• Tidak ada hasil yang ditemukan

Trikomoniasis a. Definisi

D. Vaginitis a. Definisi

3. Trikomoniasis a. Definisi

Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual (PMS) yangdisebabkan parasit uniselluler Trichomonas vaginalis (T.vaginalis). Penyakit ini mempunyai hubungan dengan peningkatan serokonversi virus

HIV pada wanita. T.vaginalisbiasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis bagian bawah, baik pada wanita maupun laki-laki. Parasit ini dapat ditemukan pada vagina, urethra, kantong kemih atau saluran parauretral(Van der Pol, 2007).

b. Epidemiologi

Prevalensi trikomoniasis di seluuh dunia setiap tahunnya berkisar antara 170 juta hingga 180 juta. Menurut WHO, insidemsi trikomoniasis di seluruh dunia mencapai 170 juta setiap tahunnya (WHO, 2001). Penelitian yang dilakukan pada populasi beresiko tinggi di Inggris menunjukan prevalensi trikomoniasis di klinik penyakit menular seksual berisar antara 15%-54% (Sobel, 2005).

Trikomoniasis sering ditemukan pada usia remaja dan dewasa yang aktif secara seksual (Hupert, 2009). Menurut National Longitudinal Study of Adolescent Health Study prevalensi trikomoniasis pada usia 18-24 tahun adalah 2,3%, usia 25 tahun keatas adalah 4% (Danesh, 1995).

Trikomoniasis simptomatik lebih sering terjadi pada wanita diabandingkan pria. Namun, wanita juga dapat menjadi pembawa trikomoniasis asimptomatik. Menurut penelitian NHANES 2001-2004 yang dilakukan pada perempuan usia 14-49 tahun menemukan bahwa 85% wanita yang mengalami trikomoniasis melaporkan tidak memimiliki gejala (Sutton et al., 2007).

Transmisi vertikal saat persalinan mungkin terjadi dan dapat bertahan hingga 1 tahun. Sebanyak 2-17% anak yang dilahirkan dari perempuan yang terinfeksi trikomoniasis mengalami infeksi serupa (Danesh, 1995).

c. Faktor Resiko

Faktor resiko trikomoniasis meliputi:

1) Wanita beresiko lebih tinggi dibandingkan pria 2) Berganti-ganti pasangan

3) Riwayat dan atau sedang mengalami penyakit menular seksual 4) Tidak menggunakan barier kontrasepsi

d. Etiologi

Penyebab trikomoniasis ialah Trichomonas vaginalis yang merupakan satu-satunya spesies Trichomonas yang bersifat patogen pada manusia dan dapat dijumpai pada traktus urogenital (Djajakusumah, 2009). T. vaginalis merupakan flagelata berbentuk filiformis, berukuran 15-18 mikron, mempunyai 4 flagela, dan bergerak seperti gelombang (Djuanda, 2009).

Gambar 4.16. Tropozoit Trichomonas vaginalis

e. Patofisiologi

T. vaginalis mampu menimbulkan peradangan pada dinding saluran urogenital dengan cara invasi sampai mencapai jaringan epitel dan subepitel. T. vaginalis ditemukan pada lumen dan mukosa traktur urinarius, flagellanya menyebabkan tropozoit berpindah ke vagina dan jaringan uretra.T.vaginalis akan lebih lekat pada mukosa epitel vagina atau urethra dan menyebabkan lesi superficial dan sering menginfeksi epital skuamous. Parasit ini akan menyebabkan degenerasi dan deskuamasi epitel vagina. T.vaginalis merusakkan sel epitel dengan kontak langsung dan produksi bahan sitotoksik. Parasit ini juga akan berkombinasi dengan protein plasma hostnya maka ia akan terlepas dari reaksi lytik pathway complemen dan proteinase host (Parija, 2004).

T. vaginalis adalah organisme anaerobik maka energi diproduksi melalui fermentasi gula dalam strukturnya yang dikenal sebagai hydrogenosome. T. vaginalis memperoleh makanan melalui osmosis dan fagositosis. Perkembangbiakannya adalah melalui pembelahan diri (binary fision) dan intinya membelah secara mitosis yang dilakukan dalam 8 hingga 12 jam pada kondisi yang optimum. Trichomanas ini cepat mati pada suhu 50°C dan jika pada 0°C dapat bertahan sampai 5 hari. Masa inkubasi 4 – 28 hari serta pertumbuhannya baik pada pH 4,9 – 7,5. Parasit ini bersifat obligat maka sukar untuk hidup di luar kondisi yang optimalnya dan perlu jaringan vagina, urethra atau prostat untuk berkembangbiak (Parija, 2004).

Trikomoniasis mempunyai beberapa faktor virulensi yaitu:

1) Cairan protein dan protease yang membantu trofozoi adhere pada sel epital traktus genitourinaria

2) Asam laktat dan asetat di mana akan menurunkan pH vagina lebih rendah dan sekresi vagina dengan pH rendah adalah sitotoksik terhadap sel epital

3) Enzim cysteine proteases yang menyebabkan aktivitas haemolitik parasit

Gambar 4.17. Siklus hidup

T. vaginalis

f. Penegakan

Diagnosis 1) Anamnesis

Pada wanita yang simptomatik sering ditemukan gejala sebagai berikut (Adriyani, 2006):

a) Discharge vagina berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk berjumlah banyak

b) Gatal-gatal atau rasa panas pada vagina

c) Rasa sakit dan perdarahan sewaktu berhubungan seksual

d) Jika terjadi urethritis maka gejala yang timbul adalah disuria dan frekuensi berkemih meningkat

e) Sakit perut bagian bawah

2) Pemeriksaan Fisik (Swygard et al., 2004).

Pada pemeriksaan dengan menggunakan speculum ditemukan:

a) Colpitis macularis atau strawberry cervix, yaitu merupakan lesi berupa bintik makula eritematosa yang difus pada serviks. Namun, lesi ini hanya terlihat pada 1-2% kasus tanpa menggunakan kolposkopi. Dengan menggunakan kolposkopi lesi ini terdeteksi sampai dengan 45% kasus.

b) Discharge purulen berwarna kuning kehijauan berbuih, berbau busuk berjumlah banyak. Colpitis macularis dan keputihan yang berbusa bersama-sama memiliki spesifisitas 99% dan secara sendiri-sendiri

memiliki nilai prediksi positif (positive predictive value) 90% dan 62%.

c) Erithema pada vagina, dan serviks. Serviks terkadang rapuh.

Gambar 4.18.Colpitis macularis 3) Pemeriksaan Penunjang

a) pH vagina

Penentuan pH vagina dengan cara menempelkan swab dengan sekresi vagina pada kertas pH. pH vagina normal secara praktis menunjukkan diagnosis trikomoniasis negatif. pH lebih dari 4.5 ditemukan pada trikomoniasis dan vaginosis bacterial.

b) Tes Whiff

Tes ini berguna untuk menyingkirkan kemungkinan vaginosis bakterial. c) Sediaan Basah (Wet mount)

Pemeriksaan dengan sediaan garam basah melalui mikrokoskop terhadap secret vagina yang diusapkan pada objek glass dapat mengidentifikasi protozoa yang berbentuk seperti tetesan air, berflagela, dan bergerak. Pemeriksaan ini juga dapat menemukan clue cells (tanda adanya penyakit vaginosis bacterial). Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 40-60%. Sedangkan spesifisitas dapat mencapai 100% jika sediaan garam basah segera dilihat di bawah mikroskop.

d) Pap smear e) Pemeriksaan lain

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya trikomoniasis yaitu pemeriksaan biakan (kultur) secret vagina, direct immunofluorescence assay, dan Polymerase chain reaction (PCR) g. Penatalaksanaan

Terapi definitif untuk trikomoniasis adalah dengan menggunakan nitroimidazole. Pada penelitian metaanalisis dengan menggunakan nitroimidazole (mayoritas menggunakan metronidazole atau tinidazole) untuk terapi trikomoniasis jangka pendek atau panjang, tingkat kesembuhan secara parasitologis mencapai 90% kasus (Swygard et al., 2004)

Gambar 4.20. Algoritma terapi nitroimidazole untuk trikomoniasis Tabel 7. Perbedaan Vaginitis bacterial, Candidiasis dan Trikomoniasis

Normal Kandidiasis Vaginosis Bakteri Trikomoniasis

pH <4,5 Variase ; normal >4,5 4,5

Keputihan Putih, jelas, jumlah sedikit

Seperti keju Homogen, banyak, putih keabu-abuan

Berbusa, banyak, kuning kehijauan Mikroskopis Sel epitel

dengan batas jelas, lactobasilus Gram (+) Budding pada pewarnaan Gram atau kerokan KOH, sel darah putih banyak, sel epitel dengan batas jelas

Clue cell, Gram negatif pada pewarnaan Gram, jumlah bakteri banyak

Sel darah putih banyak, adanya motile

trikomonad

KOH “Whiff” - - + Variasi

Gejala Tidak ada Rasa gatal pada vagina, iritasi, keputihan Keputihan bau sepertiikan,dispanuria, nyeri abdomenbag.Bawah Keputihan, pruritus pada vulva G. Komplikasi

1. Ketuban pecah dini 2. Korioamniositis

3. Postpartum endometritis 4. Pelvic inflamatory disease 5. Cervical intraepitelial neoplasia G. Prognosis

Prognosis vaginitis oleh bakterial vaginosis berprognosis baik dengan angka kesembuhan spontan mencapai 84-96% menggunakan metronidazol dan clindamicin. Trokomoniasis yang diterapi dengan regimen yang direkomendasikan yaitu metronidazole memiliki angka kesembuhan 86 – 100% (CDC, 2010). Infeksi rekuren sering ditemukan pada pasien yang aktif secara seksual. Sebuah penelitian menunjukkan sebanyak 17% pasien trikomoniasis yang aktif secara seksual mengalami reinfeksi setelah 3 bulan follow up (Peterman et al., 2006).

Sebagian besar wanita yang mengalami vulvovaginal candidiasis berespon cepat terhadap terapi. Tetapi vuvovaginal candidiasis rekuren yang didefinisikan sebagai 4 atau lebih episode infeksi dalam setahun terjadi pada sekitar kurang dari 5% pada wanita sehat.

E. Servicitis

1. Definisi Servisitis

Servisitis adalah peradangan jaringan serviks yang umumnya dianggap sebagai hasil infeksi secara seksual dari organisme, paling sering Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Hampir semua kasus servisitis disebabkan oleh penyakit menular seksual dan, bisa juga karena cedera pada jaringan serviks, kontrol jalan lahir yang berkurang seperti diafragma dan bahkan kanker (Marrazzo, 2006).

2. Epidemiologi Servisitis

Angka penderita servisitis di seluruh dunia dan Indonesia belum diketahui secara pasti, namun sebuah studi yang dilakukan di India menyebutkan bahwa 14,5 % dari 3.000 wanita di India terkena sindrom duh (discharge) vagina, dimana servisitis termasuk didalamnya (Patel, 2005).

3. Patofisiologi Servisitis

Serviks mempunyai beberapa fungsi yang penting bagi wanita, antara lain melalui keadaannya antara rahim dan vagina, ia mempertahankan posisi normal dari organ panggul. Serviks juga berperan penting dalam kehamilan dimana berfungsi sebagai penghalang antara vagina dan rahim, selain itu serviks juga berperan sebagai indikator dalam proses melahirkan (Sarwono, 2008).

Serviks mempunyai fungsi yang penting tetapi epitel selaput lendir servikalis hanya terdiri dari satu lapisan sel silindris oleh karena itu mudah terkena infeksi dibandingkan dengan selaput lendir vagina. Risiko servisitis meningkat saat seorang wanita menderita diabetes, vaginitis akut dan servisitis berulang atau memiliki banyak pasangan seksual. Servisitis juga dapat dipicu penggunaan kondom wanita (cervical cap dan diafragma), penyangga uterus, alergi spermisida pada kondom pria, dan paparan terhadap bahan kimia. Serviks yang mengalami perlukaan dapat berakibat

pada infeksi. Infeksi ini menyebabkan deskuamasi pada epitel gepeng dan perubahan inflamasi kronik dalam jaringan serviks yang mengalami trauma (Sarwono, 2008). 4. Terapi Servisitis

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan RI telah berusaha untuk perduli dengan fenomena banyaknya jumlah penderita penderita servisitis dengan mengeluarkan pedoman nasional mengenai penanganan IMS pada tahun 2011. Pedoman nasional tersebut menyebutkan bahwa servisitis bisa diobati sebagai berikut (Kemenkes, 2011):

Pengobatan Servisitis Gonokokus Pengobatan Servisitis Non-Gonokokus Sefiksim 400 mg, dosis tunggal, per oral

ATAU

Azitromisin 1 g, dosis tunggal, per oral ATAU

Levofloksasin* 500 mg, dosis tunggal, per oral

Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari

Pilihan Pengobatan Lain Kanamisin 2 g, injeksi IM, dosis

tunggal ATAU

Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari

Tiamfenikol 3,5 g, per oral, dosis tunggal ATAU

Seftriakson 250 mg, injeksi IM, dosis tunggal

* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

Tabel 8. Pengobatan servisitis gonore/non-gonore.

Terapi untuk servisitis selain memakai obat-obatan antara lain melalui pembedahan. Pembedahan dilakukan pada hari-hari pertama setelah menstruasi, agar dapat memberikan waktu penyembuhan untuk bekas luka setelah pembedahan sampai haid berikutnya sehingga dapat mencegah infeksi. Sebelum melakukan pembedahan terlebih dahulu dibutuhkan pemeriksaan ginekologi. Prosedur ini tidak boleh dilakukan pada keadaan peradangan akut serviks, pada keadaan ini prosedur pembedahan harus ditunda, karena beresiko memperparah peradangan. Pasca operasi, pasien dilarang melakukan hubungan seksual dahulu dengan pasangannya (Marrazzo, 2007).

Dokumen terkait