BAB III BIOGRAFI
B. Biografi Novel
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran
dan perasaan. Gaya bahasa dapat menimbulkan perasaan tertentu,
dapat menimbulkan reaksi tertentu, dan dapat menimbulkan
tanggapan pikiran pembaca (Wiyanto, 2012: 218). Cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin, 1991: 72).
Gaya bahasa dalam Wikipedia (2015: 1-3) ada beberapa
macam, yaitu alegori, metafora, simile, sinestesia, litotes, hiperbola,
a) Alegori, yaitu menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau
penggambaran.
b) Metafora, yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda
dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau
hampir sama.
c) Simile, yaitu pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang
dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya,
bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai".
d) Sinestesia, yaitu suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang
dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
e) Litotes, yaituungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta
dengan tujuan merendahkan diri.
f) Hiperbola, yaitu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan
sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
g) Personifikasi, yaitupengungkapan dengan menggunakan perilaku
manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
h) Enumerasio, yaituungkapan penegasan berupa penguraian bagian
demi bagian suatu keseluruhan.
i) Satire, yaituungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau
parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan.
7) Amanat
Karya sastra selain berfugsi sebagai hiburan bagi pembacanya,
juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Dengan kata lain,
mengajari pembaca. Ajaran yang ingin disampaikan itu dinamakan
amanat, jadi, amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan
moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca
lewat karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja
tidak disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat
mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya
(Wiyanto, 2012: 218-219).
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah usur-unsur yang berada di luar karya sastra
itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem
organisme karya sastra. Meskipun demikian, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh
karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang
sebagai sesuatu yang penting (Nurgiyantoro, 2012: 24). Sementara itu,
Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2012: 24) menjelaskan bahwa
unsur yang dimaksud adalah keadaan subjektivitas individu pengarang
yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya
itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur
biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkannya.
Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi politik, dan
sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan itu merupakan
unsur ekstrinsik pula (Nurgiyantoro, 2012: 24).
a. Menciptakan keindahan. Hal ini karena novel dibuat dari sususan kalimat
yang dirangkai secara indah agar mampu menyenangkan hati para
penikmat novel (Remedia, 2014: 2).
b. Menghibur. Bagi mereka yang menikmati novel, akan merasa terhibur
atas sajian keindahan yang ada tersebut. Novel dapat dijadikan sebagai
media informasi, edukasi, dakwah, dan sebagainya, namun semua itu
harus disajikan dengan cara yang menghibur (Sambu, 2013: 9).
c. Menyebarkan pengetahuan. Dengan adanya novel, maka pemikiran yang
dimiliki oleh orang lain bisa diketahui masyarakat. Sehingga masyarakat
yang membaca novel bisa mendapatkan pengetahuan baru yang
bermanfaat (Remedia, 2014: 2).
d. Memberikan bekal pendidikan bagi para pecinta sastra. Sebab, dalam
sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai tradisi budaya bangsa yang
turun temurun dari setiap generasi. Sehingga karya sastra dijadikan
media untuk menjaga keluhuran budaya dari sebuah masyarakat dan
memperkenalkan kepada generasi penerus dan masyarakat luar
(Remedia, 2014: 2).
e. Memberikan pengalaman emosional yang kuat kepada pembaca.Teknik
menulis fiksi dengan baik, sekaligus bisa menyuguhkan pengalaman
emosional yang kuat pada pembaca penting bagi seorang penulis novel.
Pada dasarnya, novel adalah media hiburan. Ketika pembaca sudah
terhibur, mereka akan dapat lebih mudah menerima pendidikan, dakwah,
atau apa pun informasi yang ingin kita selipkan. Walt Disney pernah
mendapat pelajaran dari situ, ketimbang mengajari mereka dan berharap
mereka terhibur.” Maka dari itu, penting bagi penulis fiksi untuk tahu
bagaimana cara memberikan pengalaman emosional yang kuat pada
pembaca (Sambu, 2013: 12).
4. Hubungan Novel dengan Karya Ilmiah
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan,
deskripsi atau pemecahan masalah secara sistematis, disajikan secara objektif
dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku, serta didukung oleh fakta,
teori, dan/atau bukti-bukti empirik. Karya ilmiah merupakan karya tulis yang
isinya berusaha memaparkan suatu pembahasan secara ilmiah yang dilakukan
oleh seorang penulis atau peneliti. Tujuannya untuk memberitahukan sesuatu
hal secara logis dan sistematis kepada para pembaca (Dalman, 2012: 5).
Karya tulis atau karangan ilmiah menyajikan gagasan atau argumen
keilmuan berdasarkan fakta. Gagasan keilmuan itu harus dapat dipercaya dan
diterima kebenarannya, sehingga perlu kriteria penyajian secara benar
(Kusmana, 2010: 3). Pada hakikatnya, karya tulis ilmiah merupakan laporan
tentang sesuatu hasil penelitian, baik dari penelitian kepustakaan (library research), laboratorium, atau penelitian di masyarakat (field research ) (Agam, 2009: 16).
Suatu karangan yang menyajikan fakta umum, tetapi tidak disajikan
dengan metodologi penulisan karya tulis ilmiah yang benar, maka karangan
tersebut tidak dapat dikelompokkan ke dalam karangan ilmiah. Dengan
demikian, karya tulis ilmiah merupakan karangan tentang ilmu pengetahuan
penulisan karya tulis ilmiah. Fakta umum yang dimaksudkan adalah fakta
yang dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah (Kusmana, 2010: 3).
Karya fiksi seperti halnya dalam kesastraan Inggris dan Amerika,
menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek (Nurgiyantoro,
2012: 9). Karya fiksi merupakan suatu karya yang menyaran kepada cerita
yang bersifat rekaan, yaitu cerita yang tidak benar-benar terjadi dalam
kehidupan nyata sehingga tidak perlu dicari kebenarannya, akan tetapi unsur
penciptaannya merupakan pandangan si penulis dari kehidupan nyata
disekitar lingkungan si penulis.
Apakah ada hubungannya antara novel dan karya ilmiah? Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa karya ilmiah merupakan karya
tulis yang dapat dipercaya dan dapat dibuktikan kebenarannya sedangkan
novel merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi dalam kehidupan
nyata.
Finoza dalam Dalman (2012: 6) mengklasifikasikan karangan menurut
bobot isinya atas tiga jenis, yaitu: karangan ilmiah, karangan semi ilmiah atau
ilmiah populer, dan karangan nonilmiah. Yang tergolong ke dalam karangan
ilmiah antara lain: makalah, laporan, skripsi, tesis, disertasi. Yang tergolong
karangan semi ilmiah, antara lain: artikel, editorial, opini, feuture, reportase. Yang tergolong ke dalam nonilmiah antara lain: anekdot, dongeng, hikayat,
cerpen, novel, roman, dan naskah drama (Dalman, 2012: 6).
Novel termasuk karya non ilmiah bukan ilmiah karena novel tidak
ilmiah apabila dalam novel tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan yang
diteliti dengan menggunakan kaidah-kaidah penulisan ilmiah.
5. Novel Rindu dan Pesan Akhlak Terpuji
Novel rindu adalah novel Tere Liye yang terbit pada tahun 2014. Novel
ini berkisah tentang perjalanan panjang jamaah haji pada tahun 1938. Sebuah
perjalanan panjang ini dimulai ketika sebuah kapal besar bernama
BlitarHolland mendarat di Pelabuhan Makassar. Kapal tersebut nantinya akan
berhenti dan menaikkan penumpang di Pelabuhan Surabaya, Semarang,
Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang, Banda Aceh hingga Jeddah.Novel
Rindu tidak hanya bercerita tentang perjalanan panjang ke Tanah Suci.
Beragam tragedi, konflik, dan serangkaian peristiwa menyertainya. Novel ini
semakin berbobot dengan cuplikan sejarah di beberapa daerah yang dijadikan
setting. Seperti sejarah yang ada di kota Semarang.
Bergeser lagi ke selatan, terdapat bangunan paling indah di masa itu (sekarang dikenal dengan nama Lawang Sewu yang berarti seribu pintu). Bangunan itu merupakan kantor pusat perusahaan kereta api
Nederlandsch Indishe Spoorweg Maatschappij (NISM). Sesuai namanya, bangunan itu memiliki lebih banyak pintu dan jendela dibandingkan lima puluh rumah dijadikan satu. Taman di halaman bangunan itu saja sudah cukup membuat betah mata memandang (hlm: 171).
Novel Rindu istimewa karena adanya seorang tokoh ulama.Ulama
tersebut adalah Gurutta Ahmad Karaeng yang digambarkan sebagai ulama yang sempurna, berilmu, dan beradab. Bahkan empat dari lima pertanyaan
besar di novel Rindu terjawab sempurna dari lisannya yang bijak.
"Tapi kembali lagi ke soal takdir tadi, mulailah menerimanya dengan lapang hati, Kang Mas. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi menyapapun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak
bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya atau mendustakannya." (hlm: 471).
“Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Kita boleh jadi benci atas
kehidupan ini. Boleh kecewa. Boleh marah. Tapi ingatlah nasihat lama, tidak pernah ada pelaut yang merusak kapalnya sendiri. Akan dia rawat kapalnya, hingga dia bisa tiba di pelabuhan terakhir. Maka, jangan rusak kapal kehidupan milik kau, Ambo, hingga dia tiba di dermaga
terakhirnya.” (hlm: 284)
B. Pendidikan Akhlak
1. Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 326)
secara bahasa berasal dari kata “didik” yang artinya pelihara dan latih.
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Secara terminologis, ada beberapa pengertian pendidikan
menurut pendapat para tokoh, yaitu sebagai berikut:
1) John S. Brubacher dalam Suwarno (2006: 20), pendidikan adalah
proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kapasitas manusia
yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat
(media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat
digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
perkembangan jiwa, watak, ataupun kemauan fisik individu.
Pendidikan dalam arti sempit adalah suatu proses
mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan dari
generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui
lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi,
atau lembaga-lembaga lain.
3) Nur Ahid dalam Ahid(2010: 12), pendidikan adalah transformasi
ilmu pengetahuan dan nilai kepada peserta didik secara
berangsur-angsur, yang diharapkan bisa diaktualisasikan melalui perilakunya
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu kedudukan dan kondisinya dalam
kehidupan, sehubungan dengan diri, keluarga, kelompok, komunitas
dan masyarakatnya, serta kepada disiplin pribadinya.
4) Ibnu Faris dalamMahmud(2004: 2), pendidikan adalah perbaikan,
perawatan, dan pengurusan terhadap pihak yang dididik dengan
menggabungkan unsur-unsur pendidikan di dalam jiwanya, sehingga
ia menjadi matang dan mencapai tingkat sempurna yang sesuai
dengan kemampuannya.
Dari pendapat para tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah proses transformasi ilmu pengetahuan, nilai-nilai dan
pengembangan potensi yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa
dan watak individu yang diharapkan bisa diaktualisasikan melalui
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan pendidikan dalam Islam secara garis besarnya adalah untuk
membina manusia agar menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh
aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran, dan perasaannya (Daradjat,
1995: 35).
Al-Abrasy dalam Ahid (2010: 48) menyimpulkan lima tujuan
umum pendidikan sebagai berikut:
1) Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia, mencapai
suatu akhlak yang sempurna adalah tujuan sebenarnya dari
pendidikan.
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan akhirat.
3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat, atau
yang lebih terkenal sekarang dengan nama tujuan vokasional dan
profesional.
4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan
keingintahuan serta memungkinkan mereka mengkaji ilmu demi
ilmu itu sendiri.
5) Mempersiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal, dan
pertukangan supaya dapat mengetahui profesi dan pekerjaan yang
membutuhkan keterampilan tertentu, sehingga kelak bisa memenuhi
kebutuhan materi, di samping kebutuhan rohani, dan agama.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan adalah untuk membina manusia agar memiliki pengetahuan
akhlak yang mulia untuk persiapan kehidupan yang bahagia di dunia dan
akhirat.
2. Akhlak
a. Pengertian Akhlak
Secara etimologis, akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari kata
khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan) (Ilyas, 2007: 1). Secara terminologis, ada beberapa definisi tentang akhlak menurut
para tokoh, diantaranya yaitu:
1) Imam Al-Ghazali dalam Ilyas (2007: 2), akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan
dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
2) Ibrahim Anis dalam Ilyas(2007: 2), akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam
perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan.
3) Ahmad Amin dalam Halim (2000: 9), akhlak adalah kehendak yang
dibiasakan artinya apabila kehendak itu membiasakan sesuatu, maka
kebiasaan itu dinamakan akhlak.
4) Ibnu Maskawih dalam Mansur (2007: 221), akhlak adalah keadaan
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
5) Muhammad bin Ali asy-Syariif al-Jurjani dalam Mahmud (2004:
32), akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat
dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah
dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung.
Dari pendapat para tokoh di atas, peneliti menyimpulkan akhlak
adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa dipikir lagi dan dalam
kehendak yang mantap.
b. Fungsi Akhlak Bagi Seorang Muslim
1) Akhlak bukti nyata keimanan seseorang
Keyakinan dan suasana hati pada umumnya secara sangat
mudah dilihat tanda-tanda atau indikator fisiknya. Demikian juga
dengan keyakinan kepada Allah Swt dengan segenap bimbingan dan
ajaran-Nya. Orang yang beriman dan bertaqwa dengan setulusnya
pasti akan tampak pada sinar mukanya. Ketulusan iman akan
terpancar secara jelas di rona wajah (Ahmadi, 2004: 22).
2) Akhlak Hiasan Orang Beriman
Akhlak yang islami bagi seorang muslim bisa diibaratkan
hiasan yang memperindah penampilannya. Ketaatan kepada Allah
dan Rasulullah yang tulus, jika tidak dibarengi dengan perilaku yang
baik kepada orang lain, bisa diibaratkan sebuah benda yang tidak
3) Akhlak Amalan yang Paling Berat Timbangannya
Salah satu amal manusia yang paling mulia di hadapan Allah
dan paling berat timbangannya di sisi-Nya adalah akhlak dan
merupakan salah satu perilaku yang paling dicintai oleh Rasulullah
Saw (Ahmadi, 2004: 27).
4) Akhlak Mulia Simbol Segenap Kebaikan
Apa yang baik menurut Allah sesungguhnya baik untuk
manusia. Apa yang diperintahkan oleh Allah pasti bermanfaat bagi
manusia. Dalam istilah amar ma‟ruf nahi munkar, ma‟ruf artinya sesuatu yang dikenal baik dan munkar berarti sesuatu yang diingkari. Dengan kata lain, sesuatu dianggap sebagai kebaikan jika
dikenal oleh umumnya orang Muslim sebagai kebaikan dan sesuatu
dianggap keburukan adalah jika disepakati oleh umumnya kaum
Muslim sebagai keburukan (Ahmadi, 2004: 32).
5) Akhlak mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Ahmad Syauqi menyatakan bahwa bangsa itu hanya bisa
bertahan selama mereka masih memiliki akhlak, bila akhlak telah
lenyap dari mereka, maka mereka akan menjadi lenyap pula
(Mansur, 2007: 234).
Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa akhlak menunjukkan
tingkat keimanan dan ketaatan seseorang kepada Allah Swt dan
Rasulullah Saw dan merupakan simbol segenap kebaikan sehingga
c. Kedudukan Akhlak
Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam.
Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat dari berbagai sunnah
qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah Saw. Akhlak Nabi
Muhammad yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu disebut
akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dalam al-Qur‟an yang
menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam (Ali, 2008: 349). Akhlak
bukan hanya sekedar sopan santun, tata krama yang bersifat lahiriah dari
seseorang terhadap orang lain melainkan lebih daripada itu (Djatnika,
1996: 11).
Akhlak yang mulia dalam Islam adalah melaksanakan
kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-larangan, memberikan hak kepada
yang mempunyainya baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang
berhubungan dengan makhluk, dirinya sendiri, orang lain, dan
lingkungannya (Djatnika, 1996: 24).
Akhlak tidak dapat dipisahkan dari iman. Iman merupakan
pengakuan hati, dan akhlak adalah pantulan iman itu pada perilaku,
ucapan, dan sikap. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak adalah bukti
keimanan dalam perbuatan, yang dilakukaan dengan kesadaran dan
karena Allah semata (Daradjat, 1995: 67). Untuk melihat kuat atau
lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang,
karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang
ada di dalam hati (Asmaran, 2002: 110). Muhammad Al-Ghazali dalam
akhlak yang baik dan mulia, sedang iman yang lemah mewujudkan
akhlak yang jahat dan buruk.
Maslikhah (2009: 13-14) menjelaskan pentingnya kedudukan
akhlak dalam agama Islam adalah sebagai berikut:
1) Akhlak dihubungkan dengan tujuan risalah Islam atau antara
perutusan utama Rasulullah Saw.
2) Akhlak menentukan kedudukan seseorang di akhirat di mana akhlak
yang baik dapat memberatkan timbangan amalan yang baik. Begitu
juga sebaliknya.
3) Akhlak yang baik dapat menghapuskan dosa manakala akhlak yang
buruk boleh merusakkan pahala.
4) Akhlak merupakan sifat Rasulullah Saw dimana Allah Swt telah
memuji Rasulullah karena akhlaknya yang baik.
5) Akhlak tidak dapat dipisahkan dari Islam.
6) Akhlak yang baik dapat menghindarkan seseorang itu daripada
neraka sebaliknya akhlak yang buruk menyebabkan seseorang jauh
dari surga.
Kedudukan akhlak sangat penting dalam Islam karena akhlak tidak
dapat dipisahkan dari iman. Allah Swt mengutus Rasulullah ke dunia
salah satu tujuannya adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Hal
itu menunjukkan bahwa akhlak menempati posisi yang penting dalam
Islam. Seseorang yang mempunyai akhlak yang baik akan mendapatkan
kehidupan yang bahagia di dunia maupun di akhirat. Begitu juga
merusakkan pahala dan jauh dari kebahagiaan baik di dunia maupun di
akhirat.
3. Pendidikan Akhlak
a. Pengertian Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai proses internalisasi
nilai-nilai akhlak mulia ke dalam diri peserta didik, sehingga nilai-nilai
tersebut tertanam kuat dalam pola pikir (mindset), ucapan dan perbuatannya, serta dalam interaksinya dengan Tuhan, manusia (dengan
berbagai strata sosial, fungsi, dan perannya) serta lingkungan alam jagat
raya (Nata, 2013: 209). Mansur (2007: 274) mendefinisikan pendidikan
akhlak adalah usaha sungguh-sungguh untuk mengubah akhlak buruk
menjadi akhlak yang baik.
Peneliti mendefinisikan bahwa pendidikan akhlak adalah usaha
yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh untuk merubah
akhlak buruk menjadi akhlak baik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.
b. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan utama pendidikan akhlak dalam Islam adalah agar manusia
berada dalam kebenaran dan senantiasa berada dijalan yang lurus, jalan
yang telah digariskan oleh Allah Swt (Mahmud, 2004: 159).
Umiarso (2010: 114) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan
akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang bermoral
baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
ikhlas, jujur, dan suci. Dengan kata lain, pendidikan akhlak bertujuan
untuk melahirkan manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Pendidikan akhlak juga mempunyai tujuan-tujuan lain (Mahmud,
2004: 160) di antaranya:
1) Mempersiapkan manusia-manusia yang beriman yang selalu
beramal saleh.
2) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang menjalani
kehidupannya sesuai dengan ajaran Islam, melaksanakan apa yang
diperintahkan agama dan meninggalkan apa yang diharamkan,
menikmati hal-hal yang baik dan dibolehkan serta menjauhi segala
sesuatu yang dilarang, keji, hina, buruk, tercela, dan mungkar.
3) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang bisa berinteraksi
secara baik dengan sesamanya, baik dengan orang muslim maupun
nonmuslim.
4) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang mampu dan mau
mengajak orang lain ke jalan Allah, melaksanakan amar ma‟ruf nahi
munkar dan berjuang fii sabilillah demi tegaknya agama Islam. 5) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang mau merasa bangga
dengan persaudaraannya sesama muslim dan selalu memberikan
hak-hak persaudaraan tersebut, mencintai dan membenci hanya
karena Allah, dan sedikit pun tidak kecut oleh celaan orang hasad
selama dia berada di jalan yang benar.
6) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang merasa bahwa dia
daerah, suku, dan bahasa. Atau insan yang siap melaksanakan
kewajiban yang harus ia penuhi demi seluruh umat Islam selama dia
mampu.
7) Mempersiapkan insan beriman dan saleh yang merasa bangga
dengan loyalitasnya kepada agama Islam dan berusaha sekuat tenaga
demi tegaknya panji-panji Islam di muka bumi.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan akhlak adalah menciptakan manusia yang beriman dan
beramal shaleh untuk mencapai keharmonisan dan kebahagiaan dalam
berhubungan dengan Allah Swt, berhubungan dengan sesama makhluk