• Tidak ada hasil yang ditemukan

DATA DAN ANALISIS

2. Bangunan Pendukung

Bangunan III Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Sakral Bangunan IV Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Madya Bangunan VII Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Profan

3. Batas

Pagar Batu Keliling Vernakular Masa Klasik Madya Ruang Madya Tangul Kuno Vernakular Masa Klasik Madya Ruang Madya

4. Ornamen

Stupa Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Sakral Fragmen arca Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Sakral Inskripsi mantra Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Sakral Pahatan vajra Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Sakral Pelataran Arsitektur Klasik Masa Klasik Madya Ruang Profan

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Berdasarkan penggolongan fitur arsitekturnya kawasan Candi Muara Takus memiliki tipe dan gaya arsitektur kalsik dengan pengaruh agama Budha yang kuat pada arca dan stupanya. Usia bangunan cukup tua karena diperkirakan dibangun pada masa klasik madya yaitu 900 M -1250 M (Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, 2010). Berdasarkan gaya arsitektur dan usianya diketahui bahwa kawasan Candi Muara Takus adalah bangunan suci yang menjadi pusat penyebaran agama Budha yang pendiriannya berkaitan erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini juga didukung oleh bukti bahwa selain Candi Muara Takus tidak ada lagi temuan kepurbakalaan Hindu-Budha di Sumatera yang menghadap arah timur laut sebagaimana filosofi dalam ajaran Budha. Penggolongan fitur arsitektur tersebut juga berperan dalam membentuk zona kesakralan dalam kawasan. Zona tersebut terdiri dari tiga ruang utama dengan tingkatan kesakralan yang berbeda yaitu ruang sakral, madya dan profan (Gambar 15).

Penelusuran Kesejarahan dan Signifikansi Situs

Candi Muara Takus pertama kali ditemukan oleh Cornet De Groot pada tahun 1860 yang ditulis dalam buku yang berjudul “Koto Candi”. Buku tersebut banyak menarik perhatian para ahli sehingga dilakukan beberapa penelitian. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa Candi Muara Takus adalah peninggalan abad XII yang berkaitan erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang ibukotanya selalu berpindah-pindah. Pemilihan suatu ibukota biasanya dikaitkan dengan masalah perdagangan, keamanan dan lain sebagainya. Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara dan diperkirakan berdiri dari abad 7–13 M. Wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya terbentang dari Thailand Selatan dan Semenanjung Melayu di utara, sampai ujung Selatan Pulau Sumatera, bahkan menyerang Pulau Jawa.

Sejarah yang terkait dengan Kerajaan Sriwijaya menjadi polemik yang berkepanjangan diantara ahli sejarah dan arkeolog. Letak ibukotanya telah menjadi bahan perdebatan sejak awal abad 20 M. Sejarah mengungkapkan bahwa terdapat beberapa tempat yang memiliki kemungkinan pernah menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya. Tempat tersebut diantaranya Palembang, Jambi dan Riau. Alasan ketiga tempat tersebut berpotensi menjadi ibukota Kerajaan Sriwijaya adalah letak geografis kawasan, keberadaan sungai besar sebagai jalur transportasi air, serta ditemukannya peninggalan arkeologis yang se-zaman dengan masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.

Analisis makna kekhususan dan keunikan pada kawasan Candi Muara Takus dilakukan untuk menentukan tindakan, perlakuan atau treatment pelestarian yang akan dilaksanakan (Tabel 8 dan Tabel 9). Semakin tinggi makna kekhususan sejarah dan tingkat keunikannya maka semakin penting dilakukan suatu tindakan pelestarian terhadap suatu lanskap budaya. Tindakan pelestarian merupakan upaya atau cara untuk mempertahankan serta mendukung keutuhan bentuk dan karakter lanskap budaya. Pelestarian berperan dalam melindungi nilai, warisan atau peninggalan masa lampau terhadap perubahan dan segala sesuatu yang membahayakan keberadaan serta kelestarian lanskap budaya.

Suatu wilayah atau kawasan harus memenuhi persyaratan tertentu untuk dapat dikategorikan memiliki makna kekhususan dan keunikan yang tinggi. Harris

dan Dines (1988), menetapkan beberapa tipikal dasar yang dapat menentukan tingkat kekhususan dan keunikan suatu lanskap sejarah.

Tabel 8. Hasil Evaluasi Makna Kekhususan Sejarah dari Suatu Lanskap

Tipikal Tinggi Sedang Rendah

Tata guna lahan

Persepsi terhadap topografi

Hubungan spasial

Pola sirkulasi

Tipe struktur

Penempatan struktur

Kualitas estetik

Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan

Tinggi : Memikili karakter yang berbeda dengan lanskap lainnya dan terkait dengan nilai atau norma dalam ajaran tertentu

Sedang : Memikili karakter yang berbeda dan hanya ada ditempat tersebut Rendah : Memiliki kesamaan karakter dengan beberapa tempat lainnya

Berdasarkan tipikal makna kekhususannya dapat disimpulkan bahwa Kawasan Candi Muara Takus memiliki nilai historikal yang tinggi sehingga perlu dilestarikan keberadaannya. Pada kawasan percandian terdapat suatu aturan tatanan lanskap yang terkait dengan nilai dan norma dalam ajaran agama Budha. Aturan tersebut diaplikasikan pada perilaku terhadap topografi, tata guna lahan, pola sirkulasi serta penempatan struktur dalam lanskap sehingga tercipta hubungan spasial yang khas dan berbeda yaitu berdasarkan tingkat kesucian dan kepentingannya. Tipe struktur candi serta ornamen-ornamen pendukung yang dalam kawasan juga memiliki karakter khusus, dimana struktur dan ornamen dipengaruhi oleh aliran Budha Mahayana serta memiliki kemiripan dengan kawasan Angkor Wat, Kamboja. Karakter tersebut menyebabkan Candi Muara Takus berbeda dengan candi-candi lainnya yang ada di nusantara sehingga dilihat dari kekhususan maknanya Candi Muara Takus juga memiliki nilai kualitas estetik lanskap yang tinggi.

Tabel 9. Evaluasi Makna Keunikan Sejarah dari Suatu Lanskap

Tipikal Tinggi Sedang Rendah

Kualitas estetik

Inovasi teknologi

Asosiasi kesejarahan

Integritas Kawasan

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Berdasarkan tipikal makna keunikannya dapat disimpulkan bahwa Kawasan Candi Muara Takus memiliki tingkat keunikan yang tinggi. Bentukan arsitektur bangunan candi yang kawasan mencirikan bahwa pada masa pembuatannya masyarakat telah mengenal inovasi teknologi dan nilai estetika suatu kawasan atau lanskap. Berdasarkan penilaian faktor kekhususan dan keunikan diketahui bahwa kawasan Candi Muara Takus memiliki nilai yang tinggi. Oleh karena itu, penting dilakukan suatu tindakan pelestarian terhadap suatu lanskap sejarah budaya.

Kondisi Peninggalan Situs Candi Muara Takus

Berdasarkan survei lapang (2010), diketahui bahwa jenis, jumlah dan lokasi struktur yang ditemukan dalam kawasan bangunan utama Candi Muara Takus sampai saat ini tidak mengalami perubahan dan tetap dipelihara dengan baik. Namun tidak demikian halnya dengan bangunan yang berada dalam batas wilayah tanggul kuno. Batas fisik tanggul kuno dan ornamen-ornamen yang ada dalam kawasan candi mulai mengalami kerusakan. Penyebabnya adalah pembangunan PLTA Koto Panjang yang telah menenggelamkan 1/3 bagian kawasan (Gambar 16) dalam batas tanggul kuno. Kondisi feature arsitektur sejarah yang ada dalam kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 10. Degradasi fisik peninggalan arkeologis dalam situs Candi Muara Takus tidak hanya disebabkan oleh PLTA Koto Panjang. Pemindahan fragmen dan arca-arca serta adanya pembangunan struktur pendukung yang tidak sesuai dengan tema arkeologis juga berperan dalam menurunkan integritas lanskap dalam kawasan situs tersebut.

Table 10. Evaluasi Kondisi Arsitektur Sejarah Candi Muara Takus

Objek Sejarah Kondisi

Baik Sedang Rusak 1. Bangunan Utama Candi Tua √ Candi Bungsu √ Candi Mahligai √ Candi Palangka √ Bangunan I √ Bangunan II √ 2. Bangunan Pendukung Bangunan III √ Bangunan IV √ Bangunan VII √ 3. Batas

Pagar Batu Keliling √

Tangul Kuno √ 4. Ornamen Stupa √ Fragmen arca √ Inskripsi mantra √ Pahatan vajra √ Pelataran √

Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan

Baik : Struktur bangunan baik dan lanskap kawasan tidak mengalami perubahan.

Sedang : Sebagian struktur bangunan hilang atau dipindah tempatnya tetapi bentuk asli banguanan belum berubah.

Rusak : Struktur bangunan mengalami degradasi fisik dan lanskap kawasan telah berubah dari kondisi aslinya.

Analisis aspek kesejarahan menghasilkan peta kesejarahan kawasan yang terdiri dari ruang yang harus diproteksi karena nilai dan karakteristik kesejarahannya tinggi, kawasan yang mendapat perbaikan khususnya pada area terdapatnya peninggalan situs Candi Muara Takus serta kawasan yang nilai kesejarahannya rendah (profan) potensial sebagai pendukung wisata. Peta tersebut (Gambar 17) diperoleh dari overlay peta tingkat kesakralan kawasan dan kondisi kawasan setelah pembangunan PLTA Koto Panjang.

Aspek Religi pada Situs Candi Muara Takus

Filosofi Terkait Situs Candi Muara Takus

Pada suatu kawasan percandian terdapat suatu aturan tatanan lanskap yang terkait dengan nilai dan norma dalam ajaran agama. Pada Candi Muara Takus, aturan tatanan lanskap tersebut diaplikasikan dengan adanya pembagian ruang berdasarkan tingkat kesucian yang juga mempengaruhi fungsi utama dari ruang tersebut. Area atau ruang yang dianggap suci biasanya diletakkan pada posisi paling belakang, posisi tengah atau posisi yang paling tinggi. Berdasarkan analisa peninggalan arkeologis maka dapat disimpulkan bahwa kawasan percandian merupakan areal utama dari seluruh kawasan. Hal ini ditandai dengan adanya pagar keliling yang melindungi kawasan serta bangunan utama yaitu Candi Tua.

Pada kawasan percandian aliran Budha Mahayana biasanya terdapat bermacam-macam bangunan yaitu mandapa, perpustakaan, wihara, asrama biksu, stupa tanpa ruang dalam beragam ukuran serta bangunan utama berisai arca Budha dan Bodhisatwa. Bangunan tersebut menempati sebuah lahan yang dibagi secara seksama. Namun, saat ini kawasan percandian yang memiliki kelengkapan struktur tidak ditemukan di nusantara. Refrensi hanya dapat dilihat pada situs-situs yang menyebar di Asia Daratan.

Pada kawasan Candi Muara Takus, sebagian besar bangunan peribadatan sudah tidak ditemukan lagi. Perubahan tatanan lanskap tersebut terjadi karena setelah keruntuhan kerajaan Sriwijaya areal tersebut dikuasai kerajaan-kerajaan lainnya. Masuk dan menyebarnya agama Islam juga memberi kontribusi dalam perubahan tatanan lanskap sekitar kawasan. Modernisasi dan status kepemilikan lahan kawasan oleh masyarakat juga merubah struktur tatanan lanskap kawasan sehingga keaslian dan integritasnya terdegradasi.

Ritual Keagamaan dan Lokasi Pelaksanaannya

Agama Budha memilki empat perayaan utama yaitu Maghapuja, Asadha, Khatnia, dan Waisak. Pada saat perayaan utama, para pemeluk agama Budha biasanya melakukan ritual atau upacara keagamaan di vihara dan candi. Demikian halnya pada Candi Muara Takus. Saat jatuh tanggal perayaan utama para pemeluk

agama Budha akan datang dan melakukan kegiatan ritual dalam kawasan. Gambar 18 adalah gambaran ritual keagamaan yag dilakukan oleh pemeluk agama Budha di kawasan Candi Muara Takus.

Gambar 18. Ritual Keagamaan di Candi Tua oleh Komunitas Budhis (Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)

Ritual keagamaan dalam kawasan Candi Muara Takus diawali dengan posesi pengambilan air suci dari sumber mata air murni yang ada pada kawasan oleh para biksu majelis. Ritual tersebut dikenal sebagai ritual air berkah (Gambar 19). Sebelum melakukan pengambilan air suci para biksu tersebut akan melakukan puja bakti bersama di altar Candi Muara Takus. Kemudian secara bergantian para biksu tersebut membawa kendi ke mata air murni untuk diisi air dengan air suci. Air suci tersebut kemudian dibawa ke candi utama dalam kawasan Candi Muara Takus yaitu Candi Tua. Air suci akan didoakan dan dibagikan kepada umat Budha. Dalam agama Budha air adalah unsur alam utama dalam kehidupan manusia. Unsur alam membantu manusia membersihkan diri dari kotoran batin yaitu kebodohan, keserakahan, dan kebencian.

Gambar 19. Ritual Air Berkah

(Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)

Setelah pengambilan ritual air suci maka dilakukan ritual Pindatapa, yaitu pemberian bahan makanan kepada para biksu oleh umat. Alansan utama dilakukannya ritual tesebut adalah para biksu agama Budha mengabdikan hidup mereka sepenuhnya tanpa memiliki mata pencaharian yang lain. Setelah pelaksanaan ritual Pindatapa, biksu dan umat bersemadi di pelataran bangunan utama sampai pada detik-detik bulan purnama. Penentuan bulan purnama dilakukan berdasarkan pada perhitungan falak. Puncak purnama bisa terjadi pada siang hari. Selain ketiga ritual pokok tersebut, perayaan utama juga diisi dengan pradaksina, pawai dan kesenian tradisional. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada ruang terbuka dalam kawasan candi. Lokasi pelaksanaan tiap-tiap ritual pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 20.

Alur ritual keagamaan dan lokasi pelaksanaan ritual dalam analisis aspek religi berperan dalam memetakan tempat melakukan ritual utama dalam kawasan Candi Muara Takus. Ruang yang terbentuk terdiri dari ruang memiliki tingkat kesakralan (kesucian) yang tinggi sehingga perlu diproteksi/dilestarikan dan ruang yang tidak terkait langsung dengan kegiatan ritual keagamaan. Pengembangan ruang memiliki tingkat kesakralan tinggi dalam penelitian ini diarahkan untuk mengakomodasi ritual keagamaan yang dilakukan para pemeluk agama Budha pada kawasan. Sementara ruang yang tidak terkait dengan ritual keagamaan pengembangannya diarahkan sebagai area pengembangan wisata budaya. Peta yang terbentuk adalah peta religi kawasan (Gambar 21).

Aspek Kepariwisataan

Potensi Lanskap Kawasan Candi Muara Takus 1. Topografi dan Kemiringan Lahan

Kawasan situs candi Muara Takus terletak pada ketinggian < 500 meter dari permukaan laut dengan bentuk lahan relatif datar. Kemiringan lereng di situs Candi Muara Takus didominasi kategori kemiringan 3-8 %. Sebaran dari kelas lereng di dalam kawasan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 22.

Tabel 11. Distribusi Kelas Lereng dalam Kawasan Candi Muara Takus

Dokumen terkait