• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

C. Batas Usia Perkawinan Menurut Fikih

Pada dasarnya, dalam fikih tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberikan kelonggaran bagi manusia untuk menganutnya. Al-qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT.

Artinya: “dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang- orang yang layak (berkawin) dan hamba sahaymu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Ny. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS.An-Nuur: 32)

Kata (shalihiin) dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin”

yakni yang mampu secara mental dan spitural untuk membina rumah tangga36 begitu pula dengan hadist rasulullah Saw. Yang menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan pekawinan dengan syarat adanya kemampuan.

35 Hadist Shahih lighairihi : diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no.1846) dari ‘Aisyah Ra. Lihat Silsilah al-Hadist ash-Shahiihah(no.2383)

36 M.Quraish shihab, tafsir al-misbah (jakarta: Lentera Hati, 2005), h 335.

Artinya: “kami telah diceritakan dari umar Bin Hafs bin ghiyats, telah menceritakan kepada kami dari ayahku (hafs bin ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al ‘A masy dia berkata : telah menceritakan kepadaku dải ‘umarah dải abdurrahman bin yazid, dia berkata “ketika aku bersama nabi Saw dan para pemuda dan kami tidak menemukan yang lain, rasulullah Saw bersabda kepada kami “wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu berumah tangga maka kawinlah, karena kawin dapat menundukan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang demikian itu dapat mengendalikan hawa nafsu.” (HR. Bukhari )

Secara tidak langsung, Al-Qur’an dan hadist mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fikih ditentukan dengan tanda tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita minimal pada umur 9 tahun37

Dengan terpenuhi kriteria baligh maka telah memungkinkan seseorang melangsungkan perkawinan. Sehingga kedewasaan seseorang dalam islam sering diidentikkan dengan baligh, apabila terjadi kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologisnya), sehingga pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan haid pada wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tanda-tanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh.mulainya usia

37 Salim bin Samir al Hadhramy, Safinah an Najah (surabaya : Dar al ‘abidin, t,t.) h. 16-16

baligh antara seorang dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan sebagainya.38

Ukuran kedewasaan yang diukur dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif). Artinya jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar.

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama syafi’yyah dan hanabilah menyatakan bahwa :

Anak laki laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun.

Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang dianggap baligh sebagai berikut :

Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun bagi pria dan 17 tahun bagi perempuan .

Sedangkan ulama dari golongan imamiyyah menyatakan :

Anak laki-laki dianggap baligh berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.

Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat, pertama, imam malik, imam syafi’i dan imam abu hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak usia 8 tahun sehingga

38 http://hakamabbas.blogspot.com/2014/02/batas-umur-perkawinan-menurut=hukum.html.,diakses pada tanggal 30 oktober 2019.

dianggap belum baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.39

Ulama yang membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuanya yang masih dibawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra.

Mengawinkan Siti ‘Aisyah ra. dengan Rasulullah Saw.

Artinya: “telah menceritakan kepadaku yahya bin yahya, ishaq bin ibrahim, abu bakar bin abi syaibah dan abu karib. Yahya dan ishaq telah berkata alkharani : telah menceritakan kepadaku abu mu’awiyah dải al-masyi dải al Aswad dari aisyah berkata : Rasulullah Saw mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun (HR. Muslim )

Abu bakar telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah Saw sewaktu masih anak anak tanpa persetujuan lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuan tidak dapat di anggap sempurna, namun mengenai perkawinan Aisyah ra. dengan nabi Muhammad Saw, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan bagi rasulullah Saw sendiri sebagaimana rasulullah saw dibolehkan beristri lebih dari empat orang, yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.40

1. Hukum Perkawinan

Hukum nikah ( perkawinan ), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut tentang penyaluran kebutuhan biologis

39 Ibn Qudamah, al mughni, (beirut : dar al kutub al ilmiyyah, juz VII, t,t.) h.383-384

40 Mahmud yunus, hukum perkawinan dalam islam (jakarta :Hidakanya agung ,1985), h. 69

antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubngan dengan akibat perkawinan tersebut.41

Hukum melakukan perkawinan, ibn rusyd menjelaskan :

Jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib, para ulama malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan lainnya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum nikah, ada yang mengatakan wajib, dunnah, haram, dan mubah.

a. Wajib

Apabila seseorang sudah merasa mampu membiayai rumah tangga, ada keinginan untuk berkeluarga dan takut terjerumus ke dalam perbuatan zina, maka kepada orang tersebut diwajibkan untuk menikah. Karena menjaga diri jatuh kedalam perbuatan haram wajib hukumnya.

b. Sunnah

Apabila seseorang telah mampu membiayai rumah tangga dan ada juga keinginan untuk berkeluarga, tetapi keinginan menikah itu tidak di khawatirkan terjerumus kepada zina, maka sunnah baginya untuk menikah.

c. Haram

Orang belum mampu membiayai rumah tangga, atau diperkirakan tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin, haram, baginya untuk menikah, karena akan menyakiti perasaan wanita yang akan dinikahinya.

d. Makruh

41 Tihami, fikih munakahat, ... hal 8-9

Orang yang tidak dapat memenuhi nafkah lahir dan batin, tetapi tidak sampai menyusahkan wanita itu, kalau dia orang yang berada dan kebutuhan biologisnya pun tidak begitu menjadi tuntutan, maka makhruh baginya untuk menikah.

e. Mubah

Pada dasarnya hukum nikah itu adalah mubah, karena tidak adanya dorongan atau larangan untuk melakukannya.

2. Tujuan perkawinan

Orang yang menikah tidak hanya bertujuan untuk menunaikan syahwatnya semata, sebagaimana tujuan kebanyakan manusia pada hari ini, tetapi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spitural dan materil. 42

Dalam masyarakat adat khususnya yang bersifat kekerabatan tujuan perkawinan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan garis keturunan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan. Sedangkan tujuan perkawinan menurut parintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.

Dalam hal ini tujuan perkawinan menurut hukum islam terdiri dari:

a. Berbakti kepada Allah

42 Komariah, hukum perdata, universitas muhamadiyyah malang, malang, 2004. Hlm. 40

b. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi hukum bahwa antara pria dan wanita itu saling membutuhkan

c. Mempertahankan keturunan umat manusia

d. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita

e. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan manusia untuk mẹnjaga keselamatan hidup.

3. Hikmah perkawinan

Menurut Ali ahmad Al-jurjawi, hikmah hikmah perkawinan itu antara lain : a. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak,

maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara individual. Dengan demikian keberlangsungan keturunan dan jumlahnya harus terus dilestarikan sampai makmur.

b. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur.

c. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.

d. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan kekuatan.istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan penolong dalam mengatur kehidupan.

e. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghairah (kecemburuan ) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.

f. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya didalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain:memelihara hak hak dalam kewarisan.

g. Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit.

Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak.

h. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatanya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak.43

Selain hikmah-hikmah di atas, sayyid sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah yang lain, sebagai berikut:

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Pernikahan merupakan jalan alami yang baik untuk memenuhi kebutuhan biologis.

b. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab oleh orang islam sangat diperhatikan.

43 Abdul rahman Ghozali, fiqh munakahat,... 65-68

c. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.

e. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugas tugasnya.

f. Dengan perkawinan, di antaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang direstui oleh islam, di topang dan ditunjang.

Jadi secara singkat dapat disebutkan bahwa hikmah perkawinan itu antara lain:

menyalurkan naluri seks, jalan mendapatkan keturunan yang sah, penyyaluran naluri kebapaan dan keibuan, dorongan untuk bekerja keras pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan menjalin silaturrahmi dua keluarga

D. Rukun dan Syarat Perkawinan

Dokumen terkait