• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3. Basel II

Kebutuhan suatu harmonisasi regulasi secara internasional untuk dijadikan acuan bagi regulator masing-masing negara menjadi dasar munculnya kesepakatan Basel (Basel Accord) (Idroes dan Sugiarto, 2006). Idroes dan Sugiarto (2006) menyatakan bahwa komite basel dibentuk tahun 1974 di Basel, Swiss dan diprakarsai oleh para gubernur bank sentral negara anggota the Group of Ten (G-102) dan perwakilan dari Spanyol dan Luxembourg berfokus pada regulasi dan praktek pengawasan perbankan. Basel Accord I dikeluarkan pada tahun 1988 dan sejalan dengan berkembangnya produk perbankan, maka Bank for International Settlement (BIS) mengeluarkan konsep permodalan baru yang

2 Anggota G-10 adalah Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Jepang, Belanda, Swedia, Inggris,

commit to user

dikenal sebagai Basel II pada bulan Juni 2004 (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006).

Basel II diadopsi oleh Bank Indonesia mulai tahun 2008 (Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Basel II merupakan pengembangan dari Basel I sebagai konsekuensi perkembangan instrumen di pasar keuangan. Berdasarkan informasi Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (2006), operational risk menurut Basel II terdiri dari tiga pilar, sebagai berikut:

1. Pilar 1 mengenai penetapan beban modal operational risk yang meliputi tiga pendekatan, yaitu

a. Basic Indicator Approach, yaitu menetapkan beban modal untuk operational risk sebesar persentase tertentu (alpha factor) dari gross income yang digunakan sebagai perkiraan terhadap eksposur risiko bank. Dalam pendekatan ini, modal yang harus dialokasikan bank terhadap kerugian yang berasal dari operational risk sama dengan persentase tertentu dari rata-rata gross income tahunan selama periode tiga tahun. b. Standardized Approach, yaitu mempersyaratkan suatu institusi untuk

memisahkan kegiatannya menjadi delapan lini bisnis standar, sebagai contoh perbankan retail, pembiayaan korporasi, dan lain-lainnya. Beban modal untuk setiap lini bisnis dihitung dengan mengalikan gross income untuk masing-masing lini bisnis tersebut dengan suatu angka (beta) yang ditetapkan untuk masing-masing lini bisnis. Angka beta akan berbeda untuk masing-masing lini bisnis.

commit to user

c. Advanced Measurement Approach, yaitu perhitungan kebutuhan modal akan sama dengan pengukuran risiko yang dihasilkan dari sistem pengukuran operational risk yang digunakan secara internal oleh bank. Bank harus memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif sebagaimana ditetapkan dalam Basel II dan harus disetujui oleh pengawas.

2. Pilar 2 mengenai proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan untuk memastikan bahwa bank memelihara tingkat permodalan yang sebanding dengan profil risikonya.

3. Pilar 3 mengenai pengungkapan informasi yang meliputi cakupan risiko, modal, eksposur risiko, proses pengukuran risiko, dan kecukupan modal yang mencukupi bagi pelaku pasar untuk memahami risiko.

Persiapan Indonesia dalam menghadapi Basel II dimulai tahun 2006 dengan adanya Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 8/32/KEP.GBI/2006 tentang Pembentukan Tim Khusus dalam Rangka Persiapan Implementasi Kerangka Permodalan Bank Sesuai Basel II di Indonesia dan arahan Gubernur Bank Indonesia yang menyatakan bahwa Basel II mulai diterapkan pada tahun 2008. Selanjutnya, perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk operational risk dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) sesuai Basel II mulai diterapkan tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP/2009. Perbandingan ruang lingkup operational risk disclosure berdasarkan Basel II dan Lampiran SE Bank Indonesia No.5/21/DPNP sebagai berikut:

commit to user Tabel 2.2

Perbandingan Ruang Lingkup Operational Risk Disclosure

Basel3 II Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP

tanggal 29 September 2003. Kecukupan

Modal- Pengungkapan Kuantitatif

Pendekatan yang digunakan

oleh bank dalam

menghitung kecukupan

modal operational risk,

antara lain:

a.Basic Indicator Approach b.Standardized Approach

c.Advanced Measurement Approach

Di Indonesia untuk Perhitungan Aset Tertimbang

Menurut Risiko (ATMR) untuk Operational risk

dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) akan dilakukan mulai tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP tahun 2009. Tahapan perhitungan ATMR sebagai berikut:

a. 1 Januari-30 Juni 2010: 5% dari rata-rata

pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.

b. 1Juli-31 Desember 2010: 10% dari rata-rata

pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.

c. Sejak 1 Januari 2011: 15% dari rata-rata

pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.

Pengungkapan operational risk dalam

penelitian ini melibatkan aspek ruang lingkup

definisi operational risk, yaitu 1)

ketidakcukupan/kerugian, 2) proses internal, 3) kesalahan manusia, 4) kesalahan sistem, 5) problem eksternal.

Pengungkapan Kualitatif

Deskripsi manajemen risiko dan kebijakan :

· Strategi dan Proses

· Struktur dan Manajemen

risiko

· Ruang lingkup pelaporan

risiko dan/atau sistem pengukuran

· Kebijakan untuk hedging

dan/atau mitigasi risiko dan strategi.

· Memonitor efektivitas

mitigasi risiko

Ruang lingkup manajemen operational risk,

sebagai berikut:

· Pengawasan aktif dewan direksi dan

komisaris

· Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit

· Identifikasi risiko

· Pengukuran risiko

· Pemantauan risiko

· Sistem informasi manajemen operational

risk

· Pengendalian operational risk

Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 dan Basel Committee on Banking Supervision (2003)

Pelaksanaan corporate governance yang efektif dapat meningkatkan operational risk disclosure. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Solomon,

3

Nama sebuah kota di Swiss yang dijadikan nama untuk hasil kesepakatan yang diselenggarakan di kota tersebut.

commit to user

Solomon, Norton, dan Joseph (2000) yang menyatakan bahwa pengungkapan risiko merepresentasikan perbaikan praktik corporate governance. Prinsip dasar corporate governance menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001), yaitu pertanggungjawaban (responsibility), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), kesetaraan dan kewajaran (fairness), dan independensi (independency). Salah satu aspek penting dalam tata kelola perusahaan (corporate governance) adalah adanya board of directors (FCGI, 2001).

Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa board of directors merupakan mekanisme penting dalam memonitor kinerja manajemen dan melindungi kepentingan pemegang saham. Hal ini berarti board of directors memiliki peran penting dalam pengungkapan risiko yaitu memonitor pengungkapan risiko untuk melindungi kepentingan stakeholders. Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008) menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk memantau keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya.

Dokumen terkait