• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batasan program untuk para “korban konflik”

5. Reparasi: Kerangka kerja yang setengah hati dan tidak memadai

5.2 Batasan program untuk para “korban konflik”

“Yang kita harapkan itu bukan BRA [Badan Reintegrasi Aceh]. Yang kami harapkan KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi] dulu mengungkapkan kebenaran sehingga jelas apa yang dibayar... BRA semacam gantirugi terhadap korban konflik... Malah BRA sudah menambahkan konflik baru... dulu korban lebih bersatu, sekarang ada perpecahan di antara korban... program [kompensasi] ini memecah belahkan persatuan korban... ada masyarakat korban mendapatkan bantuan tapi ada korban tidak dapat apa-apa... saya sendiri tidak mendapat apa-apa.”

Seorang perwakilan dari kelompok korban Aceh yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang tahun 2003 oleh Kostrad dan dipukuli.170

Program pemberian bantuan yang paling komprehensif sejauh ini yang diimplementasikan setelah adanya Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005. Sebagai bagian dari program bantuan BRA, beberapa bentuk bantuan diberikan kepada sekitar 62.000 warga sipil yang mengalami penderitaan selama konflik Aceh, 171 dan juga kepada lebih dari 8.000 mantan pendukung GAM atau kombatan dan kepada lebih dari 6.000 mantan milisia anti-separatis/pro-Indonesia.172 Program bantuan ini menargetkan mereka yang kehilangan anggota keluarga mereka; anak-anak; orang-orang yang menjadi cacat akibat konflik; dan mereka yang kehilangan rumah mereka.173 Bantuan yang diberikan berbeda-beda, termasuk bantuan dalam pemberdayaan ekonomi, kompensasi finansial (diyat);174 pembangunan rumah; bantuan medis; beasiswa untuk anak-anak yang menjadi yatim piatu selama konflik; dan bantuan lainnya (sayam).175 Selama kunjungan mereka ke Aceh pada Mei 2012, delegasi Amnesty International diberi tahu mengenai kekurangan-kekurangan dari program-program yang disponsori pemerintah ini.

A. TIDAK ADANYA TRANSPARANSI DAN KONSISTENSI

Kantor Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di Banda Aceh yang mengimplementasikan program reintegrasi dan bantuan ekstensif setelah adanya perjanjian damai tahun 2005. © Amnesty International

Amnesty International mengakui bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memberikan bantuan keuangan dan bantuan penting lainnya kepada para korban konflik Aceh. Akan tetapi, dalam wawancara di bulan Mei 2012, para pekerja ornop-ornop, perwakilan para korban, dan yang lainnya mengungkapkan keprihatinan tentang proses yang tidak jelas dan sulit bagi para “korban konflik” untuk mengakses skema bantuan tersebut. Definisi “korban konflik” itu sendiri menjadi masalah karena tidak secara baik dijabarkan. Selain itu keharusan untuk mengakses skema BRA merupakan hal yang sulit untuk diterapkan dalam praktiknya karena sejumlah alasan. Pertama, sejumlah

korban/penyintas menjelaskan bahwa mereka tidak merasa cukup berani untuk melapor kepada pihak berwenang daerah tentang apa yang terjadi kepada mereka dan mengklaim akses ke skema itu. Yang lainnya mengatakan bahwa sangat sulit untuk membuktikan tentang apa yang telah terjadi kepada mereka. Khususnya, sulit bagi para korban penyiksaan (termasuk korban/penyintas kekerasan seksual, lihat Bab 5.3 di bawah ini) untuk diakui sebagai korban jika luka-luka mereka tidak terlihat secara fisik. Yang terakhir, sejumlah korban menekankan sulitnya bagi mereka yang tidak tinggal di dekat pihak berwenang tertentu dan bagi mereka yang hidup di komunitas yang terasing untuk mengakses skema tersebut.

Lebih jauh lagi, para korban, organisasi-organisasi berbasis masyarakat dan ornop-ornop lokal menegaskan bahwa tidak selalu jelas siapa mendapat apa dan mengapa dari program bantuan BRA itu. Banyak yang mengemukakan fakta bahwa sejumlah orang mendapat rumah baru, tapi yang lainnya tidak,176 atau mempertanyakan mengapa sejumlah orang mendapat bantuan keuangan selama satu tahun, dan yang lainnya dua atau tiga tahun. Sejumlah perwakilan lokal untuk para korban menyatakan keprihatinan mereka bahwa sejumlah korban belum menerima bantuan apa pun dari pemerintah.177 Dalam sebuah kasus, seorang anggota keluarga mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia masih belum menerima uang ganti rugi karena kehilangan ayahnya di tahun 1990 padahal saudara kandungnya sudah bisa mengakses skema bantuan itu. Dalam kasus lainnya, seorang istri yang kehilangan suaminya di tahun 1999, dan yang sudah dijanjikan akan mendapat bantuan keuangan, masih belum juga mendapat bantuan apa pun.178

Menurut sejumlah orang yang diwawancarai, tidak adanya konsistensi dalam memberikan bantuan kepada rakyat di Aceh menyusul perjanjian damai 2005 telah menyulut konflik di antara mereka yang dapat mengakses skema BRA serta mendapatkan manfaatnya dan mereka yang tidak bisa.179 Perasaan adanya ketidakadilan yang dirasakan sejumlah korban konflik Aceh dan sanak keluarga mereka, yang mungkin tidak mendapatkan bantuan sebanyak yang lainnya, kelihatannya juga diperburuk oleh kenyataan bahwa sejumlah orang di Aceh memiliki akses ke skema kompensasi dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) karena mereka juga terkena dampak gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan kembali untuk para korban tsunami jauh lebih besar daripada dana yang dialokasikan untuk bantuan pasca-konflik, yang menyebabkan adanya kualitas bantuan yang lebih buruk di daerah-daerah yang terkena konflik, misalnya dalam kaitannya dengan pembangunan kembali rumah-rumah. Ketidaksetaraan ini mengundang adanya ketegangan besar di dalam dan di antara komunitas.180

B. BANTUAN, BUKANNYA HAK REPARASI

Sejumlah korban yang menerima bantuan BRA mengeluh bahwa program itu tidak secara langsung menghubungkan bantuan yang diberikan dengan pengakuan adanya pelanggaran

menjelaskan bahwa mereka tidak puas menerima uang ganti rugi itu, tapi tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya karena terbatasnya keadaan keuangan mereka (lihat kasus Ennie, di atas). Beberapa korban juga menjelaskan mereka merasa tidak nyaman menandatangani surat-surat untuk mendapatkan bantuan karena mereka tidak tahu pasti apa yang mereka tanda tangani.181

Banyak yang mengatakan kepada Amnesty International bahwa pemerintah pusat harus meminta maaf kepada rakyat serta mengakui apa yang sudah terjadi. Mereka juga menekankan bahwa khusus untuk perempuan sama sekali tidak ada pengakuan apa pun tentang kekerasan yang mereka derita selama berlangsungnya konflik Aceh. Seperti

dijelaskan sebelumnya (lihat Bab 2.1 B: Jeda Kemanusiaan, h.18), sejumlah pejabat senior militer dan pemerintah meminta maaf pada tahun 1990-1999 atas perbuatan salah yang terjadi selama bertahun-tahun dilakukannya operasi militer (dalam periode DOM) di tahun 1990-an. Namun, masih belum ada permintaan maaf secara formal oleh pemerintah atau DPR atas pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik.

5.3 HAMBATAN YANG DIHADAPI PEREMPUAN PENYINTAS TINDAK KEKERASAN

DALAM MENDAPATKAN REPARASI DAN BANTUAN

“Saya pikir sebagian dari mereka [korban kekerasan seksual] yang sampai sekarang masih sakit. Ada organ reproduksi itu bermasalah sampai sekarang, luka tidak sembuh dan segala macam masalah lainnya ... tentunya itu harus dipulihkan... mereka tidak bisa disuruh mengakses program JKA [asuransi kesehatan]. Harus ada jalur khusus untuk mempermudah mereka mendapatkan layanan kesehatan dan itu tanpa harus diketahui oleh publik apa yang dialami. Itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Mereka juga rata-rata miskin. Bagaimana mereka bisa lanjutkan kehidupan mereka? Mereka juga perlu dilindungi karena mereka masih mendapat stigma dari masyarakat sampai sekarang ini.”

Seorang pegiat hak perempuan di Aceh, 8 Mei 2012.

Perkosaan dan kekerasan seksual lain yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia selama konflik di Aceh telah didokumentasikan dengan baik oleh Amnesty International dan organisasi lainnya.182 Kejahatan kekerasan seksual termasuk perkosaan dan bentuk lain kekerasan seksual, dimasukkan sebagai penyiksaan. Sebagai contoh, pasukan keamanan Indonesia menjadikan sejumlah perempuan sanak-keluarga orang-orang yang dicurigai sebagai “pemberontak” sebagai sasaran, dengan menahan mereka secara sewenang-wenang dan menjadikan mereka subjek perkosaan dan penyiksaan dalam bentuk lain. Akan tetapi, oleh karena adanya budaya bisu yang menutupi kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender, yang berakar dari penstereotipan jender, perasaan malu, rasa takut akan stigma sosial, status rendah perempuan dalam masyarakat, serta juga sensitivitas dalam

membicarakan pelanggaran-pelanggaran ini, berarti banyak kasus tetap tidak dilaporkan.183

Riset yang dilakukan tentang perkosaan dan bentuk kejahatan kekerasan seksual lain yang dilakukan selama konflik berlangsung cenderung berfokus pada perempuan dan anak perempuan, dan tidak jelas sampai sejauh mana lelaki dan anak lelaki juga mengalami kejahatan semacam itu.184 Perempuan dan anak perempuan juga menjadi subjek

bermacam-macam pelanggaran HAM selama konflik, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan perlakuan buruk lain serta penahanan sewenang-wenang.185 Mereka bukan saja

menderita sebagai korban pelanggaran HAM secara langsung, tapi juga secara tidak langsung sebagai anggota keluarga dari orang-orang yang dibunuh dan dihilangkan secara paksa. Banyak dari mereka terpaksa harus meneruskan peran sebagai pencari nafkah dan pengurus utama keluarga, dan hal ini memiliki konsekuensi yang berlangsung lama bagi para

perempuan dan keluarga mereka, misalnya dalam membatasi dan menghalangi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan.

Skema BRA bersifat terbatas dan tidak secara khusus memasukkan perempuan penyintas kekerasan seksual.186 Namun, sejumlah ornop telah berupaya memperluas kategori “korban cacat akibat konflik” dengan memasukkan para korban/penyintas kekerasan seksual. Walaupun adanya upaya ini, banyak penyintas kekerasan seksual tidak bisa menerima bantuan keuangan atau medis apa pun yang menjadi bagian dari skema tersebut.187 Salah satu tantangan yang mereka hadapi adalah membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual dilakukan kepada mereka selama konflik.Seorang pakar kekerasan terhadap perempuan di Aceh mengatakan kepada Amnesty International bahwa tingkat pembuktian yang diminta para petugas lokal untuk memungkinkan para penyintas kekerasan seksual mengakses skema bantuan sama dengan yang diminta dalam KUHAP. Seperti dijelaskan dalam Bab 4.1.C, berdasarkan KUHAP ada dua unsur pembuktian yang diminta yang mungkin dalam praktiknya akan sangat sulit untuk didapatkan untuk kejahatan jenis ini.

Meskipun sudah ada skema asuransi kesehatan gratis di Aceh sejak Juni 2000,188para perempuan penyintas kekerasan seksual masih terus menghadapi sejumlah hambatan untuk mengakses jenis layanan yang mereka butuhkan. Oleh karena tidak ada program yang menargetkan kebutuhan khusus mereka, mereka harus pertama-tama pergi ke puskesmas dulu untuk meminta bantuan, sebelum kemudian dirujuk ke rumah sakit. Ornop-ornop lokal memberi tahu Amnesty International bahwa, sebagai akibatnya, bisa diperlukan berbulan-bulan bagi para korban untuk mendapatkan perawatan medis yang sangat diperlukan, atau bahkan bersifat mendesak. Selain itu, hal ini membuat mereka harus menceritakan kisah mereka berkali-kali yang dapat mempertajam rasa malu mereka atau membuat mereka mendapat stigma di wilayah di mana perempuan dan anak perempuan mendapat tekanan untuk berperilaku yang sesuai dengan stereotipe sempit terhadap seksualitas perempuan.189 Sebuah laporan Amnesty International tahun 2010, yang memasukkan pula riset di Aceh, menemukan bahwa perempuan dan anak perempuan menghadapi berbagai macam hambatan dalam hukum, kebijakan dan praktik dalam mengakses layanan kesehatan, dan khususnya, informasi serta layanan kesehatan reproduksi.190 Hambatan ini dapat berupa sikap

diskriminatif terhadap perempuan, dan khususnya seksualitas perempuan; keyakinan budaya masyarakat; dan sikap diskriminatif dalam profesi medis. Perempuan dan anak perempuan dari kelompok masyarakat terpencil, dan miskin serta tersingkirkan sering kali dibiarkan pada posisi yang lebih merugikan lagi.

Riset Amnesty International tahun 2010 191 dan wawancara baru-baru ini dengan perwakilan ornop-ornop telah mengkonfirmasikan bahwa memang sangat sulit bagi para penyintas kekerasan seksual untuk membicarakan situasi mereka dan untuk mengakses informasi serta layanan kesehatan reproduksi di Aceh. Untuk perempuan yang sudah menikah, meminta informasi dan layanan semacam itu dapat menciptakan masalah dengan suami mereka,

tangga (misalnya mereka bisa dituduh melakukan perselingkuhan),192 sedangkan untuk perempuan yang tidak menikah, mereka bisa ditolak dan dicap oleh masyarakat setempat sebagai akibat membuat malu kampung.193 Mereka yang berani membicarakan tentang pelanggaran semacam itu dipandang sebagai membuat malu keluarga dan desa mereka.194

Dengan penerapan hukum Syariah di Aceh, situasi ini makin terasa dengan ditingkatkannya pembatasan dalam hukum dan praktik terhadap kebebasan perempuan.195

Dalam Kesimpulan Pengamatan tahun 2012-nya, Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW) menyatakan “keprihatinan yang mendalam” bahwa kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, telah menjadi “bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berulang kali muncul dalam konflik”, termasuk selama konflik Aceh berlangsung. Komite itu merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menginvestigasi, menuntut dan menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk tindak kekerasan seksual, dan memberikan reparasi penuh dan efektif kepada para penyintas. komite itu merekomendasikan disertakannya juga langkah-langkah komprehensif untuk menyediakan dukungan medis dan psikologis kepada para perempuan penyintas tindak kekerasan dan mendirikan pusat-pusat konseling untuk mereka.196 Dalam tanggapannya, pemerintah Indonesia mengatakan reparasi adalah:

"urusan yang sangat rumit karena pengidentifikasian para korban sulit dilakukan setelah begitu lama... pengakuan secara kolektif, permintaan maaf dan peringatan, sejalan dengan tindakan-tindakan pendidikan, juga menanggapi reparasi ini... Akan tetapi, karena begitu rumit masalah ini berarti Pemerintah harus bersikap realistis”.197

TRAGEDI SIMPANG KKA

Monumen yang dibangun di lokasi Simpang KKA di Aceh Utara untuk memperingati orang-orang yang dibunuh ketika tentara melancarkan tembakan 3 Mei 1999. © Amnesty International

Pada 3 Mei 1999, puluhan orang dibunuh ketika para petugas militer melepaskan tembakan di simpang jalan di dekat pabrik pulp dan kertas Kertas Kraft Aceh (KKA), yang dikenal banyak orang sebagai Simpang KKA, di desa Cot Morong di kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Seorang tentara dari Den Rudal 001/Lilawangsa dilaporkan menghilang beberapa hari sebelumnya di dekat desa itu dan para tentara dari resimen itu menggeledah rumah-rumah di desa dan juga mengintimidasi warga desa. Pada pagi hari 3 Mei, empat truk militer memasuki desa sehingga membuat takut para warga di sana. Camat daerah itu mencoba melakukan perundingan dengan militer agar mereka meninggalkan area tersebut pada saat orang-orang mulai berkumpul. Sekitar pukul 12.30 siang, dilaporkan militer melancarkan tembakan saat ribuan orang yang tidak bersenjata mulai melarikan diri dari daerah itu. Dua orang wartawan yang kebetulan berada di lokasi itu memfilmkan insiden tersebut dan film itu kini sudah tersebar luas.198

Menurut Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU), 21 orang terbunuh sementara 156 orang lainnya terluka dalam serangan tersebut. Banyak korban dilaporkan ditembak di punggung atau bagian samping tubuh.199 Insiden ini merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk dituntut oleh Komisi Independen tahun 1999 untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Pada November 1999 Jaksa Agung membentuk tim pengusutan atas kasus ini.200 Walaupun ada langkah-langkah ini tidak ada seorang pun yang didakwa sehubungan dengan kejahatan tersebut.

5.4 PRAKARSA YANG BERMULA DARI MASYARAKAT DENGAN TUJUAN MENGAKUI

Dokumen terkait