• Tidak ada hasil yang ditemukan

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada musim hujan (MH) 2010/2011 dan 2011/2012 di 7 (tujuh) lokasi yaitu Taman Bogo dan Natar (Lampung); Sukabumi dan Indramayu (Jawa Barat); Purworejo (Jawa Tengah); Wonosari (DIY); Malang (Jawa Timur). Karakteristik masing masing lokasi terdapat pada Lampiran 1.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: benih padi gogo yang terdiri atas 10 galur dan 2 varietas pembanding (Tabel 4) dengan sejarah persilangan masing-masing galur dan deskripsi varietas pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, pupuk kandang/dasar (10 ton ha-1), Urea (200 kg ha-1), SP-36 (100 kg ha-1), KCl (100 kg ha-1) dan pestisida. Alat yang digunakan antara lain: meteran, timbangan, alat penghitung 1000 biji, hand counter, serta alat tulis dan

software analisis SAS 9.0.

Tabel 4 Galur-galur dan varietas pembanding padi gogo yang digunakan dalam penelitian

Kode Genotipe Keterangan Kode Genotipe Keterangan B1 III3-4-6-1 Toleran aluminium B7 IG-19 Toleran naungan B2 I5-10-1-1 Toleran aluminium B8 IG-38 Toleran naungan B3 WI-44 Toleran naungan B9 IW-56 Toleran naungan B4 GI-7 Toleran naungan B10 B13-2-e Toleran aluminium B5 O18-b-1 Toleran aluminium B11 Batu Tegi Varietas cek B6 IW-67 Toleran naungan B12 Way Rarem Varietas cek

Metode Penelitian

Penelitiaan uji daya hasil di tiap lokasi menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dengan perlakuan genotipe padi gogo. Perlakuan terdiri atas 10 galur dan 2 varietas padi gogo, dengan ulangan sebanyak 4 (empat) dan ulangan tersarang dalam lokasi sehingga terdapat 48 satuan percobaan di tiap lokasi.

Pelaksanaan Penelitian

Tahap awal penelitian dimulai dengan persiapan lahan yang terdiri atas pengukuran luas lahan, pembersihan lahan, pengolahan tanah dan pembuatan petak percobaan. Petak percobaan penelitian dibuat berukuran 4 m x 5 m dengan jarak antar petak dalam ulangan 0.5 m dan antar ulangan 1 m. Total petak percobaan sebanyak 48 petak untuk 4 ulangan di tiap lokasi.

Penanaman menggunakan sistem tugal dengan kedalaman 3-5 cm. Jarak tanam 30 cm x 15 cm, sehingga terdapat 13 baris dan 33 lubang tanam tiap baris sehingga terdapat 429 lubang tanam untuk tiap petak. Setiap lubang berisi 3-5 benih padi gogo.

Aplikasi pemupukan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pupuk kandang dan pupuk sumber NPK. Pupuk kandang sebanyak 10 ton ha-1 diberikan bersamaan dengan pengolahan lahan yaitu 1 minggu sebelum tanam. Pupuk kandang disebar dan dicampur dengan tanah. Sumber pupuk NPK yang digunakan adalah Urea (200 kg ha-1), SP-36 (100 kg ha-1) dan KCl (100 kg ha-1). Aplikasi pupuk sumber NPK dilakukan dengan cara memberikannya pada larikan berjarak 5 cm dari tanaman. Waktu aplikasi pupuk sumber NPK dibagi dalam 3 tahap, yaitu:

1. Pemupukan pertama dilakukan 1 minggu setelah penanaman yaitu dengan memberikan Urea (80 gram/petak), SP-36 (200 gram/petak) dan KCl (200 gram/petak),

2. Pemupukan kedua diberikan 4 MST (minggu setelah tanam) Urea (160 gram/petak),

3. Pemupukan ketiga diberikan setelah penyiangan pada 7 MST yaitu Urea (160 gram/petak).

Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman dan penjarangan yang dilakukan bersamaan pada umur 2 MST. Penyulaman dilakukan dengan sistem sulam pindah. Pengendalian gulma dilakukan selama tanaman berumur 2-7 MST dengan cara penyiangan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan bila perlu hingga menjelang panen. Penyiraman disesuaikan dengan kondisi cuaca dan tanaman. Tahap akhir yaitu pemanenan tanaman yang dilakukan berdasar kriteria

21

masak fisiologis yang ditandai oleh malai yang berwarna kuning hingga mencapai 80% dalam satu plot.

Pengamatan

Unit pengamatan dilakukan terhadap 5 tanaman sampel dan populasi tiap petak percobaan untuk komponen-komponen tanaman padi gogo, antara lain:

1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai tertinggi terhadap 5 rumpun tanaman sampel. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan menjelang panen.

2. Jumlah anakan saat vegetatif, dihitung dari jumlah anakan pada saat tanaman berumur 50-60 hari setelah tanam.

3. Jumlah anakan produktif, dihitung berdasarkan jumlah anakan yang menghasilkan malai tiap rumpun. Penghitungan jumlah anakan produktif dilakukan menjelang panen.

4. Panjang malai, diukur dari pangkal malai (leher malai) hingga ujung malai.

5. Umur berbunga, diamati mulai tanam sampai tanaman berbunga 50% dalam tiap petak percobaan.

6. Umur panen, dihitung dari mulai tanam hingga gabah berwarna kuning (masak) telah mencapai 80% dalam tiap petak percobaan.

7. Jumlah gabah total per malai, dihitung dari jumlah gabah dalam tiap malai dari 5 malai utama. Jumlah gabah total per malai berasal dari total gabah isi maupun gabah hampa dalam tiap malai.

8. Jumlah gabah bernas per malai dan gabah hampa per malai, dihitung dari jumlah gabah bernas dan hampa dari 5 malai utama.

9. Persen gabah isi, dihitung menggunakan rumus:

Persen gabah isi = Jumlah gabah isi x 100% Jumlah gabah total

10.Hasil gabah kering per petak, dilakukan pada seluruh malai hasil panen dalam satu petak dikurangi 2 baris keliling (sebagai tanaman sampel dan border). Jumlah rumpun yang dipanen dihitung, kemudian ditimbang gabah kering panen (GKP). Kadar air dihitung berdasarkan nilai rata-rata dari 3 kali pengukuran kadar air gabah hasil panen (GKP). Setelah gabah

dijemur hingga mencapai kadar air + 14% dan dibersihkan, kemudian ditimbang gabah kering giling (GKG) tiap petak.

11.Bobot 1000 butir gabah (gram), ditimbang dari 1000 butir gabah bernas dari setiap petak dengan kadar air ± 14%.

Analisis Data

Tahapan Analisis Data

Data pengujian musim 2010/2011 merupakan data sekunder dari penelitian Sulaeman (2012) dan data pengujian musim 2011/2012 merupakan data primer. Bagan alir penelitian dan analisis data disajikan pada Gambar 2.

Uji Normalitas

Uji untuk mengetahui suatu data menyebar normal menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) yaitu uji Lilliefors. Hipotesis yang diuji adalah H0 : populasi

contoh menyebar normal. Statistik ujinya adalah: D = maksimum � � − �0(�)

dimana : � � = jumlah amatan contoh x �0(�) = 0.5 – P(0<Z<z); z =( − )

Analisis Ragam Tiap Lokasi

Analisis ragam dilakukan pada tiap lokasi untuk karakter-karakter padi gogo yang diamati. Analisis ragam berdasarkan metode yang digunakan oleh Singh dan Chaudhary (1979) disajikan pada Tabel 5. Model linier untuk RAK tiap lokasi, sebagai berikut:

Yik= µ + ρk + i + ik

i = 1,2,3, ….,12 dan k = 1,2,3,4 dimana:

Yik = Hasil pengamatan galur dan varietas pembanding ke-i dan ulangan ke-k

µ = Rataan umum

ρk = Pengaruh ulangan ke-k

i = Pengaruh perlakuan ke-i

23

Uji tahun I Musim hujan 2010/2011 (data sekunder) Sulaeman (2012)

Uji tahun II November 2011 – Maret 2012

Gambar 2 Bagan alir penelitian. Sidik Ragam Lingkungan I Uji Homogenitas Ragam Karakterisasi Keragaan Agronomi Uji Daya Hasil

Lokasi I

Uji Daya Hasil Lokasi II

Uji Daya Hasil Lokasi III, dst

Uji Daya Hasil Lokasi I

Uji Daya Hasil Lokasi II

Uji Daya Hasil Lokasi III, dst

Sidik Ragam Lingkungan II

Sidik Ragam Lingkungan III, dst

Uji Stabilitas Daya Hasil Analisis Gabungan

Seluruh Lokasi

Visualisasi dengan AMMI

Informasi galur padi gogo beradaptasi baik pada semua

lingkungan homogen

tidak homogen

Tabel 5 Sidik ragam karakter padi gogo pada masing-masing lokasi uji.

Sumber Keragaman Derajat Bebas

Jumlah

kuadrat Kuadrat Tengah F-Hitung

Ulangan (r-1) JK 3 M3 = JK 3/(r-1) M3/ M1

Genotipe (G) g-1 JK 2 M2 = JK2/(g-1) M2/ M1

Galat (r-1) (g-1) JK 1 M1 = JK1/(r-1) (g-1) -

Total rg-1

Keterangan : r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)

Uji Kehomogenan Ragam

Uji Bartlett menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) digunakan sebagai pengujian kehomogenan ragam galat. Hipotesis yang diuji adalah H0 :�12 = �22 = .... = 2. Prosedur pada uji Bartlett ini menggunakan pendekatan khi-kuadrat

dengan (k-1) derajat bebas. Statistik ujinya adalah:

χ2= 2.3026 � −1 log S2 − � −1 log S i 2 dimana: �2= ( � − .) 2 � � −1 ; � 2= ( −1)� 2 � − �

Nilai χ2 dikoreksi sebelum dibandingkan dengan nilai χ2, 1. Nilai χ2 terkoreksi adalah (1/FK)χ2, dengan FK adalah:

� = 1 + 1 3(� −1) 1 � −1− 1 � −1

Analisis Ragam Gabungan

Analisis ragam gabungan (Tabel 6) dilakukan untuk menganalisis hasil pengamatan di semua lingkungan uji untuk karakter padi gogo yang diamati. Model linear untuk RAKL gabungan antara genotipe dan lingkungan seperti dikemukakan oleh Baihaki (2000) sebagai berikut:

Y

ijk = µ + αi

+ βj/k+ τk+ (ατ)ik+

ijk

i = 1,2,3,…..12 ; j = 1,2,3,4 ; k = 1,2,3,……14

25

dimana:

Y

ijk = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lingkungan ke-k

µ

= nilai rata-rata umum

αi

=

pengaruh perlakuan ke-i

βj/k

=

pengaruh ulangan ke-j dalam lingkungan ke-k

τk

= pengaruh lingkungan ke-k

ijk = pengaruh acak pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j, lokasi ke-k

Tabel 6 Sidik ragam gabungan menggunakan model acak

Sumber Keragaman db Kuadrat Tengah Nilai F

Lingkungan (E) L-1 M5 M5/ M4

Ulangan/Lingkungan L(r-1) M4 -

Genotipe (G) g-1 M3 M3/M1

G x E (L-1)(g-1) M2 M2/M1

Galat L(r-1)(g-1) M1 -

Keterangan : L (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)

Analisis Stabilitas

Analisis stabilitas dilakukan untuk memperoleh galur-galur yang memiliki stabilitas hasil di semua lokasi uji. Pendugaan parameter kestabilan dilakukan dengan menggunakan empat pendekatan stabilitas hasil yaitu analisis stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978), analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963) analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) dan analisis AMMI.

a. Analisis stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978)

Ragam lingkungan (�2) dan koefisien ragam (CVi) digunakan untuk

menentukan kestabilan suatu genotipe.

CVi = �2

x 100%

dimana:

CVi = Koefisien variasi genotipe

�2 = Kuadrat tengah dalam genotipe

Nilai koefisien variasi dari tiap genotipe digunakan untuk menentukkan stabil tidaknya suatu genotipe. Suatu genotipe dikatakan stabil jika nilai koefisien variasi genotipenya kurang dari 25%.

b. Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963)

Analisis stabilitas menurut Finlay dan Wilkinsons menggunakan regresi antara genotipe dengan rataan genotipe di setiap lingkungan dalam skala log. Rata-rata hasil semua genotipe pada tiap lingkungan digunakan sebagai absis, dan hasil tiap genotipe pada tiap lingkungan digunakan sebagai ordinat. Sudut koefisien regresi menunjukkan wilayah adaptabilitas dan stabilitas genotipe.

1. suatu genotipe yang memiliki koefisien regresi b yang lebih besar dari satu dan signifikan menunjukkan bahwa genotipe tersebut beradaptasi baik pada lingkungan subur dengan kata lain adaptif terhadap perubahan lingkungan (Gambar 3),

2. genotipe dengan nilai b yang lebih kecil dari satu tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, karena itu beradaptasi pada lingkungan yang kurang subur (Baihaki 2000).

Spesifik beradaptasi pada lingkungan baik

1.0 kurang stabilitas beradaptasi baik

beradaptasi rata-rata pada semua lingkungan

Spesifik beradaptasi pada lingkungan kurang baik

Rata-rata hasil

Gambar 3 Interpretasi umum nilai b dari pola populasi genotipe ketika koefisien regresi genotipe diplot terhadap nilai rata-rata hasil genotipe (Finlay & Wilkinson 1963)

27

c. Analisis stabilitas Eberhart dan Russel (1966)

Analisis stabilitas untuk hasil dan komponen hasil menggunakan metode menurut Eberhart dan Russel (1966) dalam Singh dan Chaudhary (1985), dengan model regresi yang digunakan adalah :

Yij= m + βiIj+ ij dimana:

Yij = hasil/komponen hasil rataan dari genotipe ke-i di lingkungan ke-j

m = rataan umum untuk hasil/komponen hasil genotipe ke-i dari semua lingkungan

βi = koefisien regresi, respon genotipe ke-i pada lingkungan berbeda

Ij = indeks lingkungan yaitu rata-rata semua genotipe pada lingkungan ke-j

dikurangi rata-rata seluruh percobaan Ij = � −

� � �

δij = simpangan regresi dari genotipe ke-i pada lingkungan ke-j

Parameter stabilitasnya:

1. Koefisien regresi (bi); bi = � � �

�2 �

2. Simpangan dari regresi δ2; δ2 = δij

2 j l−2 − Se2 r dimana: ��2

� = dugaan galat gabungan

� 2� � = 2 � − 2 � − ( � �)2 �2 �

Genotipe stabil bila memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1 dan memiliki

nilai deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah δ2 = 0. Tabel sidik ragam analisis stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) disajikan pada Tabel 7.

d. Analisis AMMI

Analisis AMMI merupakan teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier. Prinsipnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan permodelan bilinier bagi pengaruh interaksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). AMMI sangat efektif menjelaskan

interaksi genotipe dengan lingkungan. Biplot digunakan untuk memperjelas pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007).

Tabel 7 Sidik ragam analisis stabilitas Eberhart dan Russel

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat Tengah

Galur (G) g – 1 2.. − � Interaksi G x L g (L – 1) 2�− 2 � Lingkungan (linier) L � .� � 2 �� � �2 Interaksi G x L (linier) g – 1 � � 2 �2 � − � . ( ��) Simpangan gabungan g (L – 2) �2� � Galur 1 L – 2 �2− 2 � − � � � 2 �2 � Galur 2 L – 2 ⋮ Galur 12 L – 2 ��2 � 2 � − � �� � 2 �2 � Galat gabungan L (g – 1) (r – 1) Total g L – 1 Yij2FK j i

Keterangan: L (jumlah lokasi), r (jumlah ulangan), g (jumlah genotipe)

Pemodelan bilinier pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan sebagai berikut:

 Menyusun pengaruh interaksi dalam bentuk matriks genotipe (baris)* lingkungan (kolom) sehingga matriks berukuran a x b:

=

11 … 1

… … …

1 …

 Menguraikan bilinier terhadap matriks pengaruh interaksi �� = ��

�=1

������ +���

Model AMMI secara lengkap dapat ditulis sebagai berikut dan model analisis ragam AMMI (Tabel 8):

29

Yger = µ + g + βe + ����+���+ ger dimana:

Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r

µ = rataan umum

g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g

βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e

�� = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n

��� = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n

��� = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n

��� = simpangan dari pemodelan linier

ger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r

Tabel 8 Model analisis ragam AMMI

Sumber Keragaman Derajat Bebas Kuadrat

Tengah Nilai F

Lingkungan (L) L-1 KTL KTL/ KTGalat

Ulangan /Lingkungan L(r-1) KTr/L KTr/L/KTGalat

Genotipe (G) G-1 KTG KTG/KTGalat

G x L (L-1)(G-1) KTG*L KTG*L/KTGalat

IAKU1 G+L-1-(2x1) KTIAKU1 KTIAKU1/ KTGalat

IAKU2 G+L-1-(2x2) KTIAKU KTIAKU2/ KTGalat

IAKUn g+L-1-(2xn) KTIAKUn KTIAKU1n/ KTGalat

Galat L(r-1)(G-1) KTGalat -

Total G L r-1

Keterangan: L (lingkungan), G (genotipe), r (ulangan), IAKU (Interaksi Analisis Komponen Utama)

Kondisi Umum Penelitian

Kondisi umum penelitian cukup baik. Karakteristik lingkungan pengujian berbeda-beda antar lokasi. Kondisi tanah di Taman Bogo pada musim uji pertama memiliki kejenuhan Al agak tinggi pada ulangan I sehingga tanaman kurang tumbuh secara optimal (Sulaeman 2012). Kondisi tanah di Taman Bogo pada musim kedua lebih baik dibanding musim pertama. Lingkungan tumbuh di Natar musim pertama dan kedua merupakan lahan kering tegalan. Karakteristik lahan lingkungan Indramayu pada musim pertama merupakan lahan di bawah tegakan pohon jati. Lingkungan penanaman Indramayu pada musim kedua merupakan lahan kering dengan kondisi tidak rata. Lokasi Sukabumi musim pertama dan kedua merupakan lahan sawah yang dikeringkan. Lokasi Purworejo musim pertama dan kedua merupakan lahan kering di dataran rendah dengan tekstur tanah sedikit berpasir. Lokasi pengujian Wonosari merupakan lahan kering berteras dataran rendah dan sedikit berbatu. Lokasi Malang musim pertama merupakan lahan kering dikelilingi pohon dan musim kedua merupakan lahan sawah dikeringkan dan terletak di dataran agak tinggi. Karakteristik umum lingkungan pengujian disajikan pada Lampiran 4.

Pengujian musim pertama dilaksanakan selama bulan Oktober 2010 hingga April 2011 (Sulaeman 2012). Pengujian musim kedua dilaksanakan bulan November 2011 hingga Maret 2012 kecuali lokasi Malang yang dilaksanakan bulan Maret hingga Juli 2011. Pertumbuhan awal tanaman secara umum baik di semua lokasi karena ketersediaan air yang cukup. Curah hujan yang cukup mendukung pertumbuhan vegetatif tanaman di semua lokasi penanaman. Data klimatologi lingkungan pengujian disajikan pada Lampiran 5.

Hama mentul (Phillophaga helleri) muncul di Wonosari pada musim pertama maupun kedua, tetapi penyebarannya dapat dicegah sehingga tidak sampai menyebabkan kerusakan tanaman pada fase pertumbuhannya. Serangan blas daun (Pyricularia grisea pv. oryzae) dan Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) terjadi di Sukabumi musim pertama dan kedua, Indramayu, Purworejo, Taman Bogo dan Natar dengan tingkat serangan berbeda-beda.

32

Sukabumi merupakan daerah endemik blas daun. Serangan ini masih dapat ditanggulangi dengan pengendalian penyakit secara intensif sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang parah.

Serangan walang sangit (Leptocorisa oratorius) terjadi pada saat muncul malai sampai bulir padi matang susu. Bulir padi yang dihisap cairannya oleh walang sangit menyebabkan gabah menjadi hampa dan berubah warna. Serangan walang sangit terjadi di Natar, Indramayu dan Sukabumi dengan tingkat serangan rendah. Pengendalian intensif dengan aplikasi insektisida efektif mengendalikan serangan walang sangit.

Serangan burung terjadi pada fase generatif sampai menjelang panen. Lokasi Sukabumi, Purworejo, dan Malang musim pertama menunjukkan serangan burung sejak awal pengisian biji. Hal ini disebabkan karena ketidaksamaan waktu tanam dengan areal pertanaman sekitar dan umur genotipe yang diuji lebih genjah, sehingga serangan burung terkonsentrasi pada satu tempat tertentu. Rata-rata kehilangan hasil akibat serangan burung di lingkungan Malang musim pertama mencapai 30% untuk varietas berumur panjang (Sulaeman 2012). Serangan burung hampir tidak terjadi di semua lokasi pengujian musim kedua. Serangan burung yang cukup terlihat hanya pada lokasi Malang dengan tingkat serangan rendah.

Analisis Stabilitas Hasil Selama Dua Musim Tanam

Penelitian stabilitas musim tanam pertama sudah dilakukan oleh Sulaeman (2012). Data produktivitas GKG musim pertama dan musim kedua dikompilasi untuk kemudian dilakukan analisis stabilitas hasil. Sidik ragam gabungan karakter produktivitas GKG dari tujuh lokasi pengujian musim pertama dan kedua akan ditampilkan dengan asumsi perbedaan musim tanam dianggap sebagai lingkungan yang berbeda. Hal tersebut menjadikan lingkungan pengujian menjadi 14 lingkungan. Sidik ragam gabungan 14 lingkungan diperlihatkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Sidik ragam gabungan produktivitas gabah kering giling dari 14 lingkungan (7 lokasi selama dua musim pengujian)

Sumber db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Nilai F Kontribusi terhadap keragaman (%) Lokasi (E) 13 553.98 42.61 93.37** 34.88 Ulangan/Lokasi 42 100.26 2.39 5.23** 6.31 Genotipe (G) 11 270.74 24.61 53.59** 17.05 G × E 143 452.51 3.16 6.93** 28.49 Galat 462 210.85 0.46 Total 671 1588.34

Keterangan : ** berpengaruh sangat nyata pada taraf 1 %.

Sidik ragam gabungan dari 14 lingkungan menunjukkan semua sumber keragaman sangat nyata terhadap hasil gabah kering giling (Tabel 8). Interaksi genotipe dan lingkungan (G × E) juga berpengaruh sangat nyata terhadap produktivitas gabah kering giling. Interaksi genotipe lingkungan yang sangat nyata menunjukkan setiap genotipe memberikan respon yang berbeda terhadap 14 lingkungan pengujian.

Lokasi mempunyai peran 34.88% terhadap keragaman produktivitas GKG dan merupakan penyumbang keragaman paling besar diantara sumber keragaman yang lain. Hal ini mengindikasikan produktivitas GKG pada tiap lokasi pengujian sangat dipengaruhi keberagaman lokasi pengujian. Genotipe hanya menyumbang 17.05% dari keragaman yang ada. Interaksi genotipe dan lingkungan yang nyata berkontribusi pada keragaman sebesar 28.49% (Tabel 9).

Galur yang diterima dalam pengujian daya produktivitas karena penampilannya sangat baik pada suatu daerah tertentu, tetapi pengaruh interaksi genotipe dengan lingkungan di daerah tersebut mempunyai peranan sangat besar dalam memunculkan keragaman. Stratifikasi lingkungan dapat digunakan untuk mengurangi interaksi genotipe lingkungan. Stratifikasi tersebut didasarkan pada perbedaan lingkungan makro antara lain perbedaan temperatur, penyebaran hujan dan tipe tanah. Dengan metode stratifikasi ini dapat ditemukan suatu pengurangan nilai interaksi genotipe dan lingkungan sampai sebesar 30% (Eberhart and Russel, 1966). Meskipun demikian metode stratifikasi memiliki kelemahan karena nilai interaksi antara genotipe dan lingkungan masih terlalu besar.

34

Kompilasi data produktivitas GKG selama dua musim menunjukkan bahwa genotipe WI-44 merupakan galur dengan produktivitas GKG terbaik (4.88 ton ha-1) dibanding sembilan galur lainnya. Produktivitas GKG rata-rata WI-44 masih lebih tinggi dibanding varietas pembanding Batutegi dan berdasarkan uji Duncan produktivitas GKG WI-44 tidak berbeda nyata dengan Way Rarem (Tabel 10). Rata-rata produktivitas GKG varietas pembanding yang digunakan, yaitu Batutegi dan Way Rarem masing-masing adalah 4.60 dan 4.98 ton ha-1 (Tabel 10).

Perbandingan produktivitas GKG tiap genotipe dengan varietas pembanding Batutegi dan Way Rarem diperlihatkan pada Gambar 4. Genotipe IW-44 unggul 0.28 ton ha-1 dibanding Batutegi dan menjadi satu-satunya genotipe diantara sepuluh genotipe yang lebih unggul dibandingkan dengan Batutegi. Galur IW-67 merupakan galur dengan peringkat kedua tertinggi rata-rata produktivitas GKG. Rata-rata produktivitas GKG galur IW-67 (4.53 ton ha-1) tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan dengan varietas Batutegi (Tabel 10).

Potensi produktivitas GKG tertinggi dimiliki galur WI-44 yang mencapai 10.28 ton ha-1 pada lingkungan Malang musim kedua. Galur IW-67 memiliki potensi produktivitas GKG 9.09 ton ha-1 pada lingkungan yang sama. Kondisi lingkungan Malang musim kedua merupakan kondisi lingkungan terbaik yang mampu menunjukkan potensi produktivitas kedua galur tersebut.

Gambar 4 Rata-rata kekurangan dan kelebihan produktivitas galur-galur yang diuji terhadap pembanding. (A) Batutegi (B) Way Rarem.

Fluktuasi produktivitas GKG yang tinggi ditunjukkan pada lingkungan Malang musim kedua. Kisaran GKG pada lingkungan tersebut antara 2.19 ton ha-1

3. 24 4. 05 4. 88 3. 49 2. 95 4. 53 3. 38 3. 50 4.10 3.87 4. 60 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 III3 -4- 6- 1 I5 -10- 1- 1 WI -44 GI -7 O 18 -b -1 IW -67 IG -19 IG -38 IW -56 B 13 -2e B at ut egi to n h a -1

A

3. 24 4. 05 4. 88 3. 49 2. 95 4. 53 3. 38 3. 50 4.10 3.87 4. 98 -3.00 -2.00 -1.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 III3 -4- 6 -1 I5 -10- 1- 1 WI -44 GI -7 O 18 -b -1 IW -67 IG -19 IG -38 IW -56 B 13 -2e W ay ra re m to n h a -1

B

hingga 10.28 ton ha-1. Perbedaan lingkungan Malang musim pertama dan kedua sangat berbeda. Lingkungan dengan fluktuasi rendah ditunjukkan oleh lingkungan Wonosari musim kedua (Gambar 5). Suatu genotipe atau varietas sekalipun, tidak akan selalu memberikan produktivitas yang sama besar jika ditanam pada lingkungan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman lingkungan makro geofisik yang sangat besar yang akan memberikan keragaman lingkungan tumbuh yang sangat besar pula (Satoto et al. 2009). Pola interaksi genotipe lingkungan yang ditunjukkan pada Gambar 5 merupakan interaksi genotipe lingkungan kualitatif. Interaksi genotipe lingkungan kualitatif karakter produktivitas merupakan perbedaan peringkat produktivitas genotipe di suatu lokasi dengan lokasi lain. Pola interaksi genotipe lingkungan kualitatif dicontohkan oleh genotipe WI-44 dengan produktivitas 5.55 ton ha-1 unggul di lingkungan Purworejo musim pertama dibanding Way Rarem (4.35 ton ha-1). Di lingkungan Purworejo musim kedua Way Rarem (4.38 ton ha-1) unggul dibanding WI-44 (3.99 ton ha-1). Interaksi genotipe lingkungan kualitatif berpotensi menyulitkan pemulia untuk memilih genotipe-genotipe yang akan dilepas. Kondisi tersebut menyebabkan perlunya pengujian lebih lanjut berupa analisis stabilitas untuk menentukan genotipe, galur, atau varietas yang lebih tepat ditanam di suatu lingkungan (Cooper et al. 1996). Pola interaksi genotipe lingkungan kualitatif juga ditemukan pada penelitian Sulaeman (2012).

Gambar 5 Fluktuasi produktivitas gabah kering giling (GKG) di 7 lokasi selama dua musim. 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 SKB1 SKB2 IND1 IND2 PWJ1 PWJ2 WNS1 WNS2 TBG1 TBG2 MLG1 MLG2 NTR1 NTR2 to n h a -1

III3-4-6-1 I5-10-1-1 WI-44 GI-7

O18-b-1 IW-67 IG-19 IG-38

36

Rata-rata produktivitas GKG galur WI-44 dibanding galur uji lain unggul di tujuh lingkungan pengujian: lingkungan Sukabumi, Indramayu, Malang dan Natar pada musim pengujian pertama serta Indramayu, Purworejo dan Malang pada musim pengujian kedua. Produktivitas WI-44 dipengaruhi lingkungan tumbuh yang baik di lokasi tersebut. Lingkungan Malang musim kedua dan Sukabumi merupakan lingkungan sawah yang dikeringkan dengan tingkat curah hujan tinggi. Galur WI-44 memiliki produktivitas tinggi di lingkungan Indramayu musim pertama (dikelilingi tegakan pohon jati muda) dan Malang musim kedua (sawah dikeringkan). Galur WI-44 teridentifikasi sebagai galur toleran naungan (Sasmita 2006). Galur WI-44 memiliki kemampuan efisiensi fotosintesis sehingga mampu mempertahankan hasilnya pada lingkungan dengan intensitas cahaya rendah. Produktivitas WI-44 tertinggi pada lingkungan Malang sesuai dengan pengujian Sulaeman (2012) pada musim pertama (Tabel 10).

Galur I5-10-1-1 unggul di empat lingkungan pengujian: lingkungan Sukabumi dan Wonosari musim pengujian kedua serta lokasi Taman Bogo baik musim pengujian pertama maupun kedua. Galur I5-10-1-1 merupakan galur dengan kemampuan toleransi terhadap aluminium (Herawati et al. 2008). Galur I5-10-1-1 mampu beradaptasi pada lingkungan dengan cekaman Al seperti pada

Dokumen terkait