• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu kota pelabuhan yang penting karena letaknya diujung paling utara Pulau Sumatera adalah Lamuri, yang kemudian ketika kerajaan Islam berdiri

namanya฀ berganti฀ menjadi฀ Bandar฀ Aceh฀ Darus-Salam฀ (1514–1903).54 Lokasi Lamuri kini ada di lingkungan sekitar wilayah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh.

Namun฀ dapat฀ dipastikan฀ bahwa฀ nama฀ Bandar฀ Aceh฀ Darus-Salam฀ (kemudian฀ berubah฀ menjadi฀ Banda฀ Aceh)55฀ di฀ muara฀ Sungai฀ Aceh฀ (tepatnya฀ pada฀ suatu฀

belokan฀(sungai)฀Kruëng฀Aceh฀ke฀arah฀utara฀dan฀berakhir฀di฀Kuala฀Aceh,฀adalah฀

nama kelanjutan atau perubahan dari nama Lamuri.56

Nama Lamuri sudah disebut dalam Prasasti Rãjendracõla dari Tañjore tahun 1030 dengan sebutan nama Ilãmuridešam yang mengindikasikan sebuah wilayah desa. Lain halnya dengan Marcopolo yang menyebutkan Lamuri sebagai nama wilayah. Sampai saat ini Lamuri tetap dikenal sebagai nama pelabuhan lama sebelum berdirinya kerajaan Islam Aceh.57 Keletakan Bandar Aceh Darussalam yang dulunya bernama Lamuri ini sangat strategis, karena posisinya benar-benar berada pada “pintu masuk” Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran penting dari India ke Cina. Temuan-temuan arkeologis di wilayah Banda Aceh

dan฀Aceh฀Besar,฀diperkirakan฀pelabuhan฀ini฀dikenal฀sekitar฀abad฀ke-11–13฀(saat฀ masih฀bernama฀Lamuri)฀hingga฀abad฀ke-19฀(setelah฀bernama฀Banda฀Aceh).58

Ilustrasi Situasi Pelabuhan Aceh. Lokasi permukiman Bandar Aceh Darus-Salam yang berada di sepanjang aliran Sungai Aceh ini menjadi inti ibukota yang dinamakan Kuta Raja.

Sumber: www.atlasmutualheritage.nl

Banda Aceh semula bernama Bandar Aceh

Darus-Salam sebuah kerajaan Islam yang berkembang 1514- 1903 . Banda Aceh berperan sebagai pusat

perdagangan dan pelayaran di Sumatera bagian utara pada abad

ke-17 (terutama pada zaman pemerintahan

Iskandar Muda). Banda Aceh semula bernama Bandar Aceh

Darus-Salam sebuah kerajaan Islam yang berkembang 1514- 1903 . Banda Aceh berperan sebagai pusat

perdagangan dan pelayaran di Sumatera bagian utara pada abad

ke-17 (terutama pada zaman pemerintahan

Salah satu temuan arkeologis di situs Banda Aceh adalah prasasti berbahasa

Tamil.฀ Dari฀ tipograi฀ tulisannya฀ (beraksara฀ Grantha),฀ prasasti฀ ini฀ diperkirakan฀

sejaman dengan prasasti serupa yang, ditemukan di Barus yang berangka tahun 1088 M. Prasasti berbahasa Tamil yang ditemukan di Barus menceritakan tentang kehadiran para pedagang Tamil di tempat tersebut dalam jumlah yang banyak sampai 1.000 orang. Sebaliknya, Prasasti Tamil dari Banda Aceh tersebut belum dibaca, namun dari pertanggalannya diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-11.59 Selain itu, temuan-temuan artefak dari situs sekitar Banda Aceh berupa pecahan keramik yang tertua adalah keramik Cina abad ke-12–14 dan abad-abad berikutnya.

Informasi mengenai keadaan pelabuhan Aceh diperoleh dari sumber Eropa

abad฀ ke-17฀ (saat฀ ketika฀ Aceh฀ diperintah฀ oleh฀ Sultan฀ Iskandar฀ Muda:฀ 1607– 1636).฀Sumber฀tersebut฀menguraikan฀jalan฀masuk฀menuju฀Bandar฀Aceh฀sebagai฀

pelabuhan yang sukar didarati kapal karena teluknya terhalang beberapa

Ilustrasi Situasi Kota Aceh. Sultan ‘Ali Mughayah Syah membangun pusat pemerintahan baru yang disebut dengan nama Kuta Dalam Dar ad Dunya’ dari bahasa Arab yang berarti “Kota” atau “Negeri Dunia”. Tempat ini sekarang dikenal sebagai toponim Kampung Keraton

Sumber: http://www.abc.net.au/ radionational/image/2972972-4x3-700x525. jpg

pulau฀ (sekarang฀ bernama฀ Pulau฀ Weh,฀ Pulau฀ Breuëh,฀ dan฀ Pulau฀ Bunta).60 Menurut berita dari sumber Eropa tersebut, akses menuju kota Banda Aceh melalui pelabuhan seringkali digambarkan banyak dijumpai kesulitan bahkan hanya untuk mendekati pelabuhannya saja. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan kedatangan kapal-kapal dagang, dikarenakan Banda Aceh berperan sebagai pusat perdagangan dan pelayaran di Sumatera bagian utara

pada฀abad฀ke-17฀(terutama฀pada฀zaman฀pemerintahan฀Iskandar฀Muda).

Lokasi permukiman Bandar Aceh Darus-Salam yang berada di sepanjang aliran Sungai Aceh ini menjadi inti ibukota yang dinamakan Kuta Raja. Jalur masuk ke kota yang merupakan jalan satu-satunya bagi manusia dan barang hingga abad ke-19 ialah sungai. Menurut Nicolaus de Graaf dan Guillaume Dampier pada pertengahan abad ke-17, bagian dari kota yang paling mencolok adalah bangunan istana. Meski tidak memiliki benteng keliling, kondisi lingkungan sekitar ibukota menyulitkan proses masuk dan mendaratnya kapal di pesisir. Ini merupakan pertahanan alamiah kota. Hanya di bagian muara terdapat benteng-benteng untuk meletakan meriam.61

Kota kesultanan Aceh Darussalam terbentuk pada masa pemerintahan Sultan

Aceh฀I,฀Sultan฀‘Ali฀Mughayah฀Syah฀(wafat฀1530).฀Sultan฀ini฀membangun฀pusat฀

pemerintahan baru yang disebut dengan nama Kuta Dalam Dar ad Dunya’ dari bahasa Arab yang berarti “Kota” atau “Negeri Dunia”.62 Tempat ini sekarang dikenal sebagai toponim Kampung Keraton yang kemudian menjadi lokasi tempat berdirinya pendopo Gubernur Militer Belanda dan difungsikan sebagai pendopo Gubernur Provinsi Aceh sekarang.63

Salah satu jejak arkeologis kerajaan Aceh yang masih dapat disaksikan di lokasi ini adalah kompleks pemakaman Sultan Aceh dari abad ke-16, yang dikenal sebagai Kandang XII atau pemakaman 12 makam. Selain itu, terdapat pula kawasan istana Sultan Aceh yang dulunya dikelilingi tembok keliling yang dibangun dari tanah membentuk tanggul tanah dan sebuah pintu gerbang di sebelah utara beserta meriam. Pintu gerbang ini sering disebut dalam Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin dengan nama PintuTsani, sebuah bangunan dengan teknologi batu dan semen. Pada masa kemudian pintu ini dirobohkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda ketika berhasil menduduki istana.

Pada masa pemerintahan selanjutnya, terutama pada masa Sultan ‘Al ad Din

Ri’ayah฀Syah฀al฀Kahhar฀(1539–1571)฀terjadi฀pembangunan฀besar-besaran฀atau฀

pembangunan tahap II di kota kuno kerajaan Aceh. Pembangunan kota ini mendapat bantuan dari Sultan Selim II, seorang sultan dari Dinasti Utsmaniyah di Turki. Pada masa ini mulai diperkenalkan teknologi batu dan semen oleh para teknisi Turki-Utsmaniyah tersebut. Pembangunan kota kerajaan Aceh Darussalam selanjutnya disempurnakan oleh Sultan ‘Ala ad Din Ri’ayah Syah

Sayyid฀ al฀ Mukammil฀ (1589--1604)฀ dan฀ mencapai฀ puncak฀ pertumbuhannya฀ pada฀ masa฀ Sultan฀ Iskandar฀ Muda฀ (1607–1636),฀ yang฀ bahkan฀ menata฀ ulang฀

kota Aceh pada waktu itu.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar

Muda (1607-1636). Salah satu karyanya

menata ulang kota Banda Aceh yang berciri Islam dengan masjid, keraton dan pasar sebagai landmark

Disamping istana, salah satu hasil pembangunan pada masa tersebut adalah taman, yang dahulunya menjadi bagian istana Sultan Aceh yang dihubungkan oleh sebuah pintu gerbang dengan lengkung yang rendah. Pintu ini dikenal sebagai Pintô Khôp atau “pintu bermahkota”. Taman ini dibangun berdekatan

dengan฀Kruëng฀Daroy฀(Sungai฀Dar฀al฀Asyiqy),฀yang฀menjadi฀bagian฀dari฀taman฀

dan istana Sultan Aceh. Naskah Bustanus Salatin yang disusun Nuruddin ar- Raniry menjelaskan secara rinci keadaan taman ini dan bangunan-bangunan yang terdapat di dalamnya.

Kehidupan kota berpusat di sekitar pasar dan masjid yang mulai dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1614, yang diberi nama Masjid Baitur Rahman. Menurut deskripsi Peter Mundy pada tahun 1637, bangunan masjid

tersebut฀berbentuk฀bujur฀sangkar,฀dikelilingi฀tembok฀bergerigi฀(embattlement)฀

dengan atap susun empat dan memiliki bubungan yang langsing.64 Di sisi sebelah selatan masjid terdapat pasar besar yang namanya masih melekat hingga kini,yaitu Peukan Aceh. Mesjid tersebut dulunya berhadapan dengan sebuah lapangan di sebelah timurnya, yang dalam Hikayat Aceh dan Bustanus Salatin disebut dengan nama “Medan Khayyali”. Lapangan ini cukup luas untuk tempat penyelenggaraan berbagai keramaian dan perayaan besar kenegaraan. Bangunan istana Sultan Aceh juga menghadap ke lapangan ini.

Sebagai salah satu penanda permukiman kota, terdapat beberapa toponim nama-nama kampung kuno yang berada di sepanjang Sungai Aceh. Kampung- kampung kuno ini langsung berada di bawah pengawasan Sultan Aceh dan menjadi sumber penghasilan utama kerajaan, karena di sinilah berlangsungnya kegiatan perdagangan dunia pada abad ke-16 hingga abad ke 17 M. Toponim kampung kuno tersebut dinamakan berdasarkan ras atau etnik, dan keahlian atau pekerjaan/profesi penghuninya. Beberapa nama kampung tersebut di antaranya adalah: Pertama, Kampung Kedah menunjukan indikasi tempat orang-orang yang berasal dari Kedah di Semenanjung Melayu; Kedua, Kampung Keling, tempat permukiman orang-orang India dari kawasan Benggala; Ketiga, Kampung Jawa, sebuah kampung besar tempat tinggal para saudagar dari pantai utara pulau Jawa dan di sini pernah berdiri sebuah tempat berlabuh kapal dagang antar pulau yang cukup ramai. Hikayat Aceh menyebut pelabuhan itu dengan Bandar Makmur; Keempat, Kampung Pelanggahan, yang berasal dari kata ‘langgah’ atau tempat peristirahatan. Kelima, Kampung Pande, tempat tinggal dan tempat melakukan kegiatan para pengrajin benda-benda dari logam, baik emas, suasa, timah, tembaga, besi, atau perunggu; Keenam, Kampung Peunayong yang berada pada sisi timur Kruëng Aceh. Nama kampung ini berasal dari kata ‘dayung’, yaitu tempat tinggal para pekerja yang menawarkan jasa mendayung kapal, khususnya untuk kegiatan perdagangan dan pelayaran. Sampai akhir abad ke-19 kota Banda Aceh masih berfungsi sebagai ibukota kerajaan Aceh Darussalam. Setelah terjadi peralihan kekuasaan atas kota Banda

Aceh dari Kerajaan Aceh Darussalam ke Pemerintah Hindia Belanda terjadi perubahan besar pada struktur kota. Akibat dari peristiwa peperangan dengan tentara Hindia Belanda, fisik kota mengalami banyak kehancuran. Sampai saat ini peninggalan masa kerajaan Aceh Darussalam hanya menyisakan bangunan Gunongan dan Pintô Khôp

Banjarmasin

Seperti halnya di wilayah lain di Nusantara, kerajaan islam di Kalimantan pada abad ke-14 sampai ke-15 tumbuh di atas kerajaan bercorak Hindu-India. Islamisasi di Kalimantan kemungkinan berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Brunei, karena pada masa itu Brunei merupakan pelabuhan dagang yang paling maju di Kalimantan.65 Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan di antaranya adalah Kesultanan Sambas di Kalimantan Barat, Kesultanan Banjarmasin di Kalimantan Selatan, dan Kesultanan Kutai di Kalimantan Timur dan beberapa kerajaan Islam lainnya yang tidak terlalu besar dan kurang berpengaruh. Lokasi kerajaan- kerajaan tersebut menempati daerah-daerah aliran sungai besar, seperti Sungai Kapuas, Sungai Mahakam, dan Sungai Barito.66

Kerajaan Islam yang memegang peranan penting ialah Kesultanan Banjarmasin. Hal ini bias dijelaskan melalui fakta bahwa Banjarmasin adalah wilayah di

Peta Rekonstruksi Banjarmasin tahun 1530. A.A. Cense dalam De Kroniek van Banjarmasin menyebutkan bahwa para pedagang dari Belanda telah mengenal Banjarmasin setidaknya sejak 1596 sebagai tempat pengumpulan hasil Lada dari berbagai daerah di Kalimantan.

Sumber: Banjarmasih(1981: 115)

Kota Banjarmasin tumbuh dari Banjar yang berarti perumahan kampung yang berderet-deret di

Kalimantan yang pertama kali menerima kehadiran Islam, di luar Brunei. Dan ini ini terjadi karena sejak masa pra-Islam, hubungan ekonomi antara Banjar dan daerah pantai utara Jawa sudah sering terjadi.67

Sebelum muncul Kesultanan Banjarmasin, di sebelah barat laut Kalimantan terdapat kota pelabuhan yaitu Lawe dan Tanjungpura. Kedua tempat ini berseberangan dengan pantai utara Jawa dan banyak berhubungan dengan kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa. Pada masa kemudian, kota-kota pelabuhan di Jawa lebih banyak berhubungan dengan Sambas, Sukadana, dan Banjarmasin. Hal ini menunjukkan bahwa Lawe dan Tanjungpura sudah tidak berperan penting lagi.68 A.A. Cense dalam De Kroniek van Banjarmasin menyebutkan bahwa para pedagang dari Belanda telah mengenal Banjarmasin setidaknya sejak 1596 sebagai tempat pengumpulan hasil Lada dari berbagai daerah di Kalimantan. Begitu juga pedagang Portugis mengenal Banjarmasin untuk membeli kapur barus, berlian, dan batu benzoar.69

Dalam sumber historiografi lokal berupa Hikayat Banjar,70 Kesultanan Banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan yang bercorak Hindu, bernama Daha yang berpusat di suatu tempat bernama Negara Dipa. Kerajaan Daha ini memiliki hubungan dengan kerajaaan Majapahit dan nama Daha ini disebut juga dalam kitab Nãgarakertãgama.71 Setelah dilanda perang saudara dalam memperebutkan tahta, seorang penakluk Kerajaan Daha, Raden Samudera mendapatkan bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan setelah itu menjadi pemeluk Islam dan diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Suriansyah

(Suryanullah).72 Kerajaan Daha sejak saat itu menjadi Kesultanan Banjar yang bercorak Islam di bawah bimbingan Demak. Proses Islamisasi ini berlangsung sekitar tahun 1550.73

Nama Banjarmasin dalam beberapa literatur kadang ditulis “Banjarmasih” atau hanya “Banjar” saja. Istilah Banjarmasih berasal dari gabungan kata yaitu “bandar” dan ‘masih”. Nama Banjarmasih diambil dari Patih Masih, seorang perdana menteri kerajaan Banjar pra-Islam. Kata “Banjar” dapat juga berarti “berderet-deret”, untuk menunjukaan letak perumahan kampung atau desa di atas air sepanjang sungai.74 Pada tahun 1860 pihak Belanda menyatakan kerajaan Banjar dengan resmi dibubarkan dan dihapuskan, setelah serangkaian peristiwa perang saudara dan diserahkannya pemerintahan Kerajaan Banjarmasin oleh

Sultan฀ Tamjidillah฀ (1857–1859)฀ kepada฀ Pemerintahan฀ Hindia฀ Belanda.฀ Dalam฀

sejarah Banjar, pembubaran kerajaan ini dikenal dengan peristiwa Proklamasi 11 Juni 1861. Setelah dibubarkan nama “Banjarmasih” berangsur-angsur hilang, Nama ini berubah menjadi Banjarmassingk atau Banjarmassin sesuai dengan lafal lidah orang Belanda dan Eropa.75

Banjarmasih฀atau฀kampung฀terletak฀di฀antara฀sungai-sungai฀berikut:฀1)฀Sungai฀ Barito฀dengan฀anak฀Sungai฀Sigaling,฀Sungai฀Pandai,฀dan฀Sungai฀Kuyin;฀2)฀Sungai฀ Kuyin฀dengan฀anak-anak฀Sungai฀Karamat,฀Jagabaya,฀dan฀Pangeran฀(Pageran).฀

Banjarmasin telah muncul pada masa pra-

Islam sebagai pusat perdagangan yang berhubungan dengan

pusat perdagangan pesisir utara Pulau Jawa

maupun yang ada di Pulau Kalimantan.

Pada masa kesultanan, Banjarmasin mengalami

pelembagaan yang pesar sama dengan ciri-ciri kota Islam yang ditandai dengan adanya kraton, masjid kesultanan, rumah

syahbandar yang masing-masinng dihubungkan dengan jalan darat dan sungai.

Pusat pertama terletak di antara Sungai Karamat dan Jagabaya dengan Sungai Kuin sebagai induk. Di lokasi ini terletak rumah Patih Masih. Tempat ini berubah setelah dijadikan bandar dengan penambahan penduduk dari Negara Daha. Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton dan diperluas.

Berita฀ daro฀ dinasti฀ Cina฀ Ming฀ (1618)฀ menyebutkan฀ bahwa฀ di฀ Banjarmasin฀

terdapat rumah-rumah di atas rakit seperti halnya di Palembang. Pada saat itu sebagaian besar rumah di Banjarmasin dibuat dari bambu dan kayu yang didirikan atas tiang-tiang tinggi. Rumah-rumah semacam ini berukuran besar hingga dapat memuat 100 orang di didalamnya. Dalam ruangannya terbagi atas beberapa kamar untuk masing-masing keluarga. Tiap rumah besar ini dihuni oleh satu keluarga besar. Rumah-rumah dihubungkan tangga sepanjang sungai dengan alat angkutan utama perahu jukung dan lanting-Ianting yang diikat dengan tali rotan ke pohon-pohon besar di pantai. Kota ini mempunyai sebuah mesjid. Semua gambaran ini melukiskan hidup kebudayaan sungai dan rawa di sekitar Banjarmasin, yang terus berlangsung sampai hari ini.76

Hasil rekonstruksi Kota Banjarmasin yang dilakukan oleh M. Idwar Saleh

menggambarkan฀ Banjarmasin฀ sebagai฀ berikut:฀ (1)฀ Kompleks฀ keraton฀ terletak฀

antara Sungai Karamat dengan Sungai Jagabaya, sampai sekarang masih

disebut฀Kampung฀Keraton.฀(2)฀Bangunan฀istana฀diperkirakan฀berbentuk฀betang฀ berbahan฀ batang฀ pohoh฀ ilayung.฀ (3)฀ Terdapat฀ jalan฀ di฀ antara฀ istana฀ dengan฀

sungai, dan di tepi sungai terdapat tumpukan dengan batang dan jamban yang

lengkap.฀(4)฀Di฀sebelah฀Sungai฀Karamat฀dibuat฀Paseban,฀Pagungan฀dan฀Sitilohor.฀ (5)฀Rumah฀Syahbandar฀dekat฀dengan฀Sungai฀Baritu฀dengan฀Muara฀Carucuk.฀(6)฀

Carucuk dibuat dari batang-batang ilayung sebesar pohon kelapa dan ditanam di muara Sungai Kuyin yang saat ini terletak di sekitar jembatan penyeberangan dekat lurah Kuin sekarang. Hal ini menunjukan pantai Sungai Muara Kuyin telah bergeser 200 meter ke tengah Sungai Barito dalam waktu hampir 400 tahun.

Selanjutnya,฀(7)฀Mesjid฀yang฀pertama฀didirikan฀di฀seberang฀Sungai฀Jagabaya.฀(8)฀

Di sekitar pertemuan Sungai Karamat dengan Sungai Sigaling terdapat pasar di

tebing,฀di฀samping฀pasar฀di฀atas฀air.฀(9)฀Di฀Seberang฀Sungai฀Sigaling,฀searah฀dengan฀

keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung, tempat ini merupakan alun-alun besar yang kadang berfungsi sebagai tempat mengadakan latihan berkuda dan latihan perang yang diselenggarakan tiap hari Senin, kegiatan ini

kemudian฀dikenal฀sebagai฀acara฀“Senenan”.฀(10)฀Di฀Sungai฀Pandai฀dekat฀muara฀ terdapat฀benteng฀kayu.฀(11)฀Di฀seluruh฀Sungai฀Kuyin,฀Sungai฀Karamat,฀Sungai฀

Pandai, Sungai Jagabaya dan Sungai Pangeran, penduduk bertempat tinggal di

lanting-lanting฀atau฀betang-betangdi฀darat.฀(12)฀Daerah฀sekitar฀Sungai฀Pandai฀ adalah฀tempat฀industri฀pembuatan฀perahu฀layar.฀(13)฀Tempat฀tinggal฀pedagang- pedagang฀besar฀dan฀orang฀asing฀berlokasi฀di฀sekitar฀Sungai฀Pandai.฀(14)฀Areal฀

sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah.

Makassar muncul sebagai kota pelabuhan dagang di Asia Tenggara dan Nusantara baru abad ke-16 seiring jatuhnya

Malaka ke tangan Belanda dari kekuasaan

Terakhir,฀(15)฀Makam฀raja฀dibuat฀sekitar฀tahun฀1550฀yang฀bentuknya฀merupakan฀

sebuah gunungan setinggi lebih dari 2 meter dari bata merah yang seluruh dindingnya dibuat dari bata diukir. Bata dibuat dari tanah liat merah, sehingga

raja฀pertama฀yang฀dimakamkan฀di฀sini(Sultan฀Suriansyah)฀disebut฀juga฀Sunan฀

Batu Habang.77

Makassar

Munculnya Makassar sebagai pelabuhan dagang penting seiring dengan kemajuan di dunia pelayaran dan perniagaan di Asia Tenggara dan nusantara. Meski sudah lama dikenal sebagai pusat rempah dari indonesia bagian timur,

sampai฀akhir฀abad฀ke-15฀Makassar฀(Somba฀Opu)฀belum฀berkembang฀menjadi฀

pusat perdagangan di Nusantara, baru pada abad ke-16 setelah Malaka berhasil direbut Belanda dari penguasaan Portugis pada tahun 1641, banyak pedagang Portugis kemudian mengungsi ke Makassar. Di samping itu, terdapat juga penduduk kota yang berasal dari India. Beberapa kerajaan yang berdaulat di Asia bahkan memiliki perwakilan mereka di Kota Makassar, seperti Kesultanan

Aceh฀dan฀Goloncoda฀(India)฀untuk฀membantu฀warga฀mereka฀yang฀berdagang฀

kota pelabuhan tersebut, begitu juga kantor dagang beberapa negara Eropa bahkan telah berdiri di pelabuhan ini.78 Dengan demikian, Makassar tumbuh sebagai kota dagang yang multietnis dan terbuka. Pada awal abad ke-16 di daerah Sulawesi Selatan terdapat banyak kerajaan-kerajaan, yang menurut Tomé Pires setidaknya berjumlah sekitar 50 kerajaan yang penduduknya menganut “berhala”. Beberapa kerajaan yang di kenal di antaranya Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu.79

Peta Makassar tahun 1665 (The Atlas Blaeu). Pada abad ke-16 setelah Malaka berhasil direbut Belanda dari penguasaan Portugis pada tahun 1641, banyak pedagang Portugis kemudian mengungsi ke Makassar.

Sumber: The Atlas Blaeu-Van der Hem, Arsip Nasional Belanda, http://www. atlasofmutualheritage.nl/en/object/?id=7474

Dibandingkan dengan wilayah lain di Nusantara, daerah Sulawesi termasuk yang agak terlambat dalam menerima Islam, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar, telah menerima pengaruh Islam dari Ternate pada pertengahan abad ke-16. Namun, bukti tentang perkembangan pengaruh Islam di Sulawesi terjadi ketika Raja Tallo yang saat itu menjadi mangkubumi80(pabicarabutta)฀ di Kerajaan Gowa yang bernama I Mallingkaeng Daeng Manyonri Karaeng Katangka, Karaeng Matoaya, Tumenanga ri Agamana masuk Islam pada tahun 1605. Ia kemudian diberi gelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Setelah itu, Raja Gowa ke-14 I Mangerangi Daeng Manrabbia masuk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna. Kejadian ini dapat dianggap sebagai peristiwa penting dalam perkembangan Islam di Sulawesi. Dua tahun berikutmya, rakyat Gowa dan Tallo diislamkan ditandai dengan dilakukannya

shalat฀Jumat฀bersama฀di฀Tallo฀pada฀19฀Rajab฀1068฀H฀(Nopember฀1607).฀Penyebar฀

agama Islam di daerah ini ialah seorang ulama yang berasal dari Kota Tengah, Minangkabau bernama Abdul Ma’mur Chatib Tunggal yang lebih dikenal sebagai Dato ri Bandang, nama ini juga dikenal sebagai penyebar agama Islam di daerah Buton, Selayar, Bima, dan Lombok.81

Letak kota Makassar sangat strategis secara geo-politik. Ia diapit oleh dua sungai

(Tallo฀ dan฀ Jeneberang),฀ di฀ sebelah฀ selatan฀ dan฀ utara;฀ di฀ sebelah฀ timur฀ oleh฀

lembah pegunungan Bawakaraeng yang sangat luas dan subur; dan di sebelah barat oleh lautan dengan banyak pulau-pulau kecil yang dapat difungsikan seperti benteng-benteng pertahanan di depan pantai Makassar.

Pada akhir abad ke-15, Makassar yang saat itu masih berupa pemukiman kecil di muara Sungai Tallo membuka sebuah pelabuhan kecil. Pelabuhan niaga ini pada awalnya berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang yang berpusat di daerah Pangkajene. Kemudian, pada abad ke-16 pelabuhan ini bergabung dengan kerajaan Gowa.82 Lokasi pelabuhan yang pada awalnya di muara Sungai Tallo kemudian digeser ke daerah muara Sungai Jeneberang. Di daerah baru ini para bangsawan Kerajaan Gowa-Tallo membangun kompleks istana lengkap dengan benteng keliling sebagai pertahanan, yang kemudian dikenal dengan nama Benteng Somba Opu.

Kerajaan Gowa-Tallo memiliki sembilan benteng pertahanan yang terletak di sepanjang pesisir Selat Makassar.83 Salah satu perbentengan tersebut adalah Benteng Jumpandang. Letak Benteng Jumpandang di utara Benteng Somba Opu yang mempunyai fungsi sebagai kawasan pertahanan, juga berfungsi sebagai pelabuhan Kerajaan Gowa.84 Sedangkan di sebelah timur Benteng Jumpandang adaah benteng utama kerajaan Gowa bernama Mandarsyah yang kemudian oleh VOC diganti menjadi Vredenburg.85

Setelah mengalahkan Kerajaan Gowa dengan menghancurkan Benteng Somba Opu, VOC mengambil alih kawasan Benteng Jumpandang dan menjadikannya sebagai basis utama pertahanan dan aktivitasnya di Makassar. VOC

Pada masa kerajaan