commit to user
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat
untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Disusun oleh:
ERNA RAHMAWATI
NIM. F0307010
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
iv
MOTTO
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
(Al-Fatihah: 1)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya
kepada Tuhanmulah kehendaknya kamu berharap
(Al Insyirah: 5-8)
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
commit to user
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecil ini kepada:
♥ Allah SWT
♥ Bapak dan Ibu tercinta
♥ Semua orang yang kusayangi
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Peran Board of Directors dalam Operational Risk
Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia”, sebagai tugas akhir guna
memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi Jurusan
Akuntansi Universitas Sebelas Maret.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dorongan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, penulis dengan ini
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Ak., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Jaka Winarna M.Si., Ak., selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
3. Bapak Drs. Djoko Suhardjanto, M.Com (Hons), Ph.D, Ak. selaku
pembimbing skripsi atas semua kritik, saran, nasihat dan perhatianya yang
sangat membantu penulis untuk mencapai hasil yang terbaik.
4. Seluruh pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
Terimakasih atas ilmu dan kesabaran yang diberikan selama belajar di
Fakultas ini. Semoga semua ilmu yang telah diberikan dapat digunakan
commit to user
vii
5. Seluruh karyawan dan staff Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret.
Terimasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulisan skripsi ini.
6. Semua pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materiil
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Demikian ucapan terima kasih yang penulis sampaikan semoga atas
bantuan serta kebaikan dari semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada
penulis hingga tersusunnya skripsi ini, mendapatkan imbalan dari Allah SWT.
Amiin.
Surakarta, Maret 2011
commit to user
viii
THANKS TO
1. Allah SWT, atas segala anugerah, ilmu, kesempatan dan segala sesuatu yang
membuatku ada di dunia ini. Subhanallah, sungguh besar nikmat-Mu untukku.
2. Bapak dan Ibu tercinta atas kasih sayang, perhatian didikan, bimbingan dan
kesempatan yang telah beliau berikan. Terimakasih telah membuatku menjadi
seperti sekarang ini. Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besanya yang
dapat kuucapkan. Aku sayang kalian.
3. Adiku tersayang, T. Kuncoro Adi, makasih buat doa dan motivasinya. Belajar
yang rajin dan jangan mengeluh, apa yang telah ada adalah yang terbaik
untukmu.
4. Mbah kakung dan mbah putri, terima kasih atas doa dan dukungannya. I miss
u so much. Akhirnya erna lulus, semoga bisa jadi kebanggaan kalian.
5. Anggota “11000” (Umi, Verian, Latifa, Meldhan), Nastiti, dan Soli, makasih
banget buat semuanya. Aku bersyukur banget punya teman kayak
kalian…Semoga kita sukses dunia dan akhirat…Amin.
6. The Djs’s fans (Ane, Fira, Umi dan Mas Wahyu), terima kasih semua bantuan,
koreksi & sharing-nya.
7. Keluarga besar AGEN 007 FE UNS (andin , diana, ayus, endah, adu, dee, sofi,
tia, irma, cuiy, ici, nia, erna, fira, umi, ve, ifa, ira, fajrika, irla, pu3, ratih, fat,
hermin, murdiani, aniz, suci, dela, novi, dewilis, mba sri, puspa, dewi indrias,
silvy, nani, dewok, ana, meldhan, sari, neesya, made ayu, rina, sanda, asmara,
commit to user
ix
rija, yandi, basri, anang, ndok, moyo, fitrah, angga, iwak, mek, timo, andri,
tafik, adikur, ragil, dedi, spirtuz, peka, tri, fariz, awang, herman, smuanya..
terima kasih untuk persahabatan yg begitu besar, hahahaha.. ! thx for all..
8. Temen2 di BEM (mbak ayut, mbak finik, mas barjos, zulfikar, suryo, maya,
adip, fitrah, suroto makasih banget sudah bantu aku pas di BEM, maaf ya
kalau aku suka rewel).
9. Keluarga besar kos Aulia dan eks-aulia (mbak wida, mbak hesti, mbak dety,
mbak retno, mbak rahma, mela, kiki, widi, astuti, yuniah, fajar, septi, isma,
sari, dian, adis, nining, maya, metha, yana) sukses buat kita…semangat!
10.Teman-teman Djs’s fans 06 yang telah memberikan banyak bantuan (mas ujo,
mb dora, mb choir, mbak rena, mbak rini) terima kasih sekali.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, penulis harapkan
demi perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan di kemudian hari. Terima kasih.
Surakarta, Maret 2011
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN ABSTRAKSI ... iii
HALAMAN ABSTRACT ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
HALAMAN MOTTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
HALAMAN KATA PENGANTAR ... viii
HALAMAN DAFTAR ISI ... xii
HALAMAN DAFTAR TABEL ... xv
HALAMAN DAFTAR GAMBAR ... xvi
HALAMAN DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
commit to user
xi
1. Annual Report dan Disclosure ... 10
2. Operational Risk Disclosure... 12
3. Basel II ... 17
4. Dewan Komisaris (Board of Directors) ... 21
B. Kaitan Board of Directors dengan Pengungkapan Risiko Operasional ... 26
C. Skema Konsep Penelitian ... 28
D. Pengembangan Hipotesis ... 29
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 35
B. Populasi, Sampel dan Tehnik Pengambilan Sampel ... 35
C. Data dan Metode Pengumpulan Data ... 36
D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 37
E. Teknik Analisis Data ... 43
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskriptif Data ... 48
1.Seleksi Sampel ... 48
2.Statistik Deskriptif ... 49
B. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ... 57
Analisis Regresi Berganda ... 57
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 67
commit to user
xii
C. Keterbatasan ... 69
D. Rekomendasi ... 69
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan Klasifikasi Risiko ... 14
Tabel 2.2 Perbandingan Ruang Lingkup Pengungkapan Risiko Operasional ... 20
Tabel 3.1 Item Pengungkapan Risiko Operasionoal ... 40
Tabel 3.2 Durbin-Watson ... 46
Tabel 4.1 Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ... 48
Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Pengungkapan Risiko Operasional ... 49
Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Variabel Independen ... 54
commit to user
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Board of Director dalam One Tier System ... 22
Gambar 2.2 Struktur Struktur Board of Commissioner dan Board of Director
dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Belanda ... 23
Gambar 2.3 Struktur Board of directors dalam Two Tiers System yang diadopsi
oleh Indonesia ... 24
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Summary Karakteristik Ruang Lingkup Risiko Operasional
Lampiran II Daftar Perbankan
Lampiran III Perbankan dan Skor Pengungkapan Risiko Operasional
Lampiran IV Descriptives Statistic
Lampiran V Uji Asumsi Klasik
Lampiran VI Regresi Berganda
commit to user
iii
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRAKSI
ERNA RAHMAWATI
F0307010
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors dalam operational risk disclosure pada perbankan Indonesia. Board of directors direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris. Penelitian ini menggunakan profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel kontrol.
Pengukuran tingkat operational risk disclosure dalam penelitian ini menggunakan item yang terdapat dalam Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Dengan menggunakan teknik purposive sampling, sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 46 perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2008-2009.
Rerata tingkat operational risk disclosure sebesar 76,270%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan perbankan di Indonesia dalam mengungkapkan informasi mengenai operational risk ternyata masih rendah (partly comply) mengingat operational risk disclosure adalah pengungkapan wajib (mandatory disclosure) sesuai dengan PSAK No. 31 (revisi 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) dan P3LKEPPBANK (2008). Hasil pengujian regresi berganda menunjukkan bahwa board of directors melalui ukuran dewan komisaris (board size) mempengaruhi tingkat operational risk disclosure. Dewan komisaris merupakan inti corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas.
commit to user
iv
PERAN BOARD OF DIRECTORS DALAM OPERATIONAL RISK
DISCLOSURE: STUDI EMPIRIS PERBANKAN INDONESIA
ABSTRACT
ERNA RAHMAWATI
F0307010
The purpose of this study is to examine the effect of board of directors to operational risk disclosure of Indonesian banks. Board of directors are identified as the board size, the composition of independent commissioners, the composition of woman commissioners, and the number of board meetings. This study also uses profitability and the composition of independent audit committee members as control variable.
The level of operational risk disclosure is measured based on identified items of Lampiran Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003. Under purposive sampling, secondary data of 46 annual reports year 2008-2009 of banks in Indonesian Stock Exchange are selected.
The average level of operational risk disclosure of 76.27%. The result indicates that the level of operational risk disclosure of Indonesian’s banking is at low level (partly comply) since operational risk disclosure is mandatory disclosure according PSAK No. 31 (revised 2000), PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006) and P3LKEPPBANK (2008). The result of multiple regression shows that board of directors affects the level of operational risk disclosure through the variable board size. Board of commissioners lies at the core of corporate governance, charged ensuring strategic guidance, monitoring management, and providing accountability.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab pertama akan menjelaskan mengenai latar belakang dilakukannya
penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan sistematika dari penulisan
penelitian ini.
A. Latar Belakang
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors (dewan
komisaris) dalam operational risk disclosure (pengungkapan risiko operasional)
pada perbankan Indonesia. Board of directors direpresentasikan dengan ukuran
dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita,
dan jumlah rapat dewan komisaris.
Menurut Napitupulu (2009) perbankan sebagai lembaga perantara
keuangan merupakan salah satu media translasi dan transformasi risiko dari
pemilik dana yang umumnya bersifat risk averse. Risiko dalam konteks
perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan
(anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang berdampak
negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank (Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 5/21/DPNP, 2003). Perdebatan mengenai pentingnya
pengungkapan risiko dimulai sejak tahun 1998 ketika Institute of Chartered
Accountants in England and Wales (ICAEW) menerbitkan paper yang berjudul
commit to user
Bin, dan Hassan 2009). Oorschot (2009) menyatakan bahwa pengungkapan risiko
semakin penting karena bermanfaat bagi investor, perusahaan, dan manajemen.
Semakin berkembangnya produk yang ada di dunia perbankan dekade
terakhir ini mendorong Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)
mengeluarkan konsep permodalan yang lebih sensitif terhadap risiko (risk
sensitive) dan dikenal dengan Basel II (Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan, 2006). Pengungkapan risiko (risk disclosure) diperlukan untuk
memastikan mekanisme market discipline dapat bekerja dengan efektif (Oorschot,
2009). Menurut Hirtle (2007) tingkat pengungkapan yang lebih tinggi dapat
menurunkan risiko bank. Hal tersebut dikarenakan transparansi informasi (terkait
produk dan aktivitas bank) merupakan aspek penting dalam pengendalian risiko
(Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009).
Kasus penyimpangan dan kejahatan perbankan mulai mengancam
perekonomian Indonesia (www.bataviase.co.id, 2010). Kasus bank bermasalah
karena praktek perbankan yang tidak sehat banyak terjadi. Maraknya kasus
tersebut disebabkan oleh lemahnya pengelolaan manajemen perbankan sebagai
lembaga kepercayaan, kurangnya transparansi dan pemahaman nasabah terhadap
laporan keuangan bank, serta kelemahan infrastruktur pengawasan bank
(www.denpasar.tv, 2004). Kasus Bank Global tahun 2004 mencerminkan
lemahnya transparansi perbankan karena Bank Global menyembunyikan
informasi yang penting bagi stakeholders, yaitu informasi penurunan CAR dari
44,84% per September 2004 menjadi -39% dalam tempo dua bulan
commit to user
melibatkan jajaran direksi menunjukkan bahwa tugas dan tanggung jawab dewan
komisaris selaku pengawas pelaksanaan fungsi governance pada perbankan belum
dilaksanakan dengan baik (www.tempointeraktif.com, 2009).
Meek, Roberts, dan Gray (1995) menyatakan bahwa informasi yang
diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu
pengungkapan wajib (mandatory disclosures) dan pengungkapan sukarela
(voluntary disclosure). Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 31 tentang
perbankan revisi tahun 2000 menyatakan bahwa bank wajib mengungkapkan
informasi mengenai risiko umum yang dihadapinya. Hal tersebut berarti
pengungkapan risiko di perbankan Indonesia merupakan pengungkapan wajib.
Ketentuan yang mewajibkan pengungkapan risiko oleh perbankan di
Indonesia diperkuat dengan berlakunya PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 yang telah
mengalami perubahan menjadi PBI Nomor: 11/25/PBI/2009. Berdasarkan
peraturan tersebut, risiko yang dihadapi perbankan mencakup delapan jenis risiko,
yaitu: (a) risiko kredit; (b) risiko pasar; (c) risiko likuiditas; (d) risiko operasional;
(e) risiko hukum; (f) risiko reputasi; (g) risiko strategik; dan (h) risiko kepatuhan.
Penelitian ini berfokus pada operational risk, yaitu risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia,
kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional bank (Peraturan Bank Indonesia Nomor:
11/25/PBI/2009). Kegagalan operasional akibat restrukturisasi institusi keuangan
(Natwest, Allied Irish Bank, dan LTCM) menyebabkan perhatian terhadap
commit to user
menunjukkan bahwa lembaga keuangan di Amerika Utara, Asia, dan Eropa yang
memiliki profitabilitas lebih rendah mengungkapkan operational risk lebih luas.
Dalam penelitian mereka operational risk disclosure masih bersifat voluntary
(sukarela). Menurut Abraham dan Cox (2007) pengungkapan risiko
mencerminkan kondisi perusahaan sehingga dapat membantu menentukan profil
risiko yang berguna bagi para investor. Sundmacher dan Ford (2007) meneliti
tentang operational risk disclosure pada institusi keuangan di Australia dan
hasilnya menunjukkan bahwa meskipun penerapan Basel II mengakibatkan
kebutuhan yang lebih besar dalam mengungkapkan informasi operational risk,
tapi kurangnya konsistensi dalam cara pelaporan mengakibatkan keraguan atas
manfaat operational risk disclosure bagi pihak eksternal.
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001),
dewan komisaris memegang peranan yang penting dalam perusahaan, terutama
dalam pelaksanaan corporate governance (CG). Isu mengenai corporate
governance di Indonesia menjadi bahasan penting sejak pertengahan 1987. Hal
tersebut dikarenakan corporate governance diperlukan untuk mendukung
pemulihan ekonomi dan pertumbuhan perekonomian yang stabil setelah masa
krisis (Herwidayatmo, 2000). Menurut Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrad
(1999) jumlah anggota dewan komisaris yang besar lebih efektif daripada jumlah
yang kecil. Hal ini menyebabkan aktivitas pengendalian dan pengawasan terhadap
manajemen semakin baik (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Dengan demikian,
semakin bertambahnya jumlah anggota dewan komisaris, maka pengawasan
commit to user
Komisaris independen memiliki peran yang kuat untuk mempengaruhi
perusahaan dalam pengambilan keputusan dan mereka harus memelihara
reputasinya sebagai dewan pengawas (Cheng dan Courtenay, 2006). Chen dan
Jaggi (2000) dan Hossain (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh
komposisi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan informasi pada
laporan tahunan bank dan hasilnya menunjukkan bahwa komposisi komisaris
independen berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat pengungkapan
informasi. Namun, hasil penelitian Eng dan Mak (2003) menyatakan bahwa
komposisi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan
sukarela. Menurut mereka, komisaris independen dipilih oleh pemegang saham
mayoritas (blockholder) untuk mewakili kepentingannya sehingga komisaris
independen lebih banyak menyampaikan informasi kepada mereka daripada ke
publik. Mereka berpendapat bahwa komisaris independen merupakan substitusi
dalam memonitor pengungkapan ke publik, sedangkan menurut Chen dan Jaggi
(2000) komisaris independen sebagai komplementer dalam memonitor
pengungkapan ke publik.
Akhir-akhir ini perdebatan mengenai keragaman gender dalam perusahaan
menjadi perhatian pembuat kebijakan, manajer, direktur, dan akademisi (Volkart
dan Noldeke, 2008). Keragaman gender dapat meningkatkan value driver dalam
strategi perusahaan dan corporate governance sehingga menjadi isu yang menarik
dalam penelitian akademik sekarang ini (Marinova, Plantenga, dan Remery,
2010). Mereka juga menyatakan bahwa semakin tinggi jumlah wanita dalam
commit to user
Farrel dan Hersch (2005) menemukan bukti bahwa komisaris wanita cenderung
lebih memperhatikan kinerja perusahaan, termasuk operational risk disclosure.
Oleh karena itu, semakin banyak komposisi komisaris wanita diharapkan tingkat
pengungkapan semakin meningkat.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 menyatakan
bahwa dewan komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala
sekurang-kurangnya empat kali dalam setahun. Vafeas (2003) menunjukkan bahwa semakin
banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris, maka meningkatkan kinerja
perusahaan termasuk pengungkapan informasi. Penelitian Ettredge, Johnstone,
Stone, dan Wang (2010) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris
memiliki pengaruh positif terhadap kualitas kepatuhan pengungkapan wajib.
Fokus penelitian ini dilakukan pada perbankan karena perbankan
merupakan lembaga keuangan yang bersifat risk taking entities (Oorschot, 2009).
Kegiatan usaha bank selalu dihadapkan dengan pengambilan risiko yang besar,
seperti dalam aktivitas pendanaan, perkreditan, dan treasuri. Faktor lain yang
menunjukkan pentingnya penelitian pada perbankan adalah lemahnya transparansi
di perbankan Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian1 dengan judul “Peran Boards of Directors dalam Operational Risk
Disclosure: Studi Empiris Perbankan Indonesia”.
1
commit to user Motivasi penelitian ini adalah:
a. Penelitian ini penting dilakukan di Indonesia karena informasi mengenai
operational risk diperlukan para stakeholders untuk mengetahui bagaimana
operational risk dikelola sehingga dapat membantu mereka dalam mengambil
keputusan. Kasus penipuan perbankan melalui penerbitan letter of credit
(L/C), seperti yang terjadi pada Bank Negara Indonesia (BNI) tahun 2003 dan
Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 2006 menunjukkan kurangnya
transparansi pihak perbankan dalam pengelolaan operational risk.
Penelitian tentang operational risk disclosure pada perbankan belum pernah
dilakukan di Indonesia. Penelitian mengenai operational risk disclosure mulai
dilakukan di luar negeri antara lain oleh Linsey dan Shrives (2005), Helbok
dan Wagner (2006), dan Sundmacher dan Ford (2007).
b. Mengetahui bagaimana peran dewan komisaris yang bertanggung jawab
mengawasi operational risk disclosure.
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kepada regulator,
nasabah, perbankan, investor, kreditor, dan masyarakat mengenai bagaimana
operational risk disclosure di Indonesia dan peran dewan komisaris terhadap
tingkat operational risk disclosure. Dengan demikian, penelitian ini dapat
dijadikan evaluasi bagi perbankan dan stakeholder.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan judul penelitian, maka yang menjadi
permasalahan adalah apakah board of directors yang direpresentasikan dengan
commit to user
wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh terhadap tingkat
operational risk disclosure?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran board of directors yang
direpresentasikan dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris
independen, komposisi komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris
dalam operational risk disclosure.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Bagi Perbankan, memberikan pengetahuan tentang praktik operational risk
disclosure dan dapat digunakan untuk bahan pertimbangan manajemen dalam
praktik operational risk disclosure.
2. Bagi Stakeholder, dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan dan melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan
perusahaan, terutama dalam pengelolaan operational risk disclosure.
3. Bagi Regulator, mendorong regulator (Bapepam, BI, dan IAI) untuk
menetapkan kebijakan dan regulasi ataupun standar pengungkapan yang lebih
baik bagi bank di Indonesia maupun sektor lainnya dalam hal praktik
operational risk disclosure.
4. Bagi Akademisi, hasil penelitian ini akan menambah wawasan dan
commit to user
E. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang memuat literatur
terkait dengan topik penelitian; kaitan variabel independen
dengan variabel dependen; kerangka pemikiran;
pengembangan hipotesis.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang desain penelitian; populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel; data dan metode pengumpulan
data; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode
analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif, uji asumsi
klasik dan pengujian hipotesis.
BAB IV : Analisis dan Pembahasan
Bab ini menguraikan analisis deskriptif data; pengujian
hipotesis dan pembahasan hasil analisis.
BAB V : Penutup
Bab ini membahas kesimpulan mengenai obyek yang diteliti
berdasarkan hasil analisis data, menjelaskan mengenai
keterbatasan penelitian dan memberikan saran bagi pihak yang
commit to user
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini akan menjelaskan mengenai tinjauan pustaka, kaitan board of
directors dengan operational risk disclosure, kerangka konseptual, serta
pengembangan hipotesis dalam penelitian ini.
A. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini menerangkan literatur yang mendasari komponen
maupun variabel penelitian, yaitu 1) Annual Report dan Disclosure, 2)
Operational Risk Disclosure, 3) Basel II, dan 4) Board of Directors.
1. Annual Report (Laporan Tahunan) dan Disclosure (Pengungkapan)
Laporan tahunan (annual report) adalah media utama untuk
mengkomunikasikan informasi keuangan dan informasi lainnya dari pihak
manajemen kepada pihak di luar perusahaan (Suhardjanto dan Miranti, 2009).
Menurut Suwardjono (2005), secara umum tujuan pengungkapan adalah
menyajikan informasi yang diperlukan dalam mencapai tujuan pelaporan
keuangan untuk melayani berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda.
Meek, Roberts, dan Gray (1995) menyatakan pengungkapan informasi dalam
laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua) jenis yaitu pengungkapan wajib
(mandatory disclosures) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan informasi yang diharuskan oleh
commit to user
responsibility (CSR) disclosure dan intellectual capital disclosure merupakan
pilihan bebas manajemen perusahaan untuk pembuatan keputusan oleh para
pengguna laporan tahunannya.
Peraturan mengenai praktik pengungkapan informasi perusahaan di
Indonesia, khususnya yang bersifat wajib (mandatory) diatur oleh Bapepam dan
Ikatan Akuntan Indonesia (Benardi, Sutrisno, dan Assih, 2009). Laporan
keuangan merupakan mekanisme komunikasi antara manajer dengan investor
(Hastuti, 2005) sehingga pengungkapan informasi melalui laporan keuangan
menjadi penting untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas publik (Suharli
dan Amrullah, 2007).
Pengungkapan informasi berguna untuk membantu pengguna laporan
keuangan memahami isi dan angka yang dilaporkan dalam laporan keuangan
(Rahayu, 2008). Pengungkapan informasi yang memadai dapat digunakan sebagai
dasar pengambilan keputusan yang cermat dan cepat (Suharli dan Amrullah,
2007). Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi perusahaan yang
telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik, yaitu Peraturan No.
VIII.G.7 tahun 2000 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan. Peraturan
tersebut didukung dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-17/PM/1995, yang
selanjutnya diubah melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-38/PM/1996.
Peraturan tersebut diperbaharui dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No.
SE-02/PM/2002 yang mengatur tentang penyajian dan pengungkapan laporan
commit to user
manufaktur, investasi, rumah sakit, jalan tol, perhotelan, restoran, telekomunikasi,
konstruksi, perdagangan, transportasi, real estate, peternakan, dan perkebunan.
Industri perbankan di atur dalam Surat Edaran Ketua Bapepam dengan
Nomor: SE-02/BL/2008 yang dikeluarkan tanggal 31 Januari 2008. Salah satu
jenis pengungkapan informasi dalam annual report adalah pengungkapan
mengenai operational risk. Informasi risiko, termasuk operational risk, penting
bagi perusahaan karena dapat menyediakan informasi masa depan, mendorong
manajemen risiko yang lebih baik, mengurangi biaya modal, dan meningkatkan
akuntabilitas (ICAEW, 2002).
2. Operational Risk Disclosure
Era globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan menyebabkan
produk dan aktivitas perbankan semakin kompleks sehingga menyebabkan
eksposur risiko bank semakin tinggi (Peraturan Bank Indonesia Nomor:
11/25/PBI/2009). Risiko adalah potensi terjadinya suatu kejadian atau peristiwa
yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank (Peraturan Bank Indonesia Nomor:
5/8/PBI/2003). Berdasarkan peraturan tersebut risiko yang dikelola perbankan
meliputi risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko
hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.
Perbankan dapat mengendalikan risiko dengan menerapkan manajemen
risiko. Menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, manajemen risiko didefinisikan
sebagai serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul
commit to user
integral dari pengendalian internal dan tata kelola perusahaan, yang juga dapat
digunakan sebagai indikator kinerja keberhasilan manajemen dalam mencapai
tujuannya serta dalam menghadapi ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan
operasi perusahaan dan lingkungan global (Lajili dan Zeghal, 2005).
Beberapa alasan penting manajemen risiko bagi perbankan menurut
nustaffsite.gunadarma.ac.id (2009) adalah 1) merupakan salah satu aspek
corporate governance khususnya transparansi, 2) membantu top management
dalam mengambil keputusan bisnis, 3) tersedianya ukuran penilaian secara
kualitatif dan kuantitatif, 4) mendorong bank beroperasi secara lebih efisien, 5)
mengantisipasi penerapan internal model, 6) meningkatkan shareholder’s value
(ultimate objective), dan 7) sebagai sarana early warning system bagi risk
management unit dan risk management committee.
Salah satu risiko yang dikelola perbankan adalah operational risk (PBI
Nomor: 5/8/PBI/2003). Operational risk menurut Basel Committee on Banking
Supervision (BCBS, 2003a:120) adalah “The risk of loss resulting from
inadequate or failed internal processes, people, and system, or from external
event”. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor:
5/21/DPNP/2003 juga menyampaikan definisi mengenai operational risk, yaitu
risiko disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang
mempengaruhi operasional bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor:
5/8/PBI/2003 dan Surat Edaran Ketua Bapepam (P3LKEPPBANK) Nomor:
commit to user
umumnya dihadapi oleh perbankan, tapi dalam PSAK 50 (2006) operational risk
tidak secara langsung disebutkan sebagai salah satu jenis risiko. Perbandingan
klasifikasi risiko sebagai berikut:
Sumber: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006), dan P3LKEPPBANK (2008) : Area penelitian
Menurut Idroes dan Sugiarto (2006: 135), kesepakatan Basel II mengkaji
peristiwa operational risk meliputi:
a. Risiko proses internal, yaitu risiko yang terkait dengan kegagalan dari suatu proses bank atau prosedur.
b. Risiko sumber daya manusia, yaitu risiko yang berhubungan dengan karyawan dari suatu bank.
commit to user
d. Risiko eksternal, yaitu risiko yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan langsung dari bank.
e. Risiko hukum, yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakpastian tindakan hukum atau ketidakpastian dalam menginterpretasikan atau mengaplikasikan kontrak, hukum, atau peraturan.
Secara eksplisit pengungkapan risiko di Indonesia diatur dalam PSAK 50
(revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan dan
Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban
Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. PSAK 50
(revisi 2006) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan transaksi
menggunakan instrumen keuangan disyaratkan untuk mengungkapkan risiko dan
manajemen risikonya. Manajemen wajib mengungkapkan uraian singkat
mengenai tata kelola perusahaan yang meliputi,
“Penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut, misalnya: risiko yang disebabkan oleh fluktuasi kurs atau suku bunga, persaingan usaha, pasokan bahan baku, ketentuan negara lain atau peraturan internasional, dan kebijakan pemerintah” (Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006).
Pengungkapan risiko sebagai pengkomunikasian informasi mengenai
strategi, karakteristik, operasi, dan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil yang
diharapkan (Beretta dan Bozzolan, 2004).
Pengungkapan risiko, termasuk operational risk di perbankan diatur
dalam Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat
Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-02/BL/2008 tentang Pedoman
Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik
Industri Perbankan yang menyatakan bahwa bank harus mengungkapkan uraian
commit to user
strategi manajemen dalam menanggulangi risiko. Operational risk disclosure
merupakan pengungkapan informasi yang menggambarkan operational risk suatu
perusahaan, seperti identifikasi operational risk, yaitu apakah bank sudah
melakukan identifikasi operational risk dengan baik sehingga hasil identifikasi
dapat digunakan untuk mengembangkan database kerugian operasional yang
memadai.
Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat
Edaran Ketua Bapepam Nomor: SE-02/BL/2008 tidak menjelaskan mengenai
item operational risk disclosure. Bapepam maupun IAI belum menyediakan
kerangka kerja konseptual pengungkapan risiko. Padahal, regulasi memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan pengungkapan wajib (Akra, Eddie,
dan Ali, 2010).
Pengungkapan risiko termasuk operational risk penting karena membantu
para stakeholder dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami
profil risiko dan bagaimana manajemen mengelola risiko. Selain itu,
pengungkapan risiko juga bermanfaat bagi bank karena membantu memonitor
risiko dan dapat mendeteksi potensi masalah sehingga bank dapat melakukan
tindakan lebih awal agar masalah tersebut tidak terjadi (Linsley dan Shrives,
2006).
Kasus Bank Lippo tahun 2002 mengenai laporan keuangan ganda dan
dugaan manipulasi perdagangan saham (www.tempointeraktif.com, 2003)
menunjukkan kurangnya transparansi yang dilakukan pihak manajemen bank
commit to user
(ATM) mengindikasikan masih lemahnya manajemen operational risk pada
perbankan Indonesia (www.eksposnews.com, 2010).
Operational risk disclosure semakin penting dengan adanya kerangka
permodalan baru (Basel II) khususnya untuk memenuhi aspek market discipline
yang berkaitan dengan transparansi dan pengungkapan risiko suatu entitas bisnis
dan memiliki potensi untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan keselamatan
dan kesehatan bank serta sistem keuangan (BCBS, 2001). Hal tersebut didukung
oleh Arsitektur Perbankan Indonesia (2006) yang menyatakan bahwa Basel II
merupakan suatu kesepakatan menyeluruh yang mendorong disiplin pasar dengan
mensyaratkan pengungkapan informasi yang terkait, termasuk informasi
mengenai risiko.
3. Basel II
Kebutuhan suatu harmonisasi regulasi secara internasional untuk dijadikan
acuan bagi regulator masing-masing negara menjadi dasar munculnya
kesepakatan Basel (Basel Accord) (Idroes dan Sugiarto, 2006). Idroes dan
Sugiarto (2006) menyatakan bahwa komite basel dibentuk tahun 1974 di Basel,
Swiss dan diprakarsai oleh para gubernur bank sentral negara anggota the Group
of Ten (G-102) dan perwakilan dari Spanyol dan Luxembourg berfokus pada
regulasi dan praktek pengawasan perbankan. Basel Accord I dikeluarkan pada
tahun 1988 dan sejalan dengan berkembangnya produk perbankan, maka Bank for
International Settlement (BIS) mengeluarkan konsep permodalan baru yang
2 Anggota G-10 adalah Prancis, Jerman, Belgia, Italia, Jepang, Belanda, Swedia, Inggris,
commit to user
dikenal sebagai Basel II pada bulan Juni 2004 (Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan, 2006).
Basel II diadopsi oleh Bank Indonesia mulai tahun 2008 (Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan, 2006). Basel II merupakan pengembangan
dari Basel I sebagai konsekuensi perkembangan instrumen di pasar keuangan.
Berdasarkan informasi Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (2006),
operational risk menurut Basel II terdiri dari tiga pilar, sebagai berikut:
1. Pilar 1 mengenai penetapan beban modal operational risk yang meliputi tiga
pendekatan, yaitu
a. Basic Indicator Approach, yaitu menetapkan beban modal untuk
operational risk sebesar persentase tertentu (alpha factor) dari gross
income yang digunakan sebagai perkiraan terhadap eksposur risiko bank.
Dalam pendekatan ini, modal yang harus dialokasikan bank terhadap
kerugian yang berasal dari operational risk sama dengan persentase
tertentu dari rata-rata gross income tahunan selama periode tiga tahun.
b. Standardized Approach, yaitu mempersyaratkan suatu institusi untuk
memisahkan kegiatannya menjadi delapan lini bisnis standar, sebagai
contoh perbankan retail, pembiayaan korporasi, dan lain-lainnya. Beban
modal untuk setiap lini bisnis dihitung dengan mengalikan gross income
untuk masing-masing lini bisnis tersebut dengan suatu angka (beta) yang
ditetapkan untuk masing-masing lini bisnis. Angka beta akan berbeda
commit to user
c. Advanced Measurement Approach, yaitu perhitungan kebutuhan modal
akan sama dengan pengukuran risiko yang dihasilkan dari sistem
pengukuran operational risk yang digunakan secara internal oleh bank.
Bank harus memenuhi kriteria kualitatif dan kuantitatif sebagaimana
ditetapkan dalam Basel II dan harus disetujui oleh pengawas.
2. Pilar 2 mengenai proses review dalam rangka pengawasan yang bertujuan
untuk memastikan bahwa bank memelihara tingkat permodalan yang
sebanding dengan profil risikonya.
3. Pilar 3 mengenai pengungkapan informasi yang meliputi cakupan risiko,
modal, eksposur risiko, proses pengukuran risiko, dan kecukupan modal yang
mencukupi bagi pelaku pasar untuk memahami risiko.
Persiapan Indonesia dalam menghadapi Basel II dimulai tahun 2006
dengan adanya Keputusan Gubernur Bank Indonesia Nomor: 8/32/KEP.GBI/2006
tentang Pembentukan Tim Khusus dalam Rangka Persiapan Implementasi
Kerangka Permodalan Bank Sesuai Basel II di Indonesia dan arahan Gubernur
Bank Indonesia yang menyatakan bahwa Basel II mulai diterapkan pada tahun
2008. Selanjutnya, perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
operational risk dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) sesuai
Basel II mulai diterapkan tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No. 11/3/DPNP/2009. Perbandingan ruang lingkup operational
risk disclosure berdasarkan Basel II dan Lampiran SE Bank Indonesia
commit to user Tabel 2.2
Perbandingan Ruang Lingkup Operational Risk Disclosure
Basel3 II Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP
tanggal 29 September 2003.
Di Indonesia untuk Perhitungan Aset Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR) untuk Operational risk
dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID) akan dilakukan mulai tahun 2010. Hal tersebut sesuai dengan surat edaran Bank Indonesia No. 11/3/DPNP tahun 2009. Tahapan perhitungan ATMR sebagai berikut:
a. 1 Januari-30 Juni 2010: 5% dari rata-rata
pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.
b. 1Juli-31 Desember 2010: 10% dari rata-rata
pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.
c. Sejak 1 Januari 2011: 15% dari rata-rata
pendapatan bruto positif tahunan selama tiga tahun terakhir.
Pengungkapan operational risk dalam
penelitian ini melibatkan aspek ruang lingkup
definisi operational risk, yaitu 1)
ketidakcukupan/kerugian, 2) proses internal, 3) kesalahan manusia, 4) kesalahan sistem, 5)
Ruang lingkup manajemen operational risk,
sebagai berikut:
· Pengawasan aktif dewan direksi dan
komisaris
· Kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
· Identifikasi risiko
· Pengukuran risiko
· Pemantauan risiko
· Sistem informasi manajemen operational
risk
· Pengendalian operational risk
Sumber: Surat Edaran Bank Indonesia No.5/21/DPNP/2003 dan Basel Committee on Banking Supervision (2003)
Pelaksanaan corporate governance yang efektif dapat meningkatkan
operational risk disclosure. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Solomon,
3
commit to user
Solomon, Norton, dan Joseph (2000) yang menyatakan bahwa pengungkapan
risiko merepresentasikan perbaikan praktik corporate governance. Prinsip dasar
corporate governance menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia
(FCGI, 2001), yaitu pertanggungjawaban (responsibility), transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), kesetaraan dan kewajaran
(fairness), dan independensi (independency). Salah satu aspek penting dalam tata
kelola perusahaan (corporate governance) adalah adanya board of directors
(FCGI, 2001).
Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa board of directors merupakan
mekanisme penting dalam memonitor kinerja manajemen dan melindungi
kepentingan pemegang saham. Hal ini berarti board of directors memiliki peran
penting dalam pengungkapan risiko yaitu memonitor pengungkapan risiko untuk
melindungi kepentingan stakeholders. Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran
(2008) menyatakan bahwa dewan komisaris memiliki kekuatan untuk memantau
keputusan manajemen dan keputusan penting lainnya.
4. Dewan Komisaris (Board of Directors)
Menurut Organization for Economic Corporation and Development atau
OECD (2004) praktik yang diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas
diantaranya pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring,
evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan
perlindungan kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di
jajaran direksi. Committee Cadbury mendefinisikan Corporate Governance
commit to user
"Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan."
Menurut FCGI (2001), terdapat dua sistem bentuk dewan dalam
perusahaan, yaitu one tier system (sistem satu tingkat) atau single board dan two
tiers system (sistem dua tingkat) atau dual board. Sistem satu tingkat artinya
perusahaan hanya memiliki satu dewan yang umumnya adalah kombinasi antara
manajer atau pengurus senior (direktur eksekutif) dan direktur independen yang
bekerja dengan prinsip paruh waktu (nondirektur eksekutif). Sistem ini biasanya
dimiliki oleh negara yang sistem hukumnya Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat
dan Inggris.
Gambar 2.1
Struktur Board of Director dalam One Tier System (sumber: FCGI, 2001)
Sistem dua tingkat berarti perusahaan mempunyai dua badan terpisah,
yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi).
Dalam sistem ini, dewan direksi bertugas mengelola dan mewakili perusahaan di
bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Anggota dewan komisaris
commit to user
diangkat dan setiap waktu dapat diganti oleh badan pengawas (dewan komisaris)
(FCGI, 2001).
Dewan komisaris bertanggung jawab untuk mengawasi tugas manajemen
(dewan direksi) sehingga dewan direksi harus memberikan informasi dan
menjawab hal-hal yang diajukan dewan komisaris. Dewan komisaris tidak boleh
melibatkan diri dalam tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan
dalam transaksi dengan pihak ketiga. Negara yang menganut sistem ini memiliki
sistem hukum Kontinental Eropa, seperti Denmark, Jerman, dan Jepang.
Gambar 2.2
Struktur Board of Commissioner dan Board of Director dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Belanda (sumber: FCGI, 2001)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) menyatakan
bahwa Indonesia menganut Two Tiers System (sistem dua tingkat) karena sistem
hukum di Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda. Berdasarkan UU No. 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dewan komisaris dan direksi diangkat dan
diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dewan komisaris
dipilih oleh RUPS untuk mengawasi kinerja dewan direksi dan bersama-sama
bertanggung jawab pada RUPS.
General Meeting of The Shareholders (GMoS)
Board of Commissioner (BoC)
commit to user Gambar 2.3
Struktur Board of directors dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Indonesia (sumber: Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun
2007)
Keterangan Gambar:
: pengangkatan dan pemberhentian anggota dewan : tanggung jawab terhadap RUPS
: supervisi atau pengawasan
Menurut FCGI (2001), dewan komisaris merupakan inti corporate
governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan,
mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, dan mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Hal tersebut didukung oleh Ho dan Wong (2001)
yang menyatakan bahwa corporate governance adalah cara yang efektif untuk
menggambarkan hak dan tanggung jawab stakeholder dalam sebuah perusahaan
dimana transparansi merupakan indikator utama standar corporate governance.
Oleh karena itu, dewan komisaris mempunyai peran penting dalam melakukan
pengawasan, salah satunya adalah pengawasan terhadap transparansi operational
risk disclosure. Tugas utama dewan komisaris menurut FCGI (2001: 5) sebagai
berikut:
1. Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja, kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha, menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja
Dewan Komisaris Dewan Direksi
commit to user
perusahaan, serta memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.
2. Menilai sistem penetapan penggajian pejabat kunci dan penggajian anggota dewan direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota dewan direksi secara transparan dan adil.
3. Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan di tingkat manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk penyalahgunaan aset perusahaan dan manipulasi transaksi perusahaan.
4. Memonitor pelaksanaan governance dan mengadakan perubahan jika diperlukan.
5. Memantau proses keterbukaan dan efektifitas komunikasi dalam perusahaan.
Keefektifan peran pengawasan oleh dewan komisaris ini didukung dengan
keberadaan komisaris independen dalam dewan komisarisnya (John dan Senbet,
1998). Keberadaan komisaris independen diatur dalam ketentuan Peraturan
Pencatatan Efek Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang Ketentuan
Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1
Juli 2000. Perusahaan yang terdaftar di BEI wajib memiliki komisaris independen
yang jumlahnya sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan
pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen 30%
dari jumlah seluruh anggota komisaris. Beberapa kriteria komisaris independen
menurut FCGI (2001: 9) sebagai berikut:
a. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.
b. Komisaris independen tidak mempunyai hubungan dengan direktur, dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.
c. Komisaris independen tidak mempunyai kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan.
commit to user
e. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
B. Kaitan Board of Directors dengan Operational Risk Disclosure
Dewan komisaris merupakan salah satu governance structure yang
bertanggung jawab mengawasi dipenuhinya kepentingan semua stakeholders
berdasarkan azas kesetaraan (Pedoman Corporate Governance Perbankan, 2004).
Berdasarkan Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan
Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (2008) bank wajib
mengungkapkan informasi risiko kepada publik. Oleh karena itu, dewan komisaris
bertanggung jawab terhadap pengawasan pengungkapan risiko, termasuk
operational risk. Kaitan dewan komisaris dan operational risk disclosure juga
didukung oleh Khomsiyah (2003) yang menyatakan semakin baik implementasi
corporate governance, semakin banyak informasi yang diungkapkan oleh
perusahaan dalam laporan tahunan, termasuk operational risk disclosure. Selain
itu, perusahaan yang melaksanakan corporate governance akan memberikan lebih
banyak informasi untuk mengurangi asimetri informasi.
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal
perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan (Siallagan dan
Machfoedz, 2006). Ukuran dewan komisaris mempengaruhi aktivitas
pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005) termasuk
pengawasan terhadap operational risk disclosure.
Menurut PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, pasal 5, adanya komisaris independen
commit to user
obyektif dan menempatkan kewajaran dan kesetaraan di antara berbagai
kepentingan stakeholders. Komposisi komisaris independen secara signifikan
berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan informasi (Hossain, 2008).
Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menyatakan bahwa komposisi komisaris
independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Abraham dan Cox
(2007) menunjukkan bahwa jumlah komisaris independen mempengaruhi tingkat
risk disclosure. Ho dan Wong (2001) menemukan bahwa komposisi komisaris
independen berpengaruh negatif terhadap pengungkapan sukarela. Menurut
mereka, independensi komisaris independen dan efektivitasnya dalam memonitor
CEO masih dipertanyakan.
Selain komposisi komisaris independen, Adams dan Ferreira (2004)
menyatakan bahwa anggota dewan komisaris yang terdiri dari komisaris laki-laki
dan wanita lebih efektif dalam melakukan pengawasan. Lepine (2002)
menyatakan apabila semua anggota tim adalah laki-laki, maka tim tersebut
memiliki komposisi yang buruk karena meningkatnya persentase laki-laki dalam
sebuah tim, semakin meningkatkan kecenderungan untuk membuat keputusan
yang agresif (Murphy dan Mclntyre, 2007). Dengan demikian, wanita memiliki
peranan penting dalam pengambilan keputusan yang tepat karena wanita
cenderung lebih hati-hati dalam mengambil keputusan termasuk keputusan yang
berkaitan dengan operational risk disclosure.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan
komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya
commit to user
manajemen efektif apabila setiap anggota dewan secara aktif hadir dalam
pertemuan dewan komisaris baik secara fisik maupun teknologi konferensi (PBI
Nomor: 8/14/PBI/2006). Dengan demikian, semakin sering diadakannya rapat
diharapkan dapat meningkatkan operational risk disclosure.
C. Skema Konsep Penelitian
Kerangka mengenai hubungan antar masing-masing variabel dapat dilihat
dalam gambar di bawah ini:
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Kontrol
Gambar 2.4
Skema Konsep Penelitian
Konsep penelitian di atas menjelaskan pengaruh variabel independen yaitu
dewan komisaris (board of director) yang direpresentasikan dengan ukuran dewan
komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris wanita, dan
jumlah rapat dewan komisaris terhadap variabel dependen (operational risk
commit to user
Selain menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen,
penelitian ini juga menguji pengaruh variabel kontrol. Variabel kontrol yang
pertama adalah profitabilitas. Menurut Suhardjanto dan Miranti (2009),
perusahaan yang mampu menghasilkan laba (profitabilitas) di atas rerata industri
memiliki tingkat pengungkapan informasi lebih tinggi. Hal tersebut bertujuan
untuk memberikan keyakinan pada stakeholders bahwa kegiatan operasional
perusahaan berjalan dengan baik. Variabel kontrol yang kedua adalah komposisi
komite audit independen. Komite audit bertugas untuk membantu dewan
komisaris dalam melakukan pengawasan (FCGI, 2001), termasuk pengawasan
dalam hal transparansi informasi. Selain itu, komite audit dipandang sebagai alat
untuk menghindari kecurangan dalam pelaporan keuangan dan memonitor kinerja
manajemen (Herwidayatmo, 2000).
D. Pengembangan Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji pengaruh board of directors
(ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi komisaris
wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris) terhadap operational risk disclosure
dengan profitabilitas dan komposisi komite audit independen sebagai variabel
kontrol. Berikut ini merupakan pengembangan hipotesis yang dilakukan:
1. Pengaruh ukuran dewan komisaris (board size) terhadap tingkat
operational risk disclosure.
Dewan komisaris bertugas untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan,
commit to user
tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam
laporan keuangan (Nasution dan Setiawan, 2007). Jumlah komisaris
mempengaruhi aktivitas pengendalian dan pengawasan (Andres, Azofra, dan
Lopez, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeysekera (2008) pada
perusahaan di Kenya, jumlah dewan komisaris yang dinilai efektif berada pada
rentang lebih dari lima orang dan kurang dari 14 orang.
Dalton et al (1999) menyatakan bahwa board size dengan ukuran yang besar
lebih efektif daripada board size dengan ukuran kecil. Collier dan Gregory (1999)
menyatakan bahwa semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka
semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan memonitor kegiatan manajemen.
Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap pengungkapan tanggung
jawab sosial (Sitepu, 2009) dan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali,
2010).
Semakin besar jumlah dewan komisaris diharapkan dapat meningkatkan
operational risk disclosure. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang
dikembangkan adalah
H1: Ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat
operational risk disclosure.
2. Pengaruh komposisi komisaris independen terhadap tingkat operational
risk disclosure.
Berdasarkan Pedoman Komisaris Independen (KNKG, 2004), komisaris
independen bertanggung jawab dalam pelaksanaan prinsip tata kelola perusahaan
commit to user
didukung dengan keberadaan komisaris independen (Permatasari, 2009). Ayuso
dan Argondana (2007) menemukan bahwa independent director lebih efektif
dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan karena kepentingan mereka
tidak terganggu oleh ketergantungan pada organisasi. Komisaris independen dapat
meningkatkan pengendalian terhadap perusahaan sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kepatuhan pengungkapan informasi perusahaan (Ettredge et al,
2010).
Ajinkya, Bhojraj, dan Sengupta (2005) menemukan bukti bahwa
perusahaan yang memiliki lebih banyak komisaris independen lebih banyak
menyediakan ramalan pada laporan tahunan mereka. Hal tersebut didukung oleh
hasil penelitian Abraham dan Cox (2007), yaitu komisaris independen
berpengaruh positif terhadap pengungkapan risiko, termasuk operational risk.
Forker (1992) dan Chen dan Jaggi (1998) menemukan bahwa proporsi
komisaris independen berpengaruh positif terhadap financial disclosure. Dengan
demikian, semakin besar komposisi komisaris independen, diharapkan
meningkatkan operational risk disclosure. Berdasarkan uraian di atas hipotesis
yang dikembangkan adalah
H2: Komposisi komisaris independen berpengaruh positif terhadap
tingkat operational risk disclosure.
3. Pengaruh komposisi komisaris wanita terhadap tingkat operational risk
disclosure.
Kusumastuti, Supatmi, dan Sastra (2007) menyatakan bahwa wanita
commit to user
Fereirra (2004) menyatakan bahwa komisaris wanita memberikan pandangan,
pengalaman, dan opini yang berbeda terhadap board governance practice. Dengan
keberagaman tersebut menghasilkan harmonisasi pendapat, pandangan, dan
pengalaman sehingga diharapkan informasi yang diungkapkan lebih banyak.
Penelitian Pudjiastuti dan Mardiyah (2006) menunjukkan adanya wanita dalam
dewan komisaris menjadi drive teamwork dan menekan masalah ketidakhadiran
dalam rapat dewan.
Carter (2003) menemukan bahwa jumlah komisaris wanita mempengaruhi
nilai perusahaan. Menurut Bonna, Yoshikawab, dan Phan (2004) komposisi
komisaris wanita berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan, termasuk
operational risk disclosure. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh Volkart dan
Noldeke (2008). Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dikembangkan
adalah
H3: Komposisi komisaris wanita berpengaruh positif terhadap tingkat
operational risk disclosure.
4. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat operational risk
disclosure.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 8/14/PBI/2006 dewan
komisaris wajib menyelenggarakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya
empat kali dalam setahun. Dewan komisaris dapat memantau dan mengawasi
kegiatan manajemen melalui rapat. Seringnya frekuensi pertemuan atau rapat
diharapkan mampu meningkatkan peran dewan komisaris sehingga tercipta
commit to user
Penelitian Vafeas (2003) dan Brick dan Chidambaran (2007) menunjukkan
bahwa semakin banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris, maka
semakin meningkatkan kinerja perusahaan dan pengungkapan, termasuk
operational risk disclosure. Dari uraian tersebut, maka hipotesis yang
dikembangkan adalah
H4: Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat
operational risk disclosure.
Penelitian ini menggunakan variabel kontrol profitabilitas karena
hubungan profitabilitas dan pengungkapan merupakan refleksi respon sosial agar
perusahaan dapat beroperasi (Suhardjanto dan Miranti, 2009). Perusahaan
mengungkapkan informasi lebih banyak jika kemampuan untuk menghasilkan
laba berada di atas rerata industri. Hal tersebut bertujuan untuk meyakinkan
stakeholder bahwa perusahaan memiliki posisi persaingan yang kuat dan operasi
perusahaan berjalan dengan baik. Profitabilitas merupakan indikator kinerja yang
dilakukan oleh manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang
ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan (Sudarmadji dan Sularto, 2007).
Berdasarkan penelitian Helbok dan Wagner (2006) lembaga yang memiliki
profitabilitas rendah memiliki tingkat operational risk disclosure yang lebih
tinggi.
Variabel kontrol yang kedua adalah komposisi komite audit independen.
Menurut Herwidayatmo (2000) peran pengawasan yang dilakukan oleh dewan
komisaris perusahaan di Indonesia belum memadai karena anggota dewan
commit to user
menyebabkan mekanisme check and balance terhadap direksi tidak dapat berjalan
sebagaimana mestinya. PBI Nomor: 8/4/PBI/2006, pasal 12, mewajibkan dewan
komisaris membentuk sekurang-kurangnya komite audit, komite pemantau risiko
dan komite remunerasi dan nominasi untuk mendukung efektivitas pelaksanaan
tugas dan tanggung jawabnya.
Sesuai dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: kep. 29/PM/2004,
komite audit adalah komite yang dibentuk oleh dewan komisaris untuk melakukan
tugas pengawasan dan pengelolaan perusahaan. Menurut FCGI (2001), komite
audit memiliki tugas terpisah dalam membantu dewan komisaris untuk memenuhi
tanggung jawabnya dalam memberikan pengawasan secara menyeluruh. Cety dan
Suhardjanto (2010) menyatakan bahwa komposisi komite audit independen
berpengaruh positif terhadap environmental performance. Komposisi komite audit
independen berpengaruh positif terhadap pengungkapan, termasuk operational
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
Setelah membahas landasan teori dan pengembangan hipotesis di Bab II,
maka Bab III akan menjelaskan mengenai desain penelitian, populasi, sampel, dan
teknik pengambilan sampel, data dan metode pengumpulan data, pengukuran
variabel, dan metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengujian hipotesis (hypotesis testing)
yaitu penelitian yang menguji hipotesis yang telah ditentukan di awal penelitian
(Hartono, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis yang diajukan
oleh peneliti mengenai pengaruh board of directors yang direpresentasikan
dengan ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, komposisi
komisaris wanita, dan jumlah rapat dewan komisaris terhadap operational risk
disclosure. Menurut Sekaran (2006), pengujian hipotesis harus menjelaskan sifat
dari hubungan tertentu, memahami perbedaan antar kelompok atau independensi
dua variabel atau lebih.
B. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua perbankan yang listing
(terdaftar) di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2008-2009. Jumlah populasi tahun