• Tidak ada hasil yang ditemukan

DATA DAN ANALISIS

1. Bangunan Utama Candi Tua √

Candi Bungsu √ Candi Mahligai √ Candi Palangka √ Bangunan I √ Bangunan II √ 2. Bangunan Pendukung Bangunan III √ Bangunan IV √ Bangunan VII √ 3. Batas

Pagar Batu Keliling √

Tangul Kuno √ 4. Ornamen Stupa √ Fragmen arca √ Inskripsi mantra √ Pahatan vajra √ Pelataran √

Sumber : Hasil Analisis, 2010 Keterangan

Baik : Struktur bangunan baik dan lanskap kawasan tidak mengalami perubahan.

Sedang : Sebagian struktur bangunan hilang atau dipindah tempatnya tetapi bentuk asli banguanan belum berubah.

Rusak : Struktur bangunan mengalami degradasi fisik dan lanskap kawasan telah berubah dari kondisi aslinya.

Analisis aspek kesejarahan menghasilkan peta kesejarahan kawasan yang terdiri dari ruang yang harus diproteksi karena nilai dan karakteristik kesejarahannya tinggi, kawasan yang mendapat perbaikan khususnya pada area terdapatnya peninggalan situs Candi Muara Takus serta kawasan yang nilai kesejarahannya rendah (profan) potensial sebagai pendukung wisata. Peta tersebut (Gambar 17) diperoleh dari overlay peta tingkat kesakralan kawasan dan kondisi kawasan setelah pembangunan PLTA Koto Panjang.

Aspek Religi pada Situs Candi Muara Takus

Filosofi Terkait Situs Candi Muara Takus

Pada suatu kawasan percandian terdapat suatu aturan tatanan lanskap yang terkait dengan nilai dan norma dalam ajaran agama. Pada Candi Muara Takus, aturan tatanan lanskap tersebut diaplikasikan dengan adanya pembagian ruang berdasarkan tingkat kesucian yang juga mempengaruhi fungsi utama dari ruang tersebut. Area atau ruang yang dianggap suci biasanya diletakkan pada posisi paling belakang, posisi tengah atau posisi yang paling tinggi. Berdasarkan analisa peninggalan arkeologis maka dapat disimpulkan bahwa kawasan percandian merupakan areal utama dari seluruh kawasan. Hal ini ditandai dengan adanya pagar keliling yang melindungi kawasan serta bangunan utama yaitu Candi Tua.

Pada kawasan percandian aliran Budha Mahayana biasanya terdapat bermacam-macam bangunan yaitu mandapa, perpustakaan, wihara, asrama biksu, stupa tanpa ruang dalam beragam ukuran serta bangunan utama berisai arca Budha dan Bodhisatwa. Bangunan tersebut menempati sebuah lahan yang dibagi secara seksama. Namun, saat ini kawasan percandian yang memiliki kelengkapan struktur tidak ditemukan di nusantara. Refrensi hanya dapat dilihat pada situs-situs yang menyebar di Asia Daratan.

Pada kawasan Candi Muara Takus, sebagian besar bangunan peribadatan sudah tidak ditemukan lagi. Perubahan tatanan lanskap tersebut terjadi karena setelah keruntuhan kerajaan Sriwijaya areal tersebut dikuasai kerajaan-kerajaan lainnya. Masuk dan menyebarnya agama Islam juga memberi kontribusi dalam perubahan tatanan lanskap sekitar kawasan. Modernisasi dan status kepemilikan lahan kawasan oleh masyarakat juga merubah struktur tatanan lanskap kawasan sehingga keaslian dan integritasnya terdegradasi.

Ritual Keagamaan dan Lokasi Pelaksanaannya

Agama Budha memilki empat perayaan utama yaitu Maghapuja, Asadha, Khatnia, dan Waisak. Pada saat perayaan utama, para pemeluk agama Budha biasanya melakukan ritual atau upacara keagamaan di vihara dan candi. Demikian halnya pada Candi Muara Takus. Saat jatuh tanggal perayaan utama para pemeluk

agama Budha akan datang dan melakukan kegiatan ritual dalam kawasan. Gambar 18 adalah gambaran ritual keagamaan yag dilakukan oleh pemeluk agama Budha di kawasan Candi Muara Takus.

Gambar 18. Ritual Keagamaan di Candi Tua oleh Komunitas Budhis (Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)

Ritual keagamaan dalam kawasan Candi Muara Takus diawali dengan posesi pengambilan air suci dari sumber mata air murni yang ada pada kawasan oleh para biksu majelis. Ritual tersebut dikenal sebagai ritual air berkah (Gambar 19). Sebelum melakukan pengambilan air suci para biksu tersebut akan melakukan puja bakti bersama di altar Candi Muara Takus. Kemudian secara bergantian para biksu tersebut membawa kendi ke mata air murni untuk diisi air dengan air suci. Air suci tersebut kemudian dibawa ke candi utama dalam kawasan Candi Muara Takus yaitu Candi Tua. Air suci akan didoakan dan dibagikan kepada umat Budha. Dalam agama Budha air adalah unsur alam utama dalam kehidupan manusia. Unsur alam membantu manusia membersihkan diri dari kotoran batin yaitu kebodohan, keserakahan, dan kebencian.

Gambar 19. Ritual Air Berkah

(Sumber: Vihara Dharmaloka Pekanbaru Riau, 2010)

Setelah pengambilan ritual air suci maka dilakukan ritual Pindatapa, yaitu pemberian bahan makanan kepada para biksu oleh umat. Alansan utama dilakukannya ritual tesebut adalah para biksu agama Budha mengabdikan hidup mereka sepenuhnya tanpa memiliki mata pencaharian yang lain. Setelah pelaksanaan ritual Pindatapa, biksu dan umat bersemadi di pelataran bangunan utama sampai pada detik-detik bulan purnama. Penentuan bulan purnama dilakukan berdasarkan pada perhitungan falak. Puncak purnama bisa terjadi pada siang hari. Selain ketiga ritual pokok tersebut, perayaan utama juga diisi dengan pradaksina, pawai dan kesenian tradisional. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada ruang terbuka dalam kawasan candi. Lokasi pelaksanaan tiap-tiap ritual pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 20.

Alur ritual keagamaan dan lokasi pelaksanaan ritual dalam analisis aspek religi berperan dalam memetakan tempat melakukan ritual utama dalam kawasan Candi Muara Takus. Ruang yang terbentuk terdiri dari ruang memiliki tingkat kesakralan (kesucian) yang tinggi sehingga perlu diproteksi/dilestarikan dan ruang yang tidak terkait langsung dengan kegiatan ritual keagamaan. Pengembangan ruang memiliki tingkat kesakralan tinggi dalam penelitian ini diarahkan untuk mengakomodasi ritual keagamaan yang dilakukan para pemeluk agama Budha pada kawasan. Sementara ruang yang tidak terkait dengan ritual keagamaan pengembangannya diarahkan sebagai area pengembangan wisata budaya. Peta yang terbentuk adalah peta religi kawasan (Gambar 21).

Aspek Kepariwisataan

Potensi Lanskap Kawasan Candi Muara Takus 1. Topografi dan Kemiringan Lahan

Kawasan situs candi Muara Takus terletak pada ketinggian < 500 meter dari permukaan laut dengan bentuk lahan relatif datar. Kemiringan lereng di situs Candi Muara Takus didominasi kategori kemiringan 3-8 %. Sebaran dari kelas lereng di dalam kawasan dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 22.

Tabel 11. Distribusi Kelas Lereng dalam Kawasan Candi Muara Takus

KELAS KEMIRINGAN (%) LUAS

Ha %

1. Datar 0 – 3 31.20 33.02

2. Landai 3 – 8 35.72 37.80

3. Agak Curam 8 – 15 27.50 29.18

JUMLAH 94.5 100.0

Sumber : Hasil Survei Lapang, 2010

Berdasarkan segi visual tapak, topografi seperti ini biasanya memberikan kesan yang monoton. Namun, berdasarkan ketinggian topografinya, bangunan utama candi berada pada titik yang paling tinggi dalam kawasan, sehingga menjadi fokus utama yang dapat dilihat dari berbagai penjuru. Peletakan posisi candi tersebut berdasarkan sumber sejarah memiliki makna yaitu untuk mendekatkan diri dengan tempat para dewa bertahta atau tempat yang suci.

Topografi kawasan erat kaitannya dengan kemiringan lahan. Kemiringan merupakan bentukan lahan suatu lanskap berdasarkan perbedaan tingkat ketinggian lahan. Berdasarkan analisis data lapangan diketahui bahwa kawasan perencanaan memiliki kelas lerengnya cenderung landai. Area yang datar mendominasi kawasan bangunan utama. Sementara, semakin mendekati muara sungai Kampar Kanan, lahan daratan semakin landai membentuk cekungan. Keragaman kemiringan sangat mendukung pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata budaya. Kondisi topografi dan kemiringan lahan penting untuk diketahui karena menjadi dasar dalam pembangunan akses jalan utama, penempatan utilitas wisata dan untuk mendapatkan kawasan wisata yang nyaman bagi pengunjung.

2. Tata` Guna Lahan Kawasan

Luas total dari kawasan Candi Muara Takus adalah berdasarkan survei lapangan tahun 2010 adalah ± 94,5 Ha. Penggunaan lahan dalam kawasan Candi Muara Takus terbagi dalam dua bagian utama, yaitu lahan darat ± 56.44 m² dan danau PLTA Koto Panjang ± 38.06 m². Persentasi dan luasan dari masing-masing fungsi penggunaan lahan yang terdapat pada kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 23.

Tabel 12. Penggunaan Lahan dalam Kawasan Candi Muara Takus

No Peruntukan Luas

(m²) (%)

1. Bangunan Situs Candi 3.26 3.45

2. Hutan Sekunder 34.21 36.21

3. Kebun Sawit dan Karet 17.25 18.25

4. PLTA Koto Panjang 38.06 40.27

6. Fasilitas Wisata Eksisting 1.72 1.82

JUMLAH 94.5 100.0

Sumber : Hasil Survei Lapang, 2010

Berdasarkan penelusuran sejarah diketahui bahwa kawasan adalah pusat peribadatan agama Budha yang dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Pusat peribadatan biasanya tata guna lahan kawasan terdiri dari bangunan candi, pesanggrahan raja ketika berkunjung, kawasan pendeta, tempat pembakaran mayat, serta tempat penyimpanan harta kerajaan. Namun, sebagian bangunan yang ada pada kawasan tidak memiliki kelengkapan struktur sehingga menyulitkan proses identifikasi.

Perkembangan zaman telah menyebabkan perubahan status kepemilikan lahan kawasan. Sejak keruntuhan kerajaan Sriwijaya kawasan tersebut dikuasai oleh beberapa kerajaan lain. Masuk dan menyebarnya agama Islam juga memberi kontribusi dalam perubahan tatanan lanskap dan status kepemilikan kawasan situs. Status kepemilikan sebagian kawasan situs saat ini dipengang oleh masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan beberapa permasalahan karena beberapa alih fungsi lahan yang dilakukan masyarakat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai berpotensi merusak integritas lanskap sejarah, menghilangkan ciri khas eksisting serta mendegradasi nilai budaya dalam kawasan.

Permasalahan yang muncul akibat alih fungsi lahan kawasan tidak hanya disebabkan perubahan status kepemilikan kawasan yang dipegang masyarakat setempat. Modernisasi dan komersialisasi kawasan sebagai tempat wisata tanpa memperhatikan fungsi utama situs sebagai tempat peribadatan bagi pemeluk agama Budha serta nilai dan norma yang berlaku dalam ajaran Budha juga berpeluang mendegradasi kondisi lanskap kawasan. Permasalahan yang muncul akibat alih fungsi lahan kawasan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Permasalahan dan Solusi terkait Tata Guna Lahan Kawasan

No Permasalahan Solusi Perencanaan

1 Dalam kawasan Candi terdapat beberapa pemukiman dan lahan perkebunan milik penduduk

Pembebasan lahan sekitar kawasan candi serta pemberian batas yang jelas dan area pengangga.

2 Penduduk memanfaatkan lahan dalam kawasan (area fasilitas pendukung wisata) sebagai area pengembalaan ternak

Perbaikan batas fisik (Tanggul Kuno) pada kawasan untuk

mencegah ternak penduduk masuk ke dalam kawasan Candi Muara Takus.

3 Pembangunan infrastruktur wisata yang tidak memperhatikan nilai arkeologis pada kawasan

Relokasi beberapa infrastruktur yang letaknya telalu dekat dengan situs candi Muara Takus

4 Keberadaan PLTA Koto Kampar pada sungai Kampar Kanan yang berpotensi menenggelamkan kawasan Candi Muara Takus.

Pengaturan standar tinggi muka air pada tanggul PLTA agar tidak merendam sebagian kawasan khusunya pada musim penghujan. 5 Pembagian zona dalam kawasan

tidak jelas sehingga beberapa bangunan candi diluar kawasan bangunan utama terbengkalai atau tidak terlindungi.

Penataan zona dalam kawasan serta pembuatan protect area pada titik banguanan-banguanan pendukung kawasan Candi Muara Takus.

6 Konflik kepemilikan lahan Pembebasan lahan kawasan situs Sumber : Hasil Analisis, 2010

Permasalahan-permasalahan yang sering terjadi pada kawasan sejarah dan budaya erat kaitannya dengan konflik kepemilikan lahan. Maka, diperlukan suatu solusi yang dapat mengakomodasikan kepentingan ahli waris (masyarakat lokal pemilik lahan dalam situs Candi Muara Takus) dan tujuan pemerintah kota dalam

upaya merevitalisasi situs sejarah sehingga tetap lestari dan terjaga. Gambar 24 adalah tata guna lahan yang tidak mendukung situs arkeologis sehingga perlu ditata kembali guna mendukung ekosistem kawasan dan situs Candi Muara Takus.

Gambar 24. Penyimpangan Tata Guna Lahan Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)

(a) Kebun Sawit penduduk (b) Warung Semi Permanen

(c) Playground dan Taman (d) Ternak dalam Kawasan Situs

3. Hidrologi

Sungai besar yang terdapat di kawasan Candi Muara Takus adalah sungai Kampar Kanan. Tahun 1992, pada sungai Kampar Kanan dilakukan pembangunan bendungan sehingga terbentuk waduk. Proyek ini merupakan proyek pembangkit Listrik Tenaga Air hasil kerjasama pemerintah kota Kabupaten Kampar dengan pihak Tokyo Electric Power Limited. Kondisi hidrologis, jumlah serta kualitasnya air di Situs Candi Muara Takus cukup baik. Sungai Kampar Kanan di bagian barat situs mengalir sepanjang musim. Pemanfaatan air sungai saat ini adalah untuk keperluan budidaya pertanian, wisata serta untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat lokal. Selain itu, sungai juga dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik dan kegiatan transportasi bagi Kabupaten Kampar. Kondisi hidrologi dapat dilihat pada Gambar 25.

Gambar 25. Bentukan Hidrologis di Kawasan Candi Muara Takus (Sumber : Survei Lapangan, 2010)

Untuk melindungi situs Candi Muara Takus dari dampak negatif hidrologis pada kawasan maka dilakukan beberapa alternatif tindakan yang mendukung pelestarian, diantaranya yaitu:

 Perbaikan dan perkuatan struktur Tanggul Kuno

 Revitalisasi bagian Tanggul Kuno yang telah tenggelam

 Pengaturan standar tinggi muka air PLTA Koto Panjang agar tidak melebihi tinggi struktur Tanggul Kuno.

Badan air yang ada dalam kawasan situs Candi Muara Takus juga dapat dimanfaatkan dalam pengembangan wisata. Badan air berfungsi sebagai akses

penghubung antar objek dan atraksi wisata serta sebagai jalur interpretasi wisata dalam kawasan.

4. Potensi Visual Tapak

Potensi visual yang ada pada tapak meliputi pemandangan ke arah dalam bangunan utama Candi Muara Takus (dalam pagar 74x74 m), pemandangan ke arah luar banguan utama kawasan candi namun masih di dalam tanggul kuno, dan pemandangan ke luar tanggul kuno. Pemandangan tersebut dapat dikategorikan sebagai good view dan bad view (Gambar 26).

Pemandangan yang termasuk dalam kategori good view diantaranya yaitu pemandangan ke arah dalam kawasan Candi Muara Takus, pemandangan kearah Danau PLTA dan Bukit Suligi serta pemandangan pada area bekas jembatan Umpamo. Pemandangan ke arah kawasan Candi Muara Takus termasuk kategori baik karena pengunjung dapat melihat bentuk dan keindahan arsitektural bangunan utama yang masih terjaga keasliannya. Danau PLTA dan Bukit Suligi dengan keindahan alaminya serta area bekas jembatan Umpamo tempat pengunjung dapat menyaksikan aktivitas nelayan dan bongkar muat sawit. Good view yang ada dalam dikawasan perencanaan akan dikembangkan untuk mendukung pembangunan kawasan candi sebagai objek wisata budaya.

Pemandangan yang termasuk dalam kategori bad view adalah view ke arah fasilitas wisata dalam kawasan yaitu warung-warung, toilet, children playground, taman. Hal ini disebabkan karena desain fasilitas yang bergaya melayu kurang sesuai dengan tema arkeologis pada kawasan Candi Muara Takus. Selain itu, posisi fasilitas wisata yang terlalu dekat (dalam radius 100 mater) dengan kawasan bangunan utama candi juga menjadi faktor pertimbangan dalam penentuan kategori bad view tersebut. Pemandangan yang termasuk dalam kategori bad view dalam pengembangan kawasan sebagai objek wisata budaya akan diminimalisasi dengan merelokasinya ke tempat yang lebih sesuai yaitu ruang pendukung wisata yang berjarak lebih dari radius 100 meter dari banguanan utama Candi Muara Takus.

Objek dan Atraksi Wisata

Objek wisata utama yang ada dalam kawasan situs adalah bangunan Candi Muara Takus dengan karakter yang khas serta bernilai budaya tinggi. Kondisi bangunan candi saat ini cukup baik dan masih sangat alami. Pada kawasan tersebut dapat terlihat suatu karya lanskap sejarah dan budaya masa lampau dengan kekhasan dan keunikannya. Suasana paling menarik dapat dirasakan pada saat perayaan hari-hari besar dalam agama Budha. Perayaan tersebut adalah Maghapuja, Asadha, Khatnia, dan Waisak. Saat perayaan hari-hari besar peziarah lokal maupun internasional dari komunitas Budhis akan datang untuk berdoa dan melakukan ritual keagamaan di kawasan Candi Muara Takus. Perayaan biasanya diisi dengan ritual keagamaan, pawai serta kesenian tradisional. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan pada ruang terbuka dalam kawasan candi.

Situs Candi Muara Takus sebagai objek wisata utama telah dilengkapi fasilitas pendukung wisata yaitu area playground, taman kering, dermaga wisata, panggung budaya, warung-warung dan toko souvenir. Namun, sebagai objek wisata utama, situs Candi Muara Takus belum cukup menarik minat pengunjung untuk datang ke dalam kawasan. Hal ini disebabkan dalam pengembangannya situs Candi Muara Takus belum memanfaatkan potensi lokal kawasan.

Untuk menunjang kawasan wisata budaya Candi Muara Takus maka perlu dikembangkan beberapa objek dan atraksi wisata lainnya diluar objek dan atraksi yang telah ada saat ini. Objek dan atraksi yang akan dikembangkan disesuaikan dengan potensi lanskap pada kawasan. Objek wisata yang akan dikembangkan dalam kawasan dikelompokan menjadi objek material dan objek immaterial. Objek material terdiri dari bangunan utama situs Candi Muara Takus, bangunan pendukung candi, sumur mata air suci, sungai Kampar Kanan, bukit Suligi dan hutan sekunder kawasan. Sementara objek immaterial terdiri dari sejarah terkait kerajaan Sriwijaya, sejarah pendirian situs Candi Muara Takus serta legenda mengenai desa-desa yang hilang setelah pembanguana PLTA Koto Panjang. Atraksi wisata yang akan mendukung pengembangan situs candi adalah ritual keagamaan yang bersifat temporal dan berbagai atraksi khas Kampar yang dikelola oleh masyarakat setempat. Rincian dari objek dan atraksi yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Gambar 27.

Tabel 14. Objek dan Atraksi yang Akan Dikembangkan

No Objek dan Atraksi Wisata

A. Objek Material 1. Candi Muara Takus

- Candi Tua - Candi Bungsu - Candi Mahligai - Candi Palangka

2. Bangunan pendukung candi - Bangunan I dan II

- Bangunan III - Bangunan VII - Tanggul Kuno 3. Sumur Mata air suci 4. Sungai Kampar Kanan 5. Bukit Suligi

6. Hutan Sekunder Kawasan B. Objek Immaterial

1. Sejarah Kerajaan Sriwijaya 2. Sejarah Candi Muara Takus

3. Legenda desa-desa yang hilang setelah adanya PLTA Koto Panjang - Desa Pongkai

- Desa Muara Takus - Desa Batu Bersurat C. Atraksi Wisata Budaya

1. Ritual Keagamaan (Budha) - Maghapuja

- Asadha - Khatnia - Waisak

2. Seni musik Calempong 3. Seni tari tradisional Kampar 4. Dzikir gubano (semacam Rebana) Sumber : Hasil Analisis, 2010

Aksesibilitas

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kondisi jaringan jalan diketahui bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di wilayah sekitar situs candi sudah cukup memadai. Kawasan Candi Muara Takus dapat dicapai melalui transportasi darat dan air (sungai Kampar Kanan). Jaringan infrastruktur transportasi darat menuju kawasan Candi Muara Takus terdiri dari beberapa jaringan jalan berdasarkan statusnya, yaitu jalan negara, jalan kabupaten dan jalan desa. Fisik jalan negara telah menggunakan perkerasan aspal dengan kondisi bagus. Sementara kondisi jalan kabupaten menuju lokasi Candi Muara Takus bisa dikatakan rusak dengan permukaan berlubang disebabkan oleh truk pengangkut dari perkebunan kelapa sawit. Jarak ± 300 meter menuju lokasi situs Candi Muara Takus dihubungkan oleh jalan desa dengan yang kondisi bagus. Gambar 28 adalah gambaran kondisi jalan menuju kawasan Candi Muara Takus saat ini.

Gambar 28. Kondisi Jalan Menuju Candi Muara Takus. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)

Selain jaringan jalan, transportasi juga menjadi bahan pertimbangan dalam pengembangan kawasan wisata. Sarana transportasi yang dapat diakses menuju situs Candi Muara Takus adalah kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan umum yang beroperasi di daerah ini adalah jenis minibus. Dalam sehari, tiap kendaraan umum hanya beroperasi satu trip perjalanan dengan jumlah armada yang beroperasi berjumlah + 15 armada minibus (Masterplan Kawasan Agropolitan Kecamatan XIII Koto Kampar, 2009). Sementara, sarana transportasi air dapat ditempuh melalui Sungai Kampar. Saat ini yang menggunakan jalur

transportasi air adalah masyarakat nelayan desa setempat dan sekitarnya yang bertujuan untuk mencari ikan. Jalur transportasi air untuk keperluan wisata menuju Situs Candi Muara Takus belum dimanfaatkan. Pemandangan alam yang ditawarkan oleh jalur transportasi air ini tidak kalah indahnya dari jalur transportasi darat. Bahkan kelebihannya adalah dapat digunakan sebagai jalur interpretasi wisata untuk “menceritakan” bekas-bekas situs yang saat ini sebagian telah tenggelam di dalam Danau PLTA Koto Kampar. Oleh karena itu, jalur ini potensial untuk dikembangkan. Jalur Transpotrasi menuju Kawasan Candi Muara Takus dapat dilihat pada Gambar 29.

Gambar 29. Jalur Transpotrasi menuju Kawasan Candi Muara Takus. (Sumber : Survei Lapangan, 2010)

Sirkulasi dalam kawasan Candi Muara Takus dibagi menjadi dua yaitu jalur sirkulasi primer dan jalur sirkulasi sekunder (Gambar 30). Jalur primer merupakan jalur yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor dengan kapasitas dua kendaraan. Sementara jalur sekunder adalah jalan setapak yang melingkar dalam tapak sebagai penghubung fasilitas-fasilitas wisata eksisting dan hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki.

Kondisi fisik dari jalur sirkulasi primer saat ini cukup baik dan terawat. Namun, pada sisi bahu jalan dibutuhkan jalur pedestrian untuk mengakomodasi aktivitas para pejalan kaki saat berada dalam kawasan. Sementara, jalur sirkulasi sekunder yang permukaannya terbuat dari batuan koral, berdasarkan hasil pengamatan ternyata tidak cukup nyaman bagi pejalan kaki. Hal ini dikarenakan

bebatuannya tidak yang tidak masif sering menyulitkan pengunjung saat berjalan diatas permukaannya. Selain itu, lebar badan jalannya ± 1 m terlalu kecil untuk digunakan dua arah sekaligus. Jalur sirkulasi sekunder yang ada pada kawasan candi saat ini belum dapat menghubungkan tiap objek dalam satu rangkaian interpretasi sejarah yang tepat. Jalur sirkulasi tersebut hanya berfungsi sebagai penghubung antar fasilitas pengukung wisata dalam kawasan. Penataan viewing dan stoping area di area-area yang dilalui jalur sirkulasi sekunder juga belum terencana dengan baik sehingga waktu kunjungan relatif lebih singkat.

Gambar 30. Sirkulasi Jalan dalam Kawasan Candi Muara Takus.

(Sumber : Survei Lapangan, 2010)

Berdasarkan hasil analisis, sirkulasi primer dan sekunder yang ada pada kawasan akan mengalami perubahan pola dan struktur. Dimana, jalur sirkulasi primer yang ada saat ini akan diubah menjadi sirkulasi sekunder bagi pejalan kaki yaitu jalan pedestrian. Hal ini dikarenakan sirkulasi primer yang ada saat ini posisinya terlalu rapat dengan zona inti kawasan.

Pemindahan pintu akses tersebut dimaksudkan agar pengunjung masuk dari jalur darat berada di pintu depan kawasan bukan area samping sebagaimana eksisting kawasan saat ini. Sementara, jalur sirkulasi sekunder yang berfungsi

Dokumen terkait