• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bakterial vaginosis a) Definisi

D. Vaginitis a. Definisi

1. Bakterial vaginosis a) Definisi

Vaginitis adalah suatu kondisi peradangan pada mukosa vagina yang dapat disebabkan oleh mekanisme infeksi maupun noninfeksi. Vaginitis ditandai dengan pengeluaran cairan abnormal yang sering disertai rasa ketidaknyamanan pada vulvovagina (Syed dan Braverman, 2004).

b. Epidemiologi

Vaginitis merupakan masalah ginekologis yang paling sering terjadi pada 90% wanita remaja di dunia, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial (50%), kandidiasis vulvovaginal (75%), trikomoniasis (25%) (KESPRO INFO, 2009). Penelitian-penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian vaginitis di beberapa negara, diantaranya Thailand 33 %, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %, Indonesia 17 %, Jepang 14 %, Swedia 14 %, dan Helsinki 12 %.

Vaginosis bakterial menyerang lebih dari 30% populasi. Dari penelitian pada wanita berusia 14-49 tahun, 29% diantaranya didiagnosis mengalami vaginosis bakterial. Wanita dengan riwayat aktivitas seksual beresiko lebih besar mengalami penyakit ini. Douching diketahui juga dapat meningkatkan resiko vaginosis bakterial. Prevalensi meningkat pada wanita perokok, karena diketahui bahwa kandungan rokok dapat menghambat produksi hidrogen peroksida oleh Lactobacillus.

c. Faktor resiko 1. Ras

2. Promiskuitas 3. Stabilitas marital

4. Penggunaan kontrasepsi IUD 5. Riwayat kehamilan

d. Etiologi

1. Bakterial vaginosis a) Definisi

Bakterial vaginosis merupakan suatu keadaan dimana terjadi perubahan eksosistem vagina yang ditandai oleh peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob dan penurunan jumlah Lactobacillus spp (Sessa et al., 2013). Penyakit ini ditandai dengan perubahan secara kompleks baik jumlah dan fungsi dari flora normal pada vagina(Lamont et al., 2011).

Bakterial vaginosis dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme diantaranya adalah Gardnerella vaginalis, Prevotella spp, Mobiluncus spp, Corynebacterium spp, Viridans streptococci, Enterococcus faecalis, Atopobium vaginalis dan Mycoplasma hominis. Dari semua jenis mikrobakteri tersebut, Gardnerella vaginalis menjadi penyebab tersering dari bakterial vaginosis.

b) Epidemiologi

Bakterial vaginosis merupakan penyebab tersering dari vaginitis. Frekuensi tergantung pada tingkatan sosial ekonomi dan aktivitas seksual. Penelitian sebelumnya telah melaporkan angka kejadian BV di beberapa negara, diantaranya Thailand 33%, Afrika-Amerika 22,7 %, London 21 %, Indonesia 17 %, Jepang 14%, Swedia 14%, dan Helsinki 12%.

c) Faktor resiko

Pada umumnya BV ditemukan pada wanita usia reproduktif dengan aktifitas seksual yang tinggi dan promiskuitas. Penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim,usia menopause,vaginal douching, sosial ekonomi rendah, dan wanita hamil juga merupakan faktor resiko terjadinya.

Tabel 5. Faktor resiko bakterial vaginosis

d) Etilogi

Mikroorganisme yang dapat menyebabkan terjadinya bakterial vaginosis adalah:

1) Gardnerella vaginalis

Bakteri yang tidak memilki kapsul, tidak bergerak, dan berbentuk batang gram negatif. Kuman bersifat anaerob fakultatif, memproduksi asam asetat dari hasil fermentasi.

2) Mobilincus spp dan Bacteriodes spp

Merupakan bakteri anaerob berbentuk batang lengkung. Perannya dalam menimbulkan bakterial vaginosis lebih jarang dibandingkan dengan Gardnerella vaginalis.

3) Mycoplasma hominis e) Penegakan diagnosis

1) Anamnesis

a) Dapat asimptomatis

b) Rasa tidak nyaman sekitar vulvavagina (rasa terbakar, gatal), biasanya lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas vaginalis dan Candida albicans.

c) Dispareunia

d) Keputihan berbau amis “fishy odor” yang semakin parah setelah berhubungan seksual dan menstruasi (vagina dalam keadaan basa). Cairan vagina yang basa menimbulkan terlepasnya amin dari

perlekatannya pada protein dan amin yang menguap tersebut menimbulkan bau amis.

e) Tidak ditemukan inflamasi pada vulva dan vagina.

f) RP.Sos: Perlu ditanyakan kebiasaan douching, aktivitas seksual. 2) Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan genitalia eksterna: tidak didapatkan tanda iritasi pada vulva.

Pada pemeriksaan inspekulo : didapatkan sekret vagina berwarna putih-abu abu, tipis, viskositas rendah. Setelah secret dibersihkan, tampak dinding vagina yang hiperemis.

Gambar 4.10. Sekret

vagina pada bakterial vaginosis

3) Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan preparat basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutup dengan coverglass. Diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 400x untuk melihat Clue cells yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri sehingga tepinya tidak terlihat jelas. Pemeriksaan ini memilki sensivitas 60% dan spesifitas 98%.

b) Whiff test

Dinyatakan positif jika bau amis timbul setelah penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau amis muncul sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil dari bakteri anaerob.

c) Tes lakmus

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Ditemukan kadar pH > 4,5.

d) Pewarnaan gram

Ditemukan penurunan jumlah Lactobacillus dan peningkatan jumlah bakteri anaerob.

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial vaginosis karena bakteri ini ditemukan hampir 50% pada perempuan normal.

f) Tes proline aminopeptidase yang dihasilkan oleh bakteri anaerob, karena Lactobacillus tidak menghasilkan zat tersebut.

Terdapat beberapa kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis bakterial vaginosis, diantaranya adalah:

a) Kriteria Amsel

Kriteria ini memiliki tingkat spresifitas yang lebih tinggi daripada pewarnaan gram. Kriteria ini paling sering digunakan untuk mendiagnosis vaginitis bakterial. Diagnosis dapat ditegakkan jika didapatkan minimal tiga dari empat kriteria.

1) Secret vagina yang homogen, putih, dan tipis melekat pada vagina 2) pH vagina > 4,5. Peningkatan pH dapat menyebabkan terlepasnya

amin (trimetilamin).

3) Secret vagina yang berbau amis setelah penambahan KOH 10 % (tes whiff). Tes trimetilamin atau tes whiff positif jika didapatkan bau amis setelah menambahkan satu tetes 10-20% KOH (potasium hidroxide) pada sekret vagina.

4) Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis menggunakan preparat salin basah. Pada pemeriksaan sampel pasien vaginitis bakterial didapatkan adanya peningkatan jumlah kuman Gardnerella. Sel squamosa normal memiliki ciri selnya runcing diujungnya, jernih, tepi yang lurus, sedangkan sel Clue memiliki ciri granular, tidak jernih, dan pinggir yang kasar. Sel Clue adalah sel epitel vagina yang batas tepinya sudah tidak terlihat jelas karena terdapat banyak bakteri yang menempel pada permukaan sel tersebut. Ditemukannya sel Clue pada pemeriksaan mikroskopis memiliki sensivitas 98% dan spesifitas 94,3%.

Gambar 4.11. Sel Clue pada larutan salin dengan perbesaran 400x. Batas yang kasar, warna yang suram, dan tepi yang ireguler adalah sel Clue (sel ketiga dan keempat dari kiri)

Gambar 4.12 Pemeriksaan mikroskopis dengan larutan saline. A. Single clue cell B. Sel-sel squamosa yang dikelilingi oleh bakteri. Batas sel tidak jelas.

b) Skor dari pewarnaan Gram (kriteria Nugent) :

Pemeriksaan ini memiliki sensivitas yang lebih tinggi dari kriteria Amsel. Sekret vagina dibuat apusan kemudian difiksasi menggunakan penangas atau dengan metanol. Gram positif atau negatif dapat dibedakan berdasarkan kandungan lipopolisakarida di dinding sel.

Gambar 4.11. Pewarnaan gram c) normal d) vaginitis bakterial dengan

perbesaran 1000x

Kriteria yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah morfologi dan perubahan warna. Lactobacillus ditandai dengan batang gram positif berukuran besar, G vaginalis atau Bacteroides sp ditandai dengan batang gram positif berukuran kecil, sedangkan Mobiluncus spp ditandai dengan batang gram positif dengan bentuk yang melengkung.

f) Patofisiologi

Bakterial vaginosis disebabkan oleh faktor-faktor yang mengubah lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa sehingga terjadi pertumbuhan dari bakteri anaerob secara berlebihan. Faktor-faktor yang dapat mengubah pH vagina diantaranya adalah mukus serviks, semen, darah menstruasi, douching, pemakaian antibiotik, dan perubahan hormonal saat kehamilan dan menopause. Metabolisme bakteri anaerob yang meningkat menyebabkan lingkungan asam di vagina berubah menjadi basa dan dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen yang oportunistik.

Pada bakterial vaginosis terjadi simbiosis antara Gardnerella vaginalis sebagai pembentuk asam amino dan kuman anaerob yang mengubah asam amino menjadi amin, sehingga pH vagina meningkat (basa) optimal untuk pertumbuhan bakteri anaerob. beberapa amin diketahui menyebabkan iritasi kulit, mempercepat pelepasan sel epitel, dan menimbulkan bau busuk pada sekret vagina.

Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina, menimbulkan deskuamasi sel epitel sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasif dan respon inflamasi lokal yang terbatas, hal ini dapat dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina atau dengan pemeriksaan histopatologis.

Bakterial vaginosis yang berulang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini:

1) Infeksi berulang dari pasangan yang menderita bakterial vaginosis. Seorang wanita yang terinfeksi G. vaginalis akan menyebarkan bakteri tersebut pada suaminya, namun tidak menimbulkan uretritis (asimptomatis). Saat berhubungan seksual, wanita yang sudah menjalani pengobatan akan terinfeksi kembali jika tidak menggunakan pelindung.

2) Kekambuhan dapat desebabkan oleh mikroorganisme yang hanya dihambat pertumbuhannya namun tidak dibunuh.

3) Kegagalan pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora normal.

4) Menetapnya mikroorganisme lain yang bersifat patogen.

Gambar 4.12. Patofisiologi Bakterial Vaginosis g) Penatalaksanaan

1) Terapi sistemik a) Metronidazol

Wanita normal : 2x500 mg selama 7 hari Wanita hamil : 3x200-250 mg selama 7 hari b) Clindamycin

Wanita normal : 2x300 mg selama 7 hari 2) Terapi topikal

a) Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 2 kali sehari selama 5 hari b) Clindamycin krim (2%) 5 gram intravagina, malam hari selama 7 hari 2. Candidiasis

a. Definisi

Kandidiasis (atau kandidosis, monoliasis, trush) merupakan berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans dan anggota

genus kandida lainnya.Kandidiasis vulvovaginalis atau kandidosis vulvovaginalis/ kandida vulvovaginitis adalah infeksi vagina dan atau vulva oleh genus candida.

b. Epidemiologi

Diperkirakan lebih dari 75% wanita di sini akan mengalami sedikitnya satu kali episode vaginitis yang disebabkan oleh kandida, 40-45% mengalami dua atau lebih episode candidiasis vulvovaginal bahkan sebagian kecil dari wanita yang mengalami infeksi candidiasis vulvovaginalini (< 5%) akan mengalami rekurensi yang akhirnya dapat mengurangi kualitas hidupnya (Szumigala et al., 2009). Sebuah penelitian internasional oleh Foxman (2013) menunjukkan tingkat insidensi candidiasis yang tinggi di 5 negara Eropa dan Amerika Serikat yaitu sebesar 29-49%.

Banyak studi mengindikasikan candidiasis vulvovaginal merupakan diagnosis paling banyak diantara wanita muda, mempengaruhi sebanyak 15-30% wanita yang bersifat simptomatik yang mengunjungi dokter. Pada Amerika serikat, candidiasis vulvovaginal merupakan penyebab infeksi vagina tersering kedua setelah vaginosis bakteri (Sobel, 2008).

c. Faktor Resiko 1) Faktor endogen

a) Kehamilan b) Kegemukan

c) Iatrogenik, missal kateter saluran kemih d) Endokrinopati: diabetes mellitus

e) Penyakit kronik: tuberculosis, lupus eritomatosus f) Usia

g) Imunodefisiensi 2) Faktor eksogen

a) Pemberian antimikroba yang intensif b) Kontrasepsi oral

c) Terapi kortikosteroid

d) Iklim panas dan kelembaban e) Higienitas buruk

d. Etiologi

Sebagian besar penyebab candidiasis vulvovaginal adalah candida albicans. Antara 85-90% ragi yang berhasil diisolasi dari vagina adalah spesies C.albicans sedangkan penyebab yang lainnya dari jenis candida glabrata (torulopsis glabrata). Spesies selain C. albicans yang menyebabkan

candidiasis vulvovaginal sering lebih resisten terhadap terapi konvensional (Hay dan Moore, 2005).

Candidasp adalah jamur sel tunggal, berbentuk bulat sampai oval. Jumlahnya sekitar 80 spesies dan 17 diantaranya ditemukan pada manusia. Dari semua spesies yang ditemukan pada manusia, C.albicans lah yang paling pathogen. Candidasp memperbanyak diri dengan membentuk blastospora (budding cell). Blastospora akan saling bersambung dan bertambah panjang sehingga membentuk pseudohifa. Bentuk pseudohifa lebih virulen dan invasif daripada spora. Hal itu dikarenakan pseudohifa berukuran lebih besar sehingga lebih sulit difagositosis oleh makrofag. Selain itu, pseudohifa mempunyai titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamennya sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar.

Faktor virulensi lain pada Candida adalah dinding sel. Dinding sel Candida sp mengandung turunan mannoprotein yang bersifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu, dan proteinase aspartil yang menyebabkan Candidasp dapat melakukan penetrasi ke lapisan mukosa.

Dalam menghadapi invasi dari Candida, tubuh mengerahkan sel fagosit untuk mengeliminasinya. Interferon (IFN)-gamma akan memblok proses transformasi dari bentuk spora menjadi hifa. Maka bisa disimpulkan, pada seorang wanita dengan defek imunitas humoral, Candida lebih mudah membentuk diri menjadi hifa yang lebih virulen dan mudah menimbulkan vaginitis.

.Kandida adalah organisme yang dimorfik yaitu bisa ditemukan dalam 2 fase fenotipe yang berbeda di dalam tubuh manusia. Pada umumnya blastospora (blastokonidia) adalah bentuk fenotipe yang bertanggung jawab terhadap penyebaran atau transimisinya termasuk ketika menyebar mengikuti aliran darah maupun ketika dalam bentuk kolonisasi asimtomatik di vagina. Sebaliknya ragi yang sedang bertunas dan membentuk miselia adalah bentuk invasif terhadap jaringan serta sering teridentifikasi pada kondisi yang simtomatik.

Gambar 4.13. Candida albicans e. Patofisiologi

Candida albicans merupakan organisme normal dari saluran cerna tetapi dapat menimbulkan infeksi oportunistik. Terdapat dua faktor virulensi jamur kandida yaitu dinding sel dan sifat dismorfik kandida. Dinding sel berperan penting dalam virulensi karena merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel pejamu. Dinding sel kandida mengandung 80-90% karbohidrat, yang terdiri dari b-glukan, khitin, mannoprotein, 6-25% protein dan 1-7% lemak. Salah satu komponen dinding sel yaitu mannoprotein mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap imunitas pejamu (Calderone, 2001).

Kandida tidak hanya menempel, namun juga penetrasi ke dalam mukosa. Enzim proteinase aspartil membantu kandida pada tahap awal invasi jaringan untuk menembus lapisan mukokutan yang berkeratin. Faktor virulensi lain berupa sifat dismorfik kandida yaitu kemampuan kandida berubah bentuk menjadi pseudohifa. Bentuk utama kandida adalah bentuk ragi (spora) dan bentuk pseudohifa (hifa, miselium, filamen). Dalam keadaan patogen bentuk hifa mempunyai virulensi lebih tinggi dibandingkan bentuk spora karena ukurannya lebih besar dan lebih sulit difagositosis oleh sel makrofag. Selain itu, terdapat titik-titik blastokonidia multipel pada satu filamen sehingga jumlah elemen infeksius yang ada lebih besar. Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan dan perubahan bentuk dari ragi menjadi hifa yang lebih invasif juga dipengaruhi imunitas seluler. IFN-γ memblok transisi bentuk sel ragi menjadi bentuk pseudohifa (Hay dan Moore, 2004).

Kandida adalah sel jamur yang bersifat parasit dan menginvasi sel pejamu dengan cara imunomodulasi dan adhesi. Imunomodulasi adalah kemampuan potensial sel kandida dalam memodulasi sistem imunologi pejamu berupa rangsangan untuk meningkatkan atau menurunkan reaksi imun pejamu. Zat seperti khitin, glukan, dan mannoprotein adalah kandungan yang terdapat dalam dinding sel yang berperan dalam proses imunomodulasi. Respon

imunomodulasi menyebabkan diproduksinya sejumlah protein yang disebut sebagai heat shock protein (hsp) yang berperan dalam proses perangsangan respon imun dan proses pertumbuhan kandida. Adhesi merupakan langkah awal untuk terjadinya kolonisasi. Dengan adhesi, kandida melekat pada sel pejamu melalui interaksi hidrofobik. Hal ini menurunkan kadar pembersihan jamur dari tubuh melalui regulasi imun normal.

Ketika Candida albicans penetrasi ke permukaan mukosa pejamu terjadi perubahan bentuk jamur dari spora ke pseudohifa sehingga membantu jamur menginvasi jaringan perjamu melalui pelepasan beberapa enzim degradatif seperti berbagai proteinase, proteinase aspartil dan fosfolipase (Hay dan Moore, 2004).

Gambar 4.14. Patogenesis Candidiasis f. Penegakan diagnosis

1) Anamnesis a) Pruritus berat

b) Discharge vagina seperti keju lembut,dapat bervariasi dari berair sampai tebal secara homogeni, berbau.

c) Nyeri pada vaginal, iritasi, rasa terbakar, d) Dispareunia,dan disuria eksternal biasanya ada. 2) Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi: labia eritematosa dapat menyebar hingga perineum

b) Inspekulo: Terdapat plak keputih-putihan pada dinding vagina dengan dasar eritema dan dikelilingi edema yang dapat menyebar ke labia dan perineum.Terdapat erosi pada serviks, vesikel kecil pada permukaannya. Gambar 4.15.Candidiasis vulvovaginal

3) Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan miroskopik langsung

Dengan menggunakan KOH 10-20%, tampak adanya sel ragi yang polimorfik, berbentuk lonjong, atau bulat berukuran 2-6 x 4-9 µm, blastospora (sel ragi yang sedang bertunas), sel budding yang khas, hifa bersekat atau pseudohifa, kadang-kadang ditemukan klamidiospora. b) Pewarnaan Gram

Elemen jamur (budding yeast cell/ blastospora/ blastokonidia/ pseudohifa/ hifa) tampak sebagai Gram positif dan sporanya lebih besar dari bakteri yang dapat diamati dengan pewarnaan Gram

c) Pemeriksaan sediaan basah

Pemeriksaan sediaan basah juga dapat melihat bentuk hifa dan budding yeast dari kandida, dengan cara sediaan cairan vagina diletakkan pada objek glas kemudian ditetesi 1-2 tetes larutan 0,9% isotonik sodium klorida dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. d) Pemeriksaan pH

pH kandidiasis vaginal kurang dari 4,5 dapat dibuktikan dengan menggunakan kertas lakmus

e) Kultur

Kultur memiliki nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%. Medium kultur yang dipakai adalah agar dekstrose Sabouraud dan modifikasi agar Sabouraud. Pada modifikasi agar Sabouraud, komposisinya ditambahkan antibiotik kloramfenikol yang digunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri. Media ini merupakan media selektif untuk mengisolasi kandida. Kandida umumnya mudah tumbuh pada suhu kamar 25-30°C, dan pertumbuhan dapat terjadi 2-5 hari setelah biakan. Koloni tampak berwarna krem atau putih kekuningan, permukaan koloni halus, licin, lama kelamaan berkeriput dan berbau ragi. Biakan dinyatakan negatif bila dalam waktu 4 minggu tidak tumbuh. Untuk melakukan identifikasi spesies perlu dilakukan subkultur untuk mendapatkan koloni yang murni, kemudian koloni baru dapat diidentifikasi.

f) Tes fermentasi

Tes fermentasi dilakukan untuk menentukan spesies kandida, menggunakan tes gula-gula yang mengandung indikator warna glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa , dikatakan positif bila dapat disertai atau tanpa pembentukan gas.

Penatalaksanaan candidiasis vulvovaginal dilakukan berdasarkan klasifikasinya yaitu tanpa komplikasi dan dengan komplikasi . Untuk candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi dipilih pengobatan topikal. Derivat azole dinyatakan lebih efektif daripada nistatin, namun hargannya jauh lebih mahal. Pengobatan dengan golongan azole dapat menghilangkan gejala dan kultur negatif pada 80-90% kasus (Workhowski, 2006).

Tabel 7. Macam obat antijamur yang digunakan untuk terapi candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi (Workhowski, 2006).

Nama Obat Formulasi Dosis

Ketokonazole Itrakonazole Flukonazole Klotrimazole Mikonazole Nistatin Amphoterisin B+ Tetrasiklin 200 mg oral tablet 100 mg oral kapsul 150 mg oral tablet 50 mg oral tablet 1% krim intravagina 2% krim intravagina 100 mg tab vag 500 mg tab vag 2% krim 200 mg tab vag 100000 U tab vag 50 mg tab vag 100 mg cap 2x1 tab, 5 hari 2x1 cap, 2 hari

2x2 cap, 1 hari selang 8 jam Dosis tunggal

1x1 tab, 7 hari 5 g, 7-14 hari 5 g, 3 hari

2x1 tab vag, 3 hari 1 tab vag, 1 hari 5 g, 1-7 hari 1 tab vag, 1-7 hari 1x1 tab, 12-14 hari 1x1 tab, 7-12 hari 1x1 tab, 7-12 hari

Candidiasis vulvovaginaldengan komplikasi seperti infeksi rekuren, candidiasis vulvovaginalberat, candidiasis vulvovaginaldengan penyebab -Candida non-albicans, candidiasis vulvovaginalpada penderita imunokompromis, candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil, dan candidiasis vulvovaginalpada penderita HIV. Untuk infeksi rekuren perlu dilakukan biakan jamur untuk mencari spesies penyebab. Dapat diberikan flukonazole 150 mg selama 3 hari atau topikal golongan azole selama 7-14 hari. Untuk pengobatan dosis pemeliharaan diberikan tablet ketokonazole 100 mg/hari, kapsul flukonazole 100-150 mg/minggu atau itrakonazole 400 mg/bulan atau 100 mg/hari atau topikal tablet vagina klotrimazole 500 mg. Pengobatan dosis pemeliharaan ini diberikan selama 6 bulan. candidiasis vulvovaginalberat ditanda dengan vulva eritem, edema,ekskoriasi dan fisura. Terapi dapat diberikan flukonazole 150 mg dengan 2 dosis selang waktu pemberian 72 jam atau obat topikal golongan azole selama 7-14 hari. Pada candidiasis

vulvovaginaldengan penyebab Candida non-albicans, dengan pemberian obat golongan azole tetap dianjurkan selama 7-14 hari, kecuali flukonazole karena banyak Candida non-albicans yang resisten. Jika terjadi kekambuhan dapat diberikan asam borak 600 mg dalam kapsul gelatin sekali sehari selama 2 minggu. Jika masih terjadi kekambuhan dianjurkan pemberian nistatin tablet vagina 100000 U per hari sebagai pengobatan dosis pemeliharaan. candidiasis vulvovaginalpada penderita imunokompromis diberikan obat antijamur konvensional selama 7-14 hari. candidiasis vulvovaginalpada wanita hamil, dianjurkan pengobatan dengan preparat azole topikal, yakni mikonazole krim 2%, 5 g intravagina selama 7 hari atau 100 mg tabet vagina tiap malam selama 7 hari atau mikonazol 200 mg tablet vagina selama 3 hari. Dan juga klotrimazole krim 1 % sebanyak 5 g tiap malam selama 7-14 hari atau 200 mg tablet vagina tiap malam selama 3 hari atau 500 mg tablet vagina selama 1 hari. Pengobatan candidiasis vulvovaginalsimtomatis pada wanita dengan HIV positif sama dengan pada wanita dengan HIV negatif. candidiasis vulvovaginal tanpa komplikasi dapat diterapi dengan flukonazole 150 mg dosis tunggal jangka pendek, atau topikal azole jangka pendek. Terapi pada candidiasis vulvovaginal komplikata, sebaiknya diberikan obat sistemik oral atau topikal salam jangka lama dan dilanjutkan terapi dosis pemeliharaan dengan flukonazole dosis mingguan untuk kasus candidiasis vulvovaginalatau ketokonazole dosis 100 mg/hari selama 6 bulan. Pengobatan untuk penderita kandidiasis asimtomatik masih kontroversi. Pada wanita dengan HIV negatif tidak dianjurkan pemberian terapi antijamur.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pengobatan candidiasis vulvovaginalyang dianjurkan adalah klotrimazole 200 mg intravagina setiap hari selama 3 hari atau klotrimazole 500 mg intravagina dalam dosis tunggal atau flukoazole 150 mg/oral dalam dosis tunggal atau itrakonazole 200 mg/oral 2 kali sehari dosis tunggal atau nistatin 100000 IU intravagina setiap hari selama 14 hari.

3. Trikomoniasis

Dokumen terkait