• Tidak ada hasil yang ditemukan

BARU YANG AKAN DIATUR DALAM UU JPSK TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA

TERHADAP ASPEK KEUANGAN NEGARA

Dalam rangka memelihara SSK dan menangani permasalahan yang timbul karenanya maka perlu ditentukan langkah antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terlibat, baik secara sendiri-sendiri maupun terkoordinasi, dalam suatu unit organisasi KSSK. Lembaga/otoritas tersebut akan memiliki keyakinan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan karena mekanisme bekerjanya diatur dengan jelas di dalam UU JPSK. Sebagai contoh, di dalam Penanganan Permasalahan Bank SIB, BI sebagai otoritas yang berwenang akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) mengingat ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU JPSK dan hanya diberikan kepada Bank SIB dimana BI juga terlibat di dalam penyusunan daftar Bank SIB tersebut. Di samping itu, keberadaan jaminan Pemerintah dalam penyaluran PLK menjadi satu hal yang mendukung keyakinan BI. Pada akhirnya, langkah-langkah

kebijakan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta kecepatan, ketepatan, dan keyakinan pengambilan keputusan dalam menangani Kondisi Tidak Normal dan menangani permasalahan Bank yang dilakukan oleh lembaga/otoritas dapat memberikan ketenangan dan keyakinan bagi masyarakat luas, sehingga tidak menimbulkan dampak meluas dan mengganggu perekonomian nasional.

Dalam UU JPSK perlu diatur PMK sehingga ada kejelasan mengenai tingkat eskalasi penyelesaian Bank bermasalah, yang terdiri dari penyelesaian permasalahan oleh Bank itu sendiri (recovery plan yang telah disetujui oleh OJK), fungsi LoLR BI, resolusi Bank LPS, dan mekanisme APBN. Sebelum menggunakan dana APBN sebagai buffer terakhir, diharapkan penanganan Bank bermasalah dapat terselesaikan pada tahapan-tahapan sebelumnya. Namun demikian, dalam hal penggunaan dana APBN harus dieksekusi untuk mencegah memburuknya kondisi SSK yang dikhawatirkan akan menjalar pada stabilitas perekonomian lebih luas, penggunaan dana tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif.

Efektivitas tersebut dapat terwujud dengan adanya mekanisme koordinasi antar pemegang otoritas dan PMK yang diatur di dalam UU JPSK dapat mendeteksi lebih dini permasalahan dan langkah-langkah penanganannya dapat disiapkan lebih awal. Selain itu, program penyelesaian permasalahan Bank sebagaimana diatur di dalam UU JPSK ini melibatkan pihak swasta melalui mekanisme private solution. Pelibatan swasta tersebut diharapkan dapat meminimalisasi, baik peluang eskalasi penanganan pada dana APBN maupun besaran dana APBN yang digunakan.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini, penggunaan dana APBN melalui mekanisme pemberian pinjaman dan penyertaan modal kepada LPS tidak dapat dilakukan. Oleh karena, itu perlu ada suatu ketentuan bahwa dana APBN dapat digunakan untuk pemberian pinjaman dan penambahan modal kepada LPS dengan memperoleh persetujuan DPR terlebih dahulu.

Dengan adanya pengaturan JPSK akan terbangun koordinasi yang terpadu dan efektif antar pemegang otoritas dalam menangani Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, mekanisme pemeliharaan SSK dan penanganan permasalahannya akan dapat dilakukan secara cepat dan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:

1) terdapat mekanisme koordinasi dan pembagian tanggung jawab yang jelas di antara lembaga/otoritas terkait dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, tanpa mengurangi independensi masing-masing lembaga/otoritas;

2) adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka penanganan Kondisi Tidak Normal;

3) terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan tindakan penanganan permasalahan Bank SIB; dan

4) terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB dengan tetap berpedoman pada ketentuan dan kemampuan keuangan negara serta hak budget DPR.

Upaya penyelenggaraan JPSK tersebut dilakukan oleh Negara melalui pembentukan KSSK. Dengan demikian, koordinasi yang dilakukan dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB, memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini akan berimplikasi positif dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian karena terjaganya Stabilitas Sistem Keuangan.

Untuk menciptakan koordinasi antar lembaga/otoritas yang efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan masalahnya, pembagian fungsi, tugas, dan wewenang KSSK perlu diatur secara jelas. Sebagai contoh, MEFM Korea, yang merupakan forum tingkat deputi untuk melakukan sharing dan review atas analisis risiko Stabilitas Sistem Keuangan6. Forum ini terdiri dari Ministry

of Strategy and Finance, The Bank of Korea, The Financial Service Commission, dan The Financial Supervisory Service. Di dalam

forum tersebut, setiap lembaga/otoritas mendiskusikan hasil analisis dan identifikasi potensi risiko serta mengkaji respon kebijakan yang dapat diambil.

Pada dasarnya, pemeliharaan SSK dalam kondisi normal dilakukan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu dan/atau memutuskan suatu kebijakan dalam kerangka koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam KSSK. Beberapa kebutuhan tersebut antara lain menetapkan status SSK, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah-langkah-langkah

6 “Republic of Korea: Financial Sector Assessment Program-Crisis Preparedness and Crisis Management Framework-Technical Note” IMF Country Report No. 15/5, IMF, 2015.

penanganan permasalahan Bank yang tidak dapat lagi ditangani oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, KSSK perlu diberikan kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat menentukan status SSK, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu mendapatkan rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk memperoleh daftar Bank SIB terkini yang ditetapkan oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI. Pengkinian daftar Bank SIB dilakukan oleh OJK secara berkala, misalnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengkinian sewaktu-waktu tersebut hanya dapat dilakukan pada saat kondisi SSK normal.

Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan tugas dan wewenang KSSK, maka ditunjuk sekretaris KSSK yang dapat menjalankan sebagian tugas dan/atau wewenang KSSK apabila menerima pendelegasian dari KSSK. Di samping itu, dalam rangka mendukung kelancaran tugas KSSK, diperlukan suatu sekretariat untuk membantu penyelenggaraan rapat hingga melakukan

monitoring terhadap tindak lanjut keputusan rapat, melakukan

kompilasi analisis umum berdasarkan indikator, dan laporan

surveillance dari masing-masing anggota KSSK, menyusun standard operating procedure bagi sekretariat KSSK, dan

tugas-tugas kesekretariatan lain dalam rangka mendukung terlaksananya koordinasi yang baik antaranggota KSSK.

Hal tersebut juga sejalan dengan praktik di Amerika Serikat, dimana Financial Stability Oversight Council (FSOC) mempunyai kelompok kecil dengan staf independen yang mengelola dan menyimpan dokumen serta menyusun keterbukaan dokumen kepada publik. Kelompok staf independen ini juga bisa beranggotakan para ahli untuk mendukung kerja komite dan penyusunan legal drafting (jika diperlukan) serta pelaporan kepada Kongres. Selain itu, praktek di India melalui Financial Stability and

Development Council (setara dengan KSSK) juga memiliki sub-committee yang merupakan sekretariat KSSK. Jabatan sekretaris

dipegang oleh Pejabat Direktur Eksekutif Bank Sentral, dengan mendapat dukungan kesekretariatan dari Financial Stability Unit.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, KSSK didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris KSSK. Sekretaris KSSK seyogyanya dijabat oleh seorang pejabat yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu di Kemenkeu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, untuk tata laksana kesekretariatan KSSK sebaiknya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Juga dimungkinkan bagi KSSK membentuk gugus tugas, kelompok kerja, atau alat kelengkapan lain untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK, mengundang pihak lain sebagai narasumber, serta menyelenggarakan rapat persiapan pelaksanaan rapat KSSK yang melibatkan pejabat perwakilan dari masing-masing lembaga/otoritas anggota KSSK.

Mekanisme dalam menetapkan tindakan penanganan Kondisi Tidak Normal harus dilakukan lebih awal dan sesegera mungkin7. Selain itu, standar dan indikator yang digunakan

untuk melakukan asesmen terhadap entitas yang diawasi juga harus jelas. Terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian dalam mekanisme penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu:

a. Kecepatan pengambilan keputusan

Keputusan penanganan terhadap permasalahan harus dilakukan sesegera mungkin. Tindakan cepat, pesan (signalling) yang jelas, dan kepemimpinan yang didefinisikan secara baik akan memberikan dampak positif terhadap kepercayaan publik.

b. Transparansi dan kredibilitas keputusan

Menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam penanganan permasalahan SSK menjadi faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional. Untuk itu, diperlukan adanya proses yang menjamin bahwa penanganan dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta dilakukan oleh lembaga/otoritas yang kompeten. Dengan demikian, diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan komunikasi publik yang baik.

c. Kepastian hukum

Keputusan yang diambil dalam rangka penanganan permasalahan SSK oleh KSSK merupakan keputusan yang sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum.

d. Akuntabilitas penggunaan dana publik

Mekanisme penanganan permasalahan SSK memerlukan dukungan pendanaan dari APBN. Hal ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

di bidang keuangan negara dan dengan mempertimbangkan kecepatan pengambilan keputusan.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka KSSK secara rutin perlu menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan dari anggota KSSK.8 Mekanisme rapat seperti itu sudah dilakukan oleh Korea melalui MEFM dimana komite tersebut juga menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun9.

Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam Kondisi Tidak Normal diperlukan adanya pengambilan keputusan secara terpadu dan cepat serta tepat, berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Mengingat keputusan yang diambil di dalam KSSK merupakan keputusan yang strategis dan berdampak luas pada perekonomian nasional, maka keputusan rapat harus memperoleh keyakinan dari semua lembaga/otoritas untuk menghindari perselisihan atas keputusan yang diambil di kemudian hari. Hal ini sekaligus mencerminkan suatu kebulatan pendapat dan tekad dari masing-masing anggota KSSK untuk melakukan upaya terbaik dalam penanganan permasalahan SSK.

Dalam hal tidak mencapai kata mufakat, usulan keputusan yang diajukan anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir masing-masing anggota KSSK di dalam rapat tersebut harus didokumentasikan. Usulan yang ditolak dapat diajukan kembali dalam rapat KSSK berikutnya maksimal 1 (satu) kali.

8 Pasal 45 ayat (1) huruf b UU OJK ditentukan dalam kondisi normal FSSK melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.

Mengingat pentingnya proses pengambilan keputusan dan dampak atas hasil keputusan yang sangat luas, maka proses pengambilan keputusan harus dihadiri oleh seluruh anggota KSSK. Apabila terdapat kondisi dimana anggota KSSK berhalangan hadir secara fisik, maka rapat KSSK dapat diselenggarakan menggunakan media komunikasi elektronik dimana peserta rapat KSSK harus saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, serta didokumentasikan secara utuh. Dalam kondisi ini, anggota KSSK yang berhalangan hadir secara fisik menunjuk pejabat yang akan mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK. Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara, anggota KSSK yang bersangkutan diwakili oleh pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan rapat KSSK mencakup penetapan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB. Hasil keputusan rapat tersebut harus dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam secara tertulis atau melalui sarana elektronik. Pelaporan tersebut harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap sebagai kelengkapan apabila dibutuhkan di masa mendatang, terutama apabila timbul permasalahan hukum atas keputusan yang diambil.

Jangka waktu pelaporan kepada Presiden harus dilakukan paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam mengingat dari hasil keputusan rapat KSSK dimungkinkan adanya penggunaan dana APBN untuk menangani Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB. Selain itu, sangat penting bagi Presiden untuk mengetahui kondisi sistem keuangan karena

ketidakstabilan sistem keuangan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu sama lain. Oleh karena itu, setiap anggota KSSK harus mewaspadai dan mengantisipasi risiko tersebut. Dalam hal ini, masing-masing lembaga/otoritas telah menyusun PMK sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanganan Kondisi Tidak Normal. PMK tersebut paling kurang memuat tentang mekanisme pemantauan Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari indikator-indikator penyusun, mekanisme pengambilan keputusan, serta mekanisme koordinasi dan komunikasi. Protokol tersebut disusun berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing lembaga/otoritas.

Di dalam kerangka koordinasi KSSK, apabila PMK anggota KSSK menunjukkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang Tidak Normal, maka anggota yang bersangkutan dapat mengusulkan kepada KSSK untuk menyelenggarakan rapat guna membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK dimaksud, KSSK mendapatkan data dan informasi dari masing-masing anggota KSSK sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebagai otoritas makroprudensial, BI menyampaikan penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran serta pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan rekomendasi langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. OJK, selaku otoritas mikroprudensial menyampaikan penilaian

kondisi lembaga keuangan dan pasar keuangan dan pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, OJK juga menyampaikan data Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB.

Dari sisi fiskal, Kemenkeu menyampaikan penilaian kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi fiskal dan pasar SBN agar tetap berkesinambungan. LPS menyampaikan penilaian kondisi kecukupan dana penjaminan simpanan yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-langkah penanganan untuk memenuhi kecukupan dana penjaminan simpanan.

Setelah memperoleh data, informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK, maka KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan. Apabila Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dalam kondisi normal, penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan dikembalikan kepada masing-masing anggota KSSK sesuai bidang tugas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Apabila KSSK menetapkan SSK dalam Kondisi Tidak Normal, maka penetapan ini perlu disertai dengan penetapan langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan penanganan kondisi lembaga keuangan dan/atau pasar keuangan, kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN, serta kecukupan dana penjaminan simpanan. Langkah-langkah penanganan tersebut

dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Flowchart (Gambar 1) di bawah ini memberikan gambaran

mekanisme bekerjanya proses pengambilan keputusan dalam sistem jaring pengaman ketika Kondisi Tidak Normal.

Gambar 1

Berdasarkan flowchart di atas terlehat bahwa tindakan mengatasi permasalahan Bank SIB dilakukan secara cermat dan hati-hati (prudent). OJK sebagai otoritas pengawas perbankan, dalam melaksanakan tugasnya harus mampu melakukan identifikasi Bank yang dikategorikan sebagai Bank SIB yang

dilakukan dengan berkoordinasi dengan BI. Bank SIB, sesuai karakteristiknya, dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan. Kegagalan tersebut dapat terjadi, baik secara operasional maupun finansial. Dengan mempertimbangkan potensi risiko tersebut, maka Bank tersebut diwajibkan untuk membuat rencana pemulihan sebagai tindakan siaga apabila Bank tersebut mengalami permasalahan keuangan di masa mendatang.

Penyusunan rencana dimaksud merupakan upaya untuk mencegah eskalasi permasalahan individu Bank SIB tersebut pada sistem perbankan dan sistem keuangan secara lebih luas. Penyusunan rencana pemulihan oleh Bank SIB tersebut merupakan bentuk komitmen awal Bank SIB untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya, rencana pemulihan tersebut harus mendapatkan persetujuan OJK sebagai otoritas pengawas perbankan.

Apabila Bank SIB yang bersangkutan belum mempunyai rencana pemulihan, maka Bank tersebut harus menerapkan langkah-langkah penyehatan yang telah ditetapkan OJK berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK terhadap kondisi Bank tersebut. Memperhatikan bahwa UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk menetapkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang di bidang jasa keuangan, pengaturan lebih lanjut mengenai rencana pemulihan permasalahan keuangan Bank SIB diatur dalam Peraturan OJK.

Salah satu permasalahan keuangan perbankan adalah kesulitan likuiditas, yang perlu diatur dengan jelas mekanisme penanganan kesulitan tersebut sebagaimana flowchart (Gambar 2) di bawah ini:

Gambar 2

Pada praktiknya, apabila Bank mengalami kekurangan likuiditas, Bank dapat mencari sumber dana lain dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa kondisi likuiditas di pasar uang sedang ketat atau Bank dilanda penarikan dana besar-besaran (Bank run) sehingga tidak mampu memperoleh dana untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Dalam kondisi demikian, Bank sentral sebagai LoLR dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi kesulitan keuangan tersebut. Pinjaman tersebut diberikan setelah penanganan mandiri yang dilakukan Bank dimaksud, dengan dibantu oleh OJK sesuai kewenangannya, belum dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas.

BI, sesuai ketentuan dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah beberapa kali (terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009), mempunyai dua fasilitas pembiayaan untuk mengatasi

kesulitan likuiditas perbankan, yaitu Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD). Kedua fasilitas tersebut menegaskan peran Bank Indonesia sebagai

Lender of The Last Resort (LoLR) dan untuk menjaga Stabilitas

Sistem Keuangan.

FPJP dapat diakses oleh semua Bank yang mengalami permasalahan likuiditas tetapi masih solven. Dalam hal ini, FPJP diberikan oleh BI berdasarkan informasi dan rekomendasi dari OJK, sebagai otoritas pengawas perbankan, atas kondisi Bank yang mengajukan FPJP tersebut. Ketentuan mengenai FPJP saat ini diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/16/PBI/2012. Pengaturan lebih lengkap di dalam PBI tersebut memberikan keleluasaan pada BI untuk dapat melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang terjadi secara lebih cepat.

Selain pinjaman likuiditas jangka pendek, fasilitas pembiayaan lain yang dikenal di Indonesia untuk mengatasi kesulitas likuiditas Bank adalah FPD. Berdasarkan karakteristiknya, FPD memiliki kesamaan dengan Emergency

Liquidity Assistance (ELA), dimana ELA merupakan fungsi dari Bank sentral dan merupakan instrumen LoLR.10 FPD merupakan pinjaman likuiditas dari BI kepada Bank SIB yang mengalami kesulitan likuiditas, namun masih memenuhi tingkat solvabilitas sementara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek diperkirakan tidak dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas dimaksud.

Konsep fasilitas LoLR sendiri pertama kali dikemukakan oleh Henry Thornton pada awal abad ke-19 dengan menghubungkan prinsip-prinsip dasar praktek Bank sentral yang

10M Manna, “Emergency Liquidity Assistance at Work: Both Words and Deeds

baik dengan pemberian pinjaman darurat11. Kemudian Walter Bagehot yang dikenal sebagai peletak teori LoLR modern menyebutkan bahwa FPD digunakan untuk mengatasi risiko sistemik.12 Selain itu, Bagehot mengemukakan tiga prinsip pemberian LoLR yakni:

a. pemberian pinjaman harus didukung dengan agunan yang memadai dan diberikan hanya untuk Bank yang solven;

b. pemberian pinjaman dengan suku bunga penalti; dan c. pengumuman kesediaan untuk meminjamkan tanpa

batas dari Bank sentral dimana hal ini penting untuk meyakinkan kredibilitas Bank sentral.

Pengalaman historis menunjukkan bahwa fungsi LoLR yang efektif dapat mencegah panik pada berbagai kejadian.13 Sejalan dengan itu, Mishkin berargumen bahwa Bank sentral dapat mendorong pemulihan krisis keuangan dengan memberikan pinjaman dalam rangka menjalankan perannya sebagai LoLR.14

Selain itu, terdapat banyak contoh sukses praktik LoLR di negara-negara maju.

Berdasarkan standar praktik terbaik di dunia internasional, pendekatan LoLR dapat dilakukan melalui dua metode utama yaitu metode yang menganut ambiguitas konstruktif dan metode yang menganut transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan pengalaman Indonesia dalam melakukan penanganan permasalahan Bank, faktor utama yang menjadi perhatian baik

11H Thornton, An Enquiry into the Nature and Effects of the Paper Credit of Great

Britain, Augustus M. Kelley, Fairfiled, 1802.

12W Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, H.S. King, London, 1873.

13M Bordo, "The Lender of Last Resort: Alternative Views and Historical

Experience", Economics Review 76 (1), 1990, hlm. 18–29.

14Frederic S Mishkin, “The International Lender of Last Resort: What Are The Issues?”

dari sisi penanganan permasalahan Bank itu sendiri, maupun dari sisi hukum dan politik adalah transparansi dan akuntabilitas tindakan penanganan permasalahan Bank tersebut oleh lembaga/otoritas yang berwenang. Dengan mempertimbangkan

Dokumen terkait