• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Hematologi Ikan

Darah merupakan cairan yang dialirkan melalui sel vasikular, membawa bahan-bahan penting untuk kehidupan seluruh sel dalam tubuh dan menampung

buangan hasil metabolisme untuk diangkut ke organ ekskresi (Jain dalam Azhari,

2001). Darah ikan secara umum berfungsi untuk mengedarkan nutrien yang berasal dari pencernaan makanan ke sel-sel tubuh, membawa oksigen ke sel-sel tubuh (jaringan) dan membawa hormon dan enzim ke organ tubuh yang

memerlukannya (Lagler et al., 1977). Menurut Fujaya (2004) fungsi darah adalah

sebagai pembawa oksigen (O2), karbondioksida (CO2), sari-sari makanan serta hasil metabolisme.

Pada ikan, darah yang mengalir dengan membawa O2 dari insang ke jaringan, CO2 ke kulit dan insang dan produk pencernaan dari hati ke jaringan serta ion Na+ dan Cl- yang berperan dalam system osmoregulasi. Darah juga membawa hormon dan vitamin terutama dalam plasma, sedangkan bahan-bahan asing atau yang tidak diperlukan oleh tubuh diangkut ke ginjal dan dikeluarkan

melalui urin. Menurut Randall (1970) dalam Afandi dan Tang (2002), darah ikan

tersusun atas plasma dan sel-sel darah yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Sel darah terdiri atas sel-

sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda terdiri dari eritrosit dan leukosit (limfosit, monosit, netrofil,dan trombosit) sedangkan komponen dari plasma yaitu fibrinogen, ion-ion anorganik dan organik (Fujaya, 2004). Plasma merupakan cairan koloid jernih yang mengandung mineral terlarut, hasil-hasil metabolisme seluler dan jaringan, enzim, gas terlarut, protein dan

antibodi (Dallman dan Brown, 1989 dalam Marthen, 2005). Plasma darah

mengandung ion anorganik seperti Na+, Cl-, Mg2+, Ca2+, dan senyawa organik seperti hormon, vitamin, enzim, protein plasma (albumin, globulin, transferin dan fibrinogen), lemak dan nutrien.

Keterangan gambar : E = eritrosit T = Trombosit L = Limfosit

Keterangan gambar : M = monosit N = Netrofil

Gambar 3. Susunan darah ikan (Chinabut and Limsuwan, 1991)

Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sel darah merah adalah spesies, perbedaan induk (genetik), kondisi nutrisi, aktivitas fisik, dan umur (Dellman dan Brown, 1989). Menurut Affandi dan Tang (2002) bahwa volume darah dalam tubuh ikan teleostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Parameter darah menjadi salah satu indikator adanya perubahan kondisi pada kesehatan ikan, baik karena faktor infeksi akibat mikroorganisme atau karena faktor non-infeksi lingkungan, nutrisi dan genetik. Darah dapat mengalami perubahan-perubahan yang sangat serius khususnya bila terkena infeksi oleh bakteri (Amlacher, 1970). Selain itu, kelebihan dan kekurangan makanan juga dapat mempengaruhi komposisi darah (perubahan terjadi pada level protein total, hemoglobin, dan total eritrosit).

Eritrosit (sel darah merah) pada ikan merupakan sel darah yang terbanyak

jumlahnya. Chinabut et al. (1991) menyatakan bahwa eritrosit ikan lele

mempunyai inti dengan sel lonjong, berwarna merah kekuningan dan berukuran

12 – 13 µm dengan diameter 4 – 5 µm. Pada ikan yang normal, jumlah sel darah

merah berkisar antara 1,05 – 3,00 x 106 sel/mm3 (Roberts, 1978). Jumlah sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan lele adalah 3.18 x 106 sel/mm3 (Chinabut, 1991). Rendahnya jumlah sel darah merah (eritrosit) menandakan ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer and Yasutake, 1977; Nabib and Pasaribu, 1989).

Hemoglobin adalah protein dalam eritrosit yang tersusun atas protein globin tidak berwarna dan pigmen heme yang dihasilkan dalam eritrosit dan kemampuan darah untuk mengangkut oksigen bergantung pada kadar Hb dalam darah (Lagler et al., 1977). Didalam kapiler-kapiler insang, hemoglobin (Hb)

bergabung dengan oksigen (O2) membentuk oksihemoglobin (HbO). Ketika

hemoglobin bergabung dengan oksigen, maka 1 gram Hb dapat membawa 1,36 ml O2 (Hartini, 1982). Angka (1985) menyatakan bahwa kadar Hb ikan lele normal adalah 10,3 – 13,5 g/100 ml, dan ikan yang sehat memiliki hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang sakit, namun hal sebaliknya terjadi pada sel darah putih. Lain halnya pada ikan lele yang terserang penyakit mempunyai kadar hemoglobin 10,9-13 g/100 ml. Hemoglobin dalam darah ikan teleostei berkisar antara 37 – 70 % (Lagler et al., 1977). Nilai 100 % Hb setara dengan 14 gram dalam 100 ml darah (14 G%). Kadar hemoglobin merupakan indikator anemia (Blaxhall, 1971). Meningkatnya kadar hemoglobin menunjukkan bahwa ikan berada dalam keadaan stress (Anderson and Siwicki, 1993).

Leukosit atau sel darah putih dibagi atas dua bagian yakni agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari limfosit, trombosit, dan monosit. Sedangkan granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil, dan basofil (Chinabut et al., 1991). Menurut Angka (1985) ikan yang sehat memiliki sel darah putih yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan yang sakit. Jumlah sel darah putih pada ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 darah (Rastogi, 1977 dalam Marthen, 2005). Sel darah putih memiliki bentuk mulai dari lonjong sampai bulat (Lagler et al., 1977). Menurut Chinabut (1991) total leukosit pada ikan Channel catfish

melalui dinding kapiler untuk memasuki jaringan yang terkena infeksi (Roberts dan Richards, 1978). Sel-sel leukosit yang dapat meninggalkan pembuluh darah antara lain neutrofil (leukosit berinti polimorf), monosit (makrofag mononuklear), limfosit dan trombosit.

Netrofil yakni sel darah putih yang dapat meninggalkan pembuluh darah, mengandung vakuola yang berisi lisozim untuk menghancurkan organsime yang dimakannya (Chinabut et. al., 1991). Jumlah netrofil pada ikan normal adalah sekitar 6 – 8 % dari total leukosit dalam darah ikan, dimana netrofil ini berfungsi untuk melawan penyakit bersama-sama dengan eosinofil yang disebabkan oleh organisme mikroseluler seperti bakteri dan virus. Sifat melawan penyakit ini disebut sifat fagositik yaitu memakan dan menghancurkan sel penyebab penyakit (Lagler et al., 1977). Menurut Anderson (1974) limfa merupakan organ utama dalam pembentukan, penyimpanan, dan pendewasaan eritrosit, netrofil dan granulosit.

Monosit pada ikan berbentuk oval atau bundar, berdiameter 8-15 µm, dengan nukleus oval berdekatan tepi sel dan mengisi sebagian isi sel dan terkadang inti juga terletak ditengah (Hoffman, 1977). Monosit ikan berasal dari jaringan hematopoietik ginjal dan dari populasi leukosit. Menurut Affandi dan Tang (2002) monosit selain dihasilkan dari organ ginjal anterior juga dihasilkan oleh timus dan limfa. Monosit mampu menembus dinding pembuluh darah kapiler lalu masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag. Monosit mempunyai masa beredar yang singkat dalam darah sebelum mengalir melalui membran-membran kapiler kedalam jaringan. Monosit mampu bermigrasi kedalam jaringan dan menjadi ekstravasikuler. Sel monosit berperan dalam fagositosis dengan membunuh atau melisis sel bakteri. Pada proses tersebut terdapat fase kemotaksis, fase penempelan, fase penempelan, penangkapan, pemakanan dan pembunuhan bakteri (Amrullah, 2004).

Limfosit merupakan sel darah putih berbentuk bola berukuran 7-10 µm. Sel limfosit mampu menerobos jaringan organ tubuh lunak dan mempunyai peranan dalam pembentukan antibodi (Dellman dan Brown, 1989). Limfosit pada ikan normal berjumlah 71,12-82,88 % dari total leukosit dalam darah ikan

(Blaxhall dan Daisley, 1973 dalam Marthen, 2005). Jika limfosit mengalami penurunan, neutrofil dan monosit naik berarti ikan cenderung terkena infeksi.

Trombosit atau keping-keping darah salah satu yang berperan penting dalam proses pembekuan darah. Ciri khusus trombosit adalah lingkaran sitoplasma tipis di sekeliling inti yang berwarna biru cerah dengan pewarnaan wright dan giemsa. Ukuran rata-rata trombosit adalah 4x7 µm hingga 5x13 µm

(Chinabut et al., 1991). Roberts (1978) menyatakan bahwa trombosit

mengeluarkan tromboplastin yakni enzim yang membuat polimeri dan fibrinogen yang berperan penting dalam pembekuan darah. Jika trombosit ikan naik berarti ada indikator ikan dalam keadaan penyembuhan luka.

Hematokrit merupakan perbandingan antara sel darah merah dan plasma darah dan berpengaruh terhadap pengaturan sel darah merah. Peningkatan kadar hematokrit ini dipengaruhi oleh dua faktor yaitu perubahan parameter lingkungan terutama suhu perairan dan keadaan fisiologi ikan terkait dengan energi yang dibutuhkan (Jawad et al., 2004 dalam Marthen, 2005). Menurut Angka et al.,

(1990) hematokrit ikan bervariasi tergantung pada faktor nutrisi dan umur ikan. Anak ikan dengan nutrisi yang baik mempunyai kadar hematokrit lebih tinggi daripada ikan dewasa atau anak ikan dengan nutrisi rendah. Snieszko et al. (1960)

dalam Marthen (2005) menyatakan bahwa nilai hematokrit darah ikan berkisar antara 5-60 %. Menurut Bond (1979) kisaran kadar hematokrit darah ikan adalah sebesar 20-30%. Namun Angka et al., (1985) menyatakan bahwa kisaran nilai hematokrit ikan lele (Clarias batrachus) pada kondisi normal sebesar 30.8-45.5% sedangkan ikan lele yang terkena ulcer mempunyai nilai hematokrit sebesar 34.4- 48.2%. Nabib dan Pasaribu (1989) menyatakan bahwa nilai hematokrit dibawah 30% menunjukkan defisiensi eritrosit. Sedangkan dalam Gallaugher et al., (1995) menyatakan bahwa nilai hematokrit yang lebih kecil dari 22% menunjukkan ikan mengalami anemia. Menurunnya kadar hematokrit dapat dijadikan petunjuk untuk mengetahui apakah pakan memiliki kandungan protein yang rendah, defisiensi vitamin, atau ikan terkena infeksi sehingga nafsu makan menurun. Sedangkan meningkatnya kadar hematokrit dalam darah menunjukkan bahwa ikan dalam keadaan stress (Wedemeyer dan Yasutake, 1977). Kadar hematokrit dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh dari pemakaian immunostimulan sehingga

dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengetahui kondisi ikan pasca pemberian immunostimulan.

Sistem pertahanan tubuh terbagi atas pertahanan non spesifik dan pertananan spesifik (Amanullah, 2000; Azhar, 2007). Pertahanan non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme. Oleh karena itu dapat memberikan respon langsung terhadap antigen. Menurut Anderson (1974) antigen adalah suatu partikel atau benda asing yang merangsang tubuh untuk membentuk antibodi yang spesifik. Pertahanan non spesifik meliputi pertahanan fisik dan kimiawi seperti epitel dan substansi pada permukaan tubuh. Mekanisme pertahanan non spesifik pada permukaan tubuh adalah mukus, kulit, insang dan sel gastrointestinal (Nurcahyo, 2001). Sistem pertahanan spesifik disebut juga sistem pertahanan ketiga dimana yang berperan adalah antibodi (Kamiso, 2001). Menurut Nurcahyo (2001), mekanisme pertahanan spesifik berfungsi untuk menetralisasi infeksi virus, aktivasi komplemen dan opzonisasi partikel.

Ikan mempunyai sistem kekebalan untuk mengantisipasi infeksi mikroorganisme. Pada ikan terdapat populasi sel B dan sel T yang sangat berperan dalam respon imunitas baik seluler maupun humoral (Alifuddin, 2002). Respon seluler merupakan respon yang bersifat non spesifik dilakukan oleh cell mediated immunity, sedangkan respon humoral ikan bersifat spesifik dilakukan oleh substansi yang dikenal sebagai antibodi atau imunoglobulin (Anderson, 1974; Ellis, 1988). Bastiawan (1995) menyatakan bahwa salah satu bahan utama material protektif induk yang diberikan pada keturunannya adalah antibodi. Antibodi adalah suatu molekul immunoglobulin yang spesifik yang diproduksi oleh sistem kekebalan organisme karena pengaruh antigen (Anderson, 1974). Yahya (2000) mengungkapkan bahwa antibodi memiliki 3 fungsi, yaitu menetralisasikan toksin agar tidak lagi bersifat toksik, mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen dan fungsi terakhir adalah membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya. Antibodi akan terbentuk jika sel limfosit (sel B) telah berfungsi dengan baik. Fagositosis adalah salah satu elemen paling penting dalam sistem kekebalan. Proses ini memberi perlindungan segera

dan efektif terhadap infeksi. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas tiga tahapan penting, yaitu :

1. Pengenalan musuh yang dihadapi. Dalam hal ini musuh yang dihadapi adalah antigen (mikroorganisme), bisa berupa bakteri ataupun virus.

2. Penghancuran antigen oleh sistem pertahanan.

3. Kembali ke keadaan normal.

Dokumen terkait