• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAATNYA MENGHADAPI MASA LALU KEADILAN ATAS KEJAHATAN MASA LALU DI PROVINSI ACEH INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAATNYA MENGHADAPI MASA LALU KEADILAN ATAS KEJAHATAN MASA LALU DI PROVINSI ACEH INDONESIA"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

MENGHADAPI

MASA LALU

KEADILAN ATAS KEJAHATAN

MASA LALU DI PROVINSI ACEH

INDONESIA

(2)

diakhirinya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

Visi kami adalah agar semua orang dapat menikmati semua hak yang diabadikan dalam

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) dan standar HAM internasional lainnya.

Kami bersifat mandiri atau independen dari pemerintah, ideologi politis, kepentingan

ekonomi dan agama mana pun – dan didanai sebagian besar oleh dana keanggotaan

dan sumbangan publik.

Pertama diterbitkan tahun 2013 oleh Amnesty International Ltd Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom

© Amnesty International 2013

Indeks: ASA 21/001/2013 Bahasa Indonesia Bahasa Asli: Inggris

Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Britania Raya

Pemegang hak cipta meminta agar penggunaan semacam itu didaftarkan kepada Amnesty International untuk tujuan penilaian dampak. Jika menyalin untuk tujuan lain, atau penggunaan kembali dalam penerbitan lainnya, atau untuk penerjemahan atau saduran, izin tertulis harus diminta terlebih dahulu dari penerbit, dan bisa ada biaya yang harus dibayar. Untuk meminta izin, atau pertanyaan lain, silahkan hubungi copyright@amnesty.org

Foto sampul depan: Orang-orang yang selamat dari konflik Aceh berdemonstrasi di luar gedung parlemen, menuntut pembentukan komisi kebenaran, Banda Aceh, Aceh, Indonesia, Desember 2010

(3)

DAFTAR ISI

Peta Aceh ...5

Glosarium ...6

Dalam bahasa Inggris ...6

Dalam bahasa Indonesia...7

1. Pendahuluan ...9

1.1 Metodologi dan ucapan terima kasih ...13

2. Gambaran umum ...15

2.1 Kejahatan menurut hukum internasional selama berlangsungnya konflik Aceh ...15

2.2 Perjanjian Damai Helsinki dan sesudahnya...20

3. Langkah lemah dalam mengungkapkan kebenaran ...23

3.1 Nasib orang-orang yang dihilangkan dan yang menghilang ...24

3.2 Investigasi pelanggaran HAM di Aceh tidak diumumkan ...25

3.3 Upaya yang macet untuk membentuk Komisi Kebenaran ...27

3.4 Pentingnya untuk segera mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran yang dilakukan selama konflik ...29

4. Keadilan untuk pelanggaran HAM masa lalu ...31

4.1 Kerangka kerja hukum yang cacat untuk penuntutan kejahatan ...32

4.2 Investigasi dan penuntutan pelanggaran masa lalu yang terbatas dan tidak memadai36 4.3 Konsekuensi bagi perdamaian di Aceh dan supremasi hukum di seluruh Indonesia...42

5. Reparasi: Kerangka kerja yang setengah hati dan tidak memadai ...44

5.1 Hambatan terhadap reparasi di pengadilan Indonesia dan luar negeri...45

5.2 Batasan program untuk para “korban konflik”...47 5.3 Hambatan yang dihadapi perempuan penyintas tindak kekerasan dalam mendapatkan

(4)

reparasi dan bantuan ... 49

5.4 Prakarsa yang bermula dari masyarakat dengan tujuan mengakui dan mengenang para korban ... 53

6. Kesimpulan dan rekomendasi ... 54

6.1 Menuju pengungkapan kebenaran ... 56

6.2 Keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu... 57

6.3 Hak atas reparasi penuh dan efektif ... 59

6.4 Supremasi hukum dan reformasi sektop keamanan ... 60

(5)
(6)

GLOSARIUM

DALAM BAHASA INGGRIS

AMM: Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh)

CEDAW: Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi tentang Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) CMI: Crisis Management Initiative

CoHA: Cessation of Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan)

ICC: International Criminal Court (Pengadilan Kriminal Internasional)

ICCPR: International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.)

LoGA: Law on Governing Aceh (Undang-Undang Pemerintahan Aceh)

MOU: Merujuk ke Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2005.

(7)

DALAM BAHASA INDONESIA

ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

BRA: Badan Reintegrasi Aceh yang kini dikenal sebagai Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A)

Brimob: Brigade Mobil

BRR: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi

DOM: Daerah Operasi Militer

DPR: Dewan Perwakilan Rakyat

DPRA: Dewan Perwakilan Rakyat Aceh

GAM: Gerakan Aceh Merdeka

KKR: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

Komnas HAM: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Komnas Perempua: Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan

Kopassus: Komando Pasukan Khusus

Koramil: Komando Rayon Militer

KPTKA: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh

NAD: Nanggroe Aceh Darussalam Nama resmi provinsi Aceh antara tahun 2001 dan 2009

Pos Sattis: Pos Satuan Taktis dan Strategis

Qanun: Peraturan daerah Provinsi Aceh

SGI: Satuan Gabungan Intelijen

(8)
(9)

1. PENDAHULUAN

“[Kami] ingin tahu, mencari tahu kenapa sampai saat ini pemerintah Indonesia

belum mengakui ada pelanggaran HAM [hak asasi manusia] yang kami alami. Kami

sebagai korban… tidak merasa dendam, tetapi mereka harus menyelesaikan apa

yang kami rasakan. [Pemerintah] tidak bisa mengatakan perdamaian sudah ada.

Tetapi perdamaian adalah keadilan bagi kami … Saya tahu persis 15 Agustus tahun

2005 antara pemerintah [Indonesia] dan Gerakan Aceh Merdeka telah membuat

kesepahaman untuk sebuah perdamaian di Aceh. Dalam persoalan MOU Helsinki

disebut tentang hak asasi manusia di mana Pengadilan HAM dan KKR [Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi] akan dibentuk di Aceh. Mimpi [saya] belum terwujud.

Masih kami melakukan gerakan gerakan, bukan melawan pemerintah, tapi

mengingatkan pemerintah kasus kasus yang sedang dan telah kami alami. Mereka

tidak [boleh] untuk melupakan kami.”

Mantan ketua asosiasi para korban di Aceh, 8 Mei 2012.

Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan gerakan pro-kemerdekaan bersenjata, Gerakan Aceh Merdeka (selanjutnya di sini disebut sebagai GAM), menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MOU) di bawah payung Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang menandakan berakhirnya tahun-tahun penuh kekerasan. Konflik Aceh memiliki dampak yang merusak bagi penduduk sipil, terutama antara tahun 1989 dan 2004 ketika operasi militer dilangsungkan oleh pemerintah Indonesia untuk menindas separatisme.1 Antara 10.000 sampai 30.000

orang dibunuh selama berlangsungnya konflik, dan banyak di antaranya adalah warga sipil.2

Organisasi-organisasi pencari fakta nasional dan internasional, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya di sini disebut sebagai Komnas HAM), dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah memunculkan kesaksian secara ekstensif mengenai sejumlah pelanggaran HAM serius yang dilakukan terhadap penduduk sipil Aceh selama berlangsungnya konflik. Akan tetapi, banyak dari kesaksian resmi ini, termasuk laporan-laporan Komnas HAM, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar pelanggaran di masa lalu dilakukan oleh para anggota pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka, belum dipublikasikan kepada publik.3

Amnesty International dan badan-badan lain yang mendokumentasikan serangkaian pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan dan para pembantu mereka, termasuk pembunuhan di luar hukum penghilangan secara paksa, penyiksaan, pemaksaan terhadap warga sipil untuk berpindah tempat, penangkapan dan penahanan secara semena-mena terhadap mereka yang dicurigai mendukung GAM. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM, termasuk penyanderaan dan pembunuhan yang menargetkan mereka yang dicurigai menjadi informan, pejabat pemerintah, dan pegawai negeri, juga dilaporkan.4 Amnesty

International bersama badan-badan lainnya juga menyoroti sejauh mana tingkat kekerasan terhadap perempuan terjadi selama konflik dan ditegaskan dalam laporan tahun 2004

(10)

Indonesia: New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh (Operasi militer baru, pola lama pelanggaran HAM di Aceh) bahwa ada “pola yang sudah lama terbangun untuk melakukan perkosaan serta kejahatan seksual lain terhadap perempuan” di provinsi tersebut.5

Banyak dari pelanggaran HAM6 yang dilakukan selama konflik Aceh7 ini merupakan

kejahatan menurut hukum internasional, walaupun jarang disebut demikian. Banyak dari pelanggaran yang dilakukan oleh kedua pihak dalam konteks konflik bersenjata non-internasional yang terjadi antara tahun 1989 dan 2005 bisa merupakan kejahatan perang. Banyak dari pelanggaran yang dilakukan pasukan Indonesia serta tenaga pembantu mereka terhadap masyarakat sipil sebagai bagian dari kebijakan untuk menindas gerakan

kemerdekaan kelihatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan bisa masuk ke kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal-hal ini serta kejahatan lainnya menurut hukum internasional, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa harus diinvestigasi dan, bilamana ada bukti-bukti yang bisa diterima, mereka yang diduga memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di pengadilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional dan tanpa menggunakan hukuman mati. Para korban juga memiliki hak atas pemulihan (remedy) yang efektif, termasuk kebenaran, keadilan, serta hak reparasi secara penuh dan efektif.

Namun, sebagaimana digambarkan dalam kutipan di atas, kebanyakan korban serta sanak-saudara mereka masih tidak mendapatkan kebenaran, keadilan, dan hak reparasi yang berarti merupakan pelanggaran atas kewajiban Indonesia di bawah hukum internasional. Mereka masih menantikan pemerintah nasional dan daerah Indonesia untuk mengakui dan

memberikan pemulihan hak (remedy) atas apa yang terjadi terhadap mereka dan orang-orang yang mereka kasihi selama konflik.

Selama kunjungan ke Aceh pada Mei 2012, Amnesty International berbicara dengan berbagai grup dan banyak orang, termasuk organisasi non-pemerintah (ornop), organisasi komunitas masyarakat, pengacara, anggota parlemen, pejabat pemerintah daerah, jurnalis, dan lebih dari tiga puluh korban serta perwakilan mereka mengenai keadaan sekarang ini di Aceh dan tidak adanya langkah-langkah untuk memberikan kebenaran, keadilan dan reparasi terhadap kejahatan yang dilakukan selama konflik.

Para korban serta sanak-saudara mereka mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menyambut baik proses perdamaian saat ini dan situasi keamanan yang membaik di Aceh;8 tetapi mereka tidak mengerti mengapa komitmen yang terkandung dalam MOU 2005

untuk mendirikan Pengadilan HAM bagi Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh masih juga belum dilaksanakan.9 Mereka menjelaskan pula, bahwa meskipun sejumlah

program yang dilakukan setelah ditandatanganinya MOU memang memberikan beberapa bentuk dukungan finansial kepada banyak korban,langkah-langkah ini tidak dilakukan dengan konsisten dan tidak secara khusus dikaitkan dengan pengakuan atas pelanggaran HAM di masa lalu.

Pada saat kesepakatan damai tahun 2005, topik tentang menangani kejahatan yang dilakukan selama berlangsungnya konflik dipandang oleh beberapa pihak sebagai ancaman terhadap proses perdamaian.10 Namun, setelah tujuh tahun berlalu, kini sudah saatnya bagi

(11)

korban atas kebenaran, keadilan, dan reparasi. Hal ini bukan hanya akan membantu dalam mengobati luka-luka yang diderita para warga sipil, tapi juga membantu memperkuat supremasi hukum atau rule of law di negeri ini dan mengamankan proses perdamaian dalam jangka panjang. 11 Seperti yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada

Agustus 2004:

“[i]nisiatif keadilan transisional mempromosikan akuntabilitas, memperkuat

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan bersikap kritis untuk mendorong rasa percaya tinggi masyarakat yang diperlukan untuk mendukung reformasi hukum, pembangunan ekonomi, dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.”12

Menangani kejahatan di masa lalu dan mengakui bahwa pelanggaran HAM serius dilakukan selama konflik Aceh juga akan memberikan sinyal yang kuat kepada para korban pelanggaran HAM lainnya dan keluarga mereka di Indonesia, yang tengah menunggu langkah-langkah kebenaran, keadilan, dan reparasi untuk menangani kejahatan yang dilakukan dalam situasi lainnya.13

Untuk memperkuat supremasi hukum di Indonesia dan memastikan bahwa para korban serta sanak-saudara mereka memiliki akses ke kebenaran, keadilan, dan reparasi untuk kejahatan yang dilakukan selama konflik Aceh, Amnesty International merekomendasikan agar pihak berwenang di daerah dan pusat mengambil langkah-langkah berikut sebagai prioritas:

  

 Mengakui bahwa pelanggaran HAM serius, termasuk kejahatan menurut hukum

internasional, dilakukan selama konflik Aceh;

  

 Segera membentuk komisi kebenaran sejalan dengan standar internasional untuk

memastikan bahwa korban, keluarga mereka, dan komunitas masyarakat yang terkena dampak mendapatkan keterangan yang lengkap tentang apa yang terjadi selama konflik Aceh dan memastikan agar tindakan-tindakan khusus diambil untuk mengungkapkan nasib dan keberadaan para korban penghilangan secara paksa;

  

 Mengambil tindakan-tindakan efektif (termasuk reformasi hukum) untuk

menginvestigasi, dan bilamana ada bukti-bukti yang memadai yang dapat diterima, menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan berdasarkan hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan,

pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa yang dilakukan selama konflik; dan

  

 Membentuk program untuk memberikan hak reparasi lengkap dan efektif termasuk

restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan adanya pengulangan terhadap semua korban pelanggaran HAM di Aceh. Program tersebut harus dirancang dengan berkonsultasi dengan para korban dan harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dari kaum perempuan dan lelaki, anak perempuan dan anak lelaki, yang mengalami konflik secara berbeda, dan juga semua kelompok yang relevan lainnya.

(12)

Seorang tentara Indonesia menjaga para penduduk desa selama melakukan pencarian di desa Pusong di provinsi Aceh pada 18 Juli 2003. ©REUTERS/Stringer

KEBENARAN, KEADILAN, DAN REPARASI

Kapan pun ketika pelanggaran HAM serius dilakukan – termasuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional dan pelanggaran terhadap komunitas internasional secara keseluruhan – Amnesty International menyerukan kepada pihak berwenang nasional untuk memenuhi kewajiban mereka untuk memastikan adanya kebenaran, keadilan, dan reparasi penuh kepada para korban.

Tindakan-tindakan ini bukan merupakan diskresi atau pilihan. Tindakan-tindakan ini merupakan bagian dari kewajiban semua negara untuk memberikan pemulihan (remedy) yang efektif kepada para korban sebagaimana diakui dalam Pasal 8 Deklarasi Universal HAM; Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan mengenai Hak atas Pemulihan (Remedy ) dan Reparasi untuk para Korban Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran Serius Hukum Humaniter Internasional; dan Pasal 2 (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diterima Indonesia pada 23 Februari 2006. Indonesia juga memiliki kewajiban khusus untuk melakukan tindakan-tindakan ini sehubungan dengan kejahatan perang seperti yang dijamin dalam Konvensi Jenewa yang diratifikasi Indonesia pada 30 September 1958; sehubungan dengan penyiksaan seperti yang dijamin dalam Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan, yang diratifikasi Indonesia pada 28 Oktober 1998; dan sehubungan dengan penghilangan paksa seperti yang dijamin dalam Konvensi Internasional bagi Perlindungan terhadap Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang ditandatangani Indonesia pada 27 September 2010 tapi belum diratifikasi.

(13)

menurut hukum internasional dilakukan atau di negara yang warga negaranya diduga melakukan kejahatan tidak melakukan tindakan apa pun, maka penting bahwa sistem peradilan pidana dan perdata nasional di semua negara bertindak, bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, untuk mengadili mereka yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan, untuk mewakili komunitas internasional, dan memberikan reparasi kepada para korban dengan memberlakukan yurisdiksi universal.

Kebenaran

Para korban pelanggaran HAM serius, termasuk kejahatan menurut hukum internasional memiliki hak atas kebenaran.14 Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menghadirkan kebenaran mengenai suatu

kejahatan, termasuk alasannya, keadaannya, dan kondisi pelanggaran HAM; kemajuan dan hasil semua investigasi; identitas pelaku (baik bawahan maupun atasan mereka); dan dalam kasus adanya kematian atau penghilangan paksa, nasib serta keberadaan korban. Kebenaran dapat membantu para korban dan keluarga mereka memahami apa yang terjadi kepada mereka, menyangkal informasi yang salah, dan menyoroti faktor-faktor –seperti diskriminasi – yang menyebabkan adanya pelanggaran. Hal ini memungkinkan masyarakat mengetahui mengapa pelanggaran dilakukan agar tidak terulang lagi.

Keadilan

Hukum internasional mewajibkan negara untuk memberlakukan yurisdiksi pidana pada kejahatan-kejahatan yang ada di bawah hukum internasional. 15 Negara harus memastikan bahwa kejahatan itu diinvestigasi dan, jika ada

bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di pengadilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional tanpa menggunakan hukuman mati. Investigasi dan penuntutan yang benar memastikan bahwa tidak boleh ada impunitas.

Reparasi

Para korban pelanggaran HAM, termasuk kejahatan menurut hukum internasional, memiliki hak mendapatkan reparasi penuh dan efektif. Para korban harus memiliki akses ke tindakan efektif untuk menangani penderitaan yang telah mereka alami dan untuk membantu mereka membangun kembali kehidupan mereka, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak adanya pengulangan. 16 Hak reparasi harus diupayakan

untuk “sejauh mungkin, menghapus semua konsekuensi tindakan ilegal dan membangun kembali situasi yang mungkin terjadi jika saja kejahatan itu tidak pernah dilakukan.17

1.1 METODOLOGI DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Laporan ini disusun atas pekerjaan yang sudah dilakukan Amnesty International untuk mendokumentasikan pelanggaran HAM selama konflik Aceh dan sesudahnya. Laporan ini merupakan bagian pekerjaan yang lebih luas lagi untuk memonitor langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam memerangi impunitas untuk pelanggaran HAM di masa lalu.18 Terbitan Amnesty International baru-baru ini, misalnya laporan mengenai Indonesia

kepada Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW) pada Juni 2012,19 telah menggarisbawahi sejumlah kekurangan Indonesia dalam memenuhi kewajiban

HAM internasionalnya untuk memberikan pemulihan hak yang efektif.

Temuan laporan ini terutama berdasarkan pada kunjungan Amnesty International ke Aceh pada Mei 2012. Delegasi Amnesty International mengunjungi ibu kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Langsa. Selama kunjungan tersebut, delegasi bertemu dengan kelompok komunitas para korban, ornop-ornop,

(14)

pengacara, anggota parlemen, ketua Komnas HAM cabang Aceh, perwakilan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA),20 dan Gubernur interim Aceh. Para pejabat pemerintah pusat juga

mengetahui mengenai kunjungan terencana Amnesty International ini.

Sebuah lokakarya satu hari diadakan dalam kunjungan bulan Mei tersebut untuk berdiskusi dengan para korban dan perwakilan mereka mengenai situasi saat ini di Aceh dan seberapa jauh para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat mengakses langkah-langkah komprehensif untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi sejak konflik berakhir pada tahun 2005. Tujuh belas perwakilan dari Pidie Jaya, Bireuen, Bener Meriah, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan menghadiri lokakarya tersebut dan berbagi pengalaman mereka. Delegasi Amnesty International juga bertemu secara perorangan, atau dalam kelompok kecil, dengan para korban lain dan perwakilan mereka, baik kaum perempuan maupun lelaki, dan anak-anak, ketika melakukan perjalanan di sepanjang pesisir Timur Aceh. Para korban ini berasal dari Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Langsa. Meskipun delegasi Amnesty International berupaya untuk bertemu dengan para korban pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh kedua pihak dalam konflik, mereka hanya dapat bertemu dengan para korban pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota pasukan keamanan. Dalam sejarahnya, memang masih merupakan tantangan untuk dapat bertemu dengan para korban pelanggaran yang dilakukan GAM karena rasa takut akan adanya pembalasan.

Laporan ini juga mengandalkan kunjungan ke Jakarta pada September 2011, dan April dan Oktober 2012. Dalam kunjungan-kunjungan itu delegasi Amnesty International bertemu dengan perwakilan Komnas HAM, ornop-ornop setempat dan internasional, serta para pakar lainnya. Berita harian yang memonitor isu-isu yang berkaitan dengan keadilan, kebenaran, dan reparasi di Indonesia; bahan bacaan ekstensif yang terdiri atas penerbitan akademis dan profesional lainnya; serta informasi dari para pengacara, ornop-ornop, dan kontak lainnya yang relevan di Indonesia digunakan pula untuk membuat laporan ini.

Amnesty International mengucapkan terima kasih kepada para staf di Koalisi NGO HAM Aceh, yaitu sebuah organisasi HAM Aceh, atas kebaikan mereka untuk menyetujui

diselenggarakannya lokakarya satu hari dengan para korban dan perwakilan mereka pada Mei 2012. Amnesty International juga mengulurkan rasa hormatnya yang mendalam kepada semua korban dan perwakilan mereka, yang dengan berani menceritakan kisah mereka, dengan murah hati membuka pintu rumah mereka dan mempercayai Amnesty International untuk mengangkat keprihatinan mereka. Jika korban sudah menyetujui, maka nama asli merekalah yang dipakai di sini. Jika tidak, maka nama asli mereka disimpan demi keamanan dan kerahasiaan.

(15)

2. GAMBARAN UMUM

Provinsi Aceh,21 yang juga dikenal sebagai Serambi Mekah, terletak di ujung utara pulau

Sumatra, dan hanya dengan menyeberangi Selat Malaka sedikit dapat mencapai Malaysia (lihat Peta Aceh, h.5). Walaupun kaya dengan sumber kekayaan alam, termasuk minyak dan gas, Aceh tetap merupakan salah satu kawasan termiskin di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik dua puluh persen dari 4,5 juta penduduknya merupakan rakyat miskin pada tahun 2010,22 atau dua kali lebih besar dari rata-rata nasional.23 Dalam tahun-tahun belakangan

ini, Aceh sering menjadi berita utama internasional karena penerapan hukum Syariah-nya yang ketat yang ketetapan-ketetapannya sering kali melanggar standar HAM internasional24

atau dalam konteks bencana alam Asia pada Desember 2004 yang menyebabkan 260.000 orang meninggal atau menghilang. 25 Yang tidak banyak diketahui adalah konflik berdarah

berkepanjangan antara gerakan pro-kemerdekaan bersenjata, GAM, dan pasukan keamanan Indonesia. Selama konflik itu kejahatan menurut hukum internasional dilakukan, termasuk kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa.

2.1 KEJAHATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SELAMA BERLANGSUNGNYA

KONFLIK ACEH

Konflik Aceh antara GAM dan pasukan keamanan Indonesia bermula dari pertengahan tahun 1970-an ketika pada tanggal 4 Desember 1976 Gerakan Aceh Merdeka secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaan.26 Dukungan terhadap kemerdekaan Aceh berakar pada tradisi

perlawanan lama untuk menolak dominasi dari pihak luar, termasuk terhadap kekuatan bekas penjajah Belanda.27 Keuntungan yang tidak setara yang didapat dari pembangunan ekonomi,

yang dipandang sebagai tidak adanya penghormatan terhadap tradisi budaya dan agama, serta catatan buruk pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia semuanya menyumbang pada makin menyulutnya kebencian banyak orang Aceh kepada pemerintah Indonesia. 28 Pemberontakan tahun 1976 dengan cepat ditumpas oleh pasukan

keamanan Indonesia. Para pemimpin GAM yang tidak dibunuh atau dipenjarakan, melarikan diri ke luar negeri. Dr Tengku Hasan di Tiro, seorang pengusaha terkenal Aceh dan pendiri GAM,29 merupakan salah satu yang berhasil melarikan diri.30 Ia menemukan tempat

berlindung di Swedia dan dari sana ia membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Tahun 1989, sayap militer GAM muncul kembali di Aceh. Menyusul serangkaian serangan terhadap instalasi polisi dan militer, pasukan keamanan Indonesia melancarkan operasi penumpasan pemberontakan. Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).

A. PERIODE DOM (1989-1998)

Laporan Amnesty Internasional yang berjudul “Shock Therapy”: Restoring Order in Aceh ("Terapi Kejut: Memulihkan Ketertiban di Aceh), 1989-1993 31 memperkirakan bahwa dua

ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan orang lanjut usia, secara tidak sah dibunuh, beberapa dalam eksekusi secara publik dan lainnya saat berada dalam tahanan militer, selama operasi penumpasan pemberontakan antara tahun 1989 dan 1993. Seperti digambarkan pada saat itu:

(16)

“[d]alam upaya untuk melemahkan basis dukungan warga sipil terhadap perlawanan gerilya, pasukan Indonesia melakukan serangan bersenjata dan penggeledahan dari rumah ke rumah di area-area yang dicurigai sebagai area pemberontak. Rumah para penduduk yang dicurigai memberikan perlindungan atau dukungan kepada para pemberontak dibakar habis. Istri atau putri sejumlah orang yang dituduh sebagai pemberontak ditahan sebagai sandera dan sejumlah dari mereka diperkosa. Siapa pun yang dicurigai berhubungan dengan Aceh Merdeka dapat menjadi sasaran penangkapan dan penahanan semena-mena, penyiksaan, 'penghilangan', atau eksekusi mati yang ringkas.Kampanye penumpasan pemberontakan juga menyebabkan ratusan warga Aceh melarikan diri ke negara tetangga Malaysia dimulai pada Maret 1991.

Komponen utama kampanye pemberantasan pemberontakan di Aceh adalah strategi kerja sama sipil-militer, yang secara resmi dikenal sebagai Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Keterlibatan warga sipil dalam kampanye militer tidak terelakkan lagi meningkatkan skala pelanggaran HAM. Contoh terburuk dari strategi kerja sama sipil-militer ini adalah operasi ‘Pagar betis’ - yang sebelumnya digunakan di Timor Timur - dalam operasi ini penduduk desa dipaksa untuk menyisir sebuah area sebelum pasukan bersenjata masuk, tujuannya adalah untuk membuat keluar para pemberontak dan menghalangi mereka membalas tembakan. Yang juga penting bagi keberhasilan operasi-operasi ini adalah kelompok-kelompok ‘vigilante’ lokal dan ronda malam yang terdiri atas penduduk sipil tapi didirikan di bawah pengawasan dan perintah militer. Antara 20 sampai 30 pemuda dimobilisasi dari tiap desa di wilayah yang dicurigai sebagai wilayah pemberontak... Menolak berpartisipasi dalam kelompok ini - atau ketidakmampuan menunjukkan komitmen yang memadai untuk memberantas musuh dengan mengidentifikasi, menangkap, atau membunuh mereka yang dituduh sebagai pemberontak - terkadang berakibat dijatuhkannya hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan publik, penangkapan, dan eksekusi.”32

Menurut sumber resmi Indonesia dan laporan-laporan media lokal, para anggota GAM juga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di antara tahun 1989 dan 1993, termasuk pembunuhan yang menargetkan sejumlah pejabat pemerintah; pembakaran sekolah dan bangunan publik lainnya; perusakan kendaraan serta barang-barang milik perusahaan-perusahaan komersial dan intimidasi, perlakuan buruk serta pembunuhan puluhan warga sipil, termasuk mereka yang dicurigai menjadi informan dan para penduduk “desa-desa transmigrasi” yang bukan orang Aceh.33

Pada saat status DOM dicabut tahun 1998, beratus-ratus dan mungkin ribuan warga sipil telah dibunuh. Para anggota pasukan keamanan secara sewenang-wenang menangkap beberapa ribu orang selama tahun-tahun ini karena mencurigai mereka mendukung GAM. Seperti digambarkan dalam pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rumoh Geudong (Lihat di bawah ini “Rumah Penyiksaan”: Rumoh Geudong), pasukan keamanan Indonesia menjadikan para tahanan subjek dari penahanan incommunicado (tanpa hubungan dengan pihak luar) dan penyiksaan termasuk perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya selama periode waktu yang panjang. Polisi dan militer juga kelihatannya bertanggung jawab atas

penghilangan ratusan orang selama periode ini.34

Banyak dari pelanggaran HAM yang dilakukan dalam konteks konflik bersenjata non-internasional ini bisa merupakan kejahatan perang. Banyak pelanggaran yang dilakukan

(17)

serangan sistematis dan meluas yang ditujukan kepada warga sipil dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Serangan-serangan ini tampaknya merupakan bagian dari sebuah kebijakan yang ditujukan untuk menumpas gerakan pro-kemerdekaan bersenjata.35 Menurut

hukum internasional, hal-hal ini beserta kejahatan lain berdasarkan hukum internasional, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa harus diinvestigasi, dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang diduga memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di peradilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional tanpa menggunakan hukuman mati (Lihatlah Bab 4). Para korban juga memiliki hak atas pemulihan (remedy) yang efektif, termasuk kebenaran, keadilan, serta hak reparasi secara penuh dan efektif (lihat Bab 3, 4 dan 5).

“RUMAH PENYIKSAAN”: RUMOH GEUDONG

Sisa-sisa Rumoh Geudong, sebuah pos militer yang digunakan Kopassus di kabupaten Pidie tempat mereka yang dituduh menjadi anggota atau mendukung GAM ditahan, disiksa dan dibunuh. Rumah itu dibakar habis setelah status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dicabut pada Agustus 1998. © Amnesty International

Pelanggaran HAM serius telah didokumentasikan di pos militer Bille Aron (Pos Satuan Taktis dan Strategis atau Pos Sattis) yang banyak dikenal sebagai Rumoh Geudong, yaitu sebuah rumah besar di Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie yang dioperasikan oleh Kopassus sejak April 1990. Pihak militer kelihatannya secara sewenang-wenang telah menangkap atau menculik puluhan, dan mungkin ratusan orang yang dituduh menjadi anggota GAM atau mendukung atau membantu GAM termasuk para anggota keluarga mereka di antara tahun 1997 dan 1998 dan membawa mereka ke Rumoh Geudong untuk diinterogasi.

Selama interogasi, diduga keras bahwa para tentara, dengan dibantu para informan pemerintah, menyiksa atau memperlakukan dengan buruk para tahanan, baik lelaki maupun perempuan. Penyiksaan ini termasuk ditinju, ditendangi, atau dipukuli dengan potongan kayu atau besi, dan untuk sejumlah orang hal ini dialami sambil digantung dengan kepala di bawah. Yang lainnya disundut dengan rokok atau disetrum dengan listrik di bagian-bagian tubuh mereka termasuk di alat kelamin. Para tahanan juga dilaporkan direndam dalam air got atau kepingan kayu besar ditusukkan ke tubuh mereka. Sejumlah tahanan perempuan yang ditahan di pos militer diduga keras diperkosa dan dikenai bentuk kekerasan seksual lainnya. Sejumlah tahanan diduga keras dibunuh atau ‘dihilangkan’.36 Para korban dan saksi mata melaporkan melihat mayat dimasukkan ke dalam

(18)

Pada 21 Agustus 1998, beberapa minggu setelah berakhirnya masa berlaku DOM, sebuah tim pencari fakta dari Komnas HAM mengunjungi Rumoh Geudong. Mereka melihat kabel-kabel listrik di lantai di rumah itu dan noda darah di dinding. Mereka juga menemukan sisa-sisa tubuh manusia termasuk kepingan tulang dari jari, kaki, dan tangan dan juga helaian rambut. Para korban dan saksi mata melaporkan bahwa sebelum kehadiran tim pencari fakta, para tahanan dan penduduk desa setempat disuruh oleh militer untuk menggali sisa-sisa tubuh manusia yang dikubur di sekitar rumah dan kemudian dimasukkan ke kendaraan untuk dibawa ke tempat lain. Pada pukul 3 siang hari yang sama, setelah tim Komnas HAM meninggalkan lokasi, Rumoh Geudong dibakar habis, kabarnya oleh kerumunan massa yang marah.38

Kasus Rumoh Geudong merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk segera dituntut oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA), sebuah badan resmi yang didirikan oleh pihak otoritas di Indonesia pada bulan Juli 1999. Pada November 1999 Jaksa Agung membentuk tim pengusutan atas kasus ini. Akan tetapi Amnesty International tidak mendengar adanya orang yang telah dihadapkan ke pengadilan karena melakukan kejahatan serius di Rumoh Geudong39 (lihat Bab 3.2.B: Komisi

Independen tahun 1999 untuk pengusutan tindak kekerasan di Aceh, h.26). B. “JEDA KEMANUSIAAN” (1999-2002)

Setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto di tahun 1998, status DOM dicabut dan sejumlah pejabat tinggi militer dan pemerintah secara terbuka mengakui adanya perbuatan salah yang dilakukan selama periode DOM. 40 Pada Agustus 1998, Jenderal Wiranto, yang

saat itu menjadi Panglima TNI saat itu meminta maaf “atas perilaku sekelompok oknum ABRI yang mengarah pada ekses-ekses yang telah membahayakan rakyat”.41

Namun, hal ini hanya memberikan adanya sedikit ketenangan. Pada Januari 1999, rangkaian pertama operasi militer baru diluncurkan setelah terjadinya serangan kepada pasukan keamanan, yang diduga keras dilancarkan oleh GAM. Pelanggaran HAM dan sulitnya kehidupan secara umum bagi para warga sipil yang menyertai operasi itu42 menyebabkan

meningkatnya dukungan di antara masyarakat umum terhadap GAM, atau paling tidak terhadap deklarasi tujuannya untuk merdeka. Selama kurun waktu ini, GAM juga dituduh melakukan pelanggaran HAM, termasuk penculikan, pelecehan dan pembunuhan warga sipil, dan penahanan secara sewenang-wenang.43 Pada tahun 1999, kelompok-kelompok HAM

setempat memperkirakan bahwa lebih dari 421 orang telah dibunuh secara tidak sah di Aceh. Pada tahun 2001, angka itu melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 1.014 dan tahun 2012 meningkat lagi menjadi 1.307.44

Meskipun penggunaan senjata masih terus menggambarkan respon militer dan sejumlah pemimpin militer kepada GAM, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999 – Juli 2001), memprakarsai upaya untuk menemukan solusi politik guna mencari jalan keluar bagi situasi itu.45 Pada 12 Mei 2000, “Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk

Aceh” ditandatangani, merupakan yang pertama dari serangkaian kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Mula-mula kesepakatan itu berhasil, tapi dalam beberapa bulan saja tingkat kekerasan mulai meningkat lagi. Pembicaraan terus dilakukan dari waktu ke waktu selama periode dua tahun berikutnya, yang kemudian berpuncak dengan

penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2002.

CoHA ini bersifat ambisius, dengan melibatkan pengawasan internasional, pendirian “zona damai”, pelucutan senjata GAM, dan penarikan mundur terbatas pasukan Indonesia. Dalam

(19)

interpretasi kesepakatan tersebut. Pada April 2003, pihak militer mulai mengerahkan pasukan tambahan ke Aceh sebagai persiapan untuk kampanye baru melawan GAM.46

C. POLA LAMA, PELANGGARAN HAM BARU (2003-2004)

Pada 18 Mei 2003 dideklarasikan keadaan darurat militer enam bulan. Pada bulan

November, keadaan darurat diperpanjang enam bulan lagi. Pada Mei 2004, keadaan darurat itu diturunkan statusnya menjadi darurat sipil dan kewenangan dikembalikan kepada pemerintah sipil provinsi di bawah pimpinan Gubernur Aceh.

Laporan Amnesty Internasional yang berjudul Indonesia: Operasi militer baru, pola lama pelanggaran HAM di Aceh yang mendokumentasikan sebuah pola pelanggaran HAM berat selama operasi militer tahun 2003 yang sangat menyerupai baik pola maupun intensitas pelanggaran HAM yang dilakukan pada puncak masa DOM. Dan memang, banyak dari mereka yang diwawancarai Amnesty International menggambarkan operasi militer baru itu sebagai “DOM 2”.47

Seorang tentara Indonesia menonton saat ratusan tentara Indonesia dengan parasut masuk ke daerah di Aceh Tengah pada 20 Mei 2003. © REUTERS/Stringer

Seperti halnya dalam kampanye melawan GAM sebelumnya, keamanan warga sipil sangat tidak diperhatikan. Pasukan keamanan secara paksa membuat warga sipil harus mengungsi dari rumah dan desa mereka, melakukan serangan bersenjata dan penggeladahan dari rumah ke rumah, serta menghancurkan rumah dan barang milik lainnya. Militer Indonesia tidak mampu membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Para pemuda sering kali dicurigai menjadi anggota GAM oleh pasukan keamanan dan yang terutama beresiko mengalami pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan buruk

(20)

lainnya, dan penahanan sewenang-wenang. Sejumlah anggota GAM juga dibunuh di luar hukum setelah dijadikan tahanan. Perempuan dan anak perempuan dijadikan sasaran perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Pengadilan terhadap ratusan orang yang diduga menjadi anggota atau mendukung GAM dilangsungkan tanpa mematuhi standar internasional bagi peradilan yang adil, termasuk karena para tersangka tidak diberikan akses ke perwakilan hukum dan dipaksa mengaku bersalah di bawah penyiksaan.Warga sipil, termasuk anak-anak, dipaksa untuk mendukung operasi militer.48

Selama operasi militer baru tahun 2003-2004, Amnesty International dan sumber-sumber resmi Indonesia juga mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM termasuk penyanderaan, pembunuhan, dan perekrutan tentara anak. Di antara mereka yang diculik GAM adalah orang-orang yang diduga berkolaborasi dengan pasukan keamanan Indonesia; politisi setempat; pegawai negeri; orang-orang yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah, sanak saudara petugas militer atau polisi, dan jurnalis. Selain melakukan penyanderaan, GAM juga secara berkala dituduh pihak berwenang Indonesia melakukan pembunuhan terhadap warga sipil di luar hukum, termasuk pembunuhan terhadap anak-anak. Media juga melaporkan kasus-kasus pembunuhan di luar hukum oleh GAM. Tahun 2003-2004, anak-anak dilaporkan direkrut oleh GAM.49 Sebagian besar anak yang

terlibat dalam GAM adalah anak lelaki. Menurut ornop-ornop setempat, anak-anak dilibatkan dalam berbagai macam tugas termasuk bertindak sebagai informan, mengumpulkan “pajak”, ikut serta dalam serangan pembakaran, menyediakan makanan dan pasokan lainnya, memasak, dan mengumpulkan kayu bakar. Tidak jelas sampai sejauh mana perekrutan itu bersifat sukarela dan ada laporan bahwa sejumlah anak dipaksa bergabung, atau dipaksa untuk tetap jadi anggota GAM jika mereka bergabung karena kemauan mereka sendiri. 50

2.2 PERJANJIAN DAMAI HELSINKI DAN SESUDAHNYA

Dengan pemilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September 2004, sebuah pendekatan baru terhadap situasi di Aceh mulai dibangun.51 Perundingan non-formal

dilanjutkan di antara para perwakilan GAM dan Pemerintah Indonesia.52 Gempa bumi dan

tsunami pada Desember 2004 mempercepat negosiasi perdamaian. Gerakan Aceh Merdeka akhirnya setuju untuk tidak meneruskan tuntutannya untuk merdeka, sementara pemerintah Indonesia menerima program reintegrasi dan pemberian amnesti secara menyeluruh untuk mantan kombatan GAM, pembentukan partai-partai politik lokal, dan pengaturan keamanan baru di Aceh.53

Meskipun pertempuran bersenjata terus berlangsung pada paruh pertama tahun itu,54 status

keadaan darurat sipil dicabut pada 19 Mei 2005, dan pembatasan akses ke provinsi itu secara bertahap dikurangi.55 Pada 15 Agustus 2005 perjanjian damai ditandatangani di

(21)

Menteri Hukum dan HAM Indonesia Hamid Awaluddin (Kiri) berjabat tangan dengan Ketua GAM Malik Mahmud (kanan) di hadapan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (Tengah) setelah menandatangani perjanjian damai pada 15 Agustus 2005. © REUTERS/Ruben Sprich

Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005, yang juga dikenal sebagai “Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka” menetapkan kerangka kerja yang luas bagi kedua pihak untuk mencapai “penyelesaian damai atas konflik”.56 Perjanjian

itu menyertakan serangkaian kerangka luas yang berkaitan dengan masalah-masalah pemerintahan, ekonomi, supremasi hukum, amnesti, hak asasi manusia, reintegrasi para mantan kombatan, dan pengaturan keamanan.

MOU itu merinci bahwa Undang-Undang baru tentang Pemerintahan Aceh akan berdasarkan pada prinsip bahwa “Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik ... kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hak ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama” (Pasal 1.1.2), dan pemerintah Indonesia akan memfasilitasi “pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh” (Pasal 1.2.1) Bab 2 secara khusus mengurusi hak asasi manusia, komitmen untuk mendirikan Pengadilan HAM untuk Aceh (Pasal 2.2) dan pembentukan Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (Pasal 2.3).

Namun, dalam Bab 3, MOU membentuk halangan besar bagi keadilan untuk para korban kejahatan yang dilakukan oleh GAM dengan mengatur bahwa Pemerintah Indonesia akan “memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini” tanpa membuat pengecualian bagi orang-orang yang diduga melakukan kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang (Pasal 3.1.1).57 Setelah perjanjian damai

ini, kira-kira 2.000 narapidana yang dituduh “terlibat GAM” diberikan amnesti dan dibebaskan.58

(22)

Alokasi dana untuk mendukung rehabilitasi para mantan kombatan dan tahanan politik, pengaturan keamanan, termasuk demobilisasi pasukan-pasukan non-organik,59 dan pelucutan

semua senjata, amunisi, dan bahan peledak yang yang dimiliki GAM dibahas di Bab 4. MOU itu juga mengatur pendirian Aceh Monitoring Mission gabungan ASEAN dan EU,60 yang

ditugaskan mengawasi kepatuhan kedua pihak terhadap perjanjian damai, dan menangani mekanisme penyelesaian perselisihan tingkat tinggi jika terjadi perselisihan.

Walaupun sejumlah aspek perjanjian damai, seperti pendirian partai politik lokal Aceh, dikritik sejumlah tokoh politik dan militer nasional61 dan pada satu saat mengancam

pembicaraan tentang perdamaian keluar jalur,62 sebagian besar implementasi perjanjian

damai berjalan tanpa adanya pelanggaran besar.63 Pada 31 Desember 2005, gerakan

kemerdekaan bersenjata itu telah menyelesaikan penyerahan senjata, dan Pemerintah Indonesia telah selesai menarik mundur pasukan dari Aceh, sebagaimana disepakati dalam MOU.64 Pada Juli 2006, UU tentang Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006) diloloskan oleh

DPR,65 dan pemilihan umum lokal pertama yang melibatkan partai-partai lokal Aceh

diselenggarakan pada Desember 2006.66

Walaupun adanya insiden kekerasan secara sporadis sejak Agustus 2005, khususnya dalam konteks pemilu lokal,67 Aceh secara relatif telah menikmati perdamaian dalam tujuh tahun

(23)

3. LANGKAH LEMAH DALAM

MENGUNGKAPKAN KEBENARAN

"Setelah ayah saya dibawa oleh TNI, kami tidak bisa buat apa-apa. Kami hanya bisa menangis. Kami melakukan pencarian ke mana-mana... saya dan adik-adik saya yang sekolah tidak bisa sekolah lagi karena tidak ada yang biayai, dan kami tidak bisa konsentrasi untuk sekolah... kami hanya fokus mencari ayah... sampai hari ini timbul persoalan kenapa orang tua saya dibunuh... kenapa orang tua saya disiksa? Apa kesalahan dia? Ini belum tau jelas... Kehidupan kami sangat menyedihkan... karena semua adik saya tidak sekolah lagi... Harapan saya pemerintah harus menjawab apa kesalahan orang tua saya. Ayah saya tidak terlibat GAM... mungkin dia membantu GAM [tapi] semua masyarakat pernah membantu GAM... [kenapa] dia dibunuh seperti itu... mana keadilannya? Kalau pun ayah saya salah kenapa tidak dihukum? Indonesia katanya negara hukum... kenapa harus dia dibunuh? ... Sampai hari ini saya pun rela mati untuk menuntut [diadilinya] semua pelaku"

Ayah Zulkifli dibawa oleh militer tahun 2003. Zulkifli tidak pernah melihatnya lagi.68

Kelompok-kelompok korban dan ornop-ornop lokal Aceh telah menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk membuktikan kebenaran mengenai kejahatan yang dilakukan selama konflik berlangsung, khususnya untuk mengetahui apa yang terjadi kepada orang-orang yang menghilang.Selama kunjungan Amnesty International ke Aceh pada Mei 2012, banyak korban dan anggota keluarga seperti Zulkifli menjelaskan bahwa mereka masih tidak tahu apa yang terjadi kepada orang-orang yang mereka cintai. Dengan anggapan bahwa mereka sudah dibunuh, sanak keluarga mereka ingin tahu mengapa dan di mana mayat mereka. Sejumlah berharap bahwa, jika kebenaran bisa diketahui, maka mungkin hal ini bisa memerangi budaya impunitas yang ada dan membawa pada keadilan pidana dan reparasi. Banyak yang menjelaskan bahwa pentinglah bagi anak mereka dan warga secara keseluruhan untuk mengetahui dan memahami secara pasti apa yang terjadi di masa lalu agar sejarah tidak terulang kembali. Namun, meskipun adanya berbagai pengusutan mengenai

pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh antara tahun 1998 dan 2009 dan komitmen untuk mendirikan komisi kebenaran baik di tingkat nasional maupun lokal dalam tahun-tahun belakangan ini, pihak berwenang Indonesia saat ini masih belum mampu mengambil tindakan segera dan efektif untuk mengetahui kebenaran mengenai pelanggaran yang dilakukan saat konflik berlangsung, dan menolak hak korban untuk mendapatkan kebenaran. Amnesty International menyerukan komisi-komisi kebenaran untuk menegakkan hak semua korban pelanggaran HAM di masa lalu untuk mendapatkan kebenaran, keadilan, dan hak reparasi tanpa diskriminasi dan sesuai dengan hukum internasional. Untuk tujuan ini, komisi-komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk bertindak sebagai pengganti pengadilan perdata, administratif, atau pidana. Komisi-komisi ini tidak boleh menghalangi keadilan pidana atau hak reparasi dengan memberikan langkah-langkah, seperti kekebalan dari penuntutan untuk para peserta, untuk kejahatan menurut hukum internasional atau tindakan-tindakan lain untuk mempertahankan impunitas.

(24)

3.1 NASIB ORANG-ORANG YANG DIHILANGKAN DAN YANG MENGHILANG

Selama lokakarya satu hari Amnesty International dengan para perwakilan korban dari berbagi tempat di Provinsi Aceh bulan Mei 2012, banyak perwakilan menekankan tuntutan korban untuk mengetahui kebenaran mengenai nasib dan keberadaan orang yang dihilangkan atau yang menghilang69 seiring dengan keinginan untuk dapat memberikan penguburan yang

layak.

Hak keluarga mereka yang dihilangkan atau yang menghilang untuk mengetahui apa yang terjadi kepada para korban merupakan komponen penting dari hak untuk mengetahui kebenaran. Secara tersurat hukum humaniter internasional menjamin hak para sanak keluarga untuk mengetahui nasib keluarga mereka yang menghilang.70 Hak untuk

mengetahui nasib serta keberadaan anggota keluarga yang hilang, baik dalam waktu damai dan dalam waktu konflik bersenjata, telah dikonfirmasikan dalam Pasal 24 (3) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Indonesia sudah menandatangani tapi belum meratifikasinya),71 dan juga yurisprudensi badan-badan HAM

internasional dan regional 72 dan pengadilan-pengadilan nasional.73

Prinsip 4 Kumpulan Prinsip yang sudah Diperbarui untuk Perlindungan dan Pemajuan HAM melalui tindakan untuk memberantas impunitas menyatakan:

"Tanpa memandang proses hukum apa pun, para korban dan keluarga mereka memiliki hak yang tak dapat dipisahkan lagi untuk mengetahui kebenaran tentang situasi terjadinya pelanggaran, dan dalam kasus kematian atau penghilangan, untuk mengetahui nasib korban."74

Hanya ada sedikit saja langkah yang sudah diambil untuk memberlakukan hak-hak ini di Aceh, dan di tempat lain di Indonesia. Akibatnya, para keluarga dan masyarakat dibiarkan menderita.75 Seorang mantan kepala asosiasi para korban di Aceh memberi tahu Amnesty

International tentang penghilangan paksa terhadap saudara laki-lakinya dan betapa susahnya ia rasakan tidak mengetahui di mana saudaranya dikuburkan:

"...Salah satu abang saya menjadi korban penghilangan paksa... Sampai sekarang [kami] tak tau di mana kuburannya... Keponakan saya, anak abang saya yang saat ini sudah hilang... di kala dia pulang pada hari Lebaran, dia menyanyakan kepada saya 'ayo kita ke kuburan ayah saya'... [Tapi] bagaimana saya bisa menjawab sedangkan kuburan tidak ada... tidak ada kuburan..."76

(25)

PENGHILANGAN PARA PEGIAT HAM

Di antara tahun 2000 dan 2004, diyakini bahwa 15 pembela HAM di Aceh telah dibunuh di luar hukum dan paling tidak ada empat orang yang menjadi korban penghilangan secara paksa.77 Mukhlis Ishak

(lelaki, 27 tahun) adalah anggota ornop bernama Link for Community Development (LCD) yang membantu pengungsi internal, “menghilang” setelah ditahan para lelaki berpakaian sipil di Kabupaten Bireun di tahun 2003. Sepuluh tahun kemudian tetap tidak diketahui apa yang terjadi kepadanya. Keluarganya menuntut adanya pengungkapan secara lengkap tentang apa yang terjadi di tahun 2003.

Mukhlis Ishak dan seorang pegiat lainnya ditangkap pada 25 Maret 2003 ketika sedang menemani para penduduk desa yang melakukan unjuk rasa di depan kantor Bupati Bireun, untuk secara damai memprotes rencana mendirikan pos Brimob di desa mereka, Foto-foto yang diambil oleh seorang saksi penangkapan mereka menunjukkan dua orang dibawa ke mobil mini-van hitam. Sumber-sumber setempat meyakini bahwa orang yang ada di foto bersama Mukhlis adalah para anggota Satuan Gabungan Intelijen (SGI). Ditakutkan bahwa Mukhlis menjadi target akibat kegiatannya dalam membela HAM. Mula-mula diduga bahwa Mukhlis ditahan di pos militer SGI di kabupaten Bireun. Namun, para anggota keluarga dan aktivis yang mencari Mukhlis ke pos militer diberi tahu bahwa Mukhlis tidak ditahan di situ. Sejak ditahan sepuluh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang pernah melihat Mukhlis lagi. Juga tidak diketahui adanya investigasi untuk mencari tahu mengenai “hilangnya” Mukhlis. Keberadaannya sampai saat ini tetap tidak diketahui dan para pelakunya belum dihadapkan ke pengadilan.

3.2 INVESTIGASI PELANGGARAN HAM DI ACEH TIDAK DIUMUMKAN

Memang ada sejumlah inisiatif dari pihak berwenang dan Komnas HAM untuk mengusut pelanggaran HAM yang dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda dalam konflik dan juga insiden-insiden khusus.78 Meskipun banyak dari investigasi tersebut penting dalam

mendokumentasikan banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik berlangsung,, investigasi-investigasi itu hanya menggunakan pendekatan secara sepotong-sepotong dalam mengungkapkan kebenaran dan tidak mampu memberikan rekaman yang komprehensif mengenai pelanggaran yang dilakukan kedua pihak antara tahun 1976 dan 2005. Selain dari ini, sejumlah investigasi hanya bersifat permulaan dan tidak mempelajari penyebab yang lebih mendalam terhadap pelanggaran ataupun tidak mengidentifikasi apa yang terjadi kepada para korban penghilangan paksa. Semua laporan akhir investigasi-investigasi tersebut masih belum tersedia untuk umum, dan sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, banyak dari rekomendasinya untuk memastikan adanya penuntutan segera atas tindak kejahatan yang sudah teridentifikasi belum juga diterapkan.

A. INVESTIGASI 1998

Pada Juli 1998, sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta - DPR didirikan di bawah kepemimpinan Letjen Hari Sabarno yang mengetuai fraksi militer di DPR. Tim tersebut mengunjungi Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, serta menerima banyak laporan tentang pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan. Pada Oktober 1998, tim pencari fakta DPR tersebut melaporkan menerima lebih dari 1.700 laporan individual tentang pelanggaran HAM, termasuk 426 kasus “orang hilang” dan 320 pembunuhan di luar hukum

(26)

di Aceh.79 Sebuah laporan akhir dikabarkan telah diserahkan ke DPR, tetapi sepengetahuan

Amnesty International laporan seperti itu tidak pernah diumumkan.80

Pada Juli dan Agustus 1998, Komnas HAM melakukan investigasi pertamanya mengenai pelanggaran masa lalu di Aceh selama periode DOM. Dalam temuan awalnya (diluncurkan pada 25 Agustus 1998)81 Komnas HAM menyimpulkan paling tidak ada 781 kasus

kematian, 163 “orang hilang”, 368 kasus penyiksaan, dan 102 perkosaan yang dilakukan dalam konteks operasi militer antara tahun 1989 dan 1998. Komnas HAM juga dilaporkan mengindentifikasi lokasi sembilan kuburan massal di Aceh.82 Namun, pada saat penulisan

laporan ini, Amnesty International masih belum mengetahui adanya laporan akhir Komnas HAM yang memperinci hasil temuan-temuan itu yang telah diumumkan kepada masyarakat umum.

B. KOMISI INDEPENDEN TAHUN 1999 UNTUK PENGUSUTAN TINDAK KEKERASAN DI ACEH. Tahun 1999, Presiden Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA) untuk menginvestigasi pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama dan sesudah periode DOM.83 Komisi itu, yang bekerja selama enam bulan, terdiri atas

perwakilan dari Komnas HAM, ornop-ornop, universitas, para tokoh masyarakat, dan anggota badan-badan pemerintah. Dilaporkan bahwa Komisi itu mengumpulkan sekitar 5.000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, “penghilangan paksa”, penahanan secara sewenang-wenang, perkosaan, dan kekerasan seksual.84 Dalam laporan akhirnya, Komisi itu

menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan militer merupakan bentuk “kekerasan oleh negara”.85

Komisi tersebut merekomendasikan agar pemerintah menginvestigasi lima kasus prioritas dan membawa para pelakunya ke pengadilan (lihat Bab 4: Keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu). Meskipun Keputusan Presiden telah memberikan Komisi itu kekuasaan untuk

menerbitkan hasil investigasi,86 laporan akhirnya masih belum diumumkan kepada publik.

C. TIM AD HOC KOMISI NASIONAL HAM 2003

Komnas HAM pada awalnya mendirikan sebuah Tim Investigasi Ad Hoc Aceh Komnas HAM yang dipimpin M.M. Billah untuk mengawasi proses perdamaian di Aceh setelah

ditandatanganinya Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) pada 9 Desember 2002. Setelah gagalnya CoHA dan pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat militer pada Mei 2003, tim itu diperluas mandatnya dan memasukkan lebih banyak orang ke dalam tim, termasuk para aktivis HAM. Mandat utama tim tersebut adalah untuk mengawasi dipatuhinya hukum HAM dan humaniter selama masa darurat militer dan untuk membentuk mekanisme pengaduan di seluruh bagian provinsi tersebut.

Tim tersebut menginvestigasi 70 kasus pelanggaran HAM selama masa darurat militer (Mei 2003-Mei 2004)87, termasuk kasus yang melibatkan pembunuhan di luar hukum,

penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, perkosaan serta bentuk tindak kekerasan seksual lainnya, serangan tanpa padang bulu dan penjarahan, serta perusakan harta milik pribadi.88 Dalam kesimpulan laporan mereka, tim itu menemukan

bahwa ada indikasi kuat bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi (Pasal 9 UU No.26/2000). Tim tersebut dilaporkan telah menyerahkan hasil temuan mereka kepada pemerintah, dan merekomendasikan agar Komnas HAM membentuk tim investigasi pro-justicia untuk memulai penyelidikan awal sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU

(27)

keputusan dari Komnas HAM untuk menindaklanjuti rekomendasi tim itu.

Koalisi NGO HAM Aceh, sebuah organisasi HAM Aceh, baru-baru ini menggunakan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mengajukan keberatan pada Oktober 2012 dan kemudian mengajukan penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi Publik (KIP) untuk meminta Komnas HAM menerbitkan laporan ini. Dilaporkan bahwa sidang

penyelesaian sengketa saat ini sedang diajudikasi, oleh Komisi Informasi Publik.90

D. TIM PENGKAJIAN ANTIKEKERASAN ACEH 2009

Tahun 2009, Komnas HAM membentuk sebuah tim dengan mandat meninjau kasus-kasus pelanggaran HAM dari periode DOM sampai dengan akhir 2003 dan untuk mengidentifikasi pola-pola pelanggaran HAM.91 Dari 1 Februari 2009 sampai 30 April 2009 Tim Pengkajian

Antikekerasan yang dipimpin Ahmad Baso menginvestigasi 70 kasus kejahatan masa lalu. Tim ini akhirnya mengusulkan sebuah proses kombinasi keadilan dan kebenaran untuk menangani pelanggaran masa lalu di Aceh.92 Amnesty International belum mendengar

adanya tindak lanjut atas rekomendasi tim tersebut. Laporan akhir mereka juga masih belum tersedia untuk umum.

3.3 UPAYA YANG MACET UNTUK MEMBENTUK KOMISI KEBENARAN

Komisi-komisi kebenaran muncul beberapa tahun belakangan ini sebagai mekanisme yang sama pentingnya untuk mengungkapkan kebenaran di situasi pasca-konflik dan situasi lain tempat terjadinya pelanggaran HAM. Walaupun sudah banyak model yang berbeda, secara umum komisi-komisi kebenaran dijabarkan sebagai “badan pencari fakta non-judisial yang resmi dan bersifat temporer yang menginvestigasi pola pelanggaran terhadap hukum HAM atau humaniter, yang biasanya dilakukan selama beberapa tahun”.93

Tidak seperti pengusutan lainnya, seperti yang dirujuk di bagian atas, komisi-komisi kebenaran berfokus pada pemberian keterangan lengkap tentang pelanggaran di masa lalu dan mengidentifikasi alasan-alasannya. Sebuah laporan tahun 2004 oleh Sekjen PBB tentang Supremasi Hukum (Rule of Law) menyatakan bahwa komisi-komisi kebenaran:

"memiliki potensi untuk memberi manfaat besar dalam membantu masyarakat pasca-konflik mengungkapkan fakta tentang pelanggaran di masa lalu, mendorong adanya akuntabilitas, melindungi bukti-bukti, mengidentifikasi pelakunya, dan

merekomendasikan reparasi dan reformasi institusional. Mereka juga dapat menyediakan sarana publik bagi para korban untuk menceritakan kepada negara dan bangsanya kisah pribadi mereka dan dapat memfasilitasi perdebatan umum tentang bagaimana

menghadapi masa lalu.”94

Saat ini terdapat dua prakarsa untuk mendirikan komisi kebenaran yang akan mencakup kejahatan yang dilakukan dalam konflik Aceh. Namun prakarsa ini sudah macet selama beberapa tahun.

(28)

A. KOMISI NASIONAL KEBENARAN DAN REKONSILIASI

Tahun 2004, sebuah undang-undang untuk mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan di Indonesia dengan kekuasaan untuk menerima pengaduan; menginvestigasi pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu; dan membuat rekomendasi bagi kompensasi dan/atau rehabilitasi untuk para korban. Namun, undang-undang ini secara serius cacat karena membolehkan Komisi untuk merekomendasikan pemberian pengampunan atau amnesti kepada para pelaku kejahatan, yang artinya merusak

kemungkinan mendapatkan kebenaran dan keadilan. Undang-undang ini mengatur bahwa kasus-kasus yang ditangani Komisi akan dilarang untuk proses penuntutan dan mensyaratkan bahwa para korban hanya akan menerima kompensasi jika pelaku pelanggaran telah diberi amnesti.95 Tahun 2006 Mahkamah Konstitusi Indonesia membatalkan UU No. 27/2004

tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan dasar bahwa ketetapan yang

mensyaratkan amnesti diberikan kepada para pelaku pelanggaran HAM berat sebelum para korban dapat menerima kompensasi dan rehabilitasi tidak konstitusional.96

Sebuah draf undang-undang kebenaran dan rekonsiliasi baru yang tidak mengatur tentang amnesti telah diserahkan ke DPR,97 dan dijadwalkan untuk dibahas antara 2011 dan 2014.

Namun, pada saat penulisan laporan ini, draf itu masih belum dijadwalkan untuk didiskusikan, dan tidak jelas apakah ada cukup kemauan politik untuk meloloskan draf undang-undang tersebut.

B. KOMISI UNTUK KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI ACEH

“Tujuh tahun setelah [perjanjian] damai itu masih ada beberapa hal yang tertera dalam MOU dan UU Pemerintahan Aceh belum terealisasi, khususnya qanun KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi]. Harapan saya bahwa rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu itu terpenuhi dengan terbentuknya qanun KKR di Aceh.”

Seorang aktivis HAM di Aceh, 17 Mei 2012.

Baik perjanjian damai tahun 200598 maupun selanjutnya UU tentang Pemerintahan Aceh

tahun 2006 (UU No. 11/2006) mengandung ketetapan yang mengatur pembentukan sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. MOU itu menetapkan bahwa sebuah “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi” (Pasal 2.3). Selanjutnya, UU Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh “merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [nasional]” (Pasal 229), dan bahwa komisi itu akan berlaku efektif paling lambat satu tahun setelah disahkannya UU Pemerintahan Aceh (Pasal 260). Namun dengan adanya pembatalan UU Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004 dan penundaan selanjutnya dalam membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nasional, maka tidak jelas kapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh akan dimulai.99

Situasi ini menggambarkan kurangnya kemauan politik secara luas untuk menyikapi kejahatan masa lalu di Indonesia atau Timor-Leste (dulu disebut Timor Timur), dan keengganan pemerintah mengungkapkan kebenaran. Di tingkat nasional, militer dan para pejabat DPR Indonesia telah menekankan perlunya melupakan masa lalu guna melangkah maju. Sejumlah dari mereka juga berpendapat bahwa membuka luka lama akan mengganggu

(29)

Jenderal Endriartono Sutarto, mengatakan:

"Pada saat kita sedang mencoba menyelesaikan persoalan, kita tak bisa selalu berorientasi ke masa lalu, yang mengakibatkan kita tak dapat mencapai perdamaian yang kita harapkan."100

Pihak berwenang di Aceh juga sebelumnya sudah menunjukkan keengganan untuk mendorong pengungkapan kebenaran bagi para korban. Perubahan pemerintahan daerah terjadi di Aceh pada Juni tahun 2012. Dalam program kampanye mereka, calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memenangkan pemilihan berjanji akan

“mengimplementasikan UU Pemerintahan Aceh dengan serius dan cermat”.101 Namun,

masih harus dilihat apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan menjadi salah satu prioritas mereka, karena posisi Gubernur Aceh yang sekarang ini mengenai hal ini masih tidak jelas.102

Sejumlah organisasi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) beranggapan bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tidak perlu menunggu dibentuknya dulu komisi kebenaran nasional. 103 UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa perincian

mengenai struktur, prosedur kerja, personel dan pendanaan Komisi Kebenaran dan

Rekonsiliasi Aceh akan “diatur oleh Qanun Aceh dengan berkonsultasi pada undang-undang dan peraturan yang sudah ada”.104 Ornop-ornop atau organisasi non-pemerintah sudah

menyerahkan draf Qanun itu ke DPRA untuk dipertimbangkan.105 Namun, pada 11

September 2012, anggota Komisi A di DPRA, Abdullah Saleh, menyatakan bahwa DPRA harus menunggu diloloskannya dulu UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nasional sebelum mendirikan komisi untuk Aceh.106 Pada Januari 2013, draf Qanun tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dimasukkan ke dalam daftar qanun yang diprioritaskan untuk dibahas pada tahun 2013.107

Sejumlah kelompok para korban masih terus mengkampanyekan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Ratusan korban melakukan unjuk rasa di depan parlemen Aceh pada tahun 2010 menuntut dibentuknya Komisi itu.108 Mereka berpendapat bahwa

"sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk berdasarkan Qanun paling tidak dapat terlibat dalam merekam kasus-kasus pelanggaran GAM, sehingga informasi yang penting tidak hilang dengan berjalannya waktu”.109

3.4 PENTINGNYA UNTUK SEGERA MENGUNGKAPKAN KEBENARAN TENTANG

PELANGGARAN YANG DILAKUKAN SELAMA KONFLIK

Lebih dari tujuh tahun setelah berakhirnya konflik, pihak berwenang nasional maupun daerah masih belum bisa mengambil langkah-langkah efektif untuk mengungkapkan kebenaran mengenai pelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik. Para korban dan keluarga mereka tidak bisa mendapatkan informasi mengenai pelanggaran yang dilakukan terhadap mereka, termasuk mengenai nasib dan keberadaan orang-orang yang dihilangkan dan yang menghilang. Banyak dari mereka yang diwawancarai Amnesty International pada Mei 2012 menekankan pentingnya mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu sehingga generasi baru dapat mempelajarinya. Banyak korban menegaskan kembali

(30)

pentingnya memastikan bahwa apa yang telah terjadi selama konflik Aceh dimasukkan ke dalam kurikulum sehingga anak-anak muda di Aceh bisa mempelajarinya, agar kejadian masa lalu ini tidak terulang lagi.

Para korban/penyintas konflik Aceh melakukan unjuk rasa bagi pembentukan komisi kebenaran di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Desember 2010. ©Koalisi NGO HAM Aceh

Dengan berjalannya waktu, juga ada risiko yang bertambah bahwa informasi yang berharga akan hilang. Memang, banyak dari informasi itu yang sudah hancur, termasuk ketika terjadinya tsunami di tahun 2004. Mani Iraya,110 seorang perempuan berusia enam puluhan,

yang diperkosa dan menjadi korban bentuk-bentuk lain penyiksaan di Rumoh Geudong selama empat bulan oleh pasukan Kopassus mengungkapkan rasa prihatinnya karena tidak ada lagi bukti tersisa dari apa yang terjadi di sana setelah gedung itu dilumat habis oleh api pada tahun 1998 (lihat di kotak “Rumah Penyiksaan”: Rumoh Geudong, h.17). Mani Iraya mengatakan kepada Amnesty International bahwa dia berulang kali dipukuli, dan disetrum ketika telanjang selama penahanannya di Rumah Geudong. Ia mengatakan pasukan

menempelkan kabel listrik dari kaki sampai ke hidungnya, dan mereka juga menyuntikkan air raksa ke tubuhnya. Ia menceritakan bahwa pada malam hari ia diperkosa di hadapan orang-orang yang menonton, dan memaksanya untuk memegangi penis seorang-orang lelaki. Akibat pemukulan yang dideritanya, Mani Iraya masih terus menderita luka-luka di bagian tubuh atasnya. Ia masih berharap bahwa mereka yang menyiksanya akan dibawa ke pengadilan, tetapi ia merasa pesimis karena mungkin akan sulit menemukan para pelakunya. Ornop-ornop lokal kini tengah mengumpulkan kesaksian para saksi, tapi masih banyak lagi hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengungkapkan kebenaran.

(31)

4. KEADILAN UNTUK PELANGGARAN

HAM MASA LALU

“Saya benci kepada militer… Saya katakan kepada keluarga saya, saya lebih suka kabur dan ditembak daripada dipukuli lagi… Saya ditahan oleh Kopassus … tahun 2004 dibawa aku ke pos mereka dan dikontak listrik [saya]… Saya sudah masuk rumah sakit paling tidak 16 kali karena darah keluar [dari tubuh saya]… karena efek yang dipukuli hari itu … dan saya masih sakit kepala… saya masih melihat orang yang tangkap saya itu berkeliaran … nama yang pertama adalah X… dan yang kedua Kapten Y… sampai sekarang masih hidup dia … dia bilang saya salah tangkap … ini tidak profesional karena karena aku bukan GAM… aku masyarakat biasa.”

Para anggota pasukan keamanan secara sewenang-wenang menangkap dan menahan Faisal beberapa kali di antara tahun 2002 dan 2004. Mereka berulang kali memukulinya, dan menyetrumnya. Satu dasawarsa kemudian, Faisal masih terus menderita sakit kepala dan tidak bisa mendengar dengan baik.111

Kebanyakan pelaku kejahatan menurut hukum internasional tidak pernah dituntut di muka pengadilan sipil yang independen di Indonesia. Seperti Faisal, banyak korban dan keluarga mereka mengetahui nama orang-orang yang menjahati mereka. Namun, mereka ternyata tidak memiliki akses ke pengadilan. Bagi mereka yang tidak tahu keadaan sebenarnya mengenai apa yang terjadi kepada sanak keluarga mereka, ada tantangan nyata dalam mengakses informasi dan memverifikasi kesaksian-kesaksian. Banyak dari korban pelanggaran masa lalu juga mengatakan kepada Amnesty International pada Mei 2012 bahwa mereka merasa takut untuk mengungkit masa lalu. Sejumlah perwakilan korban malah sudah menerima ancaman karena pekerjaan mereka mengenai impunitas untuk kejahatan di masa lalu. Iklim penuh ketakutan, trauma, dan pembalasan dendam seperti itu mendukung impunitas yang ada dan mengancam upaya untuk menciptakan perdamaian jangka panjang yang bermakna. Keadilan pidana merupakan bagian pokok dari hak para korban untuk mendapatkan pemulihan hak (remedy) yang efektif.

Bilamana kejahatan dilakukan di Aceh atau di tempat lain di mana pun di Indonesia, pihak berwenang nasional harus memastikan bahwa kejahatan itu diusut, dan jika ada bukti memadai yang bisa diterima, orang-orang yang diduga bertanggung jawab secara pidana harus dituntut dalam sidang pengadilan yang memenuhi standar internasional tentang pengadilan yang adil. Jika pihak berwenang nasional tidak mampu menginvestigasi dan menuntut kejahatan menurut hukum internasional, bilamana ada bukti memadai yang bisa diterima, sangatlah penting bahwa sistem peradilan pidana dan perdata nasional semua negara ikut campur tangan untuk mengadili mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan itu mewakili komunitas internasional dengan memberlakukan yurisdiksi universal.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pertanaman pulai darat yang berumur 2 tahun dijumpai paling banyak jenis gulma (37 jenis). Sedangkan pada pertanaman pulai darat yang berumur 1 tahun hanya ditemukan 24

Sedangkan kekurangan dan hambatan dalam pelaksanaan kebijakan ini antara lain dari SDM dengan kualifikasi yang dibutuhkan masih kurang, masih ada pelaksana yang belum

Kalau pelajaran yang diterima hanya dengan melihat tanpa mendengar dan berbuat cepat lupa, tidak akan tersimpan atau membekas pada diri siswa, kalau pelajaran

Cara kerja pada sistem penalaran berbasis kasus adalah kasus yang baru akan dicocokkan dengan kasus-kasus yang ada didalam basis kasus kemudian ditemukan satu atau lebih kasus

Hubungan tingkat pengetahuan tentang perawatan kaki dan faktor- faktor risiko terhadap kejadian ulkus kaki diabetes pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang dirawat inap di

Sehingga dilakukan tugas akhir dengan judul "Perancangan Aplikasi Chat Translator Berbasis Desktop Untuk Komunikasi Dua Bahasa Dalam Jaringan Komputer"yang

Regenerasi pucuk dari eksplan tunas aksilar mahkota buah nenas dapat dipacu dengan pemberian zat pengatur tumbuh 2,4-D dan BAP ke dalam medium tumbuh,.. Regenerasi

Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini adalah pembangunan BIJB merupakan suatu kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan sarana transportasi udara serta