• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Uraian Bahan .1 Kafein .1 Kafein

Kafein merupakan komponen utama minuman berenergi selain asam amino, vitamin B dan suplemen herbal yang memberikan efek terhadap tubuh yaitu dapat menstimulasi sistem saraf pusat sehingga memberi efek “alert” dan meningkatkan denyut jantung, tekanan darah serta menyebabkan dehidrasi tubuh. Kafein atau 1,3,7-trimetilxantin cepat dan komplit terabsorbsi setelah pemberian oral, dengan kecepatan bioavaibilitas 100% (Louisa dan Dewoto, 2007).

Rumus struktur :

Rumus Molekul : C8H10N4O2

Berat Molekul : 194,19 Nama Kimia : Coffein

Kandungan : Tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemerian : Serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih;

biasanya menggumpal; tidak berbau; rasa pahit. Larutan ini bersifat netral pada kertas lakmus. Bentuk hidratnya mekar di udara.

Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, dalam etanol, mudah larut dalam kloroform; sukar larut dalam eter. Kafein merupakan derivat xantin, terdapat dalam kopi yang didapat dari biji Coffea arabica, dalam satu cangkir kopi rata-rata mengandung 1 – 2% kafein, kadar kafein dalam daun teh lebih kurang 2% dari daun Camelia sinensis, dan dari biji Theobroma cacao kadar kafein sekitar 0,7% - 2 %. Kadar kafein yang tinggi menyebabkan aritmia. Penggunaan kafein sebagai zat penyegar yang bila digunakan terlampau banyak (lebih dari 20 cangkir sehari) dapat bekerja adiktif. Minum kopi lebih dari 4 -5 cangkir sehari meningkatkan kadar homosistein dalam darah dan dapat menimbulkan resiko penyakit jantung namun bila dihentikan sekaligus dapat mengakibatkan sakit kepala (Louisa dan Dewoto, 2007).

jantung, gangguan lambung, tangan gemetaran, gelisah dan ingatan berkurang serta sukar tidur, sebaiknya jangan minum lebih dari 3 cangkir kopi dalam sehari (Tan dan Rahardja, 2007). Menurut Standar Nasional Indonesia (2002), batas maksimum kandungan kafein dalam minuman berenergi adalah 50 mg persaji. 2.2.2 Vitamin C

Vitamin C adalah suatu zat organik yang merupakan ko-enzim atau askorbat ko-faktor pada berbagai reaksi biokimia tubuh. Vitamin C termasuk golongan vitamin yang larut dalam air. Dari semua jenis vitamin yang ada, vitamin C merupakan yang paling mudah rusak dan sangat mudah teroksidasi terutama apabila ada panas, cahaya, alkali, dan adanya enzim-enzim oksidasi. Karena mudah dioksidasi inilah, maka vitamin C merupakan suatu zat reduktor yang kuat (Tjokronegoro, 1985).

Menurut Ditjen POM (1995), vitamin C memiliki: Rumus Struktur :

Rumus molekul : C6H8O6

Berat Molekul : 176,13

Nama Kimia : L-Asam Askorbat

Kandungan : Tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C6H8O6

pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi. Melebur pada suhu lebih kurang 190o.

Kelarutan : Mudah larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzena.

Fungsi dari vitamin C yaitu salah satunya adalah sebagai antiskorbut. Kekurangan asupan vitamin C dapat menyebabkan penyakit sariawan atau skorbut. Vitamin C juga berperan dalam pembentukan kolagen. Kolagen adalah sejenis protein yang merupakan salah satu komponen utama dari jaringan ikat, tulang-tulang rawan, matriks tulang dan gigi (Tjokronegoro, 1985).

Kekurangan vitamin C akan menyebabkan penyakit sariawan atau skorbut. Gejala-gejala penyakit skorbut ialah terjadinya pelunakan ikatan kolagen, infeksi, dan demam. Pada orang dewasa skorbut terjadi setelah beberapa bulan menderita kekurangan vitamin C dalam makanannya. Gejala-gejalanya ialah pembengkakan dan pendarahan pada gusi, anemia, deformasi tulang dan yang terparah adalah adalah gigi menjadi goyah dan dapat lepas (Winarno, 1992).

Kelebihan asupan vitamin C akan diekskresikan melalui urine apabila kadar dalam darah melebihi batas normal, tetapi apabila hal ini berjalan terus, khususnya pada vitamin C dosis tinggi bagi seseorang yang mengalami gangguan metabolisme urat dan atau oksalat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya batu saluran kemih (Tjokronegoro, 1985).

atau yang diekskresi. Pada manusia sehat kebutuhan ini 3-4% dari persediaan tubuh (1500 mg), yaitu berkisar 60 mg/hari (Tjokronegoro, 1985).

2.3 Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrofotometer merupakan penggabungan dari dua fungsi alat yang terdiri dari spektrometer yang menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer sebagai alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jika suatu molekul sederhana dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul tesebut akan menyerap radiasi elektromagnetik. Interaksi antara molekul dengan radiasi elektromagnetik ini akan meningkatkan energi dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi (Rohman, 2007).

Teknik analisis spektrofotometri berdasarkan interaksi radiasi elektromagnet dengan komponen atom atau molekul yang menghasilkan fenomena bermakna sebagai parameter analisis (Satiadarma, dkk., 2004).

Bagian molekul yang bertanggung jawab terhadap penyerapan cahaya disebut kromofor dan terdiri atas ikatan rangkap dua atau rangkap tiga, terutama jika ikatan rangkap tersebut terkonjugasi. Semakin panjang ikatan rangkap dua atau rangkap tiga terkonjugasi di dalam molekul, molekul tersebut akan lebih mudah menyerap cahaya (Cairns, 2008).

Gugus fungsi seperti –OH, –O, –NH2 dan –OCH3 yang memberikan transisi n → π* disebut gugus auksokrom. Gugus auksokrom adalah gugus yang

tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak, tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran panjang gelombang ke

arah yang lebih besar atau pergeseran batokromik (Rohman, 2007).

Radiasi ultraviolet diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonjugasi atau atom yang mengandung elektron -n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorbansi radiasi tersebut berbanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorpsi dan dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, dkk., 2004).

2.3.1 Hukum Lambert-Beer

Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Sedangkan menurut Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi. Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer umumnya dikenal dengan persamaan sebagai berikut: A = abc Dimana: A = absorbansi a = absorptivitas b = tebal kuvet (cm) c = konsentrasi

Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel.

Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul dan panjang gelombang radiasi (Rohman, 2007).

2.3.2 Kegunaan Spektrofotometri

Kegunaan spektrofotometri ultraviolet dalam analisis kualitatif sangat terbatas karena rentang daerah radiasi yang relatif sempit hanya dapat mengakomodasi sedikit sekali puncak absorpsi maksimum dan minimum, karena itu identifikasi senyawa yang tidak diketahui tidak memungkinkan untuk dilakukan (Satiadarma, dkk., 2004). Akan tetapi, jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi inframerah, resonansi magnet inti dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk identifikasi atau analisis kualitatif senyawa tersebut (Rohman, 2007).

Metode spektrofotometri memiliki beberapa keuntungan antara lain kepekaan yang tinggi, ketelitian yang baik, mudah dilakukan, cepat pengerjaannya dan dapat digunakan untuk menentukan senyawa campuran (Munson, 1984).

Pada analisis kuantitatif dengan cara penetapan kadar, larutan standar obat yang akan dianalisis disiapkan, serapan sampel dan standar dapat ditentukan (Cairns, 2008), dimana konsentrasi zat dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: Ct Cs At As =

Keterangan: As = Absorbansi baku pembanding At = Absorbansi zat dalam sampel Cs = Konsentrasi baku pembanding Ct = Konsentrasi zat dalam sampel

Penentuan kadar senyawa organik yang mempunyai struktur kromofor atau mengandung gugus kromofor, serta mengabsorpsi radiasi ultraviolet penggunaannya cukup luas (Satiadarma, dkk., 2004).

Dokumen terkait