• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA 65 LAMPIRAN

C. Tepung Beras

1. Bahan Penyusun

Bahan-bahan penyusun cookies terdiri atas bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan pengikat adalah tepung, air, padatan susu, putih telur atau telur utuh, dan garam. Sedangkan bahan pelembut adalah gula, shortening, bahan pengembang dan kuning telur (Husain, 1993).

Tepung merupakan komposisi dasar pada produk bakery. Dalam adonan, tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan

14 lain dan mendistribusikannya secara merata, serta berperan dalam membentuk cita rasa (Matz dan Matz, 1978). Manley (1983) membagi tepung menjadi tiga jenis berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu terigu keras (kadar protein minimal 12%), terigu sedang (kadar protein sebesar 10-11%), dan terigu lunak (kadar protein sebesar 7-9%).

Tepung yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah tepung gandum lunak dengan kadar protein 8-9%. Tepung terigu lunak juga biasa digunakan untuk membuat bolu, kue kering, crackers, dan biskuit karena terigu lunak cenderung membentuk adonan yang lebih lembut dan lengket (Matz, 1992). Selain itu, tepung jenis ini lebih mudah terdispersi dan tidak mempunyai daya serap air yang terlalu tinggi sehingga dalam pembuatan adonan membutuhkan lebih sedikit cairan (U.S Wheat Associates, 1983).

Semakin keras tepung gandum, semakin banyak lemak dan gula yang harus ditambahkan untuk memperoleh tekstur yang baik. Tepung terigu dengan kadar protein yang tinggi akan mempengaruhi kekerasan cookies dan kekerasan remah bagian dalam serta penampakan permukaan. Bila jumlah tepung sangat sedikit, sedangkan lemak yang ditambahkan cukup banyak maka cookies akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz, 1978).

Gula dalam bentuk sukrosa berfungsi sebagai pemanis nutririf, pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, dan pengontrol penyebaran cookies. Gula yang ditambahkan dapat berfungsi sebagai pengawet karena gula dapat mengurangi

aw bahan pangan sehingga dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula halus, atau tepung gula. Besarnya partikel gula dalam bentuk adonan akan mempengaruhi penyebaran cookies. Gula halus memiliki sifat pengkriman yang lebih baik dibandingkan dengan tepung gula. Jenis pemanis lain yang dapat digunakan adalah brown sugar, invert syrup laktosa atau madu (Matz, 1978).

Tipe dan jumlah shortening dan emulsifier dalam formula akan mempengaruhi respon adonan selama pembentukan dan kualitas produk akhir. Jenis shortening yang dapat digunakan adalah mentega, minyak tumbuhan, margarin, atau lemak hewan seperti lemak babi atau lemak sapi.

15 Jenis shortening juga akan mempengaruhi penyebaran dan penampakan cookies (Matz, 1978). Pemberian mentega bertujuan untuk meningkatkan penerimaan, terutama flavor. Rendahnya titik cair mentega menyebabkan produk menjadi berminyak. Untuk mengurangi efek berminyak yang dihasilkan mentega, biasanya ditambahkan margarin (Matz, 1978). Selama proses pencampuran adonan, lemak memutuskan jaringan gluten di dalamnya sehingga karakteristik makan setelah pemanggangan menjadi tidak keras, lebih pendek, dan lebih cepat meleleh di mulut (Manley, 1983).

Telur mempengaruhi tekstur produk kue karena sifat pengemulsi, pengaerasi, pelembut, dan pengikat yang dimilikinya. Selain itu telur juga berfungsi untuk meningkatkan nilai gizi, memberikan warna dan flavor yang disukai. Telur penting dalam menentukan kualitas organoleptik semua jenis cookies. Seluruh telur (putih dan kuning telur) dapat menghasilkan struktur cookies yang baik. Pemakaian kuning telur untuk menggantikan sebagian atau seluruh telur akan menghasilkan cookies yang lembut, tetapi struktur dalamnya tidak sebaik yang menggunakan seluruh telur (Matz, 1978).

Manley (1983) menjelaskan bahwa susu yang biasa digunakan dalam pembuatan cookies berbentuk serbuk dan memiliki aroma khas yang kuat. Susu berfungsi memperbaiki tekstur, memberikan aroma, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung di dalam susu merupakan disakarida pereduksi yang jika dikombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan proses pemanasan akan memberikan warna coklat yang menarik pada permukaan setelah dipanggang.

Gas karbondioksida, uap air, dan udara berperan pada pengembangan produk-produk kue. Sumber karbondioksida pada kue antara lain sodium bikarbonat, amonium bikarbonat, dan baking powder. Amonium bikarbonat digunakan untuk menghasilkan produk kue kering yang kadar airnya rendah, tetapi tidak untuk produk yang kadar airnya tinggi, karena aroma amoniak lebih terasa bila kadar air produk masih tinggi. Amonium bikarbonat larut pada air dan dapat terdekomposisi pada suhu 104oC (Stauffer, 1990). Sodium bikarbonat lebih sering digunakan karena toksisitasnya rendah, mudah ditangani, tidak meninggalkan rasa pada produk dan lebih murni. Baking

16 powder merupakan campuran dari sodium bikarbonat dengan pereaksi asam dengan atau tanpa penambahan pati. Baking powder bersifat cepat larut pada suhu kamar dan tahan selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Pereaksi asam yang digunakan antara lain garam asam dari asam tartarat, asam fosfat, atau komponen aluminium (Matz, 1978).

Menurut Kaplan (1971), peranan garam dalam pembuatan kue adalah untuk menguatkan flavor, membantu dalam pelarutan gluten untuk menciptakan struktur yang baik dalam adonan. Matz (1978) menyebutkan bahwa sebagian besar formula kue menggunakan 1% garam atau kurang.

Penambahan flavor pada cookies ditujukan untuk memberi rasa tertentu guna meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat ditambahkan pada produk cookies sebagai flavor adalah vanilla, keju, almond, coklat, kopi dan caramel. Flavor relatif stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan api. Kategori flavor meliputi minyak esensial yang diekstrak dari jaringan tanaman, campuran bahan-bahan kimia aromatik sintetik, maupun dari proses alami bahan karena bahan-bahan tersebut mempunyai aroma kuat dan menyenangkan (Manley, 1983).

Menurut Manley (1983), biskuit dan produk yang dimasak lainnya dapat ditambah dengan flavor dengan tiga cara, yaitu: 1) ditambah flavor dalam adonan sebelum dipanggang, 2) ditaburkan atau disemprotkan setelah dipanggang, 3) flavor yang tidak ikut dipanggang, seperti pelapisan cream-jam, icing ataupun mallow.

2. Proses Pembuatan Cookies

Pada prinsipnya proses pembuatan cookies atau kue kering meliputi tahapan persiapan bahan, pencampuran yang terdiri dari pembentukan krim dan pembuatan adonan, pencetakan atau pembentukan kue, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan.

Mentega atau sumber lemak dibuat menjadi krim terlebih dahulu bersama dengan gula, telur, garam, dan susu (creaming method) agar semua bahan menyebar rata di dalam adonan. Selanjutnya pencampuran krim

17 dengan tepung dan bahan lainnya diberikan sehingga bahan-bahan menjadi satu adonan yang rata (homogen). Setelah adonan menjadi homogen, maka dilakukan proses pencetakan. Pencetakan cookies dapat bervariasi tergantung selera. Tahap akhir adalah pemanggangan. Suhu yang biasa dipakai untuk pemanggangan kue kering berkisar antara 180-2000C selama 16-20 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi. Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies.

Ketika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan dan mengakibatkan permukaan cookies menjadi retak. Perubahan yang kompleks terjadi selama pemasakan. Pada awal pemasakan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40oC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 55-99oC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65oC. Selanjutnya pada suhu 70oC terjadi penguapan air, denaturasi dan koagulasi protein (Faridi, 1994). Cookies hasil pemanggangan harus segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan mencegah terjadinya pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak.

Seluruh tahap proses pembuatan cookies tersebut sangat berpengaruh pada penampakan dan kualitas produk akhir. Cookies yang dihasilkan, secara organoleptik harus dapat diterima dengan baik oleh konsumen dan dari segi nilai gizi dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh SNI (Standar Nasional Indonesia). Persyaratan untuk cookies dapat dilihat pada SNI No. 01-2973-1992 pada Tabel 8.

18 Tabel 8.Syarat Mutu Biskuit, SNI No. 01-2973-1992

Kriteria Uji Satuan Keadaan

Air % maksimum 5

Protein % minimum 9

Lemak % minimum 9.5

Karbohidrat % minimum 70

Abu % maksimum 1.5

Logam berbahaya negatif

Serat kasar % maksimum 0.5

Energi kkal/100 minimum 400

Bau dan rasa normal dan tidak tengik

Warna normal

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)

Dokumen terkait