan ampas tahu dengan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara modern (Winarno & Fardiaz 1985). Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam 100 g ampas tahu yakni 17.4 g karbohidrat, 67.5 g protein, 10.6 g lemak, dan 4.499 g mineral (Sulistiani 2004).

Seiring banyaknya informasi tentang kandungan nutrisi ampas tahu, maka bahan ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan pembiakan mikroorganisme. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pudjiraharti et al. (2000) bahwa ampas tahu digunakan sebagai substrat tumbuh Rhizopus sp. dan digunakan sebagai formulasi probiotik (Mustika et al. 2008). Hal ini dikarenakan komposisi asam amino dari ampas tahu cukup baik (Wahyu 1992). Berdasarkan

9 kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat pada ampas tahu maka bahan ini dapat dijadikan bahan tambahan dalam pembuatan media tumbuh aktinomiset.

Tepung Limbah Udang

Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia. Data BPS (2009) menunjukkan produksi udang Indonesia sebesar 294.000 ton pada tahun 2008 dan produksi ini meningkat sebesar 25% per tahun. Apabila udang segar ini diolah menjadi udang beku, maka sebesar 35%-70% dari bobot utuh akan menjadi limbah udang (Mahata 2007). Limbah udang di Indonesia umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor, dan cangkang udang serta udang yang rusak (Mirzah 1997).

Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam limbah udang berupa 54.78% bahan kering, 27.62% protein kasar, 11.29% serat kasar, 5.88% kalsium, dan 0.43% lemak (Mirzah 2006). Kandungan kitin limbah udang mencapai 30% dari bahan kering limbah udang (Purwaningsih 2000). Limbah udang dapat dijadikan bahan tambahan sumber kitin dalam proses pembiakan aktinomiset pada media limbah organik.

Dokumen terkait