• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG JARING PENGAMAN SISTEM

KEUANGAN (JPSK)

Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2015

(2)

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan diiringi puji syukur ke hadirat-Nya, kegiatan penyusunan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (UU JPSK) telah dapat diselesaikan. Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ini sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum bagi implementasi sistem pengamanan dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya yang tertuang dalam mekanisme Jaring Pengaman Sistem Keungan (JPSK).

Pengalaman krisis yang pernah dihadapi Indonesia dan negara lain, mendorong suatu kesadaran bahwa kewaspadaan dan kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi krisis sistem keuangan di masa mendatang mutlak diperlukan. Implementasi dari kewaspadaan dan kesiapan tersebut dapat dilakukan melalui koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam sistem keuangan Indonesia dalam kerangka JPSK. Dalam hal ini, koordinasi dilakukan dalam rangka memelihara dan menangani Stabilitas Sistem Keuangan secara terpadu dan efektif. Koordinasi tersebut antara lain meliputi pemantauan terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sekaligus menetapkan tindakan yang perlu dilakukan dalam menghadapi permasalahan di dalam sistem keuangan dan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan tidak normal.

Keberadaan UU JPSK diharapkan dapat memberikan keyakinan bagi pengambil keputusan dalam mengambil kebijakan dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya. Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lembaga/otoritas yang terkait di dalam sistem keuangan. Di sisi lain, keberadaan UU JPSK ini juga diharapkan dapat menghindarkan para pengambil keputusan dan kebijakan yang diambil dari dispute yang dapat terjadi karena kurangnya koordinasi dan keterbukaan informasi serta governance dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas.

Selanjutnya, disahkannya UU JPSK merupakan langkah nyata dalam rangka mendukung Stabilitas Sistem Keuangan nasional yang aman, sehat,

2015

2015

(3)

positif dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Tim Penyusun Naskah Akademik Kementerian Keuangan

(4)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI iii i

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 8

C. Tujuan dan Kegunaan 8

D. Metode 9

BAB II. KAJIAN TEORI DAN PRAKTIK EMPIRIS 12

A. Kajian Teoritis 12

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan

Penyusunan Norma 19

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang

Ada, Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat 24 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang

akan Diatur Dalam UU JPSK Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Keuangan Negara

29

BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 77

A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No.4 Tahun 2008 77

B. Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait 79 BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN

YURIDIS 96

A. Landasan Filosofis 96

B. Landasan Sosiologis 97

C. Landasan Yuridis 98

BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG

LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG 100

A. Sasaran 100

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan 100

C. Ruang Lingkup Materi Muatan 101

BAB VI. PENUTUP 141

A. Simpulan 141

B. Saran 144

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(5)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada akhir tahun 1990–an, Indonesia mengalami krisis moneter yang diawali krisis di sektor perbankan. Krisis tersebut berimbas pada perekonomian dan stabilitas nasional sehingga Stabilitas Sistem Keuangan nasional menghadapi tantangan yang sangat berat. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional menurun tajam, ditandai dengan terjadinya penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah perbankan. Akibatnya, sejumlah Bank mengalami kesulitan likuiditas dan permasalahan solvabilitas yang menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan nasional dan pada gilirannya berdampak pada terganggunya sistem pembayaran dan perekonomian nasional. Untuk menyelamatkan perekonomian nasional pada saat itu, Pemerintah harus mengeluarkan biaya program penjaminan simpanan, program rekapitalisasi perbankan, dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dengan jumlah sekitar Rp. 640 triliun.1

Dalam menangani krisis yang terjadi pada akhir tahun 1990-an tersebut, Pemerintah belum mempunyai landasan hukum yang memadai untuk melakukan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal. Terlebih lagi, pada saat itu belum ada mekanisme koordinasi yang baik antara Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter dan pengawas perbankan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai otoritas fiskal.

Belajar dari krisis tersebut, Pemerintah secara terus-menerus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan lebih siap dalam

1 Enoch et al, “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously

(6)

menghadapi Kondisi Tidak Normal. Upaya perbaikan tersebut meliputi penataan kembali kelembagaan yang ada, antara lain melalui reorganisasi Kemenkeu, amandemen Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU BI), dan pendirian Lembaga Penjamin Simpanan melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 (UU LPS).

Sebagai negara dengan sistem perekonomian terbuka, Indonesia terkena imbas langsung akibat dinamika kondisi perekonomian regional atau global. Dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional maupun global. Pengalaman menghadapi krisis regional di kawasan Asia pada tahun 1997/1998, krisis reksa dana domestik tahun 2005, dan krisis keuangan global yang dipicu krisis US

subprime mortgage tahun 2008, yang berlanjut dengan krisis

utang di negara-negara kawasan Eropa tahun 2011 telah memberikan pelajaran berharga. Berdasarkan fakta yang ada, dapat dipetik suatu pelajaran bahwa krisis dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, sehingga dibutuhkan kesiapan untuk menghadapi Kondisi Tidak Normal2 sekaligus dampaknya.

Dampak Kondisi Tidak Normal baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian nasional di masa mendatang diperkirakan akan semakin besar mengingat perkembangan di bidang ekonomi dan keuangan yang demikian pesat. Hal ini dapat dilihat dari besaran ekonomi, kecanggihan, dan interkonektivitas antarnegara sebagai akibat globalisasi, sehingga dapat memberikan efek menular yang luas dan cepat.

2 Istilah yang digunakan dalam RUU JPSK adalah “Kondisi Tidak Normal”, bukan “Keadaan

Darurat” sebagaimana digunakan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, atau “Krisis” sebagaimana UU APBN 2014 karena walaupun maknanya hampir sama tetapi secara psikologis pilihan istilah “Kondisi Tidak Normal” lebih diterima pasar, dalam rangka mempercepat proses penanganan masalah stabilitas sistem keuangan.

(7)

Mekanisme koordinasi dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya secara terpadu dan efektif menjadi semakin penting setelah munculnya krisis keuangan global pada awal tahun 2008. Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari berbagai negara melakukan pembahasan yang intensif untuk menyusun langkah-langkah penanggulangan ancaman krisis tersebut. Indonesia mengambil langkah-langkah inisiatif dengan penyusunan kebijakan strategis di berbagai sektor keuangan, antara lain: relaksasi penilaian aset berdasarkan harga pasar (marked to market valuation), suspensi bursa efek untuk sementara, redefinisi kriteria pembiayaan darurat dalam UU APBN, penghentian lelang SBN, peningkatan besaran jumlah simpanan yang dijamin, relaksasi ketentuan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP), dan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perpu JPSK).

Penerbitan Perpu JPSK telah memberikan landasan hukum bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah memelihara SSK dan menangani permasalahannya. Langkah tersebut dilakukan melalui pengambilan keputusan untuk menyelamatkan sistem keuangan yang terganggu karena adanya Bank bermasalah yang dapat berdampak sistemik. Dalam situasi yang sangat sulit sebagaimana dialami pada tahun 2008, Perpu JPSK telah memberikan keyakinan bagi otoritas untuk mengambil keputusan secara transparan, kredibel, akuntabel, dan taat azas. Hal ini dapat dilakukan untuk menghindarkan sistem perbankan nasional dari tekanan Kondisi Tidak Normal. Namun, dalam perkembangannya Perpu JPSK ini tidak mendapat persetujuan DPR RI untuk dijadikan Undang-Undang. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat kerja Komisi XI DPR RI dengan pemerintah

(8)

tanggal 14 Desember 2008 dan hasil rapat paripurna tanggal 18 Desember 2008.

Berdasarkan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat itu, maka atas penolakan tersebut perlu diterbitkan UU Penolakan Perpu sesuai bunyi ketentuan Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) bahwa:

(3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang mengenai

penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang-Undang-Undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat maka Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Sampai saat ini UU Pencabutan Perpu JPSK belum pernah ditetapkan. Oleh karena itu, secara yuridis formal, Perpu tersebut masih tetap berlaku.

Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004 ditentukan pengaturan tentang penolakan Perpu, yang substansinya sebagian hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2004, bahwa:

(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

(2) Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.

(9)

(3) DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.

(5) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.

(6) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(7) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

(8) Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Bertolak dari ketentuan ini, Perpu JPSK yang sudah dinyatakan ditolak pada rapat paripurna, seharusnya perlu diikuti dengan pengajuan RUU Pencabutan Perpu. RUU tersebut dapat diajukan oleh DPR atau Presiden, sekaligus menuangkan pengaturan akibat hukum yang timbul atas pelaksanaan Perpu tersebut karena sangat mungkin pada saat Perpu diberlakukan terjadi perubahan terhadap kondisi yang ada. Perubahan ini akan menimbulkan persoalan jika tidak diperjelas dalam UU Pencabutan Perpu.

(10)

Sekalipun ada penolakan Perpu bukan berarti peluang pengajuan RUU JPSK menjadi tertutup. UU JPSK sangat penting untuk dibentuk dalam rangka mengatur sistem pengamanan untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya dalam Keadaaan Tidak Normal. Pembentukan ini sekaligus sebagai pengejawantahan UU BI dan UU LPS serta dalam rangka mempertegas dan memperjelas kewenangan lembaga/otoritas yang terkait dengan hal tersebut.

Sebelum UU JPSK terbentuk, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Hal ini merupakan tindak lanjut dari penataan kembali kelembagaan di sektor keuangan. Dengan ditetapkannya UU tersebut, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di Industri Keuangan nonBank (IKNB) dan sektor pasar modal beralih dari Kemenkeu ke OJK sejak tanggal 31 Desember 2012. Di sisi lain, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari BI ke OJK mulai tanggal 31 Desember 2013.

Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, seluruh lembaga/otoritas yang terkait, harus tetap waspada karena tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat. Hal ini dapat terjadi mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu sama lain. Di samping itu, gejolak sistem keuangan di Eropa dan Amerika masih belum teratasi sehingga lembaga/otoritas dalam sistem keuangan harus selalu siap siaga untuk mengantisipasi datangnya krisis dengan menyiapkan

(11)

berbagai bentuk kebijakan dan Protokol Manajemen Krisis (PMK)/

Crisis Management Protocol.

Belajar dari pengalaman pencegahan dan penanganan krisis tahun 1997/1998 dan 2008, serta penanganan krisis reksa dana pada tahun 2005, diyakini bahwa suatu JPSK diperlukan di Indonesia. JPSK merupakan sistem yang dibentuk untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya. Untuk itu, JPSK perlu dituangkan dalam bentuk UU tersendiri. Hal ini sangat penting untuk memberikan landasan hukum dalam mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas serta pengambilan keputusan yang terpadu, transparan, akuntabel, dan cepat agar dapat segera menanggulangi permasalahan Bank dalam kondisi sistem keuangan tidak normal.

UU JPSK akan memberikan landasan hukum yang kuat bagi lembaga/otoritas dalam upaya memelihara stabilitas dan menangani Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam keadaan darurat, UU ini memberikan tugas dan kewenangan kepada lembaga/otoritas dalam sistem keuangan untuk melakukan tindakan tertentu, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. UU ini juga mengatur mengenai tindakan yang tidak diatur atau diatur secara berbeda di dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penyelenggaraan kegiatan masing-masing lembaga/otoritas tersebut dalam upaya mengatasi permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.

Penyusunan UU JPSK secara yuridis merupakan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

(12)

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang dan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Masalah yang teridentifikasi dalam Naskah Akademik RUU JPSK ini mencakup 4 (empat) hal, yaitu:

1. Apakah permasalahan yang dihadapi dalam upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan yang timbul karenanya ketika Kondisi Tidak Normal?

2. Apakah dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang JPSK dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan yang timbul?

3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang JPSK?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Undang-Undang

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya.

2. Merumuskan urgensi Rancangan Undang-Undang JPSK dalam mengatasi permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan.

(13)

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis RUU JPSK.

4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam RUU JPSK.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan RUU JPSK.

D. METODE

Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga harus menggunakan metode penyusunan naskah akademik yang berbasis metode penelitian hukum. Penyusunan naskah akademik RUU JPSK ini menggunakan metode yuridis normatif. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah melalui studi kepustakaan/library research yang menelaah (terutama) data sekunder berupa: bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan permasalahannya, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;

2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara;

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

(14)

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;

6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

7. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;

8. Perpu Nomor 04 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan;

9. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang;

10. Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 03 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan;

11. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;

12. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015; dan

14. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN Tahun Anggaran 2015.

Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan laporan yang dihasilkan baik oleh lembaga maupun akademisi pada level nasional dan internasional.

Di luar studi pustaka, penyusunan Naskah Akademik ini juga dilengkapi dengan metode diskusi terarah/Focus Group

Discussion (FGD), workshop, wawancara, serta dengar pendapat

(15)

Bahan dan hasil diskusi yang telah diperoleh selanjutnya diolah secara sistematis kualitatif. Bahan-bahan hukum tertulis yang telah terkumpul diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi. Langkah selanjutnya yaitu dilakukan content analysis terhadap dokumen bahan hukum dan dikomparasikan dengan informasi narasumber, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diajukan.

(16)

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

Saat ini perbankan dinilai sebagai entitas yang memiliki posisi paling strategis dalam sistem keuangan dan perekonomian Indonesia dibandingkan dengan entitas keuangan lain seperti asuransi, dana pensiun, pasar modal, dan pembiayaan. Industri perbankan memiliki karakteristik yang unik karena adanya sistem pembayaran yang hanya dimiliki oleh Bank. Sistem pembayaran tersebut mengalokasikan dana kepada para pihak sesuai dengan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu, adanya gangguan dalam sistem perbankan dapat menimbulkan risiko finansial karena sifatnya yang menghubungkan antarpasar dan antarlembaga jasa keuangan.

Dalam cakupan perekonomian yang lebih luas, perbankan menjalankan fungsi intermediasi yang memiliki keterkaitan dengan hampir semua kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, kegagalan fungsi suatu Bank akan berdampak pada kegagalan sistem keuangan di mana Bank tersebut berada. Lebih lanjut, hal ini dapat mendorong kegagalan sistem perekonomian apabila Bank yang bermasalah tersebut memiliki konektivitas yang luas dengan sistem perekonomian.

Perbankan menghadapi risiko yang cukup kompleks, baik risiko yang bersumber dari tata kelola Bank itu sendiri, dari sistem di mana Bank itu berada, atau dari pemangku kepentingan yang memiliki keterkaitan dengan Bank tersebut dalam proses bisnisnya. Risiko yang dihadapi suatu Bank yaitu credit risk,

(17)

reputation risk, strategic bussiness risk, dan compliance risk. Lebih

lanjut, dalam kondisi tertentu, perbankan tidak hanya terimbas oleh risiko-risiko di atas saja namun justru dapat menjadi sumber risiko bagi Bank lain, sistem keuangan, bahkan perekonomian secara lebih luas.

Jika dilihat dari sisi total aset, industri perbankan masih mendominasi industri jasa keuangan domestik. Berdasarkan data OJK, aset perbankan secara total mencapai sekitar 5.615 triliun rupiah pada tahun 2014 atau sekitar 53% dari gross domestic

product (GDP) Indonesia. Sebagai pembanding, pada periode yang

sama total aset IKNB hanya mencapai 1.530 triliun rupiah atau kurang lebih hanya sebesar 14,5% terhadap GDP. Kemudian berdasarkan komposisi aset dalam industri keuangan, komposisi aset perbankan mencapai 78,6% dan 77,9% dari total aset industri keuangan pada tahun 2014 dan 2013.

(18)

Tidak selamanya industri perbankan dalam keadaan normal, dalam situasi tidak normal terdapat golongan Bank yang digolongkan sebagai Systemically Important Bank (SIB) atau biasa disebut Bank SIB. Bank SIB adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.

Mempertimbangkan pentingnya sektor perbankan dalam kaitannya dengan sektor keuangan maka perlu ada upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil pada sektor perbankan. Upaya tersebut perlu dibangun melalui mekanisme koordinasi yang jelas, terarah oleh para pemegang otoritas yang memiliki fungsi berbeda. Dalam keadaan normal masing-masing lembaga/otoritas menjalankan fungsinya untuk menjamin pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan. Namun dalam keadaan tidak normal atau dalam menangani Bank SIB, diperlukan pengintegrasian masing-masing fungsi lembaga/otoritas sehingga dapat diambil keputusan dan ditetapkan langkah-langkah yang diperlukan agar tetap dapat terpelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan tertangani dengan cepat permasalahan yang timbul terkait Stabilitas Sistem Keuangan.

Mekanisme inilah yang harus dibangun melalui sistem JPSK. Sistem ini menggambarkan bagaimana mekanisme kerja antarlembaga/otoritas yang memiliki kewenangannya masing-masing yang perlu dipadukan sehingga terbangun suatu jaring yang mampu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan nasional dari ancaman krisis. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan kondisi

(19)

sistem keuangan yang berfungsi secara efektif serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan/atau luar negeri. Schich berpendapat bahwa dengan memiliki JPSK, para pemegang otoritas cenderung memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam menghadapi krisis keuangan, sehingga potensi terjadinya krisis keuangan menjadi lebih kecil.3 Tanpa adanya JPSK,

permasalahan kecil di sektor keuangan dapat menjadi pemicu krisis (full-blown crisis), sebagaimana yang dikatakan oleh Schich berikut:

“Without an appropriate financial safety net, even simple

rumours of problems regarding solvency or liquidity of a financial institution have the potential to become self-fulfilling and turn into a full-blown financial crisis.”

Penyelenggaraan JPSK dimaksud menjadi tanggung jawab KSSK dengan anggota terdiri dari pimpinan Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Proses pengambilan keputusan KSSK dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing lembaga/otoritas secara bertanggung jawab demi kepentingan bangsa dan negara karena terkait dengan persoalan yang sangat krusial yaitu menjamin tetap terpeliharanya Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB. Oleh karena itu penyelenggaraannya harus berlandaskan asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian hukum. Hal ini juga digariskan dalam arah kebijakan dan strategi utama sektor keuangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 -2019.

Namun demikian, sampai saat ini pengaturan terkait dengan penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB belum diatur secara detaildalam suatu undang-undang.

3 Sebastian Schich, Financial Crisis: Deposit Insurance and Related Financial

(20)

Padahal dampaknya jika tidak ditangani dengan baik akan sangat luas dan berpotensi menyebabkan terganggunya perekonomian nasional karena cakupan sistem keuangan nasional secara luas dapat meliputi berbagai sektor, seperti perbankan, pasar uang, pasar modal, industri keuangan bukan Bank, dan lainnya. Namun demikian, ruang lingkup sistem keuangan di dalam UU JPSK ini adalah sistem perbankan. Hal ini mengingat sistem perbankan saat ini menguasai kurang lebih 80% dari keseluruhan market

share sektor keuangan nasional.

Dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan, UU JPSK sebagai bagian dari upaya untuk mengimplementasikan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan hanya akan mengatur penanganan permasalahan Bank sepanjang Bank tersebut termasuk di dalam daftar Bank SIB. Sementara itu, mekanisme penanganan permasalahan Bank yang tidak termasuk di dalam daftar Bank SIB akan diselesaikan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan undang-undang.

Pengaturan di dalam UU JPSK tersebut diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang sama serta memastikan tidak terjadi tumpang tindih (overlap) kewenangan antara satu lembaga/otoritas dengan lembaga/otoritas lainnya. Dengan adanya landasan hukum yang jelas, proses pengambilan keputusan oleh lembaga/otoritas dapat dilakukan dengan cepat dan tepat, karena fungsi-fungsi dalam JPSK dilakukan oleh beberapa lembaga/otoritas yang saling berkaitan. Oleh karena itu pengaturan mengenai pembagian tugas dan tanggung jawab, koordinasi dan kerja sama, serta pertukaran informasi perlu diatur dengan jelas dan tegas.

(21)

Pada dasarnya, konsep JPSK di Indonesia sudah pernah disusun namun masih memerlukan penyempurnaan dan penyesuaian dengan perkembangan saat ini. Konsep tersebut telah dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dimana komponen JPSK terdiri dari: (1) OJK sebagai otoritas pengatur dan pengawas Bank; (2) BI sebagai otoritas moneter dan lender of the last resort (LoLR) bagi Bank; (3) LPS sebagai otoritas yang berfungsi menjamin simpanan nasabah Bank dan melakukan resolusi Bank gagal; dan (4) Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal dan koordinator dalam pencegahan dan penanganan krisis.

Adapun uraian mengenai fungsi masing-masing lembaga/otoritas tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1. Pengaturan dan pengawasan Bank yang efektif;

Fungsi ini merupakan jaring pengaman pertama (first line of

defense) dalam JPSK. Mengingat pentingnya fungsi tersebut,

dalam kerangka JPSK digariskan prinsip-prinsip dasar (guiding principles) bahwa pengawasan dan pengaturan terhadap lembaga dan pasar keuangan oleh otoritas terkait harus senantiasa ditujukan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, pengawasan dan pengaturan tersebut harus berpedoman pada best practices dan standar yang berlaku.

2. Lender of the Last Resort (LoLR);

Adanya kebijakan LoLR yang baik terbukti sebagai salah satu alat yang efektif dalam pencegahan dan penanganan krisis. Sejalan dengan hal tersebut, kebijakan LoLR dalam kondisi normal dan Kondisi Tidak Normal telah mengacu pada

international best practices. Pada prinsipnya, LoLR untuk

(22)

kesulitan likuiditas tetapi masih solven dengan agunan yang likuid dan bernilai tinggi. Sedangkan dalam Kondisi Tidak Normal, potensi dampak sistemik menjadi faktor pertimbangan utama dengan tetap mensyaratkan solvensi dan mempertimbangkan agunan. Untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik, BI sebagai LoLR dapat memberikan pinjaman likuiditas khusus kepada Bank umum yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.

3. Penjaminan simpanan yang memadai; dan

LPS juga merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Program penjaminan Pemerintah (blanket guarantee) yang diberlakukan untuk menangani krisis sejak tahun 1998 berhasil memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa kebijakan tersebut dapat mendorong moral hazard yang berpotensi menimbulkan krisis dalam jangka panjang. Untuk itu, ditetapkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS yang mengatur secara detail mengenai skema penjaminan simpanan. Dalam undang-undang tersebut, LPS memiliki dua fungsi utama, yaitu: (i) menjamin simpanan nasabah Bank; dan (ii) turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan.

4. Penanganan Kondisi Tidak Normal yang efektif.

Fungsi ini dituangkan dalam kerangka kebijakan JPSK agar Kondisi Tidak Normal dapat ditangani secara cepat tanpa membebani perekonomian. Dalam JPSK ditetapkan peran dan kewenangan masing-masing lembaga/otoritas dalam penanganan Kondisi Tidak Normal sehingga setiap lembaga/otoritas memiliki wewenang, tanggung jawab, dan akuntabilitas yang jelas. Dengan demikian, Kondisi Tidak

(23)

Normal dapat ditangani secara efektif, cepat, serta tidak menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.

Dengan adanya penyempurnaan terhadap konsep JPSK, diharapkan tidak hanya memperkuat upaya memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, namun juga dapat mencegah timbulnya biaya yang lebih besar pada perekonomian apabila terjadi Kondisi Tidak Normal dan adanya permasalahan Bank. Diamond & Dybvig dan Nadezhda M. & John R.Walter berpendapat bahwa JPSK memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian karena biaya pencegahan dan penanganan krisis menjadi lebih rendah.4

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT

DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Penyusunan UU JPSK ini berupaya untuk memenuhi asas-asas sebagai berikut:

1. Kejelasan Tujuan

UU tentang JPSK disusun untuk melaksanakan amanat Pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam rangka menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

2. Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat

RUU JPSK ini disusun oleh Kemenkeu. Berdasarkan Pasal 5 UUD 1945, Kementerian Keuangan Republik Indonesia merupakan unsur lembaga eksekutif yang memiliki wewenang untuk mengajukan RUU JPSK.

4 Douglas D Diamond and Philip H Dybvig, “Bank Runs, Deposit Insurance, and

Liquidity” dalam Journal of Political Economy Volume 91 No. 3, 1983, hlm.

(24)

3. Kesesuaian antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan

Hal-hal yang diatur dalam UU JPSK ini merupakan hal mendasar yang diperlukan untuk mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dilakukan karena penyelenggaraan JPSK memiliki implikasi yang luas dalam rangka menjaga agar kepentingan negara tidak terganggu. Disamping itu, beberapa poin pengaturan di dalamnya menggantikan ketentuan di dalam UU lain yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini ataupun menambah ketentuan yang belum diatur. Untuk itu, diperlukan peraturan setingkat undang-undang.

4. Dapat dilaksanakan

Pengaturan dalam UU JPSK ini mengadopsi hasil kajian internasional dan praktik-praktik sesuai dengan standar internasional yang telah disesuaikan dengan memperhatikan kebutuhan, urgensi, kondisi sistem keuangan saat ini, sistem hukum, dan sistem keuangan di Indonesia. Selain itu, pengaturan tersebut juga telah menyesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan pengalaman lembaga/otoritas dalam menghadapi krisis di masa lalu. Penyesuaian tersebut memungkinkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UU JPSK dapat dilaksanakan.

5. Kedayagunaan dan Kehasilgunaan

Jangkauan dan arah pengaturan dalam UU JPSK merupakan penyempurnaan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada dalam rangka mewujudkan JPSK sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya. Dengan adanya pengaturan tersebut, koordinasi dalam rangka pemantauan dan

(25)

pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, Permasalahan Bank SIB, baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal, akan dapat dilakukan dengan lebih baik.

6. Kejelasan Rumusan

UU JPSK telah memenuhi ketentuan persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan karena disusun dengan sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti. Dengan demikian, pengaturan di dalam UU JPSK diharapkan tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

7. Keterbukaan

Sebagai upaya untuk memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, KSSK berhak memperoleh data/informasi yang akurat, lengkap, terkini, dan tepat waktu agar dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Data/informasi tersebut dapat berasal dari Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS, maupun sumber lain yang diperlukan. Pemberian informasi tersebut dikecualikan dari ketentuan mengenai kerahasiaan Bank dan kerahasiaan data/informasi yang dikelola oleh lembaga/otoritas anggota KSSK. Selain itu, dalam penanganan permasalahan Bank, sektor swasta dapat berperan serta menyelesaikan permasalahan Bank dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan. Proses pembentukan RUU ini pun dilakukan dengan pelibatan stakeholders terkait sesuai dengan prinsip keterbukaan.

Selain memperhatikan asas terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, UU JPSK juga mendasarkan

(26)

pada asas-asas yang terkait dengan pengamanan sistem keuangan yaitu.:

1. Asas Kepentingan Umum

Asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.

Bahwa dalam pelaksanaannya, JPSK harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas untk mencapai kesejahteraan umum. Pelaksanaan JPSK selanjutnya akan menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS yang dilakukan dengan memegang prinsip gotong royong. Lebih lanjut, perlu ditekankan bahwa JPSK merupakan kesatuan yang utuh, saling menunjang, selaras antara berbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung dalam rangka mencapai tujuan JPSK.

2. Asas efektivitas

Asas yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.

Dalam hal ini, JPSK harus dilaksanakan dengan berorientasi pada tujuan JPSK yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam rangka menghadapi permasalahan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB, JPSK harus mampu menyelesaikan permasalahan tersebut secara cepat dan tepat dengan biaya yang wajar

3. Asas kepastian hukum

Asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.

Kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian

(27)

hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :5

1. Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik

3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;

4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

7. Tidak boleh sering diubah-ubah; dan

8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.

Bahwa norma yang mengatur JPSK harus mencerminkan suatu kepastian hukum. Peraturan yang terkait dengan JPSK harus menjadi pedoman dan dasar hukum yang jelas bagi pengambil keputusan dalam menetapkan langkah-langkah

5 “Asas Kepastian Hukum”,

(28)

penanganan Kondisi Tidak Normal dan permasalahan Bank SIB.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN,

KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT

1. Praktik Penyelenggaraan dan Permasalahan yang Dihadapi

Dengan ditetapkannya UU OJK, Indonesia memiliki empat lembaga/otoritas yang masing-masing memiliki peran dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Perubahan yang signifikan adalah pengalihan fungsi pengaturan dan pengawasan Bank di bidang mikroprudensial dari BI kepada OJK. Selain itu, LPS juga diberi wewenang yang lebih luas untuk dapat melakukan pemeriksaan pada Bank setelah berkoordinasi dengan OJK. Dengan bertambahnya jumlah lembaga/otoritas yang terlibat dalam menjaga stabilitas sistem perbankan, koordinasi, kerja sama, dan tukar-menukar informasi perlu ditingkatkan.

Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya, pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan yang menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan landasan hukum tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi, prosedur, tanggung jawab dan wewenang lembaga/otoritas, sekaligus tidak adanya perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan

(29)

tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak ditangani dengan baik.

Kondisi di atas dapat dihindari apabila terdapat payung hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur mengenai fungsi, tugas, tanggung jawab, dan wewenang lembaga/otoritas yang terkait dengan penanganan SSK dalam suatu jarring pengaman yang sistematis. Pengaturan tersebut akan memberikan landasan hukum yang kuat sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh lembaga/otoritas terkait, terutama pada Kondisi Tidak Normal. Kebutuhan akan adanya landasan hukum atas hal-hal tersebut di atas akan dituangkan di dalam UU JPSK.

Upaya untuk menciptakan sistem keuangan yang sehat dan stabil harus dilakukan dengan mekanisme koordinasi yang jelas dalam rangka pengambilan kebijakan dan penetapan langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka pemeliharaan dan penanganan permasalahan SSK. Untuk itu, diperlukan suatu JPSK yang bertujuan untuk memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, yang penyelenggaraannya berlandaskan atas asas kepentingan umum, keterpaduan, efektivitas, dan kepastian hukum.

Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan menangani permasalahannya, diperlukan langkah-langkah pengambilan kebijakan antarlembaga/otoritas dalam suatu kerangka koordinasi yang efektif, transparan,

(30)

dan akuntabel dengan didukung oleh data dan informasi yang dapat diandalkan. Pemberian mandat, wewenang, dan tanggung jawab antarlembaga/otoritas harus didefinisikan secara jelas dalam suatu UU sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan.

2. Perbandingan Praktik Penyelengaraan di berbagai Negara

Sejauh ini, mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas di sektor keuangan yang diterapkan di banyak negara memiliki keragaman sesuai dengan pengalaman, kondisi, dan kebutuhan masing-masing negara. Misalnya Amerika Serikat (AS), yang pernah menghadapi krisis cukup dalam pada tahun 2008, saat ini memiliki suatu komite koordinasi yang berfungsi untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Dodd-Frank Wall Street

Reform and Consumer Protection Act (“Dodd-Frank Act”) AS

mengamanatkan pembentukan Financial Stability Oversight

Council (FSOC) dengan Secretary of the Treasury bertindak

sebagai koordinator.

Dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, komite tersebut diberikan kewenangan untuk memfasilitasi koordinasi peraturan, memfasilitasi pertukaran dan pengumpulan informasi, menetapkan pengawasan terhadap industri keuangan nonbank secara lebih terkonsolidasi, merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat dalam kondisi tertentu, serta menetapkan langkah yang perlu diambil terhadap lembaga keuangan yang mengancam Stabilitas Sistem Keuangan AS.

(31)

Selain AS, Korea juga memiliki Macroeconomic Financial

Meeting (MEFM), sebuah forum tingkat deputi yang dibentuk

berdasarkan keputusan presiden. Di samping itu, Inggris juga memiliki forum koordinasi yang beranggotakan HM

Treasury, Bank of England, dan subsidiarinya yaitu The Prudential Regulation Authority (PRA). Forum ini dibentuk

berdasarkan nota kesepahaman. Forum/komite koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan juga dimiliki oleh Australia, Kanada, dan Jepang.

Pada umumnya, forum/komite di negara-negara tersebut dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan, atas dasar pemikiran bahwa terdapat interkoneksi antar risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Penanggung beban terakhir (ultimate burden) dari upaya penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah Pemerintah selaku pengelola fiskal.

Di Indonesia, lembaga/otoritas yang memiliki kewenangan untuk melakukan penanganan SSK adalah Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Kewenangan masing-masing lembaga/otoritas tersebut sebagai berikut:

a. Kemenkeu terkait kebijakan fiskal dan penyediaan pendanaan yang bersumber dari APBN;

b. BI terkait kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial;

c. OJK terkait kebijakan mikroprudensial; dan

d. LPS terkait dengan penjaminan simpanan dan penyelesaian Bank gagal.

Dalam UU JPSK ini, dibentuk suatu komite yang disebut KSSK, dengan keanggotaan sebagai berikut:

(32)

a. Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota;

b. Gubernur BI sebagai anggota;

c. Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota; dan d. Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota.

Lebih lanjut, perlu menjadi perhatian bahwa tidak tertutup kemungkinan terdapat wewenang antarinstitusi yang saling beririsan ketika menyelesaikan isu tertentu. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu ditunjuk lead

authority dalam forum/komite. Pada umumnya,

forum/komite di beberapa negara diketuai oleh pemerintah. Sebagai contoh, MEFM Korea diketuai oleh perwakilan dari pemerintah dan Financial Stability and Development Council

(FSDC) India diketuai oleh Menteri Keuangan. Penunjukan

Pemerintah c.q. Menteri Keuangan tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa terdapat interkoneksi antara risiko sistem keuangan dan risiko fiskal. Di samping itu,

ultimate burden dari upaya penanganan Kondisi Tidak

Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB adalah Pemerintah selaku pengelola fiskal.

Merujuk pada struktur dan mekanisme KSSK pada negara lain sekaligus dengan mempertimbangkan kebutuhan, kondisi, dan sistem ketatanegaraan yang dianut, maka Menteri Keuangan ditetapkan sebagai koordinator KSSK. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan Menteri Keuangan sebagai koordinator KSSK adalah:

1) Menteri Keuangan menanggung risiko dampak sistemik dari sektor keuangan yang menyangkut kemungkinan terjadinya risiko fiskal (risiko keuangan negara);

(33)

2) Menteri Keuangan sebagai pembantu kepala negara/pemerintahan dan atas nama Pemerintah berkewajiban untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dan stabilitas perekonomian nasional; dan

3) Menteri Keuangan berdasarkan akuntabilitas fiskal harus mampu mempertanggungjawabkan kepada DPR dan masyarakat selaku pembayar pajak atas setiap biaya fiskal yang dikeluarkan.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM

BARU YANG AKAN DIATUR DALAM UU JPSK TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK KEUANGAN NEGARA

Dalam rangka memelihara SSK dan menangani permasalahan yang timbul karenanya maka perlu ditentukan langkah antisipatif, proaktif, dan koordinatif yang harus dilakukan oleh lembaga/otoritas yang terlibat, baik secara sendiri-sendiri maupun terkoordinasi, dalam suatu unit organisasi KSSK. Lembaga/otoritas tersebut akan memiliki keyakinan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan karena mekanisme bekerjanya diatur dengan jelas di dalam UU JPSK. Sebagai contoh, di dalam Penanganan Permasalahan Bank SIB, BI sebagai otoritas yang berwenang akan memiliki keyakinan yang lebih tinggi dalam memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus (PLK) mengingat ketentuan tersebut telah diatur di dalam UU JPSK dan hanya diberikan kepada Bank SIB dimana BI juga terlibat di dalam penyusunan daftar Bank SIB tersebut. Di samping itu, keberadaan jaminan Pemerintah dalam penyaluran PLK menjadi satu hal yang mendukung keyakinan BI. Pada akhirnya, langkah-langkah

(34)

kebijakan dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan serta kecepatan, ketepatan, dan keyakinan pengambilan keputusan dalam menangani Kondisi Tidak Normal dan menangani permasalahan Bank yang dilakukan oleh lembaga/otoritas dapat memberikan ketenangan dan keyakinan bagi masyarakat luas, sehingga tidak menimbulkan dampak meluas dan mengganggu perekonomian nasional.

Dalam UU JPSK perlu diatur PMK sehingga ada kejelasan mengenai tingkat eskalasi penyelesaian Bank bermasalah, yang terdiri dari penyelesaian permasalahan oleh Bank itu sendiri (recovery plan yang telah disetujui oleh OJK), fungsi LoLR BI, resolusi Bank LPS, dan mekanisme APBN. Sebelum menggunakan dana APBN sebagai buffer terakhir, diharapkan penanganan Bank bermasalah dapat terselesaikan pada tahapan-tahapan sebelumnya. Namun demikian, dalam hal penggunaan dana APBN harus dieksekusi untuk mencegah memburuknya kondisi SSK yang dikhawatirkan akan menjalar pada stabilitas perekonomian lebih luas, penggunaan dana tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif.

Efektivitas tersebut dapat terwujud dengan adanya mekanisme koordinasi antar pemegang otoritas dan PMK yang diatur di dalam UU JPSK dapat mendeteksi lebih dini permasalahan dan langkah-langkah penanganannya dapat disiapkan lebih awal. Selain itu, program penyelesaian permasalahan Bank sebagaimana diatur di dalam UU JPSK ini melibatkan pihak swasta melalui mekanisme private solution. Pelibatan swasta tersebut diharapkan dapat meminimalisasi, baik peluang eskalasi penanganan pada dana APBN maupun besaran dana APBN yang digunakan.

(35)

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan saat ini, penggunaan dana APBN melalui mekanisme pemberian pinjaman dan penyertaan modal kepada LPS tidak dapat dilakukan. Oleh karena, itu perlu ada suatu ketentuan bahwa dana APBN dapat digunakan untuk pemberian pinjaman dan penambahan modal kepada LPS dengan memperoleh persetujuan DPR terlebih dahulu.

Dengan adanya pengaturan JPSK akan terbangun koordinasi yang terpadu dan efektif antar pemegang otoritas dalam menangani Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun Kondisi Tidak Normal. Dengan demikian, mekanisme pemeliharaan SSK dan penanganan permasalahannya akan dapat dilakukan secara cepat dan efektif. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:

1) terdapat mekanisme koordinasi dan pembagian tanggung jawab yang jelas di antara lembaga/otoritas terkait dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, tanpa mengurangi independensi masing-masing lembaga/otoritas;

2) adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka penanganan Kondisi Tidak Normal;

3) terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan tindakan penanganan permasalahan Bank SIB; dan

4) terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan penanganan Kondisi Tidak Normal dan penanganan permasalahan Bank SIB dengan tetap berpedoman pada ketentuan dan kemampuan keuangan negara serta hak budget DPR.

(36)

Upaya penyelenggaraan JPSK tersebut dilakukan oleh Negara melalui pembentukan KSSK. Dengan demikian, koordinasi yang dilakukan dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan, penanganan Kondisi Tidak Normal, dan penanganan permasalahan Bank SIB, memiliki landasan hukum yang kuat. Hal ini akan berimplikasi positif dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian karena terjaganya Stabilitas Sistem Keuangan.

Untuk menciptakan koordinasi antar lembaga/otoritas yang efektif, transparan, dan akuntabel dalam rangka pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan dan penanganan masalahnya, pembagian fungsi, tugas, dan wewenang KSSK perlu diatur secara jelas. Sebagai contoh, MEFM Korea, yang merupakan forum tingkat deputi untuk melakukan sharing dan review atas analisis risiko Stabilitas Sistem Keuangan6. Forum ini terdiri dari Ministry of Strategy and Finance, The Bank of Korea, The Financial Service Commission, dan The Financial Supervisory Service. Di dalam

forum tersebut, setiap lembaga/otoritas mendiskusikan hasil analisis dan identifikasi potensi risiko serta mengkaji respon kebijakan yang dapat diambil.

Pada dasarnya, pemeliharaan SSK dalam kondisi normal dilakukan oleh masing-masing lembaga/otoritas sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada. Namun demikian, dalam kondisi tertentu, terdapat kebutuhan untuk mempertimbangkan terlebih dahulu dan/atau memutuskan suatu kebijakan dalam kerangka koordinasi antar lembaga/otoritas di dalam KSSK. Beberapa kebutuhan tersebut antara lain menetapkan status SSK, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah-langkah-langkah

6 “Republic of Korea: Financial Sector Assessment Program-Crisis Preparedness and Crisis

(37)

penanganan permasalahan Bank yang tidak dapat lagi ditangani oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Presiden.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas tersebut, KSSK perlu diberikan kewenangan. Sebagai contoh, untuk dapat menentukan status SSK, KSSK perlu mempunyai wewenang untuk memperoleh hasil penilaian kondisi SSK dari masing-masing anggota KSSK terlebih dahulu. Hasil penilaian tersebut juga perlu dilengkapi dengan data dan informasi pendukung, serta kerangka kerja penilaian yang digunakan oleh masing-masing anggota. Lebih lanjut, untuk menetapkan langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, KSSK juga perlu mendapatkan rekomendasi dari masing-masing anggota KSSK mengenai langkah-langkah penanganan dimaksud. KSSK juga berwenang untuk memperoleh daftar Bank SIB terkini yang ditetapkan oleh OJK setelah berkoordinasi dengan BI. Pengkinian daftar Bank SIB dilakukan oleh OJK secara berkala, misalnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan, atau sewaktu-waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengkinian sewaktu-waktu tersebut hanya dapat dilakukan pada saat kondisi SSK normal.

Dengan mempertimbangkan luasnya cakupan tugas dan wewenang KSSK, maka ditunjuk sekretaris KSSK yang dapat menjalankan sebagian tugas dan/atau wewenang KSSK apabila menerima pendelegasian dari KSSK. Di samping itu, dalam rangka mendukung kelancaran tugas KSSK, diperlukan suatu sekretariat untuk membantu penyelenggaraan rapat hingga melakukan

monitoring terhadap tindak lanjut keputusan rapat, melakukan

kompilasi analisis umum berdasarkan indikator, dan laporan

surveillance dari masing-masing anggota KSSK, menyusun standard operating procedure bagi sekretariat KSSK, dan

(38)

tugas-tugas kesekretariatan lain dalam rangka mendukung terlaksananya koordinasi yang baik antaranggota KSSK.

Hal tersebut juga sejalan dengan praktik di Amerika Serikat, dimana Financial Stability Oversight Council (FSOC) mempunyai kelompok kecil dengan staf independen yang mengelola dan menyimpan dokumen serta menyusun keterbukaan dokumen kepada publik. Kelompok staf independen ini juga bisa beranggotakan para ahli untuk mendukung kerja komite dan penyusunan legal drafting (jika diperlukan) serta pelaporan kepada Kongres. Selain itu, praktek di India melalui Financial Stability and

Development Council (setara dengan KSSK) juga memiliki sub-committee yang merupakan sekretariat KSSK. Jabatan sekretaris

dipegang oleh Pejabat Direktur Eksekutif Bank Sentral, dengan mendapat dukungan kesekretariatan dari Financial Stability Unit.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya, KSSK didukung oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh sekretaris KSSK. Sekretaris KSSK seyogyanya dijabat oleh seorang pejabat yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk itu di Kemenkeu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Lebih lanjut, untuk tata laksana kesekretariatan KSSK sebaiknya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Juga dimungkinkan bagi KSSK membentuk gugus tugas, kelompok kerja, atau alat kelengkapan lain untuk membantu pelaksanaan tugas KSSK, mengundang pihak lain sebagai narasumber, serta menyelenggarakan rapat persiapan pelaksanaan rapat KSSK yang melibatkan pejabat perwakilan dari masing-masing lembaga/otoritas anggota KSSK.

Mekanisme dalam menetapkan tindakan penanganan Kondisi Tidak Normal harus dilakukan lebih awal dan sesegera mungkin7. Selain itu, standar dan indikator yang digunakan

(39)

untuk melakukan asesmen terhadap entitas yang diawasi juga harus jelas. Terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi perhatian dalam mekanisme penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, yaitu:

a. Kecepatan pengambilan keputusan

Keputusan penanganan terhadap permasalahan harus dilakukan sesegera mungkin. Tindakan cepat, pesan (signalling) yang jelas, dan kepemimpinan yang didefinisikan secara baik akan memberikan dampak positif terhadap kepercayaan publik.

b. Transparansi dan kredibilitas keputusan

Menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam penanganan permasalahan SSK menjadi faktor yang sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional. Untuk itu, diperlukan adanya proses yang menjamin bahwa penanganan dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta dilakukan oleh lembaga/otoritas yang kompeten. Dengan demikian, diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan komunikasi publik yang baik.

c. Kepastian hukum

Keputusan yang diambil dalam rangka penanganan permasalahan SSK oleh KSSK merupakan keputusan yang sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum.

d. Akuntabilitas penggunaan dana publik

Mekanisme penanganan permasalahan SSK memerlukan dukungan pendanaan dari APBN. Hal ini harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(40)

di bidang keuangan negara dan dengan mempertimbangkan kecepatan pengambilan keputusan.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka KSSK secara rutin perlu menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu atas permintaan dari anggota KSSK.8 Mekanisme rapat seperti itu sudah dilakukan oleh

Korea melalui MEFM dimana komite tersebut juga menyelenggarakan rapat sekurang-kurangnya 4 (empat) kali dalam 1 (satu) tahun9.

Rapat KSSK dihadiri oleh seluruh anggota KSSK dan dipimpin oleh koordinator KSSK. Dalam Kondisi Tidak Normal diperlukan adanya pengambilan keputusan secara terpadu dan cepat serta tepat, berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Mengingat keputusan yang diambil di dalam KSSK merupakan keputusan yang strategis dan berdampak luas pada perekonomian nasional, maka keputusan rapat harus memperoleh keyakinan dari semua lembaga/otoritas untuk menghindari perselisihan atas keputusan yang diambil di kemudian hari. Hal ini sekaligus mencerminkan suatu kebulatan pendapat dan tekad dari masing-masing anggota KSSK untuk melakukan upaya terbaik dalam penanganan permasalahan SSK.

Dalam hal tidak mencapai kata mufakat, usulan keputusan yang diajukan anggota KSSK dinyatakan ditolak dan pendapat akhir masing-masing anggota KSSK di dalam rapat tersebut harus didokumentasikan. Usulan yang ditolak dapat diajukan kembali dalam rapat KSSK berikutnya maksimal 1 (satu) kali.

8 Pasal 45 ayat (1) huruf b UU OJK ditentukan dalam kondisi normal FSSK melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan.

(41)

Mengingat pentingnya proses pengambilan keputusan dan dampak atas hasil keputusan yang sangat luas, maka proses pengambilan keputusan harus dihadiri oleh seluruh anggota KSSK. Apabila terdapat kondisi dimana anggota KSSK berhalangan hadir secara fisik, maka rapat KSSK dapat diselenggarakan menggunakan media komunikasi elektronik dimana peserta rapat KSSK harus saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, serta didokumentasikan secara utuh. Dalam kondisi ini, anggota KSSK yang berhalangan hadir secara fisik menunjuk pejabat yang akan mewakilinya untuk menandatangani keputusan rapat KSSK. Dalam hal anggota KSSK berhalangan sementara, anggota KSSK yang bersangkutan diwakili oleh pejabat yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan rapat KSSK mencakup penetapan Kondisi Tidak Normal, langkah-langkah penanganan Kondisi Tidak Normal, dan/atau langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB. Hasil keputusan rapat tersebut harus dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam secara tertulis atau melalui sarana elektronik. Pelaporan tersebut harus ditatausahakan dengan baik dan lengkap sebagai kelengkapan apabila dibutuhkan di masa mendatang, terutama apabila timbul permasalahan hukum atas keputusan yang diambil.

Jangka waktu pelaporan kepada Presiden harus dilakukan paling lama 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam mengingat dari hasil keputusan rapat KSSK dimungkinkan adanya penggunaan dana APBN untuk menangani Kondisi Tidak Normal dan/atau penanganan permasalahan Bank SIB. Selain itu, sangat penting bagi Presiden untuk mengetahui kondisi sistem keuangan karena

(42)

ketidakstabilan sistem keuangan berpotensi mengganggu stabilitas nasional.

Tekanan terhadap sistem keuangan dapat terjadi setiap saat mengingat dinamika perekonomian global yang bergerak sangat cepat dan interaksi antar pasar keuangan yang demikian erat satu sama lain. Oleh karena itu, setiap anggota KSSK harus mewaspadai dan mengantisipasi risiko tersebut. Dalam hal ini, masing-masing lembaga/otoritas telah menyusun PMK sebagai bagian dari upaya pencegahan dan penanganan Kondisi Tidak Normal. PMK tersebut paling kurang memuat tentang mekanisme pemantauan Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari indikator-indikator penyusun, mekanisme pengambilan keputusan, serta mekanisme koordinasi dan komunikasi. Protokol tersebut disusun berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing lembaga/otoritas.

Di dalam kerangka koordinasi KSSK, apabila PMK anggota KSSK menunjukkan Kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang Tidak Normal, maka anggota yang bersangkutan dapat mengusulkan kepada KSSK untuk menyelenggarakan rapat guna membahas permasalahan tersebut. Dalam rapat KSSK dimaksud, KSSK mendapatkan data dan informasi dari masing-masing anggota KSSK sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya.

Sebagai otoritas makroprudensial, BI menyampaikan penilaian kondisi moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran serta pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan rekomendasi langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan. OJK, selaku otoritas mikroprudensial menyampaikan penilaian

(43)

kondisi lembaga keuangan dan pasar keuangan dan pengaruhnya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu, OJK juga menyampaikan data Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan langkah-langkah penanganan permasalahan Bank SIB.

Dari sisi fiskal, Kemenkeu menyampaikan penilaian kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-langkah penanganan kondisi fiskal dan pasar SBN agar tetap berkesinambungan. LPS menyampaikan penilaian kondisi kecukupan dana penjaminan simpanan yang mempengaruhi Stabilitas Sistem Keuangan, disertai dengan rekomendasi langkah-langkah penanganan untuk memenuhi kecukupan dana penjaminan simpanan.

Setelah memperoleh data, informasi, kerangka penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan, dan pertimbangan dari seluruh anggota KSSK, maka KSSK menetapkan status Stabilitas Sistem Keuangan. Apabila Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dalam kondisi normal, penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan dikembalikan kepada masing-masing anggota KSSK sesuai bidang tugas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Apabila KSSK menetapkan SSK dalam Kondisi Tidak Normal, maka penetapan ini perlu disertai dengan penetapan langkah-langkah penanganan permasalahan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran, penanganan Bank SIB dalam status Bank dalam pengawasan khusus, dan penanganan kondisi lembaga keuangan dan/atau pasar keuangan, kondisi kesinambungan fiskal dan pasar SBN, serta kecukupan dana penjaminan simpanan. Langkah-langkah penanganan tersebut

(44)

dilaporkan oleh koordinator KSSK kepada Presiden dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam.

Flowchart (Gambar 1) di bawah ini memberikan gambaran

mekanisme bekerjanya proses pengambilan keputusan dalam sistem jaring pengaman ketika Kondisi Tidak Normal.

Gambar 1

Berdasarkan flowchart di atas terlehat bahwa tindakan mengatasi permasalahan Bank SIB dilakukan secara cermat dan hati-hati (prudent). OJK sebagai otoritas pengawas perbankan, dalam melaksanakan tugasnya harus mampu melakukan identifikasi Bank yang dikategorikan sebagai Bank SIB yang

(45)

dilakukan dengan berkoordinasi dengan BI. Bank SIB, sesuai karakteristiknya, dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan. Kegagalan tersebut dapat terjadi, baik secara operasional maupun finansial. Dengan mempertimbangkan potensi risiko tersebut, maka Bank tersebut diwajibkan untuk membuat rencana pemulihan sebagai tindakan siaga apabila Bank tersebut mengalami permasalahan keuangan di masa mendatang.

Penyusunan rencana dimaksud merupakan upaya untuk mencegah eskalasi permasalahan individu Bank SIB tersebut pada sistem perbankan dan sistem keuangan secara lebih luas. Penyusunan rencana pemulihan oleh Bank SIB tersebut merupakan bentuk komitmen awal Bank SIB untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya, rencana pemulihan tersebut harus mendapatkan persetujuan OJK sebagai otoritas pengawas perbankan.

Apabila Bank SIB yang bersangkutan belum mempunyai rencana pemulihan, maka Bank tersebut harus menerapkan langkah-langkah penyehatan yang telah ditetapkan OJK berdasarkan penilaian yang dilakukan OJK terhadap kondisi Bank tersebut. Memperhatikan bahwa UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk menetapkan peraturan pelaksanaan dari undang-undang di bidang jasa keuangan, pengaturan lebih lanjut mengenai rencana pemulihan permasalahan keuangan Bank SIB diatur dalam Peraturan OJK.

Salah satu permasalahan keuangan perbankan adalah kesulitan likuiditas, yang perlu diatur dengan jelas mekanisme penanganan kesulitan tersebut sebagaimana flowchart (Gambar 2) di bawah ini:

(46)

Gambar 2

Pada praktiknya, apabila Bank mengalami kekurangan likuiditas, Bank dapat mencari sumber dana lain dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Namun demikian, terdapat kemungkinan bahwa kondisi likuiditas di pasar uang sedang ketat atau Bank dilanda penarikan dana besar-besaran (Bank run) sehingga tidak mampu memperoleh dana untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Dalam kondisi demikian, Bank sentral sebagai LoLR dapat memberikan pinjaman kepada Bank untuk mengatasi kesulitan keuangan tersebut. Pinjaman tersebut diberikan setelah penanganan mandiri yang dilakukan Bank dimaksud, dengan dibantu oleh OJK sesuai kewenangannya, belum dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas.

BI, sesuai ketentuan dalam UU No. 23 tahun 1999 yang telah diubah beberapa kali (terakhir dengan UU No. 6 tahun 2009), mempunyai dua fasilitas pembiayaan untuk mengatasi

Referensi

Dokumen terkait

0% 20% 40% 60% 80% 100% SS SF Persentase Jenis Kesalahan.. dianalisis disimpulkan menjadi penyebab terjadinya kesalahan pada mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Mandarin angkatan

Setelah beberapa hari daun direbus untuk mematikan sel-selnya (proses nomor 2). Proses berikutnya dengan memasukkan daun yang telah direbus ke dalam alcohol panas

suatu masyarakat, yaitu budaya lokal, adalah sumber hukum dalam Islam Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa unsur- unsur budaya lokal yang dapat atau

Pada sistem bagi hasil antara syirkah al-‘inan dengan Koperasi Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry memiliki sedikit perbedaan karena pada syirkah inan sistem

Hasil analisis pakar menunjukkan: (1) terdapat isi uraian modul yang tidak penting bahkan salah; (2) beberapa pargraf yang tidak baik susunannya atau tidak memenuhi

Haryasudirja Kampus ITNY, di dapat nilai tertinggi pada bagian sistem utilitas dengan nilai mean 2,900 pada item sistem listrik darurat yang diperoleh dari

memberikan informasi bahwa dengan 80 kali replikasi bootstrap yang dilakukan pada data training kombinasi 1, diperoleh rata-rata ketepatan klasifikasi terbesar, maka

Dalam penyusunan Laporan Akhir ini tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan, dukungan, dan arahan