BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Novel
2. Unsur-unsur Novel
a. Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membangun prosa
(Wiyanto, 2012: 213). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur
yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Keterpaduan antar
berbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud.
Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut pembaca, unsur-unsur (cerita)
inilah yang akan dijumpai jika kita membaca novel. Unsur yang
dimaksud untuk menyebut sebagian saja misalnya, peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya
bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2012: 23).
1) Tema
Tema adalah sumber gagasan atau ide cerita yang
dikembangkan menjadi sebuah karangan yang digunakan pengarang
dalam menyusun cerita(Haryanta, 2012: 270). Stanton dan Kenny
makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Sedangkan menurut
Nurgiyantoro (2012: 74) tema dalam sebuah karya sastra, fiksi,
hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun
cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan.
Dapat disimpulkan bahwa tema merupakan ide pokok atau
gagasan yang terkandung dalam sebuah cerita. Untuk menemukan
tema sebuah karya fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan
cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema
merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan
sendirinya, ia akan tersembunyi dibalik cerita yang mendukungnya
(Nurgiyantoro, 2012: 68).
Stanton dalam Nurgiyantoro (2012: 87) mengemukakan
sejumlah kriteria yang dapat diikuti untuk menemukan dan
menafsirkan tema sebuah novel yaitu sebagai berikut:
a) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan
tiap detil cerita yang menonjol.
b) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat
bertentangan dengan tiap detil cerita.
c) Penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri
pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung
d) Penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada
bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan
dalam cerita.
2) Penokohan (Perwatakan)
Jones dalam Nurgiyantoro (2012: 165) mendefinisikan
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang
yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Tokoh cerita satu dan yang
lainnya tentu tidak sama. Sebab, masing-masing tokoh itu
mempunyai watak. Pemberian watak pada tokoh itu dinamakan
perwatakan (Wiyanto, 2012: 216).
Para tokoh dalam sebuah novel yang baik itu yang menarik,
menimbulkan rasa ingin tahu, konsisten, menyakinkan, kompleks,
dan realistis (Aziez dan Abdul Hasim, 2010: 61).Tokoh-tokoh cerita
dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan.
Berikut ini adalah pembedaan tokoh menurut Nurgiyantoro (2012:
176) dilihat dari sudut pandang dan tinjauan tertentu.
a) Berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam
sebuah cerita ada 2 yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan
(1) Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel yang bersangkutan dan selalu hadir sebagai
pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang
(2) Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan
kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, secara langsung ataupun tak langsung.
b) Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan menjadi 2
yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis
(1) Tokoh protagonis merupakan tokoh yang menampilkan
sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita,
pembaca.
(2) Tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.
Tokoh antagonis berperan sebagai penghalang tokoh
protagonis dan menggagalkan segala rencana yang dibuat
tokoh protagonis (Sambu, 2013: 64)
c) Berdasarkan perwatakannya tokoh dapat dibedakan menjadi 2
yaitu tokoh sederhana dan tokoh bulat.
(1) Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh
yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat
watak yang tertentu saja.
(2) Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap
berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian
dan jati dirinya.
d) Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan
tokoh-tokoh cerita dalam novel, tokoh dapat dibedakan ke dalam
(1) Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sifat dan watak yang
relatif tetap, tidak berkembang dari awal hingga akhir cerita.
(2) Tokoh berkembang adalah tokoh yang mengalami perubahan
dan perkembangan watak, sejalan dengan perkembangan
peristiwa dan plot.
e) Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita terhadap
(sekelompok) manusia dari kehidupan nyata, dibedakan ke dalam
tokoh tipikal dan tokoh netral.
(1) Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan
kualitas pekerjaan atau kebangsaannya.
(2) Tokoh netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi
cerita itu sendiri.
3) Alur (Plot)
Alur adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu (pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan
temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab
akibat)(Haryanta, 2012: 12). Aziez dan Abdul Hasim (2010: 68)
mendefinisikan alur adalah suatu urutan cerita atau peristiwa yang
teratur dan terorganisasi. Istilah alur sama dengan istilah plot
maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu
cerita bisa terbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit
orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara
berbagai unsur fiksi yang lain. Kejelasan tentang kaitan antar
peristiwa yang dikisahkan secara linear, akan mempermudah
pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan. Kejelasan plot
dapat berarti kejelasan cerita, kesederhanaan plot berarti kemudahan
cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah karya fiksi yang
kompleks, ruwet, dan sulit dikenali hubungan kausalitas
antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit dipahami
(Nurgiyantoro, 2012: 110).
Wiyanto (2012: 215-216) membagi plot atau alur menjadi 3,
yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran:
a) Alur maju yaitu apabila peristiwa-peristiwa dalam cerita
berurutan, baik berurutan waktu maupun berurutan kejadiannya.
b) Alur mundur yaitu apabila peristiwa terakhir didahulukan
kemudian bergerak ke peristiwa-peristiwa sebelumnya.
c) Alur campuran yaitu apabila susunan peristiwanya ada yang maju
dan ada yang mundur.
4) Sudut pandang
Sudut pandang adalah cara dan pandangan yang dipergunakan
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar
dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya
fiksi kepada pembaca (Haryanta, 2012: 256).
a) Sudut pandang orang pertama
(1) Sudut pandang orang pertama sentral
Tokoh sentralnya adalah pengarang yang secara langsung
terlibat di dalam cerita. Kata ganti yang digunakannya adalah
kata ganti orang pertama (saya, aku, kita) (Wiyanto, 2012: 218).
(2) Sudut pandang orang pertama sebagai pembantu
Sudut pandang ini menampilkan “aku” hanya sebagai
pembantu yang mengantarkan tokoh yang menjadi tumpuan
cerita (Wiyanto, 2012: 218).
b) Sudut pandang orang kedua
Dalam sudut pandang ini, penulis menempatkan pembaca
sebagai karakter utama. Penulis sebagai narator, menjelaskan apa
saja yang dilakukan, dirasakan, dan dipikirkan karakter utama
sekaligus pembaca. Sudut pandang ini menggunakan kata ganti
orang kedua “kamu, kau, anda atau dikau.” (Sambu, 2013: 78). c) Sudut pandang orang ketiga
(1) Sudut pandang orang ketiga serba tahu
Pengarang berada di luar cerita dan menjadi pengamat yang
tahu segalanya. Kata ganti yang digunakannya adalah kata
ganti orang ketiga (dia, mereka, atau menyebutkan nama pelaku) (Wiyanto, 2012: 218).
Pengarang sebagai pengamat yang terbatas hak ceritanya. Ia
hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang
menjadi tumpuan cerita (Wiyanto, 2012: 218).
5) Latar atau Setting
Latar atau setting adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra (Haryanta, 2012:
150). Latar menunjukkan tempat, waktu atau kondisi dari narasi atau
dialog yang disampaikan oleh beberapa tokoh yang terdapat di
dalam cerita tersebut (Nugroho, 2014: 200). Latar atau setting
berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak
tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, di mana para tokoh
menjalankan perannya. Latar ini biasanya diwujudkan dengan
menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam
dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari
tempat dan waktu imajiner ataupun faktual (Aziez dan Abdul Hasim,
2010: 74).Setting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis tetapi juga
memiliki fungsi psikologis sehingga setting mampu menuansakan makna tertentu serta mampu menciptakan suasana-suasana tertentu
yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya
(Aminuddin, 1991: 67).
Latar atau setting mencakup tiga hal, yaitu setting tempat,
a) Setting tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi(Nurgiyantoro, 2012: 227).
b) Setting waktu, yaitu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
karya fiksi. Sebuah peristiwa bisa saja terjadi pada masa sepuluh
tahun yang lalu, zaman majapahit, zaman revolusi fisik, atau
zaman sekarang. Bisa juga pagi, siang, sore, atau malam hari
(Wiyanto, 2012: 217).
c) Setting sosial, yaitu mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat
yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2012: 233).
6) Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara khas dalam menyampaikan pikiran
dan perasaan. Gaya bahasa dapat menimbulkan perasaan tertentu,
dapat menimbulkan reaksi tertentu, dan dapat menimbulkan
tanggapan pikiran pembaca (Wiyanto, 2012: 218). Cara seorang
pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna
dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca (Aminuddin, 1991: 72).
Gaya bahasa dalam Wikipedia (2015: 1-3) ada beberapa
macam, yaitu alegori, metafora, simile, sinestesia, litotes, hiperbola,
a) Alegori, yaitu menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau
penggambaran.
b) Metafora, yaitu gaya bahasa yang membandingkan suatu benda
dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau
hampir sama.
c) Simile, yaitu pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang
dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya,
bagaikan, " umpama", "ibarat","bak", bagai".
d) Sinestesia, yaitu suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang
dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
e) Litotes, yaituungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta
dengan tujuan merendahkan diri.
f) Hiperbola, yaitu pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan
sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
g) Personifikasi, yaitupengungkapan dengan menggunakan perilaku
manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
h) Enumerasio, yaituungkapan penegasan berupa penguraian bagian
demi bagian suatu keseluruhan.
i) Satire, yaituungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau
parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan.
7) Amanat
Karya sastra selain berfugsi sebagai hiburan bagi pembacanya,
juga berfungsi sebagai sarana pendidikan. Dengan kata lain,
mengajari pembaca. Ajaran yang ingin disampaikan itu dinamakan
amanat, jadi, amanat adalah unsur pendidikan, terutama pendidikan
moral, yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca
lewat karya sastra yang ditulisnya. Unsur pendidikan ini tentu saja
tidak disampaikan secara langsung. Pembaca karya sastra baru dapat
mengetahui unsur pendidikannya setelah membaca seluruhnya
(Wiyanto, 2012: 218-219).
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah usur-unsur yang berada di luar karya sastra
itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem
organisme karya sastra. Meskipun demikian, unsur ekstrinsik cukup
berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh
karena itu, unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang
sebagai sesuatu yang penting (Nurgiyantoro, 2012: 24). Sementara itu,
Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro (2012: 24) menjelaskan bahwa
unsur yang dimaksud adalah keadaan subjektivitas individu pengarang
yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya
itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Pendek kata, unsur
biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkannya.
Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi politik, dan
sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan itu merupakan
unsur ekstrinsik pula (Nurgiyantoro, 2012: 24).