• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Pisang

Pisang termasuk ke dalam famili Musaceae. Famili Musaceae terdiri dari dua genera, yaitu genus Musa dan Ensete. Genus Musa terbagi atas empat kelompok, yaitu Australimusa, Callimusa, Eumusa, dan Rhodochlamys. Kelompok Australimusa dan Eumusa banyak dimanfaatkan untuk buah, serat, dan sayuran sedangkan Callimusa dan Rhodochlamys banyak digunakan sebagai tanaman hias (Simmonds, 1970).

Tanaman pisang merupakan tanaman monokotil herba yang tumbuh di daerah yang beriklim tropis basah, lembab dan panas dengan curah hujan optimum 1 520 - 3 800 mm/tahun (6 bulan basah). Variasi curah hujan harus diimbangi dengan drainase yang baik agar tanah tidak tergenang, karena bisa mematikan tanaman pisang. Pisang juga dapat tumbuh di daerah subtropis. Pada kondisi tanpa air, pisang masih tetap tumbuh karena air disuplai dari bagian batang. Namun, produktivitas pisang tidak optimal (Redaksi AgroMedia, 2010).

Pisang berdasarkan cara makannya dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pisang meja (banana) yang dapat langsung dimakan dan pisang plantain yang harus diolah terlebih dahulu. Kedua pisang tersebut berasal dari nenek moyang yang berbeda. Pisang meja (banana) turunan dari pisang liar Musa acuminata, sedangkan pisang plantain berasal dari Musa balbisiana. Kultivar yang sekarang banyak dikenal umumnya merupakan hasil persilangan antara kedua varietas pisang tersebut sehingga bersifat triploid dan tidak menghasilkan biji (partenokarpi). Oleh karena itu perbanyakan pisang dilakukan secara vegetatif, baik dengan anakan maupun dengan mata tunas bonggol atau bit (Samson, 1986).

Pisang yang umum dikenal sebagai pisang meja (banana) yang dikonsumsi segar di antaranya pisang Ambon Kuning, pisang Ambon Lumut, pisang Raja Sereh, pisang Mas, pisang Barangan dan pisang Raja Bulu. Sementara itu, jenis pisang olahan (plantain) antara lain pisang Kepok, pisang Uli, pisang Tanduk dan pisang Nangka (Redaksi AgroMedia, 2010). Pisang Unti Sayang adalah jenis pisang Kepok yang dikembangkan PKBT IPB dengan Dinas

4 Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura serta UPTD BPSBTPH Propinsi Sulawesi Selatan. Pisang Kepok Unti Sayang (Lampiran 2.) ini memiliki keunggulan, yaitu terhindar dari penyakit layu bakteri (Blood Disease Bacterial) (Suhartanto et al., 2010).

Teknik Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan adalah teknik mengisolasi bagian-bagian tanaman (sel, protoplasma, tepung sari, ovari, dan sebagainya), ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali dalam medium padat atau cair dan dapat menghasilkan tanaman baru dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang relatif singkat serta dapat memproduksi tanaman bebas penyakit (Hartmann et al., 1990; Gunawan, 1992; Hendaryono dan Wijayani, 1994; George et al., 2008). Konsep yang mendasari kultur jaringan adalah teori totipotensi. Totipotensi merupakan kemampuan sel untuk membentuk tanaman lengkap bila berada dalam lingkungan yang sesuai, karena di dalam masing-masing sel tumbuhan mengandung informasi genetik yang lengkap (Wetherell, 1982).

Planlet in vitro dalam perkembangannya dapat dibagi menjadi tiga tahap utama. Tahap I disebut tahap persiapan eksplan. Pada tahap I, dilakukan pemilihan bagian tanaman yang cocok kemudian ditanam pada media kultur. Hampir semua jaringan atau organ tanaman dapat digunakan sebagai eksplan, namun tingkat keberhasilan yang diperoleh tergantung pada sistem kultur yang digunakan, spesies yang digunakan, dan sterilisasi eksplan (Wetherell, 1982; Torres, 1989; George et al., 2008).

Tahap II merupakan tahap penggandaan (memperbanyak propagul). Materi tanaman dari tahap I disubkultur pada tahap II hingga menghasilkan jumlah tunas yang diinginkan. Subkultur merupakan pemindahan sel, jaringan atau organ dari media lama ke media baru, baik media itu sama maupun berlainan dengan media semula, dengan tujuan memperoleh pertumbuhan baru ataupun perkembangan dari inokulum (Wattimena et al., 1992; Hendaryono dan Wijayani, 1994). Frekuensi pengulangan dari subkultur bervariasi untuk tiap jenis spesies

dan kondisi pertumbuhan. Beberapa macam kultur umumnya dapat disubkultur setiap 4-8 minggu. Subkultur yang dianjurkan paling banyak 3-6 kali. Aturan yang dapat dipakai untuk menghentikan subkultur adalah setelah terjadi perubahan-perubahan morfologis yang tidak dikehendaki atau setelah kekuatan tumbuh kultur menurun (Wetherell, 1982). Daya multiplikasi tunas setelah dilakukan subkultur berulang perlu diketahui bila ingin memproduksi bibit dalam jumlah besar dan kualitas tunasnya terjamin. Daya multiplikasi tunas pisang Tanduk saat disubkultur cenderung meningkat sampai subkultur kedua (Wiendi, 1992). Kasutjianingati (2004) melaporkan, pada pisang Mas, Ambon Kuning, Tanduk, Rajabulu dan Kepok Kuning total tunas meningkat setelah subkultur kedua. Selanjutnya dilaporkan, pada pisang Rajabulu dan Tanduk total tunas meningkat setelah enam kali subkultur (Kasutjianingati, 2011).

Planlet yang dihasilkan setelah beberapa kali subkultur dapat ditransfer ke tahap III. Tahap III adalah tahap pendewasaan. Planlet dirangsang untuk membentuk akar dan mempersiapkan planlet untuk tumbuh secara in vivo. Respon tunas dan pembentukan akar terhadap auksin berbeda-beda pada setiap spesies (Wetherell, 1982; Torres, 1989).

Aklimatisasi planlet dilakukan apabila planlet telah mampu membentuk akar. Pada tahap ini adalah memindahkan planlet dari lingkungan in vitro yang steril ke lingkungan semi steril sebelum dipindahkan di lapang. Lingkungan tumbuh dijaga kelembabannya untuk mengurangi transpirasi. Bila penanganan dalam tahap ini kurang baik maka tanaman akan banyak yang mati. Ada dua penyebab kematian planlet pada tahap ini, yaitu kehilangan air yang banyak dalam waktu singkat dan belum siapnya tanaman untuk melakukan fotosintesis sendiri. Tanaman yang dihasilkan secara in vitro tumbuh pada lingkungan dengan kelembaban tinggi dan intensitas cahaya rendah sehingga lapisan lilin pada jaringan epikutikula daun tipis dibandingkan tanaman yang tumbuh di lingkungan alami. Tanaman juga memerlukan suatu periode transisi untuk dapat melakukan proses fotosintesis untuk memenuhi kebutuhan karbohidratnya sendiri (Wattimena et al., 1992).

6 Zat Pengatur Tumbuh

Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Torres, 1989; Gunawan, 1992; George et al., 2008). Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen serta jenis spesies dan kultivar, menentukan arah perkembangan suatu kultur (Torres, 1989; Gunawan, 1992).

Golongan sitokinin adalah turunan dari adenin. Golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, morfogenesis dan menghambat pembentukan akar (Torres, 1989; Wattimena, 1988; Gunawan,

1992). Jenis sitokinin yang sering digunakan adalah BAP (6-benzyl amino purine), kinetin, dan TDZ (thidiazuron). Pada Musa spp.

sitokinin tinggi merangsang pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif (Shirani et al., 2009).

Pada pisang Mas, pisang Ambon Kuning, dan pisang Tanduk berturut- turtut menghasilkan 10.1, 13 dan 4 tunas per eksplan dengan pemberian 2 mg/l BAP pada subkultur kedua. Pada pisang Kepok Kuning dan pisang Rajabulu, laju multiplikasi mencapai 8.3 dan 5.5 tunas per eksplan dengan pemberian 5 mg/l BAP pada subkultur kedua (Kasutjianingati, 2004). Pemberian 0.09 mg/l thidiazuron pada pisang Rajabulu menghasilkan 18.3 tunas per eksplan dibandingkan dengan tanpa thidiazuron hanya 11.1 tunas per eksplan pada subkultur ke-6, sedangkan pada pisang Tanduk 109.3 tunas per eksplan dibandingkan dengan tanpa thidiazuron hanya 30.1 tunas per eksplan (Kasutjianingati, 2011). Pada pisang Abaca, pemberian 7 ppm kinetin memberi pengaruh paling baik terhadap jumlah dan tinggi tunas berturut-turut 9 tunas per eksplan dan 2.76 cm (Avivi dan Ikrarwati, 2004). Pada pisang Dwarf Cavendish kultivar Basrai, pemberian 5 mg/l BAP menghasilkan 124 tunas per eksplan setelah lima kali subkultur (Muhammad et al., 2004).

Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, suspensi sel, organ, mendorong elongasi pada jaringan koleoptil, penghambatan mata tunas samping, merangsang aktivitas kambium dan

merangsang pertumbuhan akar (Wattimena, 1988; Gunawan, 1992; Wiendi et al., 1992; George et al., 2008). Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya, tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen, kemampuan jaringan mensintesa auksin dan interaksi golongan zat pengatur tumbuh lain yang ditambahkan akar (Gunawan, 1992; George et al., 2008).

Jenis auksin yang sering digunakan adalah IAA ( Indole-3-acetic acid);

IBA (Indole-3-butyric acid); NAA (1-naphthylacetic acid) dan 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) (Wattimena, 1988; Torres, 1989; Gunawan,

1992; Wiendi et al., 1992; George et al., 2008). IAA adalah satu-satunya auksin endogen atau auksin alami yang terdapat pada tanaman (Torres, 1989; Gunawan, 1992; Wiendi et al., 1992; George et al., 2008). Konsentrasi IAA endogen tergantung dari tanaman induk asal eksplan, usia tanaman induk saat eksplan diambil, kondisi pertumbuhan tanaman induk dan musim saat eksplan diambil (Gunawan, 1992; George et al., 2008). Konsentrasi IAA endogen tertinggi pada daun muda, organ yang sedang tumbuh dan menurun karena usia serta disebabkan oleh faktor eksternal seperti cahaya (lama penyinaran, intensitas penyinaran dan fotoperiodisasi) (George et al., 2008). Pada pisang Abaca, pemberian NAA 1 mg/l menghasilkan akar sebanyak 6.67 akar per eksplan (Avivi dan Ikrarwati, 2004).

Dokumen terkait