• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kanker Serviks

a. Definisi

Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari metaplasia epitel di daerah squamocolumnar junction yaitu daerah peralihan mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker leher rahim berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke rahim. Kanker seviks uteri adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Sebelum terjadinya kanker akan didahului oleh keadaan yang disebut lesi prakanker atau neoplasia intraepitel serviks(NIS).

b. Epidemiologi

Insidensi kanker serviks di dunia mencapai 25-40 kasus per 100.000 wanita pertahun. Prevalensinya menurut Xiang (2011) mencakup 12% dari seluruh kanker pada wanita yang lebih sering dijumpai di negara berkembang yang mencakup 80% dari kasus kanker seviks di dunia. Mortalitas kanker serviks cukup tinggi. Menurut World Health Organization (WHO), setiap tahunnya lebih dari 270.000 wanita mati akibat kanker serviks dan 85% kematian berasal dari negara berkembang. Oleh sebab itu, WHO menetapkan kanker serviks kanker dengan prevalensi dan mortalitas tertinggi di dunia setelah kanker payudara.

c. Klasifikasi

Secara histopatologi, kanker serviks terdiri atas berbagai jenis. Dua bentuk yang sering dijumpai adalah karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar 85% merupakan karsinoma serviks jenis skuamosa (epidermoid), 10% jenis adenokarsinoma, serta 5% adalah jenis adenoskuamosa, clear cell, small cell, verucous,dan lain-lain.

d. Etiologi dan Faktor Predisposisi 1. Etiologi

Infeksi Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama kanker serviks. Menurut American Social Health Association (ASHA) sekitar 6.2 juta orang di Amerika Serikat (AS) terinfeksi HPV setiap tahunnya. Globocan (2008) menunjukkan bahwa 31% populasi wanita di Indonesia telah terinfeksi HPV. Data infeksi HPV dan kanker serviks di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut:

Tabel 8. Data Statistik HPV dan Kanker Serviks di Indonesia

Human papillomavirus genitalia adalah penyebab infeksi paling sering yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted infection) di dunia. Infeksi persisten HPV, khususnya HPV tipe high risk, dapat menimbulkan kanker serviks pada wanita dan kanker anogenital lainnya (vulva, vagina, penis, dan anus), sedangkan infeksi HPV tipe low risk dapat menimbulkan kutil kelamin (condyloma acuminatum), baik pada wanita maupun pria.

Manusia adalah reservoar utama bagi HPV dan setiap individu dapat terinfeksi oleh lebih dari satu tipe HPV (infeksi multipel). Lebih dari 100 genotipe HPV telah teridentifikasi, 40 di antaranya menginfeksi sistem genitalia. Tipe HPV genitalia digolongkan berdasarkan asosiasi epidemiologis dengan kanker serviks. Infeksi HPV tipe low risk dapat menyebabkan perubahan sel-sel serviks yang bersifat benign atau low-grade, kutil kelamin, dan papillomatosis. HPV tipe high riskbersifat karsinogenik, cenderung berkembang menjadi kanker serviks atau kanker anogenital lainnya. HPV tipe high risk, meliputi tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69, 73, dan 82, dapat menyebabkan abnormalitas low-grade hingga high-grade pada sel-sel serviks yang merupakan prekursor kanker.

HPV adalah jenis virus dari keluarga Papillomaviridae dengan materi inti DNA untai ganda (double-stranded DNA) dan tidak memiliki selubung (envelope). HPV terdiri dari Early protein (E6 dan E7, yang diekspresikan pada

awal infeksi) dan Late protein(L1 dan L2, yang berfungsi menghasilkan kapsid untuk virion baru). Genotipe HPV ditentukan oleh adanya variasi genetik di protein kapsid L1 dan L2, sedangkan yang bersifat onkogenik adalah E6 dan E7. Aktivasi protein onkogenik pada HPV tipe high riskmenyebabkan terjadinya perubahan epigenetik pada beberapa promoter tumor suppressor gene (TSG) sehingga dapat menimbulkan kanker. Siklus HPV dapat dilihat pada gambar 2. Beberapa studi menunjukkan protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk memiliki afinitas yang rendah terhadap TSG dibandingkan tipe high risksehingga HPV tipe low risk tidak berpotensi menimbulkan kanker. Protein E6 dan E7 pada HPV tipe low risk hanya berfungsi untuk menjaga stabilitas episom genomnya.

Gambar 4.19. Infeksi dan Siklus HPV pada Sel Epitel Serviks

(a) Serviks yang normal memiliki zona transfomasi (atau TZ) yang tiba-tiba bertransisi dari epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa. (b) HPV mendapatkan akses ke sel-sel epitel basal serviks via

vagina (selama berhubungan seksual) dan bereplikasi secara episomal (siklus lisogenik) dan mengekspresikan early gen (E1, E2, E4, E5, E6, dan E7). (c) Sel-sel basal yang rusak akibat infeksi HPV, terus berdiferensiasi dan bermigrasi ke permukaan epitel, tempat sel-sel skuamosa mulai mengekspresikan late gen (L1 dan L2). Partikel virus baru akan menyebar ke dalam lumen vagina. (e) Infeksi HPV (terutama tipe high risk) dapat berkembang menjadi: 1. displasia ringan, 2. cervical intraepithelial neoplasia stadium akhir (CIN3), dan 3. invasive cervical cancer (CaCx);

bila dasar membran rusak, akan terjadi penyebaran lokal dan metastasis. (f ) Pada sel-sel epitel yang bertransformasi, gen HPV berintegrasi dengan kromosom inang dan mengekspresikan protein onkogenik (E6 dan E7) yang berikatan dengan tumor suppressor protein (p53 dan Rb).

Kurang lebih 90% kasus kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV tipe high risk. Meskipun infeksi HPV tipe high risk dapat menyebabkan kanker serviks, mayoritas infeksi yang terjadi bersifat self-limiting. Hasil penelitian di tiga kota di Indonesia (Jakarta, Tasikmalaya, dan Bali) tahun 2004-2006, pada 2.686 wanita yang sudah menikah, menunjukkan bahwa prevalensi HPV tipe high risk adalah sekitar 7,9%. Prevalensi HPV tipe high risk pada 118 sampel dari beberapa rumah sakit rujukan di laboratorium KalGen adalah 6,8%, yaitu tipe 16 , 51 , 52 , 68 dan 58 dan tipe low riskyang terdeteksi adalah tipe 6, 43 dan 44. 2. Faktor Risiko

Rasjidi (2009) membagi factor risiko kanker cerviks menjadi 2 yaitu faktor resiko yang telah dibuktikan dan faktor resiko yang diperkirakan.

a) Fakor Resiko Telah Dibuktikan 1) Hubungan Seksual

Kanker serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual. Beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks.

2) Karakteristik Partner

Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung, tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan partner yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, partner dari pria dengan kanker penis atau partner dari pria yang istrinya meninggal terkena kanker serviks juga akan meningkatkan risiko kanker serviks.

Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko.

4) Dietilstilbestrol (DES)

Hubungan antara clear cell adenocarcinoma serviks dan paparan DES in utero telah dibuktikan.

5) Agen Infeksius

Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui hubungan seksual seperti HPV dan Herpes Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2).

6) Human papillomavirus

Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa HPV sebagai penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan terjadinya gangguan sel serviks. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksi HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; serta deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 6 dan 11 berhubungan erat dengan diplasia ringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan diplasia berat yang jarang regresi dan seringkali progresif menjadi karsinoma insitu. Infeksi HPV persisten dapat berkembang menjadi neoplasia intraepitel serviks (NIS). Seorang wanita dengan seksual aktif dapat terinfeksi oleh HPV risiko-tinggi dan 80% akan menjadi transien dan tidak akan berkembang menjadi NIS. HPV akan hilang dalam waktu 6-8 bulan. Dalam hal ini, respons antibodi terhadap HPV risiko-tinggi yang berperan. Dua puluh persen sisanya berkembang menjadi NID dan sebagian besar, yaitu 80%, virus menghilang, kemudian lesi juga menghilang. Oleh karena itu, yang berperan adalah cytotoxic T-cell. Sebanyak 20% dari yang terinfeksi virus tidak menghilang dan terjadi infeksi yang persisten. NIS akan bertahan atau NIS 1 akan berkembang menjadi NIS 3, dan pada akhirnya sebagiannya lagi menjadi kanker invasif. HPV risiko rendah tidak berkembang menjadi NIS 3 atau kanker invasif, tetapi menjadi NIS 1 dan beberapa menjadi NIS 2. Infeksi HPV risiko-rendah sendirian tidak pernah ditemukan pada NIS 3 atau karsinoma invasif. Berdasarkan hasil program skrining berbasis populasi

di Belanda, interval antara NIS 1 dan kanker invasive diperkirakan 12,7 tahun dan kalau dihitung dari infeksi HPV risiko-tinggi sampai terjadinya kanker adalah 15 tahun. Waktu yang panjang ini, di samping terkait dengan infeksi HPV risiko-tinggi persisten dan faktor imunologi (respons HPV-specific T-cell, presentasi antigen), juga diperlukan untuk terjadinya perubahan genom dari sel yang terinfeksi. Dalam hal, ini faktor onkogen E6 dan E7 dari HPV berperan dalam ketidakstabilan genetic sehingga terjadi perubahan fenotipe ganas. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Oncoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sementara itu, oncoprotein E7 akan mengikat TSG Rb. Ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.

7) Virus Herpes Simpleks

Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan, 90% pasien dengan kanker serviks invasive dan lebih dari 60% pasien dengan neoplasia intraepithelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus.

8) Lain-lain

Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung.

9) Merokok

Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat merusak

DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat mencetuskan transformasi keganasan.

b) Faktor Risiko Diperkirakan 1) Kontrasepsi Oral

Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap penyakit yang invasif. Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menunjukkan deteksi adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi. Beberapa studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral.

2) Diet

Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks.

3) Etnis dan Faktor Sosial

Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi. Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke system pelayanan kesehatan. Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih. Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi.

4) Pekerjaan

Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin) dapat menjadi faktor risiko kanker serviks

6. Patofisiologi

Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat dikontrol sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang terdiri dari 4 fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S, terjadi replikasi DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis. Sedangkan fase G (Gap) berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis). Dalam siklus sel p53 dan pRb

berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan untuk mengadakan apoptosis dan pRb memiliki kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri (American Cancer Society, 2012).

Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6 dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi dengan protein p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan apoptosis. Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu sendiri. Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang lebih besar terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong resiko rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan siklus sel dan mengikuti deferensiasi sel (American Cancer Society, 2012).

Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja. Tergantung dari kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman invasi <1mm dan sel tumor masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum (menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan kandung kemih, yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator, hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati , ginjal, tulang dan otak (American Cancer Society, 2012).

Gambar 4.20. Patofisiologi Ca cervix(American Cancer Society, 2012) 1. Penegakan Diagnosis

Diagnosis kanker serviks dapat ditegakan dengan cara pengenalan gejala dan tanda, pengenalan faktor-faktor risiko dan metode deteksi dini.

a. Gejala dan tanda

1) Pada awal penyakit umumnya tanpa gejala.

2) Keputihan, keputihan berbau busuk dari vagina. Umumnya cairan vagina seperti cairan cucian daging.

3) Contact bleeding

4) Nyeri daerah panggul  infiltrasi tumor pada syaraf atau adanya radang panggul. 5) Adanya perdarahan campur air seni atau lewat anus, dapat terjadi pada keadaan

tumor telah menginfiltrasi kandung kemih atau ektum b. Metode deteksi dini

1) Sitologi konvensional (Pap’s smear)/ tes PAP

Pemeriksaan diawali dengan evaluasi visual untuk mengamati adanya servisitis, leukorea, polip, ulkus dan sebagainya secara inspekulo. Kemudian pap

smear sampel diambil dengan menggunakan spatula Ayre, kemudian apusan sampel difiksasi dengan etanol selama 30 menit (Jeronimo, et al., 2005).

Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun menurun sampai lebih dari 50%. Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani Pap smear secara teratur yaitu 1 kali/tahun.Jikaselama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang normal, Pap smear bias dilakukan 1 kali/2-3 tahun (Jeronimo, et al., 2005).

Hasilpemeriksaan Pap smear menunjukkan stadium darikankerserviks: a) Normal.

b) Displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas). c) Displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas).

d) Karsinoma in situ (kanker yang terbatas pada lapisan serviks paling luar). e) Kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan serviks yang lebih dalam

atau ke organ tubuh lainnya).

2) Inspeksi visual dengan asam asetat/ IVA

Prosedur screening dengan inspeksi visual asam asetat memiliki banyak kelebihan, yaitu sebagai berikut:

a) Inspeksi visual serviks dengan menggunakan asam asetat atau cairan Lugol untuk mewarnai lesi prekanker sehingga lesi tersebut dapat dilihat dengan mata telanjang, sehingga identifikasi prekanker dapat dilakukan secara klinis.

b) Prosedur tersebut mengurangi kebutuhan adanya laboratorium dan transportasi specimen, sehingga hanya membutuhkansedikit peralatan dan hasil tesnya dapat diketahui secara cepat oleh pasien.

c) Hampir semua petugas pelayanan kesehatan (dokter, perawat dan bidan professional) bisa melakukan prosedur ini secara efektif, dengan syarat telah mendapatkan pelatihan dan supervise yang adekuat.

d) Sebagai uji screening, IVA menghasilkan hasil yang lebih akurat dalam mengidentifikasi lesi prekanker dibandingkan sitologi serviks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan IVA, dari wanita yang berisiko tinggi mengalami karsinoma serviks, 45-79% dia antaranya teridentifikasi adanya lesi prekanker, namun spesifitasnya lebih rendah dan terdapat risiko

overtreatment. Sedangkan tingkat sensitivitas pemeriksaaan sitologi sebesar 47-62%.2,4

Namun sama seperti pemeriksaan sitologi, salah satu kekurangan pemeriksaan IVA adalah bahwa hasilnya sangat bergantung pada tingkat akurasi dari interpretasi individu. Oleh karena itu, pelatihan dan system pengontrolan kualitas merupakan hal yang sangat penting.4

IVA memiliki banyak kelebihan yang signifikan dibandingkan Pap smear untuk kondisi dengan sarana dan prasarana terbatas, terutama dari segi peningkatan jangkauan screening, perbaikan dalam perawatan dan follow up, serta kualitas program secara umum. Pemeriksaan IVA dengan tingkat kebutuhan personil, pelatihan, infrastruktur, dan peralatannya yang rendah, menjadikan sistem pelayanan kesehatan masyarakat dapat menyediakan program screening karsinoma serviks pada tempat yang terpencil dengan peralatan terbatas sehingga dapat meliputi cakupan area yang lebih luas. Selain itu, penyedia layanan kesehatan dapat mendiskusikan hasil pemeriksaan IVA dengan pasien secara langsung sehingga memungkinkan untuk melakukan screening sekaligus pengobatan dalam satu kali kunjungan.Hal ini menjamin sistem follow up dapat dilaksanakan langsung di tempat dan mengurangi jumlah wanita yang tidak terobati karena mereka tidak dapat melakukan kunjungan berikutnya.4 Pada negara dengan sumber daya terbatas, metode IVA merupakan pilihan terbaik untuk screening karsinoma serviks. Syarat mengikuti tes IVA adalah :2

a) Sudah pernah melakukan hubungan seksual b) Tidak sedang datang bulan/haid

c) Tidak sedang hamil

d) 24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual

Klasifikasi IVA berdasarkan temuan klinis (SEE AND TRET,2007)

a) Hasil tes – Positif : ditemukan Plak putih yang tebal atau epitel acetowhite, biasanya dekat SCJ

b) Hasil Tes Negatif : Ditemukan pertemuan polos dan halus, berwarna merah jambu: ectropion, polyp,cervicitis, inflammantion, Nabothian cysts

c) Kanker : ditemukan secara klinis massa mirip kembang kol atau bisul Orang-Orang yang dirujuk untuk kelanjutan Tes IVA bila Ditemukan: a) Diduga Kanker Cervix

c) Lesi > 2 mm melebihi cryoprobe d) Lesi meluas sampai dinding vagina e) Hamil (> 20 minggu)

Pelaksanaan IVA

a) Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.

b) Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.

c) Terdapat sumber cahaya untuk melihat serviks d) Spekulum vagina.

e) Asam asetat (3-5%) f) Swab-lidi berkapas g) Sarung tangan

h) Teknik Pengambilan Sampel

Dengan spekulum melihat serviks yang dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada lesi prakanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto white epithelum Dengan tampilnya porsio dan bercak putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andaikata penemuan tes IVA positif oleh bidan, maka di beberapa negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan cryosergury. Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahan dalam menyingkirkan lesi invasif.

Kategori pemeriksaan IVA a) IVA negatif = Serviks normal.

b) IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya (polip serviks).

Gambar 4.21. Hasil Pemeriksaan IVA

Untuk mensukseskan pendeteksian dini Ca. Cervix ini sudah seharusnya setiap orang ikut berpartisipasi dalam pensosialisasian pelaksanaan program IVA srining test ini, dengan harapan setiap wanita mewaspadai akan kesehatan diri sendiri. ”Mencegah adalah tidakan bijaksana untuk kelaksungan hidup sehat, ini lebih baik daripada mengobati.”

3) Uji HPV DNA

Tes HPV DNA dapat mendeteksi adanya tipe virus HPV penyebab kanker pada sel serviks atau vagina yang mengindikasikan apakah wanita tersebut baru terinfeksi. Sebagian besar infeksi HPV dapat sembuh secara spontan dan tidak mengarah ke karsinoma serviks, hal yang banyak terjadi pada wanita remaja dan berumur 20 tahun. Namun apabila virus HPV penyebab kanker ditemukan pada wanita berusia ≥ 30 tahun, terdapat kemungkinan virus tersebut menetap dalam tubuh dan wanita tersebut berisiko tinggi untuk menderita karsinoma serviks, baik pada saat virus HPV dideteksi atau di masa mendatang.

Gambar 4.22. Prosedur Uji HPV-DNA

Walaupun sangat efektif, uji HPV yang selama ini digunakan tidak didesain untuk digunakan pada kondisi dengan sumber daya yang rendah. Uji HPV hanya digunakan secara terbatas di negara berpenghasilan perkapita rendah, karena membutuhkan infrastuktur laboratorium, teknisi yang terlatih, dan fasilitas

Dokumen terkait