• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. Evaluasi dan Analisis terhadap Perpu No. 4 Tahun 2008

Berdasarkan pengalaman dalam menghadapi krisis yang terjadi pada tahun 2008 dan krisis-krisis sebelumnya, pengambilan keputusan yang tidak didasari atas landasan hukum yang kuat akan menghasilkan suatu keputusan yang menimbulkan polemik di masyarakat. Ketiadaan landasan hukum tersebut menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan mekanisme pengambilan keputusan, antara lain koordinasi, prosedur, tanggung jawab dan wewenang lembaga/otoritas, sekaligus tidak adanya perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan. Lebih lanjut, permasalahan tersebut menyebabkan penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan sistem keuangan di Indonesia. Kondisi tersebut kemudian berdampak secara langsung terhadap Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional secara umum sehingga akan menimbulkan kondisi yang lebih buruk apabila tidak ditangani dengan baik.

Secara yuridis formal, saat ini masih berlaku Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang JPSK. Pembentukan Perpu ini dilakukan dalam rangka menghadapi ancaman krisis keuangan global yang dapat membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu landasan hukum yang kuat dan cepat, dengan mekanisme koordinasi antar lembaga/otoritas yang terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional, serta mekanisme pengambilan keputusan dalam tindakan pencegahan dan penanganan krisis dapat dilakukan secara terpadu dan efektif. Pada saat itu tidak

memungkinkan dibentuk UU secara normal karena situasi yang sangat mendesak untuk mengatasi krisis. Tujuan Perpu JPSK ini untuk menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan. Dalam Perpu ini diatur mengenai ruang lingkup JPSK yang meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan kesulitan likuiditas dan penanganan masalah solvabilitas dari Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi Bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami kesulitan likuiditas. Selain itu, pencegahan krisis dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa penyertaan modal sementara (PMS) terhadap Bank dan LKBB yang mengalami masalah solvabilitas. Penanganan Krisis pada dasarnya dilakukan dengan cara yang sama seperti pencegahan Krisis, namun penanganan Krisis dilakukan pada saat kondisi sistem keuangan dalam keadaan Krisis yang membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan dan perekonomian nasional.

Dalam rangka pelaksanaan JPSK, berdasarkan Perpu ini dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. KSSK berfungsi menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis dalam sistem keuangan. Sumber pendanaan untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari dana APBN yang diberikan Pemerintah melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau secara tunai. Untuk memberikan fleksibilitas agar Krisis dapat dicegah atau ditangani segera, penerbitan SBN dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan Undang-Undang tentang Surat Berharga

Syariah Negara (SBSN). Dalam situasi ini, yang bertindak sebagai pembeli SBN di pasar primer adalah Bank Indonesia. Dalam rangka akuntabilitas, Menteri Keuangan melaporkan penerbitan SBN tersebut kepada DPR. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapat persetujuan dari DPR.

Perpu ini seharusnya tidak dapat berlaku lama karena penggunaan hak prerogatif Presiden di bidang legislasi ini harus dilakukan pengujian untuk dinilai tingkat kemendesakannya oleh DPR pada masa sidang berikutnya. DPR diberi kewenangan untuk menerima atau menolak Perpu. Dalam Rapat Paripurna tanggal 29 September 2009, Perpu ini tidak mendapatkan persetujuan DPR. Oleh karena itu Presiden perlu mengajukan RUU JPSK baru yang muatannya disesuaikan dengan perkembangan pengaturan pemegang otoritas keuangan yang sudah berubah.

B. Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait

Pengaturan dalam RUU JPSK memuat beberapa ketentuan baru dalam rangka menyesuaikan langkah-langkah dalam memelihara dan menangani permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, terutama dalam hal penetapan Bank SIB dan penanganan permasalahan Bank. Terkait penetapan Bank SIB, ketentuan di dalam UU ini akan mengatur mengenai penetapan secara periodik Bank SIB tanpa menunggu kondisi Tidak Normal (predetermined). Selain itu, UU JPSK juga mengadopsi mekanisme penanganan permasalahan Bank SIB, baik dengan mewajibkan Bank SIB untuk menyusun rencana pemulihan (recovery plan) resolusi Bank maupun pembiayaan (funding), berdasarkan best

Dalam kaitannya dengan undang-undang yang berlaku saat ini, UU JPSK disusun untuk mengatur hal-hal khusus (sebagai lex

spesialis) dan untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam

undang-undang yang sudah ada. Selain itu, UU JPSK juga disusun dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang sudah ada untuk menjaga konsistensi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Berikut analisa beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan norma yang akan diatur dalam JPSK:

1. Terkait dengan Kecukupan Dana Penjaminan Simpanan

UU LPS mengatur penjaminan simpanan nasabah bank yang diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani APBN atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank dilaksanakan oleh LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. LPS merupakan suatu lembaga independen, transparan, dan akuntabel yang memiliki fungsi (Pasal 4):

1. menjamin simpanan nasabah penyimpan; dan

2. turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Dalam menjalankan fungsinya, LPS bertugas salah satunya melaksanakan penjaminan simpanan (Pasal 5). Penjaminan simpanan nasabah bank adalah penjaminan yang dilaksanakan oleh LPS atas simpanan nasabah bank (Pasal 1 angka 8). Mengenai sistem penjaminan simpanan nasabah bank yang terdiri dari aspek kepesertaan, simpanan yang dijamin, premi, pembayaran klaim penjaminan, diatur mulai

dari Pasal 8-20 UU LPS. Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah.

Penjaminan simpanan nasabah bank diberikan terhadap simpanan nasabah bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 10). Nilai Simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 11 ayat (1)). Nilai yang dijamin diharapkan dapat melindungi seluruh simpanan yang dimiliki oleh nasabah kecil yang merupakan sebagian besar nasabah bank di Indonesia.

Setiap bank yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi peserta dan membayar premi penjaminan. Dalam hal bank tidak dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Likuidasi ini merupakan tindak lanjut dalam penyelesaian bank yang mengalami kesulitan keuangan. Penghitungan premi dilakukan sendiri oleh bank (Pasal 14 ayat (1)). LPS dapat melakukan verifikasi atas perhitungan premi tersebut. Bank dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok dengan masing-masing kelompok memiliki skala risiko kegagalan yang relatif sama. Pembedaan tingkat premi dilakukan berdasarkan skala risiko kegagalan untuk setiap kelompok tersebut. Misalnya tingkat premi untuk kelompok bank dengan skala risiko kegagalan terendah adalah 0,1%, maka tingkat premi untuk

kelompok bank dengan skala risiko kegagalan tertinggi tidak dapat ditetapkan melebihi 0,6%.

Jika LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas atau modal dan cadangan penjaminan tidak cukup untuk membiayai penanganan Bank Gagal, LPS dimungkinkan untuk mendapat bantuan dana termasuk tambahan modal sesuai dengan keputusan Komite Koordinasi.

2. Terkait Dengan Fungsi, Tugas, Dan Wewenang Komite Koordinasi

Menurut Pasal 1 angka 9, Komite Koordinasi adalah komite yang beranggotakan Menteri Keuangan, Lembaga Pengawas Perbankan (LPP), Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan yang memutuskan kebijakan penyelesaian dan penanganan suatu Bank Gagal yang ditengarai berdampak sistemik.

Ruang lingkup kerja LPS adalah pada penanganan Bank Gagal baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik. Sebelum dinyatakan Bank Gagal, LPS menerima pemberitahuan dari LPP mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

LPS melakukan penyelesaian Bank Gagal baik yang berdampak sistemik maupun yang tidak berdampak sistemik setelah LPP atau Komite Koordinasi menyerahkan penyelesaiannya kepada LPS.

Apabila kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunnya tingkat solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan lain harus segera dilakukan. Dalam keadaan ini, penyelesaian dan penanganan Bank Gagal diserahkan

kepada LPS yang akan bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank terhadap perekonomian nasional. Dalam hal pencabutan izin usaha bank diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan LPS yang didasarkan pada Keputusan Komite Koordinasi.

Akan tetapi sejak UU OJK diundangkan, maka fungsi, tugas, dan wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) (Pasal 69 ayat (3) UU OJK). Dengan adanya JPSK, fungsi, tugas, dan wewenang Komite Koordinasi dilaksanakan oleh KSSK.

Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai jaring pengaman sistem keuangan.

3. Terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK)

UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, salah satunya mengatur tentang protokol koordinasi. Menurut Pasal 44 UU OJK, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan anggota terdiri atas:

a. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;

b. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;

c. Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan

d. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.

Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menurut Pasal 1 angka 25, adalah forum koordinasi yang dibentuk

untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri atas Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota.

Dalam kondisi normal, Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (Pasal 45 ayat (1)):

a. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;

b. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;

c. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan

d. melakukan pertukaran informasi.

Dalam kondisi tidak normal untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis (Pasal 45 ayat (2). Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan Forum Koordinasi

Stabilitas Sistem Keuangan, dalam kondisi tidak normal (Pasal 45 ayat (3). Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (Pasal 45 ayat (4). Keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik mengikat Lembaga Penjamin Simpanan (Pasal 45 ayat (5).

Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 46).

Selanjutnya, Ketentuan mengenai protokol koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai jaring pengaman sistem keuangan

FKSSK diganti menjadi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) melalui aturan JPSK. Perubahan Forum Koordinasi menjadi Komite dikarenakan istilah “forum” dinilai kurang memadai karena dapat diartikan hanya sebagai wadah untuk berkoordinasi tanpa memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menetapkan suatu produk hukum. “komite” dinilai lebih tepat karena merupakan lembaga yang lebih formal dan dapat menetapkan suatu produk hukum.

4. Konsepsi “Keadaan Darurat”

UU Keuangan Negara tidak mengenal “kondisi tidak normal” melainkan “keadaan darurat”. Istilah “keadaan darurat” dapat terlihat di UU Keuangan Negara maupun UU APBN 2015.

Menurut Pasal 27 ayat (4) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam keadaan darurat Pemerintah dapat

melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

Menurut UU No. 27 Tahun 2014 tentang APBN tahun Anggaran 2015 Pasal 30, menyatakan bahwa keadaan darurat apabila terjadi hal hal sebagai berikut:

a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya yang menyebabkan turunnya pendapatan negara, dan/atau meningkat nya belanja negara secara signifikan

b. kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional; dan/atau

c. kenaikan biaya utang, khususnya imbal hasil SBN secara signifikan.

Pemilihan untuk tidak menggunaan terminologi “keadaan darurat” dalam pengaturan JPSK adalah agar tidak terjadi respon pasar yang unpredictable. Ditakutkan kalau menggunakan terminologi “keadaan darurat” justru akan memperburuk keadaan. Pemilihan istilah “tidak normal” lebih general, yang di dalamnya ada keadaan “krisis” maupun “darurat”.

5. Terkait dengan Langkah-langkah yang dilakukan Pemerintah dengan persetujuan DPR jika terjadi keadaan darurat

Menurut Pasal 30 ayat (1) angka 6 UU APBN Tahun Anggaran 2015, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan langkah-langkah antara lain melakukan pemberian pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas. Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat

melakukan penarikan pinjaman siaga yang berasal dari kreditur bilateral dan multilateral sebagai alternatif sumber pembiayaan dalam hal kondisi pasar tidak mendukung penerbitan SBN (Pasal 30 ayat (2) UU APBN Tahun Anggaran 2015).

Pasal 24 ayat (7) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: mengatur bahwa Pemerintah hanya dapat memberikan penyertaan modal kepada perusahaan swasta yang memenuhi kondisi tertentu dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. Kemudian dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengatur bahwa Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN. Dalam hal LPS mengalami permasalahan likuiditas atau modal LPS kurang dari modal awal yang ditetapkan Pemerintah, Pemerintah perlu melakukan pemberian pinjaman atau penyertaan modal kepada LPS. Namun demikian, ketentuan di dalam kedua Undang-Undang tersebut tidak memungkinkan adanya mekanisme tersebut. Oleh karena itu, dalam UU JPSK perlu diatur suatu ketentuan yang mengecualikan pemberian pinjaman atau penyertaan modal Pemerintah kepada LPS dari ketentuan mengenai pihak yang dapat diberikan pinjaman oleh Pemerintah sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004.

Dalam UU yang menjadi dasar penetapan APBN setiap tahunnya terdapat ketentuan yang mengatur bahwa dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberikan pinjaman

kepada LPS apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas. Namun demikian, UU tentang APBN hanya berlaku pada tahun anggaran berjalan sesuai dengan masa berlaku UU tersebut, yaitu 1 (satu) periode anggaran atau 1 (satu) tahun. Dalam hal ini terdapat kemungkinan bahwa ketentuan tersebut tidak dituangkan kembali di dalam UU APBN tahun anggaran berikutnya. Selain itu, Pemerintah juga memiliki kewajiban untuk memberikan jaminan kepada Bank Indonesia yang dapat terealisasi dalam bentuk penerbitan SBN. Penerbitan SBN tersebut akan dianggarkan dalam UU APBN. Oleh karena itu, UU JPSK akan mengakomodir ketentuan-ketentuan tersebut.

Langkah-langkah lain yang dilakukan Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal kondisi sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional maka langkah-langkah untuk mengatasi keadaan kondisi keuangan tersebut dilaksanakan berdasarkan hasil koordinasi antara Menteri Keuangan dengan Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner LPS dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai OJK (Pasal 30 ayat (4) UU UU APBN Tahun Anggaran 2015).

6. Persero yang Sahamnya Dimiliki Negara

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), menyatakan bahwa persyaratan pendirian perseroan adalah oleh dua orang atau lebih. Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua)

orang atau lebih tidak berlaku bagi Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara (Pasal 7 ayat (7) UU PT))

Dalam hal dilakukan pendirian Bank baru sebagai Bank perantara oleh LPS yang akan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank SIB, LPS akan menghadapi kesulitan dalam mencari partner kepemilikan sahamnya. Di samping itu, proses pembentukannya harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari potensi bank

run. Dengan demikian, ketentuan kepemilikan tunggal Bank

baru dimaksud perlu dibuka kemungkinannya melalui pengaturan dalam UU JPSK.

Dalam rangka menangani Bank SIB yang bermasalah secara cepat dan menjaga pelayanan kepada nasabah dari Bank yang diselamatkan agar tidak terganggu, dibutuhkan penyederhanaan perizinan Bank, sehingga tidak mengikuti ketentuan atau dikecualikan sebagaimana diatur dalam UU PT. 7. Terkait dengan Pembentukan Badan Khusus dalam Rangka

Penyehatan Perbankan

Dalam pasal 37A UU Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diatur mengenai ketentuan pembentukan badan khusus yang memiliki wewenang untuk melakukan upaya penyehatan terhadap perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. Badan khusus tersebut melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud. Badan khusus tersebut mempunyai wewenang antara lain:

a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham ;

b. mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;

c. menguasai, mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik di dalam maupun di luar negeri;

d. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;

e. menjual atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;

f. menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;

g. mengalihkan pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain;

h. melakukan penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank; i. melakukan penagihan piutang bank yang sudah past i

dengan penerbitan Surat Paksa;

j. melakukan pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang dikuasai oleh

pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;

k. melakukan penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan bank dalam program penyehatan tersebut;

l. menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris, dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang bersangkutan;

m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh pemegang saham bank dalam program penyehatan; n. melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk

menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.

Apabila KSSK dibentuk oleh UU JPSK, maka KSSK yang akan menilai terdapat permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional. KSSK pula yang akan memutuskan untuk mengaktifkan Badan Restrukturisasi Perbankan (BRP). Untuk itu, UU JPSK akan mengakomodir ketentuan mengenai hal tersebut.

8. Terkait Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)

Menurut UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 11 menyatakan bahwa Dalam hal suatu Bank mengalami

kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. Namun demikian, pendanaan oleh Pemerintah kurang sesuai dengan konsep LoLR dimana BI seharusnya menjadi penyedia dana dalam waktu singkat. Di samping itu, pendanaan oleh Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sehingga membuka peluang munculnya moral hazard dan bank run. Oleh karena itu perlu diatur ketentuan mengenai pendanaan oleh BI dengan jaminan Pemerintah untuk Bank yang mengalami kesulitan likuiditas namun masih memenuhi ketentuan solvabilitas.

9. Terkait dengan Penerbitan SUN/SBN

Terkait dengan penerbitan Surat Utang Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, bahwa SUN ditujukan yaitu, membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam satu tahun anggaran, dan mengelola portofolio utang Negara. Kewenangan menerbitkan Surat Utang Negara menurut Undang-Undang tersebut, ada pada Pemerintah, yang

Dokumen terkait