• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Validasi Metode Analisis

2.5.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi adalah nilai parameter, yaitu konsentrasi analit terendah yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko (Harmita, 2004).

Batas deteksi merupakan batas uji yang secara spesifik menyatakan apakah analit yang dianalisis berada di atas atau di bawah nilai tertentu. Menurut Harmita (2004), batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Batas deteksi (LOD) =

slope SB x 3

Menurut Harmita (2004), batas kuantitasi adalah jumlah analit terkecil dalam sampel yang masih dapat diukur dalam kondisi percobaan yang sama dan memenuhi kriteria cermat dan seksama. Batas kuantitasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Batas kuantitasi (LOQ) =

slope SB x 10

2.5.4 Linearitas

Linieritas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan kisaran konsentrasi analit tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi dari beberapa set larutan baku yang telah diketahui konsentrasinya. Persamaan garis

yang digunakan pada kurva kalibrasi yang diperoleh dari persamaan y = ax + b. Persamaan garis akan menghasilkan koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui linieritas suatu metode analisis. Kelinieran suatu metode analisis adalah kemampuan untuk menunjukkan bahwa nilai hasil uji langsung atau setelah diolah secara matematika, proporsional dengan konsentrasi analit dalam sampel dalam batas rentang konsentrasi tertentu (Satiadarma, dkk., 2004).

2.5.5 Rentang

Rentang adalah konsentrasi terendah dan tertinggi yang mana suatu metode analitik menunjukkan akurasi, presisi dan linieritas yang cukup. Rentang suatu prosedur dapat divalidasi lewat pembuktian bahwa prosedur analitik tersebut mampu memberikan presisi, akurasi dan linieritas yang dapat diterima ketika digunakan untuk menganalisis sampel (Ermer dan McB Miller, 2005). 2.6 Analisis Kandungan Kafein dan Vitamin C dalam Minuman Berenergi

Penelitiantentanganalisis kandungan kafein dan vitamin Cdalamminuman berenergi dengan metode spektrofotometri derivatif teknik zero-crossing belum ditemukan penelitian sebelumnya. Namun untuk penentuan tunggal kadar vitamin C dalam minuman buah kemasan yang dilakukan oleh Wardani (2012), yaitu 1,35 mg dalam sediaan 200 mL menggunakan metode spektrofotometri ultraviolet. Sedangkan penentuan kadar kafein dalam minuman berenergi secara spektrofotometri derivatif yang dilakukan oleh Safitri (2007), yaitu diperoleh kandungan kafein sebesar 49,3836 mg dalam satu kemasan dengan menggunakan panjang gelombang analisis derivatif 267,2 nm. Penentuan kadar kafein dan vitamin C dalam teh buah kersen yang dilakukan oleh Melawati (2014),

menggunakan spektrofotometri ultraviolet dan iodimetri yaitu diperoleh kadar kafein dan vitamin C rata-rata dalam 1 gram sampel adalah 0,00465 mg dan 188,680 mg secara berturut. Biasanya untuk analisis kandungan dalam minuman berenergi dilakukan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi, karena dapat dilakukan analisis multikomponen senyawa tanpa pemisahan, namun pada penelitian ini dilakukan analisis kandungan kafein dan vitamin C menggunakan metode spektrofotometri derivatif teknik zero-crossing karena spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk sampel yang memiliki matriks kompleks, sehingga penentuan baik secara kuantitatif maupun kualitatif dapat dilakukan tanpa harus melakukan pemisahan antara analit dengan matriksnya (Owen, 1995).

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Menurut SNI 01-6684-2002, minuman berenergi merupakan minuman yang mengandung satu atau lebih bahan yang mudah dan cepat diserap oleh tubuh untuk menghasilkan energi dengan atau tanpa bahan tambahan makanan yang diizinkan.

Suplemen makanan adalah produk yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino, atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi (Badan POM RI., 2004).

Umumnyaprodukminuman kemasan, termasuk minuman berenergitidak mencantumkan komposisiyang jelas pada kemasannya,ataupun kadar senyawa tertentuyang terkandung. Permasalahan inimenyebabkan kualitas keamanan mengkonsumsiminuman berenergi perlu diperhatikan, oleh karenaitu perludilakukan analisis lebih lanjut.

Seiring dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia, terjadi peningkatan produksi minuman berenergi yang beredar di masyarakat. Dimana didalam minuman berenergi biasanya selalu ditambahkan kafein, bahan pemanis buatan, bahan pengawet, dan vitamin yang kadarnya harus diperhatikan. Karena jika dikonsumsi berlebihan akan dapat menggangu kesehatan.Kafein merupakan derivat xantin, terdapat dalam kopi yang didapat dari biji Coffea Arabica, dari daun Camelia sinensis dan dari biji Theobroma cacao. Kafein

memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis, seperti menstimulasi susunan syaraf pusat, relaksasi otot polos terutama otot polos bronkus, dan stimulasi otot jantung (Tan dan Rahardja, 2007).Efek samping kafein secara berlebihandapat menyebabkan gugup, gelisah, tremor, insomnia, hiperestesia, mual, dan kejang (Tan dan Rahardja, 2007).Batas maksimum kafein yang ditambahkan kedalam minuman berenergi adalah 50 mg/sajian (Standar Nasional Indonesia, 2002).

Vitamin C adalah salah satu zat gizi yang berperan sebagai antioksidan dan efektif mengatasi radikal bebas yang dapat merusak sel dan jaringan (Karinda, 2013). Vitamin C termasuk golongan vitamin yang sangat mudah larut dalam air, berbentuk kristal putih, tidak berbau, bersifat asam dan stabil dalam bentuk kering. Karena mudah dioksidasi, maka vitamin C merupakan suatu reduktor yang kuat (Wardani, 2012). Kebutuhan harian vitamin C pada manusia sehat yaitu berkisar 60 mg/hari (Kartono, 1985). Batas maksimum vitamin C dalam suplemen makanan adalah 1000 mg/hari (Badan POM RI., 2004).

Menurut penelitian yang dilakukan Wardani (2012), pengukuran vitamin C dilakukan pada panjang gelombang 243 nm diperoleh yaitu 0,998. Hasil penentuan kadar vitamin C menggunakan spektrofotometri ultraviolet dalam minuman buah kemasan yang diperoleh 1,35 mg sedangkan kadar vitamin C yang tertera pada minuman yaitu 10,39 mg dalam kemasan 200 mL, terjadi perbedaan kadar vitamin C dengan yang tertera disebabkan karena vitamin C sangat mudah dioksidasi sehingga tidak dapat terukur dengan akurat. Sedangkan penentuan kadar kafein dalam minuman berenergi secara spektrofotometri derivatif yang dilakukan oleh Safitri (2007), menggunakan panjang gelombang analisis derivatif

267,2 nm dan kadar kafein yang diperoleh sebesar 49,3836 mg dalam satu kemasan. Penentuan kadar kafein dan vitamin C dalam teh buah kersen yang dilakukan oleh Melawati (2014), menggunakan spektrofotometri ultraviolet yaitu diperoleh kadar kafein dan vitamin C rata-rata dalam 1 gram sampel adalah 0,00465 mg dan 188,680 mg secara berturut.

Dalam perkembangannya spektrofotometri terbagi menjadi spektrofotometri konvensional dan spektrofotometri derivatif. Metode spektrofotometri konvensional memiliki keterbatasan,yaitu tidak dapat digunakan secara langsung untuk analisis secara kuantitatif maupun kualitatif dari senyawa yang memiliki matriks kompleks, sehingga harus dilakukan pemisahan analit dari matriks (El-Sayed et al., 2001). Pemisahan kafein dari matriks lainnya dapat menjadi sumber kesalahan analisis dan memperpanjang waktu analisa. Oleh karena itu, diperlukan metode lain yang lebih cepat, murah dengan tingkat ketelitian dan ketepatan yang tinggi, serta dapat mengatasi efek matriks tanpa harus memisahkannya terlebih dahulu (Nersyanti, 2006). Menurut Owen(1995), metode spektrofotometri derivatif dapat digunakan untuk senyawa yang memiliki matriks kompleks, sehingga penentuan baik secara kuantitatif maupun kualitatif dapat dilakukan tanpa harus melakukan pemisahan antara analit dengan matriksnya. Selain itu metode spektrofotometri derivatif relatif lebih sederhana, alat dan biaya operasionalnya relatif lebih murah dan waktu analisisnya lebih cepat (Nurhidayati, 2007).

Spektrofotometri derivatifdapat digunakan untuk analisis kuantitatif zat-zat yang spektrumnya saling tumpang tindih atau spektrumnya mungkin tersembunyi dalam suatu bentuk spektrum besar. Panjang gelombang pada

spektrofotometri derivatif adalah panjang gelombang zero crossing, dimana senyawanya mempunyai serapan nol dan menjadi panjang gelombang analisis untuk zat lain dalam campurannya (Hayun, dkk., 2006).

Untuk analisiskandungan kafein dan vitamin C yang terkandung di dalam minuman berenergi menggunakan spektrofotometri derivatif perlu dilakukan validasi atau pengujian terhadap kinerja analitiknya. Pengujian kinerja analitik diperlukan untuk menjamin keabsahan dan keakuratan data hasil analisis.Parameter parameter yang digunakan antara lain linearitas, presisi, akurasi, limit deteksi, dan limit kuantitasi (Harmita, 2004).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk menganalisis jumlah kandungan kafein dan vitamin C pada minuman berenergi menggunakan metode spektrofotometri derivatif.

Dokumen terkait