• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Operational Risk Disclosure

Era globalisasi dan semakin terintegrasinya pasar keuangan menyebabkan produk dan aktivitas perbankan semakin kompleks sehingga menyebabkan eksposur risiko bank semakin tinggi (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/25/PBI/2009). Risiko adalah potensi terjadinya suatu kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank (Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003). Berdasarkan peraturan tersebut risiko yang dikelola perbankan meliputi risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik, dan risiko kepatuhan.

Perbankan dapat mengendalikan risiko dengan menerapkan manajemen risiko. Menurut PBI Nomor: 11/25/PBI/2009, manajemen risiko didefinisikan sebagai serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank. Manajemen risiko dianggap sebagai bagian

commit to user

integral dari pengendalian internal dan tata kelola perusahaan, yang juga dapat digunakan sebagai indikator kinerja keberhasilan manajemen dalam mencapai tujuannya serta dalam menghadapi ketidakpastian dan risiko yang terkait dengan operasi perusahaan dan lingkungan global (Lajili dan Zeghal, 2005).

Beberapa alasan penting manajemen risiko bagi perbankan menurut nustaffsite.gunadarma.ac.id (2009) adalah 1) merupakan salah satu aspek corporate governance khususnya transparansi, 2) membantu top management dalam mengambil keputusan bisnis, 3) tersedianya ukuran penilaian secara kualitatif dan kuantitatif, 4) mendorong bank beroperasi secara lebih efisien, 5) mengantisipasi penerapan internal model, 6) meningkatkan shareholder’s value (ultimate objective), dan 7) sebagai sarana early warning system bagi risk management unit dan risk management committee.

Salah satu risiko yang dikelola perbankan adalah operational risk (PBI Nomor: 5/8/PBI/2003). Operational risk menurut Basel Committee on Banking Supervision (BCBS, 2003a:120) adalah “The risk of loss resulting from inadequate or failed internal processes, people, and system, or from external event”. Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 5/21/DPNP/2003 juga menyampaikan definisi mengenai operational risk, yaitu risiko disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/8/PBI/2003 dan Surat Edaran Ketua Bapepam (P3LKEPPBANK) Nomor: SE-02/BL/2008, operational risk secara jelas disebutkan sebagai risiko yang

commit to user

umumnya dihadapi oleh perbankan, tapi dalam PSAK 50 (2006) operational risk tidak secara langsung disebutkan sebagai salah satu jenis risiko. Perbandingan klasifikasi risiko sebagai berikut:

Tabel 2.1

Perbandingan Klasifikasi Risiko

PBI Nomor: 5/8/PBI/2003 PSAK 50 (2006) Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan P3LKEPPBANK (2008) Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar Risiko operasional Risiko hukum Risiko reputasi Risiko strategik Risiko kepatuhan Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar:

- Risiko suku bunga

- Risiko mata uang

asing/ risiko nilai kurs

- Risiko harga

lainnya

Risiko umum:

Risiko kepanikan masyarakat Risiko pemogokan karyawan Risiko kerusuhan dan penjarahan Risiko operasional

Risiko investasi

Risiko penanganan masalah litigasi Risiko persaingan

Risiko khusus: Risiko kredit Risiko likuiditas Risiko pasar:

-Risiko suku bunga

-Risiko nilai tukar rupiah

Risiko solvabilitas

Risiko obligasi rekapitalisasi pemerintah Risiko bank penggabungan

Risiko teknologi sistem informasi Risiko ketergantungan kepada pemerintah Risiko tidak dilanjutkannya program penjaminan pemerintah

Risiko ketergantungan pada deposito berjangka

Risiko agunan kredit

Risiko pemulihan krisis sektor perbankan Risiko fidusia

Sumber: PBI Nomor: 5/8/PBI/2003, PSAK 50 (2006), dan P3LKEPPBANK (2008) : Area penelitian

Menurut Idroes dan Sugiarto (2006: 135), kesepakatan Basel II mengkaji peristiwa operational risk meliputi:

a. Risiko proses internal, yaitu risiko yang terkait dengan kegagalan dari suatu proses bank atau prosedur.

b. Risiko sumber daya manusia, yaitu risiko yang berhubungan dengan karyawan dari suatu bank.

c. Risiko sistem, yaitu risiko yang berhubungan dengan penggunaan sistem dan teknologi.

commit to user

d. Risiko eksternal, yaitu risiko yang berhubungan dengan peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan langsung dari bank.

e. Risiko hukum, yaitu risiko yang disebabkan oleh ketidakpastian tindakan hukum atau ketidakpastian dalam menginterpretasikan atau mengaplikasikan kontrak, hukum, atau peraturan.

Secara eksplisit pengungkapan risiko di Indonesia diatur dalam PSAK 50 (revisi 2006) tentang Instrumen Keuangan: Penyajian dan Pengungkapan dan Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Tahunan bagi Emiten dan Perusahaan Publik. PSAK 50 (revisi 2006) menyatakan bahwa perusahaan yang melakukan transaksi menggunakan instrumen keuangan disyaratkan untuk mengungkapkan risiko dan manajemen risikonya. Manajemen wajib mengungkapkan uraian singkat mengenai tata kelola perusahaan yang meliputi,

“Penjelasan mengenai risiko-risiko yang dihadapi perusahaan serta upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mengelola risiko tersebut, misalnya: risiko yang disebabkan oleh fluktuasi kurs atau suku bunga, persaingan usaha, pasokan bahan baku, ketentuan negara lain atau peraturan internasional, dan kebijakan pemerintah” (Keputusan Bapepam LK Nomor: Kep-134/BL/2006).

Pengungkapan risiko sebagai pengkomunikasian informasi mengenai strategi, karakteristik, operasi, dan faktor eksternal yang mempengaruhi hasil yang diharapkan (Beretta dan Bozzolan, 2004).

Pengungkapan risiko, termasuk operational risk di perbankan diatur dalam Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat Edaran Ketua Bapepam dengan Nomor: SE-02/BL/2008 tentang Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan yang menyatakan bahwa bank harus mengungkapkan uraian setiap jenis risiko mengenai kebijakan, faktor-faktor yang mempengaruhi, dan

commit to user

strategi manajemen dalam menanggulangi risiko. Operational risk disclosure merupakan pengungkapan informasi yang menggambarkan operational risk suatu perusahaan, seperti identifikasi operational risk, yaitu apakah bank sudah melakukan identifikasi operational risk dengan baik sehingga hasil identifikasi dapat digunakan untuk mengembangkan database kerugian operasional yang memadai.

Pedoman Corporate Governance Perbankan (KNKG, 2004) dan Surat Edaran Ketua Bapepam Nomor: SE-02/BL/2008 tidak menjelaskan mengenai item operational risk disclosure. Bapepam maupun IAI belum menyediakan kerangka kerja konseptual pengungkapan risiko. Padahal, regulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan pengungkapan wajib (Akra, Eddie, dan Ali, 2010).

Pengungkapan risiko termasuk operational risk penting karena membantu para stakeholder dalam mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami profil risiko dan bagaimana manajemen mengelola risiko. Selain itu, pengungkapan risiko juga bermanfaat bagi bank karena membantu memonitor risiko dan dapat mendeteksi potensi masalah sehingga bank dapat melakukan tindakan lebih awal agar masalah tersebut tidak terjadi (Linsley dan Shrives, 2006).

Kasus Bank Lippo tahun 2002 mengenai laporan keuangan ganda dan dugaan manipulasi perdagangan saham (www.tempointeraktif.com, 2003) menunjukkan kurangnya transparansi yang dilakukan pihak manajemen bank kepada para stakeholder-nya. Maraknya pembobolan anjungan tunai mandiri

commit to user

(ATM) mengindikasikan masih lemahnya manajemen operational risk pada perbankan Indonesia (www.eksposnews.com, 2010).

Operational risk disclosure semakin penting dengan adanya kerangka permodalan baru (Basel II) khususnya untuk memenuhi aspek market discipline yang berkaitan dengan transparansi dan pengungkapan risiko suatu entitas bisnis dan memiliki potensi untuk memperkuat pengawasan, meningkatkan keselamatan dan kesehatan bank serta sistem keuangan (BCBS, 2001). Hal tersebut didukung oleh Arsitektur Perbankan Indonesia (2006) yang menyatakan bahwa Basel II merupakan suatu kesepakatan menyeluruh yang mendorong disiplin pasar dengan mensyaratkan pengungkapan informasi yang terkait, termasuk informasi mengenai risiko.

Dokumen terkait