• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANSUM EKSTRAK AIR DAN TEPUNG UMBI DIOSCOREA ALATA

4.2 Bahan dan Metode

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: tepung umbi DA, akuades, kelinci jantan galur New Zealand White berumur 5 bulan diperoleh dari Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, ransum basal kelinci dan ransum dengan substitusi tepung DA dibuat di Perusahaan Ransum Ternak Indofeed di Bogor, kolesterol murni, reagen total kolesterol, LDL, HDL, dan trigliserida (Fluitest-Chol kit) diperoleh dari Analalyticon Biotechologies, ADP, standad diosgenin, formalin, CuSO4, parafin, xylol, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol90%, alkohol 95%, alkohol absolut, hematoxylin, eiosin, reagen Verhoeff, reagen Van Gieson, entellant.

Alat-alat yang digunakan adalah shaker, sentrifus, freeze drier, spektrofotometer, kandang dan seperangkat alat pemeliharaan kelinci, alat-alat pengambilan darah, embedding tissue console, mikrotom, inkubator, alat-alat

pewarnaan histologis, mikroskop cahaya (Olympus Vanox), kamera (Nikon D5000). dengan kamera, dan alat-alat gelas lainnya.

Pembuatan Serbuk Ekstrak Air Tepung DA

Serbuk ekstrak air DA dibuat dengan cara mengekstrak 150 g tepung DA dengan menggunakan 1.8 L air (nisbah 1:9). Untuk keperluan pengujian in vitro agregasi platelet, ekstrak air dikeringbekukan langsung tanpa penambahan zat pengisi, namun untuk keperluan pembuatan ransum, ditambahkan 1% (18 g) maltodekstrin sebagai bahan pengisi. Tujuan penggunaan dekstrin ini adalah untuk menghasilkan ekstrak kering yang relatif bagus dan memudahkan penggunaannya. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa ekstrak air DA yang dikeringkan tanpa menggunakan maltodekstrin, produknya lengket pada wadah, tidak terbentuk serbuk dan warnanya ungu kehitaman. Ekstrak kering DA di dalam maltodeksatrin ini mengandung 25 g antosianin per 100 g ekstrak.

Analisis Agregasi Platelet in Vitro

Agregasi platelet diukur mengunakan metode Azima (2004) dan Gong et al. (2010) berdasarkan perubahan transmisi cahaya. Plasma Kaya Platelet (PRP) diperoleh dengan cara mensentrifugasi darah pada 1000 rpm selama 15 menit. Plasma miskin Platelet (PPP) diperoleh dengan mensentrifugasi endapan darah yang tersisa pada 1000 rpm selama 15 menit. Plasma miskin platelet digunakan sebagai standar 100% agregasi. Adenosin difosfat (ADP) digunakan sebagai agen agegasi yang ditambahkan pada PRP. Transmisi cahaya pada PRP adalah yang terendah, karena platelet tersuspensi dalam PRP. Setelah penambahan agregator, platelet akan beragregasi dan mengendap hingga plasma menjadi jernih dan transmisi cahaya akan meningkat. Ekstrak air DA dan ekstrak diosgenin dengan konsentrasi bertingkat ditambahkan ke dalam Platelet Rich Plasma (PRP) yang telah diberi ADP untuk mengetahui efeknya dalam menahan agregasi platelet.

Persiapan Ransum

Ransum diformulasi berdasarkan kebutuhan gizi untuk pertumbuhan normal kelinci dewasa (Lebas et al.v1997). Bahan yang menyumbangkan senyawa polifenol selain umbi DA tidak dimasukkan ke dalam komponen ransum. Perhitungan komposisi ransum dilakukan dengan menggunakan program WUFFDA (Windows-Based User Friendly Feed Formulation Workbook) Versi 3 (Thomson 2009), untuk mendapatkan ransum yang isokalori dan isoprotein. Ransum dibuat setiap dua minggu sekali, sebelum digunakan, ransum disimpan di dalam freezer untuk mempertahankan kualitas.

Komposisi bahan penyusun ransum adalah seperti tercantum dalam Tabel 4.1. Ransum dibuat setiap dua minggu sekali dan disimpan beku sebelum digunakan. Untuk membuat ransum 0.5% kolesterol adalah sebagai berikut. 50 g kolesterol dicampurkan dengan 50 g bahan ransum basal, kemudian dibuat pellet. 1 g dari campuran ini (mengandung 0.5 g kolesterol) diaduk dengan 19 g pellet ransum basal sehingga diperoleh 20 g ransum kecil mengandung kolesterol. Ransum tinggi kolesterol ini diberikan terlebih dahulu kepada kelinci untuk dimakan, setelah itu, ransum basal ditambahkan sebanyak 80 g/hari, sehingga total ransum diberikan adalah 0.5 g kolesterol di dalam 100 g ransum basal/hari.

Ekstrak kering DA di dalam maltodeksatrin ini mengandung 25 g antosianin/100 g ekstrak. Sedangkan di dalam tepung DA terdapat 1.4 g antosianin/100 g, atau ada sebanyak 0.23 g antosianin/15 tepung DA atau 0.45 g antosianin/30 g tepung DA. Untuk mendapatkan jumlah antosianin setara dengan yang terdapat di dalam 15 dan 30 g tepung DA, maka ditimbang 0.9 dan 1.8 g ekstrak maltodekstrin. Ekstrak maltodekstrin ini dicampur dengan ransum basal kelinci dengan jumlah yang sama, kemudian dijadikan pellet. Pellet antosianin ditambah dengan pellet kolesterol dimasukkan ke dalam ransum basal hingga total bobot adalah 20 g. Ransum ini diberikan pada kelompok kolesterol-ekstrak DA- 15 (KE1) dan kelompok kolesterol-ekstrak DA-30 (KE2) untuk dimakan terlebih dahulu, kemudian ransum basal ditambahkan sebanyak 80 g. Dengan demikian total ransum diberikan untuk kelompok ini adalah 0.5 kolesterol ditambah 1.8 atau 3.6 g ekstrak antosianin di dalam 100 g ransum basal/hari.

Ransum tepung DA 15 dan 30 dibuat dengan cara mencampurkan 15% dan 30% tepung DA ke dalam bahan ransum basal. Bahan ini kemudian diproses menjadi pellet sehingga pada akhir pembuatan tepung terdapat 15 dan 30% tepung DA di dalam ransum basal.

Analisis Proksimat dan Serat Pangan

Kandungan proksimat bahan penyusun ransum dan ransum dianalisis menggunakan metode AOAC (2007). Kandungan serat pangan dianaliis menggunakan Dietary Fiber kit (Sigma-Aldrich, USA) yang menggunakan kombinasi antara metode enzimatis dan gravimetrik.

Percobaan Hewan

Dilakukan percobaan in vivo menggunakan kelinci galur New Zealand White, berjenis kelamin jantan berumur 5 bulan dengan bobot awal kurang lebih 2.7 kg/ekor. Kelinci diperoleh dari Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor. Skema percobaan hewan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Jumlah kelinci yang digunakan dihitung berdasarkan formula perbedaan nilai tengah (Levy and Lemeslow 1999) (Lampiran 5). Dari hasil perhitungan, maka jumlah kelinci yang digunakan pada setiap kelompok adalah 5 ekor. Kelinci ditimbang, dikelompokkan dan diadaptasikan pada lingkungan pemeliharaan selama 1 bulan. Pada tahap adaptasi, ransum diberikan secara bertahap dari 0% sampai 100%. Setelah itu kelinci mulai diberi ransum sesuai dengan kelompok perlakuan. Selama penelitian, dilakukan pengukuran terhadap peubah yang diamati. Bobot kelinci ditimbang seminggu sekali, bobot ransum yang dikonsumsi dihitung setiap hari, komponen lipida darah (total kolesterol, LDL, HDL, dan triasilgliserol) diukur pada awal, hari ke 28, 56 dan 60. Pada akhir penelitian kelinci dimatikan, kemudian jantung dan aorta difiksasi untuk diproses menjadi sediaan histologi.

Analisis Komponen Lipida Darah

Darah diambil dari pembuluh vena kelinci pada telinga dengan menggunakan buterfly syringe steril. Untuk mendapatkan serum, darah disentrifugasi pada 100g selama 15 menit pada suhu 4⁰C. Triasilgliserol, total kolesterol, tolesterol-LDL, kolesterol-HDL, dianalisis menggunakan kit komersial

(Fluitest® Chol, HDL-Chol, LDL-Chol dan Triacyglicerol, Analyticon Biotechnologies).

Dipelihara selama 1 bulan untuk adaptasi

Dikelompokkan menjadi 6 kelompok, K0 Ransum basal

K1 Ransum basal + 0,5 % kolesterol

KE1 Ransum basal + 0,5 % kolesterol + ekstrak air DA 0,23 g antosianin KE2 Ransum basal + 0,5 % kolesterol + ekstrak air DA 0,45 g antosianin KT1 Ransum basal + 0,5 % kolesterol + 15 % tepung umbi

KT2 Ransum basal + 0,5 % kolesterol + 30 % tepung umbi

Dipelihara selama 60 hari

1. Penimbangan bobot badan

2. Pengukuran konsumsi ransum

3. Profil lipida darah PENGAMATAN

1 minggu sekali

setiap hari

Hari 0, 28, 56 & 60 Kelinci dimatikan, organ

dipisahkan Kelinci ras New

zealand white

jantan

Aorta dibuat sediaan histologi, dilakukan pewarnaan pewarnaan

Verhoeff-van Giesen

4. Pengamatan plak aterosklerosis

Gambar 4.1 Skema percobaan hewan

Analisis Jaringan A Persiapan Jaringan

Aorta dan jantung difiksasi dengan larutan Bouin selama 24 jam untuk mencegah terjadinya autolisis. Setelah itu dilakukan pemotongan aorta setebal 0.5 cm pada jarak 2 cm dari aortic arch. Selanjutnya jaringan didehidrasi untuk mengeluarkan air dari dalam jaringan/organ dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Kemudian dilakukan penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan tempat alkohol dalam jaringan dengan menggunakan silol. Selanjutnya adalah proses embedding yang merupakan proses menanam jaringan ke dalam blok-blok parafin. Jaringan yang telah diembedding kemudian disayat menggunakan mikrotom sehingga didapatkan sediaaan dengan ketebalan 4-5 µm sebanyak 8 seri pada setiap slide. Kemudian dilakukan pewarnaan Verhoeff-van Giesen.

B Analisis Plak Aterosklerosis

Untuk pewarnaan, potongan jaringan dideparafinisasi menggunakan silol bertingkat dan direhidrasi menggunakan alkohol bertingkat. Pewarnaan Verhoeff

Bahan ransum (%) Ransum basal Ransum 15% tepung DA Ransum 30% tepung DA Tepung DA 0.00 15.00 30.00 Grass Meal 22.00 22.00 22.00 Copra Meal 16.00 16.00 16.00 Rice Bran 5.00 5.00 5.00 Maize Flour 30.00 15.00 0.00 Wheat Pollard 7.00 7.00 7.00 Cane molasses 7.00 7.00 7.00

Corn Gluten Meal 13.00 13.00 13.00

Total 100.00 100.00 100.00 Vitamin Mix 0.01 0.01 0.01 Mineral Mix 0.01 0.01 0.01

diaplikasikan terhadap jaringan selama 45 menit. Pewarnaan ini memberikan warna hitam pada serabut elastik dan benang-benang myelin. Setelah itu dilakukan counterstain menggunakan reagen van Giesen selama 5 menit untuk memberikan warna kuning pada sitoplasma dan kolagen (Kiernan, 1990). Kemudian jaringan didehidrasi, dan dijernihkan di dalam silol, serta ditutup dengan entellan. Potongan jaringan yang sudah diwarnai, diamati dengan mikroskop cahaya dan didokumentasikan menggunakan mikrofoto. Pembentukan plak aterosklerosis dianalisis dengan menghitung jumlah tonjolan plak dan mengelompokkan tingkat keparahan plak berdasarkan skoring. Luas area aorta dan luas area ateroma diukur dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ 1.46t (Rasband, 2012). Persentase luas area ateroma didapatkan dengan membandingkan luas area ateroma terhadap luas area aorta

Disain Penelitian dan Analisis Data

Disain penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan lima ulangan. Data dianalisis menggunakan Analisis Varian (ANOVA) dan uji lanjut Beda nyata terkecil (BNT) untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan. Data dikatakan secara nyata berbeda jika nilai P lebih kecil dari 0.05. Semua data disajikan dalam bentuk rata-rata ± standar deviasi.

Pertimbangan Etik

Izin Etik Penelitian diperoleh dari Badan Litbang Kesehatan Kementrian Kesehatan. Surat persetujuan etik dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.3 Hasil dan Pembahasan

Ransum dan Analisis Proksimat

Komposisi bahan penyusun ransum kelinci tercantum dalam Tabel 4.1 Komponen penyusun ransum kelinci dianalisis kandungan proksimatnya untuk keperluan formulasi (Tabel 4.2). Tujuan dari formulasi adalah untuk memperoleh ransum yang memiliki nilai kalori, kandungan protein, lemak, dan serat kasar yang seragam, sesuai dengan kebutuhan hidup normal kelinci dewasa.

Komposisi (%)

basis basah Kebutuhan* Ransum basal

Ransum 15% tepung DA Ransum 30% tepung DA Kadar Air -- 9.40 9.14 8.20 Total padatan -- 90.60 90.86 91.80 Kadar abu 0 - 12 5.14 5.65 5.69 Kadar protein 15 - 18 16.01 16.12 16.34 Kadar lemak 3 - 5 4.92 4.81 3.20 Total karbohidrat -- 64.53 64.28 66.57 Serat kasar 10 - 14 11.84 10.51 11.48 Serat pangan 6.13 9.17 13.00 Energi (Kal) 350 - 370 366.00 365.00 360.00

Menurut Lebas et al. (1997) kebutuhan energi untuk kelinci adalah 350- 370 Kal/100 g, lemak 3-5%, serat kasar 10-14%, dan protein 15-18%. Ransum diformulasi untuk mengandung 0%, 15% dan 30% tepung DA. 0% substitusi tepung DA digunakan sebagai ransum basal yang diberikan pada kelompok K0, K1, KE1, dan KE2. Maize flour memiliki kandungan proksimat yang mirip dengan tepung DA oleh karena itu maize grain disubstitusi dengan tepung DA untuk mendapatkan 15 dan 30% tepung DA di dalam ransum.

Formulasi harus memenuhi kebutuhan gizi untuk kebutuhan pertumbuhan normal kelinci. Protein, lemak dan serat kasar berkisar antara 16.01-16.34 %, 3.2- 4.92 %, dan 10.51–11.84 %, sedangkan energi berkisar antara 360-366 Kal/100 g ransum. Dengan komposisi tersebut, ransum yang dibuat sudah memenuhi kebutuhan gizi untuk kehidupan normal kelinci dewasa. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa kandungan protein, lemak, serat kasar di dalam ransum pada semua kelompok percobaan setara. Akan tetapi, kandungan serat pangan antara ransum basal, ransum DA-15, dan DA-30 berbeda.

Tabel 4.2 Hasil analisis proksimat ransum

*Lebas 1997

Konsumsi Ransum dan Bobot Badan Kelinci

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kelinci pada setiap kelompok perlakuan mengonsumsi jumlah ransum yang sama (P 0.3818, α 0.05). Jumlah ransum yang dikonsumsi oleh kelinci selama 60 hari adalah antara 5106.9-5826.2 g atau 83.72-95.51 g/hari. Dengan jumlah ransum ini, asupan protein dan kalori untuk setiap kelompok berkisar antara 817.61-939.04 g atau 13.40-15.39 g/hari, dan antara 18,691- 21,324 Kal atau 306-349 Kal/ hari. Jumlah energi dan protein yang dikonsumsi oleh kelinci merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa perbedaan pada parameter memang disebabkan oleh perbedaan jenis perlakuan ransum, dan bukan akibat perbedaan jumlah konsumsi ransum.

Perbedaan komposisi bahan penyusun ransum tidak menyebabkan perbedaan bobot kelinci antarkelompok karena komposisi zat gizi makro yang dimiliki masing-masing ransum setara. Bobot awal kelinci adalah bervariasi antara 2255.7-2457.0 g (tidak berbeda nyata P 0.9961, α 0.05), dan bobot akhir kelinci adalah antara 2987.0-3339.8 g. Terdapat kenaikan bobot badan sekitar 800 g/ekor selama pemeliharaan, atau kenaikan sekitar 40 g/ekor setiap minggu.

2,200 2,400 2,600 2,800 3,000 3,200 3,400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 B o b o t K e li n ci (g) K0 K1 KE1 KE2 KT1 KT2 Bobot Awal (g) 2457.0 ± 235.60a*2406.0 ± 180.23a2309.2 ± 200.31a 2379.5 ± 197.03a2255.7 ± 151.04a2360.0 ± 196.24a Bobot Akhir (g) 3339.8 ± 400.69a 3248.8 ± 102.43a3054.3 ± 369.20a 2987.0 ± 357.98a3113.7 ± 334.97a3261.3 ± 226.52a Konsumsi ransum (g/hari) 92.7 ± 10.48a 95.5 ± 4.21a 84.5 ± 15.96a 83.7 ± 15.18a 91.5 ± 9.02a 94.2 ± 11.65a

Konsumsi kolesterol (g/hari) 0 0.57 ± 0.20a 0.56 ± 0.05a 0.50 ± 0.03a 0.55 ± 0.04a 0.55 ± 0.07a

Konsumsi antosianin (g/hari) 0 0 0.24 ± 0.224c 0.45 ± 0.050a 0.19 ± 0.019c 0.40 ± 0.051b

KE1 KE2 KT1 KT2

K0 K1

Selama pemeliharaan hewan coba, dilakukan 20 kali penimbangan, dan pada setiap penimbangan, perbedaan bobot antar kelompok tidak bermakna (Gambar 4.2).

Gambar 4.2 Kenaikan bobot badan kelinci pada setiap kelompok perlakuan

Jumlah kolesterol dan antosianin yang dikonsumsi oleh kelinci dihitung berdasarkan ransum yang tidak dimakan. Jumlah kolesterol yang dikonsumsi seekor kelinci selama 60 hari adalah antara 33.64-34.63 g atau 0.50-0.57 g/hari (Tabel 4.3). Analisis varian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada jumlah kolesterol yang dikonsumsi (P 0.2622, α 0.05). Asupan antosianin antara kelompok ekstrak DA 15 dan tepung DA 15 atau antara kelompok ekstrak DA 30 dan tepung DA 30 dirancang sama. Untuk ekstrak DA 15 dan tepung DA 15, asupan rata-rata adalah 0.24 dan 0.19 g/hari, dan untuk ekstrak DA-30 dan tepung DA-30 asupan rata-ratanya adalah 0.45 dan 0.40 g/hari.

Tabel 4.3 Bobot badan, konsumsi ransum, konsumsi kolesterol dan antosianin pada setiap kelompok perlakuan

*Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama

menunjukkan per edaan yang nyata (p≤0.05)

Profil Lipida Darah Kelinci

Selama penelitian dilakukan 4 kali pengukuran lipida darah. Pada awal semua parameter lipida darah pada kondisi normal, dimana kolesterol total adalah

antara 54.03-89.88 mg/dL, HDL antara 29.65-41.43 mg/dL, LDL antara 43.03- 60.05 mg/dL, dan trigliserida antara 40.35-67.63 mg/dL. Dengan kisaran ini, perbedaan komponen lipida darah pada awal penelitian adalah tidak bermakna (P 0.5740, α 0.05, Lampiran 8).

Pemberian ransum kolesterol pada kelinci menyebabkan peningkatan yang nyata pada total kolesterol, kolesterol-LDL, dan triasilgliserol. Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu (Prasad 2005, Purohit dan Vyas 2006 dan Jain et al. 2007) yang menemukan bahwa lipida makanan berkorelasi dengan profil lipida darah kelinci. Kelinci secara khusus sangat sensitif terhadap kolesterol makanan, seekor kelinci normal akan mensintesis dan mensekresikan sekitar 100 mg kolesterol per hari dan mempertahankan konsentrasi kolesterol darah maksimal pada 100 mg/dL, akan tetapi pemberian kolesterol pada makanan akan meningkatkan secara ekstrim konsentrasi kolesterol dalam darah kelinci (Lebas et al. 1997). Total kolesterol, kolesterol LDL, dan triasilgliserol darah pada kelinci yang diberi ransum tinggi kolesterol (K1) menunjukkan peningkatan yang sangat tinggi. Pada pengukuran hari ke-28 kadar total kolesterol meningkat 16 kali lipat dan kadar total LDL meningkat 20 kali lipat dari kondisi awal (Tabel 4.4 dan Tabel 4.5). Kondisi seperti ini dapat terjadi karena kelinci merupakan hewan herbivora yang sangat sensitif terhadap kolesterol makanan, akan tetapi tidak mampu mendegradasi kolesterol atau menseksresikannya dalam bentuk asam empedu dalam jumlah yang cukup, untuk menyeimbangkan dengan apa yang telah diserap, sehingga timbullah kondisi hiperkolesterolemia yang parah (Weisbroth et al. 1974). Kondisi tingginya kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan triasilgliserol ini ini terus meningkat hingga pengukuran ke-56, dan sedikit menurun pada pengukuran ke- 60.

Pemberian ransum kolestrol tidak menyebabkan perbedaan kadar Kolestero l-HDL darah kelinci antarperlakuan (Tabel 4.6.). HDL memiliki fungsi untuk membawa kolesterol yang tidak teresterifikasi dari sel dan dari lipoprotein lain yang terakumulasi, dan membawanya ke hati untuk dieksresikan melalui asam empedu (Gropper 2005). Rendahnya kadar kolesterol-HDL mengindikasikan sedikitnya kolesterol yang dibawa ke hati untuk menyeimbangkan apa yang telah diserap. Oleh karenanya, kadar kolesterol di dalam darah sangat tinggi.

Tabel 4.4 Perubahan kadar total kolesterol serum kelinci

*Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama

menunjukkan per edaan yang nyata (p≤0.05)

K0 73.53 ± 22.93 65.83 ± 21.13c 56.35 ± 28.65b 54.00 ± 6.35c K1 89.88 ± 41.66 1443.00 ± 446.84a 2140.50 ± 904.97a 1987.20 ± 770.66a KE1 70.45 ± 28.18 1424.50 ± 375.42a 2152.00 ± 1133.90a 1572.80 ± 218.21ab KE2 68.25 ± 21.21 1410.30 ± 320.30a 2081.80 ± 701.98a 2000.00 ± 920.13a KT1 54.03 ± 13.84 537.65 ± 304.08b 680.35 ± 228.12b 645.40 ± 228.94bc KT2 68.25 ± 19.13 250.55 ± 110.81bc 438.80 ± 150.09b 314.15 ± 150.71c

Kelompok Kadar Total Kolesterol (mg/dL)

Akhir Hari ke-56

Hari ke-28 Awal

Tabel 4.5 Perubahan kadar kolesterol-LDL serum kelinci

*Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama

menunjukkan per edaan yang nyata (p≤0.05)

Tabel 4.6 Perubahan kadar kolesterol-HDL serum kelinci

*Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p≤0.05)

Tabel 4.7 Perubahan kadar triasilgliserol serum kelinci

*Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama

menunjukkan per edaan yang nyata (p≤0.05)

Pemberian ekstrak air DA (KE1 dan KE2) pada kelinci yang diberi ransum tinggi kolesterol tidak dapat mempertahankan profil lipida darah pada kondisi normal. Kadar total kolesterol, kolesterol LDL, dan triasilgliserol darah kelinci pada kelompok ini lebih mendekati kadar kolesterol kelompok K1 (P=0.000, α 0.05). Ekstrak air um i DA tidak dapat memperbaiki profil lipida darah kelinci. Di dalam ekstrak umbi terdapat antosianin yang memiliki efek menurunkan penyerapan kolesterol dengan cara memodulasi penarikan kolesterol dari tubuh ke hati untuk dieksresikan menjadi asam empedu, melalui aktivasi reseptor-reseptor yang meregulasi dari penarikan kolesterol ini (Xia 2005). Akan tetapi efek modulasi ini tidak ditunjukkan dengan pemberian ekstrak sejumlah 0.23 g dan yang dapat menyebabkan efek modulasi tersebut.

K0 47.55 ± 12.45 51.45 ± 14.52c 48.50 ± 24.13b 42.03 ± 7.81b K1 60.05 ± 23.31 1409.30 ± 185.54a 978.50 ± 182.24a 514.48 ± 230.31a KE1 43.18 ± 9.66 808.25 ± 720.77b 974.50 ± 164.53a 625.73 ± 346.88a KE2 43.03 ± 5.38 1348.00 ± 151.51a 872.25 ± 339.61a 761.27 ± 171.01a KT1 48.98 ± 17.39 208.77 ± 56.91c 149.82 ± 12.20b 207.05 ± 65.97b KT2 45.90 ± 17.32 157.10 ± 21.65c 153.95 ± 17.91b 109.58 ± 44.28b

Kelompok Kadar LDL-Kolesterol (mg/dL)

Awal Hari ke-28 Hari ke-56 Akhir

K0 38.03 ± 12.69 33.83 ± 7.70ab 25.03 ± 9.01a 25.03 ± 9.86a K1 31.98 ± 13.25 27.95 ± 2.47b 17.73 ± 5.34a 17.73 ± 5.81a KE1 39.03 ± 16.64 42.30 ± 13.13ab 24.30 ± 11.15a 24.30 ± 7.82a KE2 35.25 ± 5.17 40.45 ± 11.15ab 23.28 ± 8.69a 23.28 ± 12.15a KT1 29.65 ± 6.42 36.13 ± 7.54ab 20.68 ± 6.67a 20.68 ± 3.04a KT2 41.43 ± 13.22 41.83 ± 8.87a 23.70 ± 6.36a 23.70 ± 10.17a

Kelompok Kadar HDL-Kolesterol (mg/dL)

Awal Hari ke-28 Hari ke-56 Akhir

K0 52.58 ± 11.62 83.00 ± 13.52b 55.43 ± 20.07c 68.38 ± 5.90c K1 57.08 ± 6.82 216.22 ± 94.34a 186.28 ± 25.70b 271.30 ± 68.10a KE1 51.53 ± 16.55 183.30 ± 28.83a 203.60 ± 43.09b 243.42 ± 42.29a KE2 61.13 ± 9.76 187.90 ± 26.42a 251.42 ± 38.60a 276.90 ± 35.33a KT1 48.25 ± 5.70 94.30 ± 20.81b 91.80 ± 36.77c 176.10 ± 27.02b KT2 47.20 ± 16.53 78.13 ± 16.97b 68.33 ± 12.87c 75.40 ± 22.27c Kelompok

Awal Hari ke-28 Hari ke-56 Akhir

Pemberian tepung DA sebanyak 15% atau 30% (KT1 dan KT2) dapat mempertahankan kolesterol total darah kelinci ke arah normal, terutama pada kelinci yang diberi ransum substitusi tepung DA sebanyak 30%, dimana kadar kolesterolnya tidak berbeda nyata dengan kontrol normal (K0) (Tabel 4.4). Substitusi tepung DA ke dalam ransum tidak hanya menyumbangkan senyawa antosianin, tetapi juga serat pangan dari jenis selulosa, lignin, hemiseslulosa, dan pektin (Baah et al. 2009). Dari analisis serat pangan yang terdapat di dalam ransum, diketahui bahwa pada ransum basal dengan substitusi 0% tepung DA memiliki kandungan serat pangan sebesar 6.13%, sementara pada ransum dengan substitusi tepung DA 15% dan 30%, mengandung berturut-turut 9.17% dan 13% serat pangan.

Serat pangan dapat mempengaruhi pencernaan dan penyerapan lipida dalam usus halus. Selain itu, serat pangan juga berpengaruh terhadap metabolisme asam empedu (Muchtadi, 2013). Penghambatan penyerapan lipida oleh serat pangan adalah dengan cara berinteraksi langsung dengan enzim lipase, sehingga menurunkan aktivitas enzim (Klinkerson et al. 2009) dan membentuk membran protektif di sekeliling droplet lipida sehingga mencegah lipase untuk kontak dengan lipida (Mun et al. 2006), serta mengikat garam empedu sehingga mencegah terjadinya emulsi lipida di dalam usus halus (Thongngam et al. 2005). Pengaruh serat pangan, khususnya serat larut air dalam metabolisme asam empedu adalah melalui kemampuannya mengikat asam empedu pada saluran gastrointestinal. Dengan terikatnya asam empedu, maka pembentukan misel menjadi terganggu dan reabsospsi asam empedu menurun. Hal ini menyebabkan eksresi kompleks serat pangan-asam empedu ke dalam feses meningkat. Penggantian asam empedu yang dieksresikan tadi dilakukan dengan meningkatkan sintesis asam empedu di dalam hati dengan regulasi hormon kolesitokinin (CCK). Untuk bahan baku sintesis terjadi peningkatan kebutuhan kolesterol sehingga kolesterol yang terdapat di dalam hati tidak disirkulasikan ke tubuh sebagai VLDL (very low density lipoprotein), dan VLDL dan LDL diambil dari sirkulasi di tubuh. Efek keseluruhan dari perubahan ini adalah penurunan kadar LDL dan total kolesterol serum (Anderson et al. 1999).

Hal lain yang diduga berperan dalam menurunkan kolesterol adalah adanya kandungan diosgenin yang merupakan saponin steroid pada tepung DA. Saponin tanaman terbukti mencegah absorpsi kolesterol di lumen usus halus hewan model sehingga dapat menurunkan konsentrasi kolesterol plasma. Diosgenin juga terbukti dapat meningkatkan eksresi kolesterol melalui feses dan meningkatkan sekresi kolesterol melalui asam empedu (Temel et al. 2009). Sterol dan steroid tumbuhan memiliki efek antihiperlipidemia dengan menghambat absorpsi kolesterol makanan. Sterol dan steroid dari makanan akan berkompetisi dengan kolesterol makanan dalam membentuk misel yang bersifat lebih larut dan berfungsi untuk penyerapan lipida di dalam usus. Dengan adanya kompetisi ini jumlah kolesterol makanan yang diabsorpsi oleh sel mukosa usus halus akan menurun (Deng 2009).

Agregasi Platelet

Agregasi platelet atau agregasi trombosit adalah salah satu faktor yang memperparah pembentukan lesi aterosklerosis. Trombosis akan mempercepat dan membuat pembentukan plak menjadi semakin kompleks karena trombus yang

terbentuk akan menyatu dengan plak. Pembentukan trombin dan pelepasan mediator oleh platelet akan meningkatkan laju proliferasi sel dan produksi matriks ekstraseluler yang menyebabkan pertumbuhan plak yang lebih lanjut (Libby et al. 2002).

Gambar 4.3 Kemampuan ekstrak air DA dalam menurunkan agregasi platelet plasma darah kelinci

Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak air DA dapat menurunkan agregasi platelet (Gambar 4.3). 10 µL ekstrak air yang mengandung 100 ppm ekstrak kering DA menurunkan agregasi platelet sekitar 4% dari kontrol, akan tetapi dengan penambahan konsentrasi ekstrak sampai 400 ppm, agregasi platelet menurun hingga 50% dari nilai awal. Komponen yang diduga memiliki kapasitas antiagregasi platelet adalah diosgenin.

Di dalam 1 g serbuk ekstrak air DA (tanpa bahan pengisi) terdapat sekitar 100 mg diosgenin (10%), sehingga untuk mendapatkan 50% penghambatan agregasi yang dihasilkan oleh 400 ppm ekstrak, terdapat sekitar 40 ppm diosgenin di dalamnya. Gong et al. (2011) melaporkan, bahwa diosgenin yang berasal dari Dioscorea zingiberensis telah terbukti memiliki efek antitrombosis dengan meningkatkan fungsi antikoagulasi, mencegah agregasi platelet dan anti trombosis pada tingkat yang berhubungan dengan dosis. Dimana pada dosis 92 ppm, sudah dapat menghambat sekitar 45% agregasi platelet secara in vitro.

Perkembangan Plak Aterosklerosis

Analisis morfologi dari potongan melintang aorta menunjukkan perkembangan plak yg terjadi pada dinding pembuluh aorta. Kelinci yang mendapatkan ransum basal (K0) tidak menunjukkan perkembangan plak aterosklerosis, sedangkan pada aorta kelinci yang mendapatkan ransum basal dan kolesterol (K1) terjadi perkembangan plak yang berat (Tabel 4.8).

Pemberian ransum dengan suplementasi tepung DA 15% dan 30% (KT1 dan KT2) mampu mencegah perkembangan plak. Kelinci yang diberi ransum suplementasi tepung DA sebanyak 30% (KT2) menunjukkan tingkat perkembangan plak yang negatif. Pembentukan plak sedang ditemukan pada aorta kelinci yang diberi ekstrak air (KE1 dan KE2), dimana tingkat keparahannya hampir mirip dengan yang terjadi pada kelinci yang diberi kontrol kolesterol. Hal

Kelompok Pembentukan plak* Tingkat keparahan K0 - negatif K1 +++++ berat KE1 +++ sedang KE2 +++ sedang KT1 + ringan KT2 - negatif

* Pembentukan plak; negatif (-) tidak ada plak, ringan (+) 1 buah plak, sedang (+++) 2-4 plak, erat (+++++) ≥ 5 plak

ini mengindikasikan bahwa pemberian ekstrak air tidak dapat mencegah

Dokumen terkait