• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Bakteri Aeromonas hydrophila

Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan salah satu agen penyebab

terjadinya penyakit MAS (Motile Aeromonad Septicemia) pada ikan lele. Kabata

(1985) menyatakan A. hydrophila merupakan penyebab umum dari penyakit

bacterial haemorrhagic septicemia yaitu penyakit yang merusak jaringan dan organ pembuat sel darah. Berikut ini adalah klasifikasi A. hydrophila menurut Holt etal., (1994): Filum : Protophyta Kelas : Schizomycetes Ordo : Pseudomonadales Famili : Vibrionaceae Genus : Aeromonas

Spesies : Aeromonas hydrophila

A. hydrophila merupakan bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek dengan ukuran 1,0-1,5 x 0,7-0,8 µm, bergerak dengan menggunakan sebuah

polar flagel”, bersifat oksidatif fermentatif, dan dapat tumbuh optimum pada

suhu 20-30°C (Kabata,1985). A. hydrophila mampu tumbuh pada suhu hingga

37°C (Austin dan Austin, 1993).

Menurut Angka (2004 a), A. hydrophila merupakan bakteri di perairan dengan karakteristik fisiologis yang sangat beragam. Keragaman bakteri ini

sebagai patogen disebabkan oleh perbedaan produksi endotoksin dan eksotoksin (ECP) yang tidak sama untuk setiap galurnya. Shariff et al., (1990) dalam

Lesmanawati (2006) menyatakan bahwa galur yang virulen ketika diinjeksikan ke ikan secara intraperitonial, menyebabkan kematian ikan setelah 48 jam pada LD- 50 sebesar 2 – 5 x 105 cfu/ml. Produk toksin yang dihasilkan akan diekskresikan ke medium sekitarnya (eksotoksin) atau di simpan didalam selnya (endotoksin) sebagai bagian dari sel tersebut (Pelczar and Chan, 1988). Produk ekstraseluler dari A. hydrophila terdiri atas hemolisin α dan β, protease, elastase, lipase,

cytotoksin, enterotoksin, gelatinase, caseinase, lecithinase, dan leucocidin. Hati merupakan salah satu organ target A. hydrophila dan terganggunya hati dapat berpengaruh terhadap proses metabolisme (Cipriano etal.,1984). Menurut Roberts (1993) dalam Angka (2004) A. hydrophila yang bersifat virulen menghasilkan β- hemolisin, elastase dan mempunyai lapisan S di permukaan sel. Hemolisin yang terlarut menyebabkan hemoragi dan merangsang terjadinya tukak kulit di ikan. Endotoksin pada umumnya memegang peran pembantu dalam menimbulkan penyakit (Pelczar and Chan, 1988). Hal ini dikarenakan endotoksin dilepaskan hanya bila sel dari bakteri tersebut hancur.

A. hydrophila merupakan patogen opportunis karena hanya dapat menimbulkan penyakit pada populasi ikan yang lemah atau sebagai infeksi sekunder saat ikan terinfeksi penyakit lain. Menurut Kabata (1985) penyakit

Motile Aeromonas Septicemia (MAS) memperlihatkan gejala-gejala sebagai berikut ini:

1.Busung perut ditandai dengan membengkaknya rongga visceral oleh cairan. 2.Tukak (borok) ditandai dengan adanya luka pada kulit dan otot.

3.Haemorrhagic septicemia yang disebut juga infectious abdominal dropsi atau

red mouth disease atau red pest dengan tanda-tanda kulit kering, kasar, dan

melepuh. Serangan bakteri A. hydrophila menurut Amlacher (1961) dalam

Sniezko dan Axelrod (1971) dapat terjadi dalam 4 tingkatan sebagai berikut ini: 1. Akut merupakan septicemia yang fatal, infeksi cepat dengan sedikit tanda-tanda penyakit yang terlihat, ditandai dengan pembengkakan organ dalam.

2. Sub akut dapat terlihat dengan gejala seperti dropsi, lepuh, abses dan pendarahan pada sisik.

3. Kronis dapat terlihat dengan gejala seperti tukak, bisul-bisul, dan abses yang perkembangannya berlangsung lama.

4. Laten dapat terjadi dengan tidak memperlihatkan adanya gejala-gejala penyakit, namun pada organ dalam terdapat bakteri penyebab penyakit.

2.3. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia)

Paci-paci dalam Brown (2007) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Dunia : Plantae

Filum : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Lamiales

Famili : Lamiaceae (alt. Labiatae)

Sub Famili : Lamioideae

Genus : Leucas

Spesies : Leucas lavandulaefolia

Gambar 2. Paci-paci (Leucas lavandulaefolia)

Menurut Anonimus (2005) paci-paci dapat tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian kurang dari 1500 m di atas permukaan laut. Batang berkayu, tinggi 20-60 cm, berbuku-buku, bercabang, berambut halus, berwarna hijau, daun tunggal letak berhadapan dan bertangkai. Helaian daun berbentuk lanset, ujung dan pangkalnya runcing, tepi bergerigi, panjang 1.5-10 cm, lebar 2-10 mm, berwarna hijau tua pada bagian atas dan berwarna hijau muda pada bagian bawah. Memiliki bunga kecil-kecil berwarna putih, daunnya berbentuk seperti lidah, tumbuh tersusun dalam karangan semu yang padat. Biji bulat kecil berwarna hitam, perbanyakan dengan biji. Distribusi tanaman paci-paci ini dari India

sampai China, dekat Malaysia sampai Indonesia dan tumbuh secara liar (Soerjani

etal., 1987 dalam Sopiana, 2005).

Paci-paci biasa digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati luka yang sakit dan meradang, caranya adalah daun paci-paci ditumbuk sampai halus dan diberikan sebagai tapal diatas luka atau pada daerah yang radang. Selain itu, paci-paci juga dapat digunakan sebagai immunostimulan yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menambah vitalitas sebagai obat rematik (antirheumatic). Akar serta daunnya yang pahit dan berbau tajam dapat digunakan untuk mengobati jerawat, penyakit kulit seperti kudis dan sebagai insektisida pembasmi serangga (Anonimus, 2006). Air dari seduhan akar paci-paci dapat digunakan untuk merendam kaki yang luka dan kulit kaki yang mengeras. Seduhan paci-paci dapat digunakan sebagai obat luar dan dalam untuk

menyembuhkan penyakit kulit yang meradang berisi cendawan Saccharomyces.

Kandungan kimiawi dalam daun dan akar tanaman paci-paci diantaranya adalah minyak atsiri, flavonoid, tannin, saponin (Anonimus, 2005), alkaloid (Anonimus, 2006), methanol (Mukherjee et al., 1997 dalam Abdullah, 2008).

Minyak atsiri adalah cairan lembut, bersifat aromatik, dan mudah menguap pada suhu kamar. Minyak atsiri dapat diperoleh dari ekstrak bunga, biji, daun, kulit batang, kayu dan akar pada tumbuhan tertentu. Minyak atsiri yang disemprotkan ke udara membantu menghilangkan bakteri, jamur, menghilangkan bau pengap dan bau tidak mengenakkan (Anonimus, 2003). Minyak atsiri memiliki daya antibakteri disebabkan adanya senyawa fenol dan turunannya yang mampu mendenaturasi protein sel bakteri (Hasim, 2003). Fenol dapat merusak membran sel bakteri dan menyebabkan lisis (terlarutnya) sel bakteri (Nogrady, 1992). Sifat toksik fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi protein bakteri terganggu dan terbuka, sehingga menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan struktur kerangka kovalen, sehingga protein terdenaturasi. Deret asam amino protein tetap utuh setelah denaturasi namun aktivitas biologinya rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya (Hasim, 2003). Substansi fenolik dari minyak atsiri telah diketahui dapat menstimulasi makrofag yang memilliki efek negatif tidak langsung terhadap infeksi bakteri dan mencegah infeksi virus. Senyawa fenol memiliki efek inhibitor terhadap bakteri Gram positif dan

ditemukan memiliki aktivitas antifungi (Pelczar, 1986). Hasil dari uji in vitro

menurut Hasim (2003) menunjukkan aktivitas minyak atsiri sebagai antibakteri ditandai dengan zona hambatan yang tidak lagi ditumbuhi bakteri. Daya antibakteri minyak atsiri lebih efektif karena memiliki zona hambat lebih besar dan bersifat bakterisidal.

Flavonoid berasal dari kata flavon yang merupakan nama dari salah satu jenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan sering ditemukan pada tanaman. Ada sekitar kurang lebih 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis tumbuh-tumbuhan (sekitar 1x109 ton/tahun) diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom C sebagai inti dan membentuk dua cincin aromatik (C6) yang terikat pada rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6. Flavon, flavonoid dan falavonol disintesis tanaman dalam responnya terhadap infeksi mikroba sehingga secara in vitro efektif terhadap mikroorganisme (Naim, 2004 dalam

Abdullah 2008). Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Anonimus, 2007), bersifat antibakteri dan antioksidan (Angka, 2004b), mampu meningkatkan kerja sistem imun karena leukosit sebagai pemakan benda asing lebih cepat dihasilkan dan system limfa lebih cepat

diaktifkan (Angka, 2004b). Menurut Robinson (1991) dalam Rahman (2003)

flavonoid merupakan metabolit sekunder tanaman yang juga berfungsi sebagai kontrol hormon pada pertumbuhan (hormon tiroid dan somatotropin). Zairin (2003) menyatakan bahwa hormon tiroid berperan pada proses pertumbuhan, meningkatkan pengaruh hormon anabolik terutama memfasilitasi pelepasan somatotropin dari sel-sel hipofisis, meningkatkan food intake (respon makan) ikan dan memberi aksi imunomodulatori. Hormon pertumbuhan (somatotropin) berperan dalam merangsang pertumbuhan dan metabolisme pada ikan, meningkatkan respon makan dan mencegah kerusakan hati, meningkatkan aktivitas makrofag dan aktivitas hemolitik pada serum ikan.

Tannin adalah senyawa fenol yang larut dalam air dan mampu mengendapkan protein (Utami, 2007), memiliki bobot molekul besar dan

2003). Senyawa tannin memiliki kadar tinggi pada suatu tanaman lebih bersifat sebagai zat pertahanan dari serangan hama. Menurut Pelczar (1986) seluruh tannin nabati adalah jenis senyawa fenolik yang memiliki daya antiseptik. Naim (2004)

dalam Abdullah (2008) menyatakan bahwa mekanisme antimikroba tannin mungkin berhubungan dengan kemampuan menginaktivasi adhesin mikroba,

enzim, protein transport cell envelope dan mampu membentuk kompleks dengan

polisakarida.

Saponin merupakan salah satu senyawa yang dihasilkan tumbuhan berfungsi sebagai antibakteri dan antivirus, mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mampu mengurangi kadar gula darah

dan mengurangi penggumpalan darah (Anonimus, 2007 dalam Abdullah, 2008).

Selain itu saponin sering dimanfaatkan untuk desinfeksi media budidaya sehingga peranannya sebagai antimikroba sudah teruji.

Dokumen terkait