• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Bagaimana pendapat anda jika kawasan Candi Muara Takus dijadikan sebagai kawasan wisata (Sejarah)?

……… ……… 2. Bentuk kegiatan wisata apa yang diinginkan untuk menunjang kawasan

Candi Muara Takus sebagai kawasan wisata sejarah?

……… ……… 3. Bentuk atraksi sejarah dan budaya lokal seperti apa yang terdapat pada

kawasan ini?

Bagaimana menurut anda jika atraksi tersebut ditampilkan di kawasan Candi Muara Takus ini?

……… ……… 4. Menurut anda, sejauh mana batasan yang diinginkan untuk perencanaan

kawasan Candi Muara Takus sebagai kawasan wisata sejarah ini?

……… ………

5. Sejauh mana peran penduduk lokal dalam perencanaan kawasan wisata sejarah ini?

……… ……… 6. Apa harapan yang ingin dicapai dalam perencanaan kawasan Candi Muara

Takus ini? (bagi masyarakat lokal)

……… ……… 7. Kondisi lingkungan yang perlu diperbaiaki pada kawasan ini?

……… ……… 8. Aktivitas wisata apa saja yang diinginkan pada perencanaan kawasan Candi

Muara Takus ini? (boleh lebih dari 1)

a. Penjelasan Sejarah Kawasan (Interpretasi) b. Berziarah

c. Melihat - lihat

d. ……….. e. ………..

9. Fasilitas pendukung apa saja yang diinginkan pada kawasan wisata Candi Muara Takus ini? (boleh lebih dari 1)

a. Bangku b. Pusat informasi c. Toilet umum d. Jalur Interpretasi e. Media interpretasi f. Gazebo g. ……….. h. ………..

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap kawasan memiliki identitas dan ciri khas yang berbeda dengan kawasan lainnya. Identitas dan kekhasan yang ada akan meningkatkan serta menguatkan nilai dari sebuah kawasan. Oleh karena itu, rencana pengembangan kawasan yang baik harus dapat mengekspresikan waktu, teknologi dan cita-cita serta mengadaptasi kesatuan organik yang berakar pada masa lalu dan berorientasi terhadap masa depan (Simonds, 1983). Dalam pengembangan suatu kawasan haruslah diperhatikan sejarah pengembangan wilayah tersebut dimasa lalu. Hal lain yang juga penting adalah memperhatikan karakter lokal yang ada agar tercipta suatu kesatuan ruang dengan karakter yang khas.

Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman sejarah dan budaya. Warisan sejarah dan budaya tersebut mempengaruhi pola budaya yang ada dimasa lalu dan masa kini. Warisan sejarah dan budaya merupakan sesuatu yang perlu untuk dilestarikan serta dapat dikembangkan menjadi objek atau daya tarik wisata yang bernilai tinggi. Warisan sejarah dan budaya secara fisik berupa bangunan- bangunan peninggalan dengan karakter yang khas sesuai zamannya. Warisan sejarah dan budaya yang terdapat di Provinsi Riau adalah kompleks Candi Muara Takus yang berada di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar.

Kompleks Candi Muara Takus adalah candi peninggalan agama Budha yang didirikan pada masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya di Indonesia. Pada masa itu kompleks candi berfungsi sebagai bangunan suci untuk sarana pemujaan dan ritual keagamaan dalam agama Budha. Kompleks Candi Muara Takus telah dikenal dunia internasional dan banyak dikunjungi para wisatawan mancanegara, khususnya para peziarah Budhis. Ketertarikan para wisatawan tersebut disebabkan karena nilai artistik yang tinggi pada bangunan kompleks candi, kemiripan struktur dan tata ruang bangunan dengan Candi Asoka di India, serta karena kompleks candi tersebut merupakan salah satu tempat penting dalam penyampurnaan ritual para biksu komunitas Budhis.

Kompleks Candi Muara Takus berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata yang memberi pengetahuan dan pengalaman sejarah dan budaya sehingga dapat meningkatkan apresiasi dan kecintaan pengunjung terhadap warisan sejarah dan budaya bangsa. Kawasan ini pada awalnya dikembangkan sebagai suatu kawasan wisata yang bersifat arkeologis. Namun, saat ini pengembangan dan pembangunan kawasan cenderung mengarah pada tempat tujuan wisata rekreatif serta kurang memanfaatkan sumberdaya budaya sekitar kawasan. Selain itu, keberadaan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ada pada sungai Kampar Kanan di sekitar kawasan Candi Muara Takus juga mengancam keberadaan dan kelestarian kawasan tersebut. Dimana, bendungan PLTA sering menyebabkan Sungai Kampar Kanan meluap sehingga berpotensi banjir khususnya pada musim penghujan. Tanpa adanya rencana penataan yang baik serta pemanfaatan sumberdaya sejarah dan budaya pada kawasan maka kualitas dan nilai dari lanskap budaya dan sejarah tersebut akan menurun. Dampak negatif yang muncul adalah degradasi fisik kawasan serta hilangnya salah satu akar budaya Indonesia yang sangat penting.

Dengan kegiatan penelitian ini diharapkan nilai-nilai sejarah dan kualitas lanskap pada kawasan tersebut dapat terus terjaga dan lestari keberadaannya sehingga Candi Muara Takus dapat menjadi unggulan tujuan wisata di Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang berbasis pada sejarah dan kebudayaan lokal.

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian adalah menata lanskap kawasan Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar sebagai kawasan wisata budaya guna mendukung upaya pelestarian dan peningkatan kunjungan wisatanya. Tujuan khusus penelitian adalah untuk:

1. Mengidentifikasi karakter serta kondisi lanskap pada kompleks Candi Muara Takus.

2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi upaya pelestarian lanskap budaya di Kabupaten Kampar.

3. Merencanakan wisata interpretatif pada lanskap kawasan candi Muara Takus berbasis pada karakter lanskap budaya.

Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bahan masukan bagi pemerintah daerah Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar dalam usaha pelestarian dan pengembangan situs sejarah di Kabupaten Kampar.

2. Meningkatkan Pendapatan Anggaran Daerah (PAD) Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar.

3. Merencanakan Candi Muara Takus sebagai salah satu destinasi wisata budaya yang utama di Indonesia.

Kerangka Pikir Penelitian

Kawasan Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan budaya yang berbentuk bangunan candi di Provinsi Riau. Candi ini merupakan situs peninggalan agama Budha yang berlokasi di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar dan terkait erat dengan masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Oleh karena itu, keberadaan Candi Muara Takus perlu dilestarikan melalui pengembangannya sebagai kawasan wisata.

Kegiatan pelestarian kompleks Candi Muara Takus didasarkan pada beberapa aspek yaitu aspek kesejarahan kawasan (Arkeologis), aspek religi, aspek kepariwisataan dan aspek sosial masyarakat. Dengan menganalisis aspek-aspek tersebut akan didapatkan zona pemanfaatan wisata dalam kawasan Candi Muara Takus. Zona pemanfaatan tersebut selanjutnya akan dikembangkan dalam bentuk rencana lanskap kawasan wisata berbasis budaya lokal.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Aspek Sosial Masyarakat

Zona Pemanfaatan Wisata Candi Muara Takus

Aspek Kepariwisataan Aspek

Religi Kawasan

Perencanaan Lanskap Candi Muara Takus sebagai Objek Wisata Budaya dalam Upaya Pelestarian Kawasan

Kepentingan Pelestarian Lanskap

Kepentingan Pengembangan Wisata Perlu dilestarikan dan dikembangkan

Lanskap/Situs Sejarah dan Budaya Kompleks Candi Muara Takus

di Desa Muara Takus, Kabupaten XIII Koto Kampar.

Aspek Kesejarahan

Kawasan (Arkeologis)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap Budaya

Simonds (1983) mendefinisikan lanskap sebagai suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakter lanskapnya. Karakteristik tersebut dapat digolongkan sebagai keindahan bila memiliki kesatuan harmoni dalam hubungan antar komponen lanskapnya. Menurut Eckbo (1964) lanskap adalah ruang disekeliling manusia yang mencakup segala sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan serta merupakan pengalaman terus menerus disepanjang waktu dan seluruh ruang kehidupan manusia.

Elemen lanskap dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu elemen lanskap makro, mikro dan buatan manusia (man made). Elemen lanskap makro meliputi iklim dan kualitas tapak. Elemen mikro meliputi topografi, jenis dan karakter tanah, vegetasi, satwa dan hidrologi. Sementara, elemen lanskap binaan (man made) meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, pola permukiman dan struktur bangunan (Gold, 1980).

Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan lanskap budaya (cultural landscape) merupakan model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi manusia dan lingkungan yang ada disekitarnya. Lanskap budaya merefleksikan adaptasi manusia serta perasaan dan ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannnya. Bentuk dari refleksi adaptasi tersebut terlihat dalam pola permukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur lainnya.

Menurut Tisler dalam Nurisyah dan Pramukanto (2001), lanskap budaya adalah suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya dan nilai serta tingkat estetika. Kebudayaan adalah agen atau perantara dalam proses pembentukan suatu lanskap dan kawasan

alami/asli merupakan medium atau wadah pembentuknya. Lanskap budaya merupakan hasil atau produk yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis.

Pelestarian Lanskap Budaya

Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), pelestarian lanskap budaya dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan sisa-sisa budaya dan sejarah yang terdahulu yang bernilai, dari berbagai perubahan yang negatif atau yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda atau kawasan yang bernilai budaya dan sejarah pada hakekatnya bukan untuk melestarikannya tapi untuk menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut.

Kepentingan dari pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah secara lebih spesifik adalah untuk:

1. Mempertahankan warisan budaya atau sejarah yang memiliki karakter spesifik suatu kawasan.

2. Menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal atau kawasan.

3. Kebutuhan psikis manusia untuk melihat dan merasakan eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau - masa kini - dan masa depan yang tercermin dalam objek atau karya lanskap yang selanjutnya dikaitkan dengan harga diri, percaya diri dan sebagai identitas dari suatu bangsa atau kelompok masyarakat tertentu.

4. Motivasi Ekonomi. Peninggalan budaya dan sejarah dapat mendukung perekonomian kota/ daerah bila dikembangkan sebagai kawasan tujuan wisata (cultural and historical type of tourism).

5. Menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu.

Metode Pelestarian Lanskap Budaya

Tindakan pelestarian lanskap sejarah dan budaya dapat dilakukan dengan beragam bentuk dan kombinasi pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut

dilakukan terhadap nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki suatu tatanan lanskap serta terhadap bentang alam tersebut secara fisik. Pendekatan umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan dalam proses dinamika lanskap, meliputi aspek kesejarahan, aspek arkeologis, aspek etnografis, serta nilai-nilai desain yang dimilikinya.

Ditegaskan oleh Haris dan Dines (1988) bahwa tindakan pelestarian lanskap sejarah tidak hanya untuk memenuhi persyaratan keindahan, tetapi juga persyaratan kultural dan teknologikal yang terdapat atau tersedia dikawasan yang dilestarikan. Kegiatan pelestarian menitik beratkan pada berbagai upaya guna menciptakan pemanfaatan yang lebih kreatif, menghasilkan berbagai produk warisan yang baru, melaksanakan berbagai program partisipasi, melaksanakan analisis ekonomi serta berbagai kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian tersebut. Dalam kondisi ini, masyarakat yang menghuni kawasan bersejarah merupakan komponen utama untuk dipertimbangkan dalam setiap kegiatan perencanaan dan pengelolaan (Nurisyah dan Pramukanto, 2001).

Menurut Nurisyah dan Pramukanto, (2001) dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap terdapat beberapa metode/tindakan teknis yang umum dilakukan, diantaranya yaitu:

1. Adaptive use (Penggunaan Adaptif)

Mempertahankan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasi berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Untuk kegiatan model ini perlu pengkajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan. Pengelolaan dan faktor lain yang berperan dalam pembentukan lanskap tersebut. Pendekatan ini memperkuat arti sejarah dan mempertahankan warisan sejarah yang masih ada pada lanskap itu dan mengintegrasikannya dengan kepentingan, penggunaan, dan kondisi sekarang yang relevan.

2. Rekonstruksi

Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap baik secara keseluruhan atau sebagian dari tapak asli, dilakukan pada kondisi:

 Tapak yang tidak dapat bertahan lama pada kondisi yang asli atau mulai hancur karena faktor alam.

 Untuk menampilkan suatu babak sejarah tertentu.

 Lanskap yang hancur sama sekali, tidak terlihat kondisi aslinya.  Karena alasan-alasan kesejarahan yang harus ditampilkan seperti arti,

simbolis dan wisata.

3. Rehabilitasi

Tindakan yang memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan suatu lanskap sejarah. Dalam kasus ini, maka keutuhan lanskap dan struktur/ susunannya secara fisik dan visual serta nilai-nilai yang terkandung harus dipertahankan. Tindakan/metode jenis ini digunakan dengan pertimbangan terhadap faktor kenyamanan lingkungan, sumberdaya alam, dan segi administratif.

4. Restorasi

Suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif yaitu pengembalikan penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi karya lanskap tetap ada. Hal ini dilakukan melalui penggantian atau pengadaan elemen-elemen yang hilang atau yang tidak ada, atau menghilangkan elemen-elemen tambahan yang menggangu. Hal ini dapat dilakukan secara keseluruhan (murni) atau hanya pada bagian-bagian tertentu.

5. Stabilisasi

Suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau objek lanskap yang ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami) terhadap tapak.

6. Konservasi

Tindakan yang pasif dalam upaya pelestarian untuk melindungi suatu lanskap sejarah dari kehilangan atau pelanggaran atau pengaruh yang tidak tepat. Tindakan bertujuan hanya untuk melestarikan apa yang ada saat ini,

mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta mengarahkan perkembangan dimasa depan. Dasar tindakan yang dilakukan umumnya adalah hanya untuk tindakan pemeliharaan.

7. Interpretasi

Merupakan usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap asli/alami secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan yang akan datang. Interpretasi mancakup pengkajian terhadap tujuan desain dan juga lanskap sebelumnya. Desain yang baru haruslah mampu untuk memperkuat intergritas nilai historis lanskap ini dan pada saat yang bersamaan juga mengintegrasikannya dengan program-program kegiatan tapak yang baru diintroduksikan.

8. Period setting, Replikasi, Imitasi

Penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang non-original site. Usaha ini membutuhkan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dan lain-lain yang sama serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga pembangunan lanskap tersebut akan sesuai dengan suatu periode yang telah ditentukan sebelumnya.

9. Release

Merupakan strategi pengelolaan yang memperbolehkan adaya suksesi alam yang asli sejauh tidak merusak keutuhan atau merusak nilai historikalnya. Tetapi metode ini memiliki kekurangan yaitu dapat memberikan andil terhadap kemungkinan hilang atau terhapusnya arti dan nilai sejarah dari lanskap dalam sistem budaya.

10.Replacement (Penggantian)

Subtitusi atas suatu komuniti biotik dengan lainnya. Contohnya adalah penggunaan jenis penutup tanah untuk menampilkan bentukan lahan.

Dalam melakukan kegiatan pelestarian lanskap budaya dibutuhkan data dan alat yang tepat untuk merencanakannya. Menurut Harris dan Dines (1988) data dan alat tersebut dikelompokkan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Data Pelestarian

Tipe data Informasi Pertimbangan kondisi untuk digunakan

Aplikasi Areal Studi

yang terlihat

Untuk prediksi apa yang dapat dilihat dari titik pandang tertentu dalam tapak  Ruang terbuka potensial  Keragaman topografi  Fasilitas yang mengakomodasi kegiatan wisata  Untuk memproteksi lingkungan visual pada

historical fabric

 Identifikasi area yang dapat dikembangkan tanpa mengganggu visual

 Identifikasi zona penyangga dan areal viewing

 Identifikasi pembatas zonasi Peta Tata

Guna Lahan

Untuk

pengembangan tata guna lahan tapak pada masa lalu dan saat ini

 Areal yang terjadi perubahan tata guna lahan

 Pemahaman lingkungan sejarah

 Identifikasi TGL saat ini serta kesesuaiannya dengan lingkungan sejarah

 Identifikasi kesesuaian lahan dengan zonasi

 Identifikasi kecenderungan penggunaan lahan disekitar tapak

Vegetasi  Tapak dengan

vegetasi penciri yang penting

 Pola vegetasi kaitannya dengan penggunaan lahan

 Identifikasi vegetasi secara ekologis dan historis memiliki nilai penting

 Identifikasi vegetasi yang perlu dilindungi/ diganti

Architectural features (non bangunan utama)  Tapak dengan bentukan arsitektur merupakan penciri yang penting  Untuk menunjukkan keterkaitan lanskap secara arsitektural

Sumber : Harris dan Dines, 1988

Wisata Budaya

Menurut Nurisjah (2008), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan diluar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa

bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Pendit (2002) mengemukakan wisata budaya adalah wisata yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan mengadakan kunjungan atau peninjauan ke suatu tempat, mempelajari keadaan masyarakat, kebiasaan dan adat istiadat, cara hidup, budaya serta seni yang ada dalam kehidupan masyarakat. Perjalanan tersebut disatukan dengan kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan budaya seperti eksplorasi seni atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebaginya.

Merencanakan kawasan wisata adalah menata dan mengembangkan area dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisatasehingga kerusakan lingkungan dampak dari pembangunan kawasan dapat diminimumkan. Pada saat yang bersamaan kepuasaan wisatawan dapat terwujud. Gunn (1994) menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kawasan wisata adalah ketersediaan obyek dan atraksi wisata, pelayanan wisata, dan transportasi pendukung. Obyek dan atraksi wisata merupakan andalan utama untuk mengembangkan kawasan wisata.

Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Budaya

Perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan pada suatu keadaan awal dan merupakan cara terbaik untuk mencapai suatu keadaan tersebut (Gold, 1980). Proses perencanaan biasanya bersifat holistik dan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Suatu proses perencanaan yang baik merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentuk fisik dan fungsi lahan/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah,2008)

Perencanaan adalah kegiatan mengumpulkan dan menginterpretasikan data, memproyeksikannya ke masa depan, mengidentifikasi masalah, dan memberi pendekatan yang beralasan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut (Knudson, 1980). Sementara itu, Simonds (1983) menyatakan bahwa proses perencanaan terdiri dari beberapa tahapan yaitu tahap commission

(pemberian tugas), research (inventarisasi), analysis, synthesis, construction (pelaksanaan), dan operation (pemeliharaan).

Perencanaan lanskap kawasan wisata adalah suatu proses untuk memperoleh tapak yang cukup serta mengembangkan tapak tersebut sehingga dapat memberi pengalamam yang tidak terlupakan bagi pengguna tapak. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan lanskap kawasan wisata, yaitu kebutuhan pengguna terhadap tapak dan konstruksi tapak yang diperuntukan bagi pengguna tapak (Blom dan Rohlfs, 1966).

Menurut Gunn (1994) perencanaan wisata yang baik dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi, melindungi dan peka terhadap lingkungan, dan dapat diintegrasikan antara komunitas dengan dampak negatif lingkungan yang minimal. Hal ini dapat tercapai dengan perencanaan yang baik yang mengintegrasikan semua aspek dalam pengembangan wisata.

Candi Muara Takus

Candi adalah sebuah bangunan tempat ibadah dari peninggalan masa lampau yang berasal dari agama Hindu-Buddha. Candi digunakan sebagai tempat pemujaan dewa-dewa. Namun demikian, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala dari masa Hindu-Buddha atau masa Klasik Indonesia yang berupa istana, pemandian/petirtaan, dan gapura juga disebut dengan istilah candi. Suatu candi di masa lampau biasanya berfungsi dan digunakan masyarakat dari latar belakang agamanya, yaitu Hindu-Saiwa, Budha Mahayana, Siwa Buddha dan Rsi.

Candi merupakan bangunan suci yang dikembangkan sebagai sarana pemujaan bagi dewa-dewi agama Hindu maupun agama Buddha yang berasal dari India sehingga konsep yang digunakan dalam pendirian sebuah bangunan suci sama dengan konsep yang berkembang dan digunakan di India, yaitu konsep tentang air suci. Bangunan suci harus berada di dekat air yang dianggap suci. Air itu nantinya digunakan sebagai sarana dalam upacara ritual. Peran air tidak hanya digunakan untuk upacara ritual saja, namun secara teknis juga diperlukan dalam pembangunan maupun pemeliharaan dan kelangsungan hidup bangunan itu

sendiri. Didirikannya bangunan suci di suatu tempat memang tempat tersebut potensi untuk dianggap suci, dan bukan bangunannya yang potensi dianggap suci.

Candi muara takus berasal dari dua kata “ muara “ dan “ takus “ . “muara” yaitu suatu tempat dimana anak sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar. “Takus” berasal dari bahasa China yaitu ta, ku dan se. Ta berarti besar, ku berarti tua sedangkan se berarti candi. Gabungan arti keseluruhan dari kata Muara Takus adalah : candi tua ( the old temple ) besar atau megah yang terletak di muara sungai (Pemerintah Daerah Kabupaten Kampar, 2010).

KONDISI UMUM

Batas Geografis dan Administratif

Wilayah perencanaan situs Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Jarak kompleks candi tersebut dengan Kota Pekanbaru adalah ± 128 Km atau sekitar 1,5 Km dari pusat desa Muara Takus. Secara astronomi Candi Muara Takus terletak pada garis khatulistiwa koordinat 0°21 LU dan 100°39 BT.

Luas situs Candi Muara Takus dalam batas pagar batu keliling adalah 5476 m². Namun, berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat batas terluar lain berupa tanggul kuno dengan ketinggian ± 87 mdpl. Penetapan batasan terluar tersebut berdasarkan pada penemuan bangunan pendukung di luar pagar tembok keliling. Dalam rencana pelestarian Candi Muara Takus, batas terluar yang digunakan adalah batas Tanggul Kuno (Arden Wall). Gambar 2 adalah

Dokumen terkait