• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung dari bulan Februari sampai dengan September 2011.

Bahan dan Alat

Bahan tanam yang digunakan adalah tunas mikro pisang Kepok varietas Unti Sayang. Media dasar yang digunakan yaitu dari komposisi Murashige dan Skoog (MS) dengan modifikasi vitamin B5 (Lampiran 1.). Bahan pemadat yang digunakan adalah agar-agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP, thidiazuron, dan kinetin) dan auksin (IBA). Bahan untuk mengatur pH yaitu larutan HCl 1 N dan KOH 1 N. Bahan-bahan yang digunakan untuk sterilisasi antara lain natrium hipoklorit dan alkohol. Bahan penutup botol yaitu plastik dan karet gelang. Bahan-bahan lain yang digunakan antara lain spiritus, tisu, korek api dan aquadestilata.

Alat-alat yang digunakan dalam membuat media yaitu labu takar, gelas ukur, pipet, timbangan, magnetic stirrer, dan pH meter. Alat untuk sterilisasi botol dan media yaitu autoclave. Alat-alat yang digunakan ketika menanam antara lain pinset, gunting, scalpel, bunsen, botol semprot, cawan petri, dan Laminar Air Flow Cabinet (LAFC).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang disusun dalam faktor tunggal, yaitu komposisi media. Terdapat 4 perlakuan komposisi media, yaitu media MS dengan penambahan 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron (M1), media MS dengan penambahan 2 mg/l BAP (M2), media MS dengan penambahan 5 mg/l BAP (M3) dan media MS dengan penambahan 7 mg/l kinetin (M4). Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali sehingga terdapat 8 satuan

percobaan. Setiap satu satuan percobaan terdiri atas 20 botol kultur. Setiap botol kultur ditanamn satu tunas mikro.

Setelah tanaman berumur 3 minggu, dilakukan subkultur ke media yang sama. Subkultur dilakukan sebanyak 6 kali. Setiap 3 minggu sekali, satu satuan pengamatan diakarkan pada media ½ MS dengan penambahan 0.5 mg/l IBA.

Model aditif linier yang digunakan sebagai berikut : Yij= μ + τi +εij

Keterangan :

Yij = nilai pengamatan pengaruh faktor komposisi media ke-i, dan ulangan ke-j μ = rataan umum

τi = pengaruh komposisi media ke-i

εij = pengaruh acak pada perlakuan komposisi media ke-i dan ulangan ke-j Pengolahan data untuk setiap peubah yang diamati dilakukan dengan menggunakan uji F pada sistem SAS (Statistical Analysis System). Perlakuan yang berpengaruh nyata pada uji F dilakukan uji lanjut menggunakan Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Alat

Alat yang digunakan dalam pembuatan media dan penanaman eksplan harus dalam keadaan steril. Semua peralatan yang digunakan dalam pembuatan media dan penanaman dicuci dengan deterjen sampai bersih. Alat tanam seperti pinset, gunting, cawan petri, dan gagang scalpel dibungkus dengan kertas terlebih dahulu, kemudian bersama dengan botol kultur disterilkan ke dalam autoclave pada suhu 121° C dengan tekanan 17.5 psi (pound per square inch) selama 60 menit.

Pembuatan Media

Tahap awal dalam pembuatan media adalah pembuatan larutan stok. Media dibuat dengan memipet larutan stok berdasarkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk membuat satu liter media, kemudian ditambah zat pengatur

10 tumbuh sesuai dengan perlakuan. Larutan media tersebut ditambah aquades hingga mencapai satu liter. Selanjutnya, dilakukan pengukuran pH media dengan pH meter hingga mencapai pH 5.9 menggunakan HCl 1 N dan KOH 1 N. Selanjutnya media ditambahkan 7 g/l agar-agar dan dimasak hingga mendidih. Setelah mendidih media dimasukkan ke dalam botol kultur steril sebanyak 25 ml/botol. Botol kultur ditutup dengan plastik bening dan karet. Botol kultur yang telah berisi media dan ditutup rapat di autoclave selama 20 menit. Media yang sudah di autoclave disimpan di ruang penyimpanan media.

Persiapan Bahan Tanam

Bahan tanam yang digunakan adalah tunas in vitro pisang Kepok Unti Sayang. Tunas pisang diperoleh dari Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Pada saat inisiasi eksplan ditanam pada media MS dengan penambahan 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron. Planlet kemudian di subkultur pada media MS tanpa penambahan zat pengatur tumbuh selama 2 bulan untuk menghilangkan pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh sebelumnya.

Penanaman

Penanaman eksplan dilakukan di dalam Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang telah disterilkan dengan menyalakan lampu UV (ultra violet) selama satu jam dan menyemprot dinding LAFC menggunakan alkohol 70% sebelum digunakan. Semua alat yang digunakan dalam penanaman disemprot dengan alkohol 70% terlebih dulu sebelum masuk ke dalam LAFC.

Tunas steril yang digunakan adalah tunas mikro pisang Kepok Unti Sayang yang sudah ditanam pada media tanpa zat pengatur tumbuh. Tunas tersebut dipotong bagian akar dan daunnya. Kemudian tunas-tunas yang menggerombol dipisahkan. Ekplan yang digunakan adalah eksplan dengan tinggi 1-1.5 cm sebagai ulangan pertama dan 1.5-2 cm untuk ulangan kedua. Tunas Unti Sayang ditanam 1 tunas per botol.

Subkultur

Pada tahap ini semua tunas yang telah terbentuk baik yang bermultiplikasi ataupun yang tidak dipisah-pisahkan satu-satu dan ditanam satu botol satu tunas. Subkultur dilakukan setiap 3 minggu sekali sebanyak 6 kali. Tunas yang terbentuk pada semua satuan pengamatan disubkultur ke media yang sama dengan media sebelumnya. Setiap kali subkultur dilakukan pengukuran tinggi tunas. Tunas yang berasal dari setiap satuan pengamatan yang sama diberi kode untuk mengetahui pertumbuhan tunas pada masing-masing botol.

Pengakaran

Setiap 3 minggu sekali, satu satuan pengamatan dari semua media perlakuan diakarkan pada media ½ MS dengan penambahan 0.5 mg/l IBA. Selama 6 kali subkultur, jumlah tunas yang diakarkan sebanyak 48 satuan pengamatan. Tunas yang diakarkan adalah tunas yang tidak berproliferasi dan yang mengalami kontaminasi. Pengakaran ini berlangsung selama 3 minggu.

Aklimatisasi

Tanaman sempurna (planlet) yang diperoleh setelah diakarkan pada media pengakaran selanjutnya diaklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan pada medium arang sekam dan cocopeat dengan perbandingan 1:1 (v/v). Planlet dikeluarkan dari botol kultur kemudian dicuci bersih dengan air matang. Pencucian berfungsi untuk menghilangkan agar-agar yang menempel. Sebelum ditanam, tanaman direndam dalam larutan fungisida (2 g/l) untuk menghindari serangan cendawan.

Tanaman ditanam pada kotak plastik yang telah terisi media yang sebelumnya telah dilembabkan. Kotak plastik ditutup dengan plastik transparan yang bertujuan untuk menjaga kelembaban sehingga tanaman tidak banyak kehilangan air akibat transpirasi.

Pemeliharaan terhadap tanaman berupa penyiraman dilakukan setiap dua hari sekali. Plastik transparan penutup tanaman dibuka saat tanaman telah berusia 1 minggu. Pengamatan dilakukan selama tiga minggu.

12 Pengamatan

Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 7 bulan dengan peubah yang diamati antara lain :

1. Jumlah tunas

Jumlah tunas dihitung dari banyaknya tunas yang tumbuh pada setiap eksplan.

2. Persentase kultur yang bermultiplikasi

Persentase kultur yang bermultiplikasi dihitung dengan cara membandingkan jumlah kultur yang bermultiplikasi dengan jumlah kultur yang ditanam dikalikan 100%.

3. Laju multiplikasi

Laju multiplikasi dihitung dengan melihat pertambahan tunas yang terjadi setiap subkultur.

4. Warna tunas

Warna tunas diamati dengan cara membandingkan warna pada setiap tunas dengan indikator warna yang dibuat menyerupai bagan warna daun pada padi dengan menggunakan cat air.

5. Jumlah daun

Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang telah terbuka penuh, dihitung dari daun paling bawah sampai dengan daun paling atas.

6. Tinggi tunas

Tinggi tunas diukur dengan mengeluarkan tanaman dari botol. Kemudian diletakkan pada cawan petri. Agar yang menempel pada tunas dibersihkan. Tinggi tunas diukur hingga ujung daun terpanjang. Pengukuran tinggi tunas dilakukan setiap tiga minggu sekali.

7. Waktu terbentuknya akar

Waktu terbentuknya akar dicatat saat pertama kali kultur membentuk akar. 8. Persentase kultur berakar

Persentase kultur berakar dihitung dengan cara membandingkan jumlah kultur yang membentuk akar dengan jumlah kultur yang ditanam dikalikan 100%.

9. Jumlah akar

Jumlah akar yang dihitung adalah seluruh akar yang muncul dari tunas, dari akar yang baru muncul sampai dengan akar yang sudah tua.

10.Persentase planlet yang berhasil diaklimatisasi

Persentase planlet yang berhasil diaklimatisasi dihitung dengan cara membandingkan jumlah planlet yang hidup atau tetap tumbuh dengan jumlah planlet yang diaklimatisasi dikalikan 100%.

11.Persentase kontaminasi

Persentase kontaminasi dihitung dengan cara membandingkan jumlah eksplan yang terkontaminasi dengan jumlah eksplan dari suatu perlakuan dikalikan 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan kultur pada minggu pertama setelah tanam secara keseluruhan dapat tumbuh dengan baik dilihat adanya tunas yang bermultiplikasi pada semua media perlakuan. Setiap tiga minggu sekali eksplan disubkultur. Eksplan yang berproliferasi maupun yang tidak, dipindahkan pada media baru yang konsentrasinya sama dengan media sebelumnya.

Kontaminasi terjadi mulai dari minggu pertama setelah tanam. Pada 1 MST (minggu sebelum subkultur), kontaminasi terbesar disebabkan oleh cendawan. Setelah 4 MST (setelah subkultur ke-1), kontaminasi terbesar disebabkan oleh bakteri. Kontaminasi terjadi pada semua perlakuan. Kontaminasi yang terjadi tidak berpengaruh terhadap daya proliferasi eksplan. Hal ini dilihat dari peningkatan jumlah tunas yang dihasilkan setiap kali subkultur. Jumlah kultur yang dihasilkan setelah 6 kali subkultur sebanyak 1095 satuan pengamatan.

Perkembangan kultur adalah terjadinya multiplikasi tunas pada semua perlakuan. Tunas membentuk akar pada beberapa media perlakuan. Tunas pada media pengakaran dapat membentuk akar pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP, media MS + 5 mg/l BAP, dan media MS + 7 mg/l kinetin. Respon pertumbuhan tunas pada tahap aklimatisasi dengan persentase tumbuh mencapai 96.67% hingga akhir pengamatan.

Kontaminasi

Kontaminasi pada kultur jaringan dapat berasal dari eksplan (baik eksternal maupun internal), organisme kecil yang masuk ke dalam media, botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor serta kecerobohan dalam pelaksanaan (Gunawan, 1992). Pada kultur in vitro, eksplan sangat rentan terserang cendawan maupun bakteri. Kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan (Gambar 1.) diduga berasal dari botol kultur yang tidak tercuci dengan baik atau karet penutup botol kultur semakin lama menjadi longgar, sehingga kontaminan dapat masuk ke dalam botol kultur melalui kontak udara.

Pada Gambar 1(A) hifa cendawan mulai tumbuh dari pinggir botol, diduga cendawan berkembang akibat botol kultur yang tidak tercuci dengan baik. Eksplan pada Gambar 1(A) belum terkena cendawan, eksplan tersebut dapat diselamatkan dengan memindahkan ke media yang baru dengan terlebih dahulu eksplan disterilisasi dengan natrium hipoklorit dengan konsentrasi 5 % selama 5 menit. Pada Gambar 1(B) hifa telah menutupi eksplan. Sterilisasi eksplan dapat dilakukan namun, pada 1 MST cendawan akan muncul kembali, pada kasus ini eksplan tidak dapat diselamatkan.

Gambar 1. Kontaminasi pada Kultur Pisang Kepok Unti Sayang : (A) dan (B) Kontaminasi oleh Cendawan (Tanda Panah).

Persentase rata-rata eksplan terkontaminasi cendawan tertinggi pada minggu sebelum subkultur terjadi pada perlakuan media MS + 5 mg/l BAP sebesar 6.28 %. Perlakuan yang paling banyak terkontaminasi cendawan pada subkultur ke-1, ke-2 dan ke-3, adalah perlakuan media MS + 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kontaminasi cendawan hingga akhir subkultur masih tetap terjadi. Pada subkultur ke-5 dan ke-6 tingkat kontaminasi cendawan berkurang (Tabel 1).

Kontaminan yang dominan menyerang eksplan adalah bakteri. Bakteri tersebut diduga berasal dari eksplan itu sendiri atau berasal dari alat tanam yang tidak steril. Pada Gambar 2(A) menunjukkan bahwa bakteri berkembang disekeliling botol dan tidak mengenai eksplan. Penyelamatan eksplan dilakukan dengan memindahkan eksplan ke media baru.

16 Tabel 1. Persentase Rata-rata Kultur Pisang Kepok Unti Sayang Terkontaminasi

Cendawan.

Subkultur ke- Perlakuan

M1 M2 M3 M4 ………%………. 0 0.84 0 6.28 0 1 6.59 0.64 0 1.08 2 6.16 1.32 0.96 3.91 3 7.15 0.77 4.85 3.13 4 0 1.86 2.64 1.45 5 0.49 3.11 1.19 0.75 6 0 2.71 4.5 3.63

Keterangan: M1 = 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ; M2 = 2 mg/l BAP M3 = 5 mg/l BAP; M4 = 7 mg/l kinetin

Bakteri pada Gambar 2(B) telah menutupi permukaan media, terlihat pada gambar bahwa bakteri berasal dari bawah eksplan. Sterilisasi yang dilakukan pada eksplan yang terkontaminasi bakteri tidak benar-benar menghilangkan bakteri. Eksplan yang telah disterilisasi, saat 1 MST bakteri akan muncul kembali. Bakteri tidak sepenuhnya dapat dihilangkan karena berasal dari jaringan eksplan. Kontaminasi bakteri biasanya terbawa dari eksplan dengan karakteristik seperti lapisan lendir dan memiliki beberapa warna seperti putih, pink, kuning, dan cream (Wattimena et al., 1986; Evans et al., 2003).

Gambar 2. Kontaminasi pada Kultur Pisang Kepok Unti Sayang : (A) dan (B) Kontaminasi oleh Bakteri (Tanda Panah).

Pada subkultur ke-6 terjadi peningkatan jumlah eksplan yang terkontaminasi pada semua perlakuan. Menurut Wetherell (1982), kontaminasi cenderung muncul setelah dilakukan subkultur. Pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron jumlah eksplan yang terkontaminasi sebesar 35.56%, pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP sebesar 60.2%, pada perlakuan media MS + 5 mg/l BAP sebesar 29.39% dan yang tertinggi pada perlakuan media MS + 7 mg/l kinetin sebesar 87.6% pada subkultur ke-6 (Tabel 2.). Peningkatan eksplan yang tekontaminasi bakteri diduga akibat alat tanam yang tidak steril. Beberapa bakteri tahan terhadap panas. Proses sterilisasi alat tanam dengan autoclave tidak menghilangkan bakteri. Pada saat penanaman, kontaminan berupa bakteri berpindah ke eksplan. Media kultur jaringan kaya akan nutrisi yang merupakan sumber makanan yang baik untuk bakteri dan fungi (Wetherell, 1982). Sumber kontaminasi bakteri yang terjadi merupakan kontaminasi laten. Kontaminasi laten berasal dari bakteri endogenous pada jaringan eksplan yang tumbuh dan berkembang selama inisiasi kultur. Bakteri laten mudah berpindah saat proses subkultur tanaman in vitro (Evans et al., 2003). Semakin lama periode subkultur, akumulasi nutrisi pada eksplan tinggi sehingga bakteri tumbuh dengan lebih cepat.

Tabel 2. Persentase Rata-rata Kultur Pisang Kepok Unti Sayang Terkontaminasi Bakteri.

Subkultur ke- Perlakuan

M1 M2 M3 M4 ………%………. 0 2.5 3.34 0 0 1 8.17 13.75 7.69 14.52 2 10.28 18.71 18.44 15.01 3 11.13 25.03 14.51 17.14 4 5.27 18.89 12.14 16.04 5 5.84 14.5 7.31 14.33 6 35.56 60.2 29.39 87.6

Keterangan: M1 = 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ; M2 = 2 mg/l BAP M3 = 5 mg/l BAP; M4 = 7 mg/l kinetin

18 Jumlah Tunas

Multiplikasi tunas terjadi pada semua media perlakuan. Multiplikasi tunas terjadi secara langsung tanpa melalui tahap kalus. Hal yang sama juga terjadi pada multiplikasi tunas pada pisang tanduk (Wiendi, 1992).

Pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP dan media MS + 7 mg/l kinetin terjadi peningkatan jumlah kultur yang bermultiplikasi setiap periode subkultur (Tabel 3.). Peningkatan jumlah kultur bermultiplikasi berbanding lurus dengan jumlah tunas yang dihasilkan. Semakin meningkatnya periode subkultur, sitokinin yang terkandung dalam eksplan semakin tinggi. Akumulasi sitokinin yang tinggi merangsang kultur bermultiplikasi. Jumlah kultur bermultiplikasi meningkat seiring dengan meningkatnya periode subkultur. Jumlah kultur bermultiplikasi tertinggi adalah perlakuan media MS + 2 mg/l BAP sebanyak 131 kultur pada subkultur ke-6 (Tabel 3.). Pada pisang Tanduk, pemberian 5, 10, 20, 25 g/l zeolit ditambahkan 20% air kelapa dan 5, 10 g/l zeolit ditambahkan 30% air kelapa meningkatkan jumlah kultur bermultiplikasi setelah dua kali subkultur (Wiendi, 1992).

Tabel 3. Persentase Kultur Bermultiplikasi pada Pisang Kepok Unti Sayang sampai Subkultur ke-6.

Subkultur ke- Perlakuan

M1 M2 M3 M4

.…….………%………

(x/y) (x/y) (x/y) (x/y)

0 10 (4/40) 25.64 (10/39) 27.27 (9/33) 25 (10/40) 1 15.79 (6/38) 16.48 (16/48) 43.4 (23/53) 48.28 (28/58) 2 3.33 (1/30) 45.83 (33/72) 26.44 (23/87) 30.19 (32/106) 3 30 (6/20) 52.89 (64/121) 41.11 (37/90) 39.2 (49/125) 4 23.33 (7/30) 37.72 (86/228) 37.69 (49/130) 34.46 (61/177) 5 40.91 (18/44) 30.14 (104/345) 39.78 (72/181) 30.94 (82/265) 6 11.43 (8/70) 31.95 (131/410) 20.78 (64/308) 26.68 (91/341)

Keterangan: M1 = 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ; M2 = 2 mg/l BAP M3 = 5 mg/l BAP; M4 = 7 mg/l kinetin

x : jumlah kultur yang bermultiplikasi; y : jumlah tanaman yang ditanam

Komposisi media berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah tunas pada subkultur ke-1 (Tabel 4). Pada subkultur lainnya komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata jumlah tunas. Pada pisang FHIA-17,

pemberian 1, 2, 3, 4 mg/l BAP tidak meningkatkan rata-rata jumlah tunas setelah tujuh kali subkultur (Andriana, 2005).

Semakin lama periode subkultur, pada semua perlakuan menunjukkan rata-rata jumlah tunas semakin meningkat (Tabel 4.). Hal ini akibat dari akumulasi sitokinin. Daya multiplikasi pada 5 kultivar pisang meningkat secara bertahap sesuai dengan tingkatan subkultur, walaupun terdapat variasi dalam proliferasi di antara kultivar pisang (Kasutjianingati, 2004). Peningkatan jumlah tunas juga terjadi pada pisang Dwarf Cavendish kultivar Basrai setelah lima kali subkultur (Muhammad et al., 2004). Pada pisang Rajabulu dan Tanduk terjadi peningkatan total tunas setelah enam kali subkultur (Kasutjianingati, 2011).

Hasil Pengamatan pada subkultur ke-6 rata-rata jumlah tunas terendah terjadi pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron sebanyak 5.98 tunas (Tabel 4.). Eksplan yang ditanam pada media MS + 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l thidiazuron, pada perkembangannya lebih banyak membentuk bulatan- bulatan putih seperti yang terlihat pada Gambar 3(A). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Wiendi (1992). Kasutjianingati (2004) melaporkan bahwa, dari 5 kultivar pisang yang telah diteliti, ternyata hanya pisang Tanduk yang membentuk bulatan-bulatan putih. Semakin tinggi BAP yang diberikan jumlah bulatan-bulatan putih yang dihasilkan semakin meningkat. Hingga akhir pengamatan, bulatan-bulatan putih tersebut tidak berkembang menjadi tunas yang sempurna. Hal ini berbeda dengan penelitian Wiendi (1992) bahwa multiplikasi tunas yang diawali dengan terbentuknya bulatan-bulatan putih, selanjutnya akan membentuk daun dari masing-masing bulatan sehingga terbentuk tunas yang sempurna. Semakin meningkatnya konsentrasi thidiazuron yang diberikan akan menghambat pemanjangan tunas pada pisang kultivar Kibuzi, Bwara dan Ndiziwemiti (Arinaitwe et al., 2000). Pada pisang Cavendish, pemberian 0.2 mg/l thidiazuron menghambat pemanjangan tunas dan pemberian 2 mg/l thidiazuron pertumbuhan tunas terhambat dan terbentuk bulatan-bulatan pada dasar tunas. Pertumbuhan tunas akan kembali normal setelah dilakukan satu atau dua kali subkultur ke media dengan penambahan BA (Sin, 2005).

Perlakuan media MS + 2 mg/l BAP menghasilkan tunas yang sempurna seperti pada Gambar 3(B). Semua perlakuan media tanpa penambahan thidiazuron

20 menghasilkan tunas yang sempurna. Rata-rata jumlah tunas tertinggi dihasilkan pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP sebanyak 39.8 tunas pada subkultur ke-6 (Tabel 4.). Pada pisang Kepok Kuning, pemberian 2 mg/l BAP menghasilkan total tunas sebanyak 12.6 tunas pada subkultur ke-2. Bila dibandingkan rata-rata jumlah tunas pada pisang Kepok Unti Sayang dengan pisang Kepok Kuning, dalam satu tahun rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pisang Unti Sayang sebanyak 115 tunas dan pisang Kepok Kuning sebanyak 81.9 tunas. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan pisang Kepok Unti Sayang dalam satu tahun lebih banyak dari pisang Kepok kuning.

Pada subkultur ke-2 pisang Kepok Kuning menghasilkan rata-rata tunas sebanyak 12.6 sedangkan pada pisang Kepok Unti Sayang hanya menghasilkan rata-rata tunas sebanyak 3.5 tunas. Diduga rendahnya jumlah tunas yang dihasilkan pisang Kepok Unti Sayang pada subkultur ke-2 akibat perbedaan waktu dilakukannya subkultur. Pada pisang Kepok Unti Sayang, subkultur dilakukan setiap 3 minggu sekali sedangkan pada pisang Kepok Kuning setiap 4-8 minggu sekali. Perbedaan waktu satu minggu sangat membedakan jumlah tunas yang dihasilkan. Apabila dengan waktu subkultur yang sama, sangat mungkin rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan antara kedua jenis pisang Kepok tersebut sama.

Gambar 3. Multiplikasi Tunas : (A) Tunas yang Tidak Berkembang pada Media Perlakuan 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ dan (B) Tunas yang Berkembang pada Media Perlakuan 2 mg/l BAP.

Multiplikasi pisang Kepok Kuning tertinggi terjadi pada pemberian 8 mg/l BAP, tetapi umumnya menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tunas yang kurang normal, daun roset dan berwarna kuning (Kasutjianingati,

2004). Pemberian BAP dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan tunas tumbuh tidak normal (Jafari et al., 2011).

Perlakuan media MS + 5 mg/l BAP menghasilkan rata-rata 21.6 tunas pada subkultur ke-6 (Tabel 4.). Pemberian 5 mg/l BAP pada pisang Kepok Kuning menghasilkan total tunas 14.8 tunas pada subkultur kedua (Kasutjianingati, 2004). Perlakuan media MS + 7 mg/l kinetin menghasilkan rata- rata jumlah tunas sebanyak 22.2 tunas pada subkultur ke-6 (Tabel 4.). Berdasarkan laporan hasil penelitian, pemberian 7 mg/l kinetin pada pisang Abaca mampu menghasilkan total tunas 9 tunas (Avivi dan Ikrarwati, 2004). Peningkatan konsentrasi kinetin akan meningkatkan jumlah tunas hingga level tertentu pada pisang Basrai, apabila melebihi level tersebut penggandaan tunas akan menurun. Hal tersebut mengindikasikan terjadi kejenuhan konsentrasi kinetin (Muhammad et al., 2007).

Tabel 4. Rata-rata Jumlah Tunas pada Pisang Kepok Unti Sayang sampai Subkultur ke-6.

Perlakuan Jumlah Tunas

Sk0 Sk1 Sk2 Sk3 Sk4 Sk5 Sk6 M1 1.1 1.3b 1.4 1.6 2.5 4.1 6 M2 1.2 2ab 3.5 7.1 14.2 18.6 39.8 M3 1.5 2.6ab 4.2 5.9 10.1 17 21.6 M4 1.3 2.9a 4.2 6 11 15.6 22.2 Uji F tn * tn tn tn tn tn KK (%) 8.85 17.11 34.88 50.17 62.74 60.51 58.52

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.

tn = Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5% * = Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % KK = Koefisien Keragaman; Sk = Subkultur

M1 = 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ; M2 = 2 mg/l BAP M3 = 5 mg/l BAP; M4 = 7 mg/l kinetin

Laju multiplikasi tunas berbeda-beda pada semua media perlakuan. Laju multiplikasi merupakan pertambahan tunas setiap kali subkultur. Komposisi media tidak berpengaruh nyata terhadap laju multiplikasi pisang Kepok Unti Sayang pada semua periode subkultur kecuali pada subkultur ke-1. Pada Tabel 5. terlihat bahwa laju multiplikasi meningkat seiring dengan meningkatnya periode subkultur. Hal yang sama juga terjadi pada penelitian Kasutjianingati (2004)

22 dimana semakin meningkatnya frekuensi subkultur laju multiplikasi tunas semakin meningkat. Pada perlakuan media MS + 2 mg/l BAP terjadi penurunan laju multiplikasi setelah subkultur ke-4. Penurunan laju multiplikasi diduga akibat akumulasi sitokinin. Tingginya sitokinin yang diberikan menghambat proliferasi tunas. Penentu utama proliferasi adalah level auksin dan sitokinin endogen dari masing-masing jenis eksplan (Zaffari et al., 2000; Shirani et al. 2009). Pemberian BAP melebihi 6 mg/l akan menurunkan multiplikasi tunas pada pisang Basrai (Muhammad et al., 2007). Multiplikasi tunas akan menurun dengan pemberian sitokinin dalam konsentrasi tinggi 10-15 mg/l pada 8 kultivar pisang (Wong, 1986). BAP dengan konsentrasi yang tinggi menyebabkan tunas tumbuh tidak normal. Penurunan konsentrasi BAP pada tahap proliferasi akan menurunkan jumlah tunas yang tidak berkembang (Jafari et al., 2011).

Tabel 5. Rata-rata Laju Multiplikasi Tunas pada Pisang Kepok Unti Sayang sampai Subkultur ke-6.

Perlakuan Laju Multiplikasi

Sk1 Sk2 Sk3 Sk4 Sk5 Sk6 M1 0.3c 0 0.6 1 1.7 2 M2 0.6bc 1.9 4.3 7.5 3.5 5.5 M3 1.5ab 1.8 2 4.2 6.2 4.3 M4 1.8a 1.2 1.6 5.9 5.8 6.2 Uji F * tn tn tn tn tn KK (%) 26.12 85.75 75.86 87.88 75.85 123.71

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata menurut uji BNJ taraf 5%.

tn = Tidak berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5% * = Berbeda nyata pada uji F dengan taraf 5 % KK = Koefisien Keragaman; Sk = Subkultur

M1 = 2 mg/l BAP + 0.8 mg/l TDZ; M2 = 2 mg/l BAP M3 = 5 mg/l BAP; M4 = 7 mg/l kinetin

Pengujian regresi yang dilakukan pada laju multiplikasi tunas perlakuan media MS + 2 mg/l BAP menunjukkan persamaan regresi linier y = 0.49 + 0.966x dengan nilai R2 = 0.62 (Gambar 4.). Persamaan regresi menyatakan hubungan antara peubah periode subkultur (sumbu x) dengan peubah laju multiplikasi (sumbu y). Pada perlakuan media MS + 7 mg/l kinetin, laju multiplikasi tunas menunjukkan persamaan regresi linier y = 0.068 + 1.06x dengan nilai R2 = 0.825

Dokumen terkait