• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Padi

Klasifikasi botani tanaman padi menurut Vaughan et al. (2003) tergolong kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, digolongkan dalam sub divisi

Angiospermae, karena biji berkeping satu digolongkan ke dalam kelas

Monocotyledonae, dengan ordo Glumiflorae termasuk dalam keluarga rumput- rumputan atau disebut juga Graminae (Poaceae) dan dikenal dengan genus Oryza.

Padi yang dikenal dan dibudidayakan sebagaian besar tergolong dalam spesies

Oryza sativa.

Genus Oryza terdistribusi di seluruh daerah tropis dan subtropis di dunia. Genus Oryza terdiri atas 23 spesies liar dan dua spesies yang dibudidayakan, yaitu, O. sativa di daerah Asia dan O. glaberrima di daerah Afrika. Oryza sativa

didomestikasi di Asia, namun sekarang telah menyebar ke hampir seluruh daerah- daerah di dunia, sedangkan O. glaberrima, terbatas di barat Afrika. Jumlah kromosom dasar dari genus ini adalah n = 12. Spesies normal memiliki kromosom dalam keadaan diploid dengan 2n = 2x = 24 kromosom atau tetraploid dengan 2n = 2x = 48 kromosom. Berdasarkan analisis genom dan tingkat kompatibilitas persilangan, spesies Oryza dikelompokkan menjadi sembilan genom yang berbeda, yaitu, A, B, C, D, E, F, G, H dan J (Tripathi et al. 2011).

Pusat asal dan pusat keanekaragaman dua spesies yang telah dibudidayakan (O. sativa dan O. glaberrima) telah diidentifikasi menggunakan keanekaragaman genetik, bukti-bukti sejarah, arkeologi dan penyebaran geografis. Daerah Asia terutama daerah Cina dan India merupakan pusat asal O. sativa

sementara daerah Niger di Afrika sebagai pusat utama O. glaberrima. Dua spesies mirip diyakini berevolusi secara alami dari dua nenek moyang yang berbeda, yaitu. O. nivara dan O. barthii. Gambar 1 merujuk pada skema evolusi padi di daerah Asia dan Afrika. Nenek moyang O. sativa disimbolkan menjadi genom AA sebagai spesies diploid Asia dan O. glaberrima menjadi genom AA spesies diploid Afrika (Gambar 1).

Gambar 1 Skema jalur evolusi padi Asia dan Afrika (Tripathi et al. 2011)

Oryza sativa L. dengan dua sub spesies yaitu Indica (padi cere) dan

Japonica (padi bulu) merupakan spesies yang paling umum ditanam di Indonesia. Towuti, Cirata, Limboto, Danau Gaung, Batutegi, Way Rarem, Situ Patenggang dan Situ Bagendit merupakan varietas padi gogo sub spesies Indica atau padi cere (Suprihatno et al. 2010). Plasma nutfah padi lokal Indonesia terutama yang berada di Pulau Jawa tergolong tropical japonica (javanica). Plasma nutfah padi lokal Mandel, Segreng, Cempo Merah, Saodah Merah, Andel Merah, Pandan Wangi, Mentik Putih, Rojolele Gepyok, Kenanga, Menur, Lestari dan Cempo Putih teridentifikasi di daerah Yogyakarta (Kristamtini et al. 2012). Garris et al. (2004) menguji kekerabatan beberapa plasma nutfah Oryza sativa L. di dunia menggunakan marka molekuler SSR (Simple Sequence Repeat). Plasma nutfah Padi Kasalle, Cicih Beton (Bali), Gundil Kuning, Jambu, Tondok, Gotak Gatik dan Gogo Lempuk yang berasal dari Indonesia diklasifikasikan dalam sub spesies

tropical japonica. Tanaman padi memiliki ribuan varietas yang termasuk dalam

Oryza sativa L. dan mempunyai ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan varietas yang lain.

Nenek moyang umum (O. perennis)

O. rufipogon (AA)

O. longistaminata (AA)

O. nivara (AA) O. barthii (AA)

O. sativa (AA)

O. stapfii O. spontanea

O. glaberrima (AA) Temperate japonica

Tropical japonica (Javanica) Japonica

Indica Padi Asia

(Asia selatan dan barat daya)

Padi Afrika (Tropikal Afrika) ras rumput tahunan Liar umur panjang Liar tahunan Dibudidayakan tahunan

7

Varietas unggul padi gogo yang mampu beradaptasi pada cekaman biotik maupun abiotik masih kurang sehingga memacu berkembangnya program- program pemuliaan padi gogo di Indonesia. Varietas unggul padi gogo yang telah dilepas dari tahun 1988 – 1993 antara lain: Batur, Danau Atas, Poso, Laut Tawar, C22 dan Danau Tempe memiliki hasil tinggi (potensi hasil 3.0-5.0 ton ha-1) namun memiliki kelemahan pada mutu beras yang rendah. Periode tahun 2001 – 2003 telah dilepas empat varietas padi gogo (potensi hasil 4.0-5.0 ton ha-1) yaitu Danau Gaung, Batutegi, Situ Patenggang dan Situ Bagendit. Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpago Unram 1 dan Inpago Unsoed 1 merupakan varietas padi gogo yang dilepas pada periode tahun 2010 – 2011 dengan potensi hasil 5.8- 8.1 ton ha-1 (Kementerian Pertanian, 2012).

Kultur Antera pada Program Pemuliaan Padi

Perakitan varietas tanaman menyerbuk sendiri seperti padi ditujukan untuk memperoleh galur yang hampir mendekati 100% homozigotitas dengan sifat-sifat yang unggul. Metode konvensional dalam perakitan varietas memerlukan prosedur penelitian yang sistematik, mulai dari perumusan tujuan, pemilihan tetua, persilangan, seleksi galur, pengujian daya hasil hingga pelepasan varietas yang membutuhkan waktu 7 -10 tahun (Dewi dan Purwoko 2001). Galur-galur murni baru akan terbentuk dengan cara persilangan yang diikuti oleh serangkaian seleksi pada tiap generasi, seperti pada pedigree.

Kombinasi metode persilangan dengan metode kultur antera dalam program pemuliaan padi mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi seleksi. Dewi dan Purwoko (2001) menjelaskan bahwa galur murni dapat diseleksi dari populasi dihaploid yang homogen dan homozigot. Populasi seleksi menjadi lebih sedikit bergantung pada jumlah gen untuk seleksi. Jika perbedaan pada tetua persilangan sebanyak n (jumlah gen yang diinginkan) gen dan diasumsikan tidak terpaut maka dengan dihaploid hanya perlu menanam 2n tanaman agar semua genotipe homozigot terwakili. Pemuliaan konvensional membutuhkan 4n tanaman. Perbandingan waktu penggunaan metode kultur antera dan konvensional tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan waktu pemuliaan antara sistem pedigree dan kultur antera (Dewi dan Purwoko 2001)

Waktu Sistem pedigree Kultur Antera

1 Hibridisasi Hibridisasi

2 F1 F1 dan Kulture Antera

3 F2 Perbanyakan Benih Skrining dan pengujian 4 Pedegree (F3-F9) (Skrining dan Pengujian-pengujian) Uji Adaptabilitas Regional

Uji daya hasil

5 Uji Adaptasi Regional Perbanyakan Benih 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Perbanyakan Benih 15

Pembentukan tanaman dihaploid dari tanaman haploid diperoleh melalui dua tahap, yaitu tahap induksi butir tepung sari menjadi kalus atau embrioid dan selanjutnya tahap diferensiasi menjadi tanaman kecil atau planlet. Tanaman dihaploid asal kultur antera dapat diperoleh dengan induksi kolkisin atau secara spontan melalui fusi spontan inti sel dan dengan pemangkasan (ratooning) (Dewi dan Purwoko 2001). Tanaman haploid dapat diinduksi melalui proses

androgenesis dengan kultur antera dan kultur mikrospora atau proses gynogenesis

dengan kultur ovule, hibridisasi jenis tanaman yang berbeda (distant hybridization), polinasi tertunda (delayed pollination), penggunaan polen yang sudah diradiasi, perlakuan hormon, shock dengan temperatur tinggi (Poelman dan Sleper 1995). Karakter tanaman haploid dan dihaploid ditampilkan pada keadaan hemizygous yang dikendalikan oleh gen dominan maupun gen resesif, sehingga seleksi lebih mudah dilakukan pada tingkat monohaploid atau dihaploid untuk menghasilkan tanaman super jantan unggul pada asparagus contohnya, menghasilkan tanaman dihaploid dan tetraploid homozigot dan tanaman triploid pada kentang, dan sebagai tetua pembentuk hibrida F1 contohnya pada kentang atau tanaman lain yang dibudidayakan secara vegetatif (Dewi dan Purwoko 2011). Tanaman haploid dapat digunakan untuk menghasilkan galur murni secara cepat tanpa melalui banyak generasi silang, sebagaimana yang dilakukan pada metode pemuliaan konvensional (Syukur et al. 2012).

9

Kultur antera padi mulai diintroduksikan di Indonesia pada tahun 1991 oleh beberapa peneliti yang dikirim ke IRRI. Awal penelitian kultur antera masih berfokus pada media untuk induksi kalus dan regenerasi. Tahun 1997, IPB bekerja sama dengan Balitbio dalam pengembangan kultur antera pada padi gogo. Penelitian berupa perbaikan media kultur antera menggunakan poliamin dan usaha perakitan padi gogo toleran cekaman intensitas cahaya rendah dan aluminium (Dewi dan Purwoko 2001). Penelitian dengan kultur antera melalui pemberian spermin dapat meregenerasikan tanaman hijau pada tiga genotipe dari subspesies indica (Purwoko 2004), namun regenerasi pada kultur antera padi F1 yang diberi 10-3M putresin memberikan hasil yang lebih baik (Dewi et al. 2007). Beberapa penelitian perbaikan melalui kultur antera disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Masalah dan penelitian yang telah dilakukan untuk penggunaan kultur antera dalam program pemuliaan padi (Dewi dan Purwoko 2001)

Masalah yang Dipecahkan Penelitian/Studi Telah dilakukan pada :

 Metode untuk mendapatkan jumlah tanaman yang cukup (seleksi, evaluasi)

1. Media; komposisi media dasar (MS, N6, LS, He, L8, M8)

 ZPT: 2,4-D, NAA, IAA, Kinetin, BA

 Suplemen: CW ekstrak labu, ekstrak kentang CH, poliamin

2. Anther Culture Ability

 Genotipe (high anther culturability)

 Kondisi fisiologi tanaman donor

 Tahap perkembangan antera (uninukleat)

 Pra perlakuan (suhu rendah 5-10 0C)

 Populasi antera

 Subkultur kalus (ukuran 1-2 mm, jenis embriogenik)

 Aklimatisasi (air, lumpur, intensitas cahaya)

 Konfirmasi stabilitas genetik dari progeni

Studi generasi DH1-DH5 pada kondisi yang sama dengan hasil, vigor tidak menurun, karakter morfologi dan agronomi tetap stabil. Seleksi dapat dilakukan pada generasi awal.

 Metode pemuliaan yang efisien, karena ada batasan terhadap rekombinasi gen pada kultur antera F1

1. Eksplan dari F2 terseleksi

2. Eksplan F1 dari metode persilangan

multiple crosses (pesilangan ganda) 3. Metode seleksi recurrent yang

Interaksi Genotipe x Lingkungan

Stabilitas dapat dianalisis dari adanya interaksi genotipe dan lingkungan. Interaksi genotipe lingkungan menjadi penting pada uji stabilitas jika suatu individu yang merupakan bagian dari populasi tidak menunjukkan penampilan yang berbeda nyata pada lokasi berbeda. Interaksi genotipe dan lingkungan terjadi bila penampilan nisbi (relative performance) atau peringkat variabel hasil beberapa genotipe akan berubah dengan perubahan lingkungan. Hal ini menunjukkan mengapa kultivar-kultivar berdaya hasil tinggi yang ditanam pada suatu lingkungan akan memberikan hasil yang berbeda pada lingkungan yang lain. Perbedaan lingkungan yang spesifik memiliki efek lebih besar terhadap variabel hasil untuk suatu genotipe dibandingkan genotipe yang lain (Falconer dan Mackay 1996).

Ada tidaknya pengaruh interaksi dapat dideteksi dari perilaku respon suatu faktor pada berbagai kondisi faktor lain. Jika respon suatu faktor berubah pola dari kondisi tertentu ke kondisi yang lain untuk faktor yang lain maka kedua faktor dikatakan berinteraksi. Jika pola respon dari suatu faktor tidak berubah pada berbagai kondisi faktor yang lain, maka dapat dikatakan kedua faktor tersebut tidak berinteraksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Ada atau tidaknya interaksi antar genotipe atau genotipe-genotipe tanaman dengan kisaran variasi lingkungan spasial yang luas, ataupun dengan variasi lingkungan pada suatu wilayah spesifik merupakan hal yang sangat penting bagi pemulia dalam menentukan genotipe tanaman yang akan dipilih untuk dilepas atau dirilis, ataupun untuk digunakan dalam mengukur komponen ragam suatu karakter tertentu (Baihaki dan Noladhi 2005).

Interpretasi dan pemanfaatan informasi interaksi G × E bervariasi antar peneliti. Eberhart dan Russel (1966) menyatakan bahwa interaksi G × E dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam seleksi genotipe- genotipe unggul. Nasrullah (1981) berpendapat bahwa interaksi G × E sering mempersulit pengambilan pilihan dari suatu percobaan varietas uji multilokasi yang kisaran lingkungannya luas. Informasi interaksi G × E sangat penting bagi negara-negara yang variabilitas biogeofisiknya luas seperti Indonesia. Pemulia dapat memanfaatkan potensi lingkungan spesifik dalam kebijakan penentuan

11

penerapan kebijakan wilayah sebaran suatu varietas unggul baru. Dalam hal ini ada dua alternatif pilihan, yaitu : (1) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi untuk kisaran spasial yang luas (wide adaptability), (2) melepas varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi pada wilayah tumbuh yang spesifik (spesifik lingkungan tumbuh-specific adaptability).

Adaptabilitas dan Stabilitas Hasil

Rendahnya jumlah varietas yang beradaptasi luas dan terabaikannya varietas yang beradaptasi sempit, serta rendahnya jumlah varietas unggul baru yang dilepas, dapat menggambarkan rendahnya tingkat efisiensi dan efektivitas proses pelepasan varietas unggul di Indonesia. Hal ini akan dapat diatasi apabila varietas unggul spesifik wilayah juga diperhitungkan dalam kebijakan pelepasan varietas, sehingga dapat menekan biaya dan waktu yang selama ini terbuang percuma. Baihaki dan Noladhi (2005) menyebutkan keuntungan yang akan diperoleh apabila varietas unggul spesifik wilayah dapat dilepas, antara lain : (1) efisiensi penggunaan dana dan waktu, (2) memperbanyak varietas unggul baru yang dilepas, (3) secara nasional produktivitas akan meningkat dan dengan sendirinya produksi akan meningkat pula, (4) akan menekan harga benih/ bibit, (5) akan terbentuk “regional buffering” yang sangat diperlukan untuk meredam meluasnya hama atau penyakit tanaman, (6) memberikan pilihan alternatif varietas yang cukup bagi petani, (7) memanfaatkan potensi kekayaan alam dengan baik, dan (8) mendorong terselenggaranya pembangunan pertanian yang sinambung. Beberapa pihak meragukan dilepasnya varietas unggul spesifik wilayah, dengan alasan bahwa varietas semacam ini tidak akan menarik industri perbenihan untuk memproduksinya, karena wilayah pemasarannya menjadi terbatas. Hal ini dapat diatasi dengan cara mengidentifikasi ciri-ciri wilayah yang serupa dengan wilayah pelepasan utama yang teridentifikasi dari uji multilokasi.

Konsep adaptabilitas dan stabilitas harus mampu diestimasi dan dibuktikan secara statistik. Metode analisis stabilitas dikelompokkan menjadi empat kelompok dan tiga konsep stabilitas berdasarkan deviasi pengaruh rata-rata genotipe, pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan, serta pengaruh gabungan

keduanya (Lin et al. 1986). Pengelompokan metode analisis stabilitas tersebut tertera pada Tabel 3.

Kelompok A mendasarkan metode analisisnya pada deviasi pengaruh rata- rata genotipe. Stabilitas diukur berdasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Kelompok B berdasar pada pengaruh interaksi genotipe dan lingkungan. Kelompok C dan D mendasarkan pada pengaruh gabungan deviasi rata-rata genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan.

Tabel 3 Pengelompokan metode analisis stabilitas oleh Lin et al. (1986)

Keempat kelompok tersebut mampu menjelaskan tiga konsep stabilitas yang dibuat Lin et al. (1986), dimana suatu genotipe dikatakan stabil jika : (1)

Kelompok Tipe Model Persamaan Penggagas Konsep Stabilitas A 1 Si2 = (Xij− q j=1 Xi.)2/q−1 Francis & Kannenberg (1978) Statik 1 CVi= Si Xi. B 2 θi= p 2p−1(q−1) Xij−Xi.−X.j+ X.. q j=1 +2pSS GE 1(q1) Plaisted & Peterson (1959) Dinamik 2 θi= − p p−1 (p−2)(q−1) Xij−Xi.−X.j+ X.. q j=1 + pSS−2 (qGE−1) Plaisted (1960) Dinamik 2 Wi2= Xij−Xi.−X.j+ X.. q j=1 Wrickle (1962) Dinamik 2 i2= p p−2 (q−1) Xij−Xi.−X.j+ X.. q j=1 + SS GE (p−1) p−2 (q−1) Shukla (1972) Dinamik C 2 bi= Xij−Xi. q j=1 / X.j−X.. 2 q j=1 Finlay & Wilkinson (1963) Statik/ Dinamik 2 βi= Xij−Xi.−X.j+ X.. X.j−X.. / X.j−X.. 2 q j=1 q j=1 Perkins & Jinks (1968) Dinamik D 3 δi 2 = q−2 1 Xij−Xi. 2 q j=1 −βi2 X.j−X.. 2 q j=1 Eberhart & Russel (1966) Dinamik 3 δi 2 = q−2 1 Xij−Xi.−X.j+ X.. 2 q j=1 −βi2 X.j−X.. 2 q j=1 Perkins & Jinks (1968) Dinamik

13

memiliki koefisien keragaman yang kecil dalam lingkungannya (2) respon terhadap lingkungannya sebanding dengan rata-rata respon seluruh genotipe yang diuji, atau sebanding dengan indeks lingkungannya (3) memiliki kuadrat tengah sisa yang kecil dari garis regresi indeks lingkungannya. Konsep stabilitas tipe 1 dan 3 bersifat statis, dimana suatu genotipe hanya dapat dilihat stabil atau tidaknya saja. Adapun konsep stabilitas tipe 2 bersifat dinamis karena dapat menunjukan pola stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Kelompok A mampu menjelaskan konsep stabil tipe 1, kelompok B mampu menjelaskan konsep stabil tipe 2, kelompok D menjelaskan konsep stabil tipe 3, sedangkan kelompok C menjelaskan konsep stabil tipe 1 dan 2.

Analisis stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963) didasarkan pada koefisien regresi (bi) antara hasil rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Analisis ini dapat menjelaskan fenomena stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe. Genotipe- genotipe yang mempunyai slope regresi (bi) : > 1, = 1, dan < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata.

Eberhart dan Russel (1966) mengembangkan metode pengujian stabilitas yang didasarkan pada deviasi dari regresi nilai rata-rata genotipe pada indeks lokasi (lingkungan). Suatu genotipe dikatakan stabil hanya bila kuadrat tengah sisa dari garis regresi adalah kecil. ζilai δ2 (parameter deviasi) yang besar atau Ri2

(koefisien determinasi) yang kecil menunjukkan bahwa model regresi yang diperoleh tidak menggambarkan data yang sebenarnya dan dengan sendirinya tidak dapat dipakai sebagai ukuran stabilitas.

Metode yang dapat digunakan dalam memvisualisasi dan menjelaskan respon genotipe terhadap lingkungan serta stabilitas daya hasilnya adalah metode

Additive Main Effect Multiplicative Interaction (AMMI). Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan faktorial dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinear. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif dengan pengaruh multiplikatif pada analisis komponen utama (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).

Penggunaan analisis AMMI memiliki tiga tujuan, yaitu : (1) sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat; (2) untuk menjelaskan interaksi galur x lingkungan (G × E); (3) meningkatkan keakuratan dugaan respon interaksi galur dan lingkungan. Tahapan analisis AMMI yang dilakukan adalah : (1) menyusun matriks pengaruh interaksi dalam bentuk matriks Ig × l (2) melakukan penguraian bilinear terhadap matriks Ig × l melalui SVD (singular value decomposition) (3) menentukan banyaknya Komponen Utama I (KUI) nyata melalui postdictive success (4) membuat biplot AMMI. Suatu galur dianggap stabil jika posisinya berada dekat dengan sumbu utama. Galur dianggap spesifik pada lokasi tertentu dapat dilihat melalui posisi masing-masing galur terhadap garis lokasi (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Untuk menentukan berapa banyak sumbu komponen utama yang dipakai sebagai penduga digunakan dua metode yaitu metode postdictive success dan

predictive succes. Metode postdictive success berhubungan dengan kemampuan suatu model yang tereduksi untuk menduga data yang digunakan dalam membangun model tersebut. Salah satu caranya adalah berdasarkan banyaknya sumbu tersebut yang nyata pada uji F analisis ragam. Predictive success

berhubungan dengan kemampuan suatu model dugaan untuk memprediksi data lain yang sejenis tetapi tidak digunakan dalam membangun model tersebut (data validasi). Penentuan jumlah sumbu komponen utama berdasarkan predictive success dilakukan dengan validasi silang, yaitu membagi data menjadi dua kelompok, satu kelompok untuk membangun model dan kelompok lain digunakan untuk validasi (menentukan jumlah kuadrat sisaan). Hal ini dilakukan berulang- ulang pada setiap ulangan dibangun model dengan berbagai sumbu komponen utama. Jumlah komponen utama yang terbaik adalah yang rataan akar kuadrat tengah sisa (Root Mean Square Predictive Different (RMSPD)) dari data validasi paling kecil (Mattjik dan Sumertajaya 2006).

Metode pengukuran stabilitas hasil seperti Stabilitas Francis dan Kannenberg, Finlay dan Wilkinson, Stabilitas Eberhart dan Russel, dan AMMI (Additive Main Effect Multiplicative) adalah sebagai berikut:

15

Konsep analisis stabilitas didasarkan pada terbentuknya variasi suatu genotipe dalam berbagai lingkungan. Terbentuknya variasi ini didekati kuadrat tengah genotipe serta koefisien variasi genotipe. Pendekatan tersebut menunjukkan bahwa dengan semakin kecilnya nilai pengukuran, maka semakin stabil genotipe tersebut. Jika nilai CV suatu genotipe kurang dari 20% dikategorikan stabil.

2. Stabilitas Finlay dan Wilkinson (1963)

Ukuran pengaruh lingkungan berasal dari rata-rata produksi dari masing- masing lingkungan dan musim. Regresi didasarkan pada produksi masing-masing varietas di plot terhadap rata-rata populasi. Rata-rata populasi mempunyai koefisien regresi = 1.0 sebagai genotipe yang stabil. Penambahan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan kepekaan terhadap lingkungan, dan bila penurunan nilai koefisien terhadap 1.0 berarti meningkatkan ketahanan terhadap lingkungan. Regresi cukup efektif untuk mengetahui respon produksi varietas dalam kisaran lingkungan alami. Batas kisaran lingkungan berkurang akan mengurangi proporsi komponen keragaman bagi interaksi genotipe x lingkungan yang ditunjukkan oleh ragam pada koefisien regresi secara individu.

3. Stabilitas Eberhart dan Russel (1966)

Prinsip stabilitas Eberhart dan Russel yaitu menggabungkan jumlah kuadrat dari lingkungan (E) dan interaksi genotipe x lingkungan (GE) serta membaginya ke dalam pengaruh linier antar lingkungan (derajat bebas = 1) dan pengaruh linier dari genotipe x lingkungan (derajat bebas E = 2). Pengaruh residual kuadrat tengah dari model regresi antar lingkungan digunakan sebagai indeks stabilitas. Genotipe stabil bila memiliki nilai deviasi (simpangan) regresi kuadrat tengah δ2 = 0 dan memiliki nilai koefisien regresi (bi) = 1.

4. AMMI (Additive Main Effect Multiplicative).

Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi dimodelkan dengan model bilinier. Model AMMI dapat digunakan untuk menganalisis percobaan lokasi ganda. Pada dasarnya analisis AMMI menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan permodelan bilinier bagi pengaruh

interaksi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). AMMI sangat efektif menjelaskan interaksi genotipe dengan lingkungan. Penguraian interaksi dilakukan dengan model bilinear, sehingga kesesuaian tempat tumbuh bagi genotipe akan dapat dipetakan. Selain itu biplot yang digunakan memperjelas pemetaan genotipe dan lingkungan secara simultan (Sumertajaya 2007).

Model AMMI sebagai berikut:

Yger = µ + g + βe + ����� + ��� + ger

dimana:

Yger = nilai pengamatan pada genotipe ke -g, lingkungan ke-e dan kelompok ke-r

µ = rataan umum

g = pengaruh aditif dari pengaruh utama genotipe ke-g

βe = pengaruh aditif dari pengaruh utama lingkungan ke-e

�� = nilai singular untuk komponen bilinier ke-n

��� = pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n

��� = pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n

��� = simpangan dari pemodelan linier

ger = pengaruh acak pada genotipe ke-g, lokasi ke-e dan kelompok ke-r

Sumertajaya (1998) mengemukakan tiga tujuan penggunaan analisis AMMI yaitu:

1. AMMI sebagai analisis pendahuluan untuk mencari model yang lebih tepat. Jika tidak ada satupun komponen yang nyata maka pemodelan cukup dengan aditif saja. Sebaliknya jika hanya pengaruh ganda saja yang nyata maka pemodelan sepenuhnya ganda, berarti analisis yang tepat adalah komponen utama saja. Jika semua komponen interaksi nyata berarti pengaruh interaksi benar-benar sangat kompleks, tidak memungkinkan dilakukannya pereduksian tanpa kehilangan informasi penting.

2. Menjelaskan interaksi galur x lingkungan. Biplot AMMI meringkas pola hubungan antar galur, antar lingkungan dan antar interaksi galur dan lingkungan.

17

3. Meningkatkan keakuratan dugaaan respon interaksi galur x lingkungan. Hal ini terlaksana jika hanya sedikit komponen AMMI saja yang nyata dan tidak mencakup seluruh jumlah kuadrat interaksi. Sedikitnya komponen yang nyata menyatakan bahwa jumlah kuadrat sisanya hanya galat saja. Dengan menghilangkan galat ini berarti dugaan respon per galur x lingkungan menjadi lebih akurat.

Metode AMMI sudah dapat diterapkan untuk model tetap (AMMI) yaitu jika genotipe dan lingkungan ditentukan secara subyektif oleh peneliti dan kesimpulan yang diharapkan hanya terbatas pada genotipe dan lingkungan yang dicobakan saja. Pada model campuran (M-AMMI: Mixed AMMI) dimana salah satu sumber keragaman (genotipe atau lingkungan) bersifat acak maka kesimpulan untuk faktor acak hanya berlaku untuk populasi dari faktor acak. Model kategorik (GLM-AMMI/General Linear Model AMMI) yaitu jika respon yang diamati bersifat kategorik seperti tingkat serangan hama (ringan, sedang dan berat). Disamping itu, AMMI juga telah dikembangkan untuk menangani data hilang yaitu dengan EM-AMMI (Expectation Maximitation AMMI) (Sumertajaya 2007).

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada musim hujan (MH) 2010/2011 dan 2011/2012 di 7 (tujuh) lokasi yaitu Taman Bogo dan Natar (Lampung); Sukabumi dan Indramayu (Jawa Barat); Purworejo (Jawa Tengah); Wonosari (DIY); Malang (Jawa Timur). Karakteristik masing masing lokasi terdapat pada Lampiran 1.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: benih padi gogo yang terdiri atas 10 galur dan 2 varietas pembanding (Tabel 4) dengan sejarah persilangan masing-masing galur dan deskripsi varietas pada Lampiran 2 dan Lampiran 3, pupuk kandang/dasar (10 ton ha-1), Urea (200 kg ha-1), SP-36 (100 kg ha-1), KCl (100 kg ha-1) dan pestisida. Alat yang digunakan antara lain: meteran, timbangan, alat penghitung 1000 biji, hand counter, serta alat tulis dan

software analisis SAS 9.0.

Tabel 4 Galur-galur dan varietas pembanding padi gogo yang digunakan dalam

Dokumen terkait