• Tidak ada hasil yang ditemukan

“[Harapan saya adalah] pihak berwenang di Aceh atau

di tingkat pusat menyelesaikan [pelanggaran] masa lalu

dan menjamin apa yang sudah terjadi di Aceh tidak

akan terjadi lagi sekarang ini dan tidak terjadi di

daerah lain di Indonesia. Jadikan konflik dan

pelanggaran HAM di Aceh ini sebagai pelajaran bagi

pemerintah.”

Seorang aktivis dari Aceh Utara berbicara kepada Amnesty International.206

Kemauan dari kedua pihak, baik pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka untuk mengesampingkan perbedaan di antara mereka melalui perjanjian damai tahun 2005 telah menuntun pada akhir yang berhasil bagi konflik bersenjata di Aceh. Namun, tujuh tahun kemudian, kedua pihak konflik telah memutuskan untuk mengabaikan sejumlah ketetapan fundamental dari perjanjian damai dan kewajiban Indonesia untuk memastikan adanya kebenaran, keadilan dan reparasi bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Yang ada malah masa lalu dikubur dengan penundaan terus menerus dalam membentuk komisi kebenaran, menginvestigasi dan menuntut kejahatan, dan penyediaan reparasi bagi para korban dan keluarga mereka. Kini sudah tiba saatnya bagi pemerintah nasional dan daerah untuk memenuhi kewajiban hukum internasional mereka dan membangun kembali supremasi hukum di negeri ini untuk mengakhiri impunitas serta melindungi, menjamin, dan

memperkuat proses perdamaian.

Dalam Bab ini, Amnesty International memberikan serangkaian rekomendasi pokok kepada pemerintah pusat, dan khususnya kepada Presiden serta Dewan Penasihatnya, kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Urusan dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri untuk Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sejumlah rekomendasi juga ditujukan kepada pihak berwenang daerah di Aceh dan perwakilan mantan Gerakan Aceh Merdeka, termasuk Kantor Gubernur Aceh, para pemimpin partai politik lokal seperti Partai Aceh, 207dan para anggota DPRA. Sejumlah rekomendasi diarahkan pula kepada DPR di tingkat nasional, Komnas HAM, dan kantor Jaksa Agung. Oleh karena banyak dari kejahatan ini masuk dalam kategori kejahatan menurut hukum internasional, maka ada pula rekomendasi yang khusus digelindingkan ke arah negara lain, termasuk negara-negara Uni Eropa dan ASEAN yang memonitor perjanjian damai, serta negara donor lainnya. Untuk memastikan bahwa hak para korban pelanggaran HAM di masa lalu dan keluarga mereka atas kebenaran, keadilan, dan reparasi diimplementasikan pada kesempatan sedini

Indonesia, dan khususnya Presiden, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, dan Dewan Perwakilan Rakyat Nasional:

  

 Mengakui di depan umum bahwa pelanggaran HAM, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, memang dilakukan pada saat konflik Aceh berlangsung dan memberikan komitmen di depan umum bahwa tidak akan ada impunitas bagi kejahatan menurut hukum internasional;

  

 Secara resmi meminta maaf di depan umum kepada semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia dan tenaga pembantu mereka selama konflik Aceh;

  

 Memastikan bahwa hasil temuan semua investigasi/penyidikan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh tersedia bagi publik, dan mengimplementasikan semua rekomendasi yang diberikan dalam laporan di masa lalu yang bertujuan memastikan adanya kebenaran, keadilan dan reparasi dan yang sesuai dengan dengan hukum dan standar HAM internasional; dan

  

 Mendukung investigasi dan penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh, dan memastikan bahwa mereka yang mungkin telah melakukan kejahatan menurut hukum internasional tidak mendapat pengampunan atau amnesti.

Selanjutnya, Amnesty International merekomendasikan bahwa para perwakilan mantan Gerakan Aceh Merdeka, termasuk Gubernur Aceh, dan perwakilan Partai Aceh untuk:

  

 Mengakui di depan umum bahwa pelanggaran HAM, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, memang dilakukan pada saat konflik Aceh berlangsung dan memberikan komitmen di depan umum bahwa tidak akan ada impunitas bagi kejahatan menurut hukum internasional;

  

 Secara resmi meminta maaf di depan umum kepada semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan GAM selama konflik Aceh;

  

 Menyerukan agar hasil temuan dari semua investigasi/penyidikan terhadap pelanggaran HAM selama konflik Aceh berlangsung tersedia untuk publik, dan agar semua rekomendasi yang diberikan dalam laporan di masa lalu yang bertujuan memastikan adanya kebenaran, keadilan, dan reparasi dan yang sesuai dengan dengan hukum dan standar HAM

internasional diimplementasikan.

  

 Mendukung investigasi dan penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh, dan memastikan bahwa mereka yang mungkin telah melakukan kejahatan menurut hukum internasional tidak mendapat pengampunan atau amnesti.

6.1 MENUJU PENGUNGKAPAN KEBENARAN

Untuk memastikan hak atas kebenaran bagi para korban, keluarga mereka, dan komunitas yang terkena dampaknya serta memastikan mereka mendapatkan akses ke pengungkapan penuh tentang apa yang terjadi selama konflik, termasuk nasib dan keberadaan mereka yang hilang, Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR dan khususnya Komisi III yang khusus mengurusi masalah Hukum, HAM, dan Keamanan, perwakilan Hukum dan HAM di Dewan Penasihat Presiden, tim multi-lembaga yang disponsori pemerintah untuk

menyelesaikan pelanggaran HAM, dan Anggota DPR Aceh:

  

 Membentuk tanpa penundaan lebih lanjut sebuah komisi kebenaran yang independen dan imparsial sesuai dengan Daftar Periksa Amnesty International bagi pembentukan komisi kebenaran yang efektif,208 untuk mengungkapkan fakta tentang pelanggaran HAM yang dilakukan kedua pihak selama konflik, termasuk mengamankan bukti-bukti dan

mengidentifikasi para pelaku, merekomendasikan langkah-langkah reparasi guna menyikapi penderitaan para korban dan juga reformasi kelembagaan untuk memastikan bahwa pelanggaran semacam itu tidak akan terulang lagi;

  

 Membentuk mekanisme yang efektif, termasuk kemungkinan sebagai bagian dari komisi kebenaran, untuk menginvestigasi dan mencatat perincian semua orang yang hilang dan lenyap dan mencari, menemukan lokasi dan membebaskan orang yang hilang, atau, dalam kasus kematian, untuk menghormati dan mengembalikan jenazah mereka kepada keluarga dan masyarakat;

  

 Dengan segera menerima dan memfasilitasi permintaan dari Kelompok Kerja untuk Penghilangan Paksa (WGEID), yang sudah menanti sejak tahun 2006 untuk mengunjungi Indonesia. Memastikan bahwa WGEID diberi akses tanpa dihalang-halangi ke Aceh dan semua lokasi yang relevan lainnya serta dapat bertemu dengan bebas dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk korban dan keluarga mereka, organisasi masyarakat sipil, pejabat pemerintah, dan anggota pasukan keamanan; dan

  

 Mengundang Pelapor Khusus untuk mendorong kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan untuk mengunjungi Aceh dan lokasi yang relevan lainnya di Indonesia pada kesempatan sedini mungkin. Memastikan agar Pelapor Khusus itu mendapat akses yang tidak dihalang-halangi ke semua lokasi yang relevan dan serta dapat bertemu dengan bebas dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk korban dan keluarga mereka, organisasi masyarakat sipil, dan anggota pasukan keamanan.

Amnesty International juga merekomendasikan bahwa Komnas HAM:

  

 Memastikan bahwa hasil temuan semua penyelidikan terhadap pelanggan HAM masa lalu di Aceh tersedia untuk umum. Jika laporan-laporan itu memuat nama serta

pengidentifikasi pribadi lain dari korban, saksi, dan tersangka, maka hal-hal ini harus dihapus sebelum diterbitkan untuk melindungi semua korban/keluarganya dan para saksi serta juga untuk menjamin bahwa orang-orang yang dituntut karena kejahatan di masa depan dijamin mendapatkan peradilan yang adil sesuai dengan standar internasional.

  

 Memastikan bahwa kurikulum nasional di sekolah-sekolah di Aceh, dan di tempat lain di mana pun di Indonesia memuat bagian mengenai sejarah konflik Aceh dan pelanggaran HAM yang terjadi pada saat itu untuk memastikan agar generasi di masa depan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu.

6.2 KEADILAN BAGI PELANGGARAN HAM MASA LALU

Untuk memastikan bahwa Indonesia memenuhi kewajibannya untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan menurut hukum internasional - termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum,

penghilangan paksa - serta memastikan adanya keadilan bagi para korban, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Hukum dan HAM:

  

 Mengambil langkah-langkah segera untuk memastikan agar semua kejahatan termasuk yang di bawah hukum internasional yang diduga dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, tenaga pembantu mereka, dan GAM selama konflik diinvestigasi. Memastikan, kapan pun jika ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, bahwa mereka yang diduga melakukan kejahatan dituntut di pengadilan nasional dalam pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati;

  

 Memastikan bahwa semua pengampunan atau amnesti yang diberikan sesuai dengan perjanjian damai tidak menghalangi investigasi dan penuntutan kejahatan menurut hukum internasional;

  

 Memastikan bahwa para penyintas kekerasan seksual mendapatkan akses ke keadilan dan bahwa sistem keadilan memiliki kapasitas dan sumber daya penuh untuk dengan tepat waktu, secara mandiri, imparsial, dan efektif menginvestigasi dan menuntut semua kasus kekerasan seksual; dan

  

 Membentuk cabang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Aceh dengan sumber daya yang memadai untuk memberikan perlindungan serta dukungan yang efektif kepada para korban kejahatan menurut hukum internasional.

Amnesty International merekomendasikan bahwa Komnas HAM:

  

 Melakukan penyidikan lebih lanjut terhadap kemungkinan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan selama konflik Aceh.

Amnesty International merekomendasikan bahwa Kantor Jaksa Agung:

  

 Meninjau lagi semua informasi yang telah diterimanya yang berkaitan dengan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan di Aceh, termasuk informasi dari Komisi Independen tahun 1999 untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA), Komnas

HAM, dan semua investigasi lain terhadap pelanggaran HAM selama konflik Aceh dan menyelesaikan investigasi secara lengkap. Kapan pun jika ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang diduga melakukan kejahatan harus dituntut di pengadilan nasional dalam pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati;

Selanjutnya Amnesty International merekomendasikan bahwa para Anggota DPR:

  

 Merevisi KUHP dan KUHAP sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum dan standar HAM internasional, dan sebagai prioritas mendefinisikan semua kejahatan menurut hukum internasional dan prinsip-prinsip tanggung jawab pidana yang sesuai dengan hukum dan standar internasional, sebagaimana direkomendasikan dalam Amnesty International, Pengadilan Kriminal Internasional: Daftar Periksa yang telah diperbarui untuk

pengimplementasian yang efektif (International Criminal Court: Updated checklist for effective implementation).209 KUHP yang direvisi harus memasukkan definisi penyiksaan yang konsisten dengan Pasal 1.1 Konvensi PBB Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau yang Merendahkan Martabat dan definisi perkosaan yang konsisten dengan Unsur-Unsur Kejahatan dari Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional;

  

 Lakukan amendemen terhadap UU tentang Pengadilan HAM (No.26/2000) untuk: 1. Memperluas yurisdiksinya atas kejahatan lain menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa. 2. Memastikan agar Komnas HAM dapat melaksanakan penyidikan pro-justicia dengan efektif, termasuk bahwa Komisi itu harus memiliki kekuasaan untuk memanggil (subpoena) para saksi, dan Komisi itu menyerahkan semua pengusutan yang berkaitan dengan kejahatan menurut hukum internasional ke jaksa penuntut yang independen untuk diinvestigasi, tanpa adanya kemungkinan campur tangan politik dalam prosesnya oleh Jaksa Agung atau pejabat politik lainnya; dan

3. Memastikan bahwa Komnas HAM dan para korban terus diinformasikan mengenai status investigasi dan bahwa mereka dapat meminta peninjauan hukum untuk keputusan tidak menginvestigasi atau tidak menuntut kejahatan menurut hukum internasional.

  

 Merevisi UU tentang Pengadilan Militer (UU No. 31/1997) agar para personel militer yang diduga melakukan kejahatan menurut hukum internasional dituntut hanya di pengadilan sipil yang independen.

Mempertimbangkan sejumlah kejahatan yang terjadi selama konflik Aceh sebagai kejahatan menurut hukum internasional, negara-negara lain termasuk dalam Uni Eropa dan ASEAN harus:

  

 Memberlakukan yurisdiksi, termasuk, bilamana diperlukan dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, yurisdiksi universal, atas orang-orang yang dicurigai

melakukan kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan selama konflik Aceh.

6.3 HAK ATAS REPARASI PENUH DAN EFEKTIF

Untuk memastikan bahwa para korban pelanggaran HAM mendapatkan hak reparasi penuh dan efektif, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM, dan Gubernur Aceh:

  

 Membentuk program untuk memberikan reparasi penuh dan efektif termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan adanya keberulangan terhadap semua korban pelanggaran HAM di Aceh. Program itu harus dibuat dengan berkonsultasi dengan para korban, baik perempuan dan anak perempuan maupun lelaki dan anak lelaki, untuk memastikan bahwa program reparasi itu efektif serta merefleksikan kebutuhan yang berbeda dan pengalaman korban/penyintas konflik, termasuk perempuan dan lelaki berdasarkan jender mereka atau status lain apa pun, dan juga mempertimbangkan sifat pelanggaran dan akses sebelumnya terhadap langkah-langkah reparasi, agar dapat secara benar menangani penderitaan yang dialami. Untuk menghindari penundaan lebih lanjut dalam menangani penderitaan para korban, program itu harus segera dibangun untuk mulai memberikan reparasi kepada para korban sesegera mungkin. Jika rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh sebuah komisi kebenaran berkaitan dengan reparasi, maka rekomendasi itu harus dipertimbangkan dan dibahas saat itu sebagai bagian dari tinjauan terhadap program; dan

  

 Program reparasi apa pun harus memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan penyintas kekerasan seksual dalam konflik dapat mengakses reparasi dan bahwa langkah-langkah khusus diambil untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan mereka. Program harus dikembangkan dengan melibatkan para penyintas dan ornop-ornop (organisasi non-pemerintah) yang mewakili dan/atau bekerja dengan mereka. Program itu harus memasukkan ketentuan yang menjamin, bagi mereka yang memerlukannya, akses ke perawatan kesehatan, bantuan psikologis dan dukungan lain, termasuk cara-cara yang dirancang untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang dialami para penyintas kekerasan seksual dan stereotipe jender yang mendasari kekerasan terhadap perempuan. Semua informasi yang diberikan oleh para penyintas harus diperlakukan dengan penuh kerahasiaan untuk menghormati privasi dan menghindari timbulnya kembali trauma atau penderitaan lain.

Amnesty International merekomendasikan bahwa Gubernur Aceh, DPR Aceh, dan Badan Reintegrasi Aceh (yang kini disebut Badan Penguatan Perdamaian Aceh/ BP2A):

  

 Meninjau dan secara independen mengevaluasi mekanisme kompensasi masa lalu untuk memastikan agar semua korban dan sanak-saudara mereka menerima kompensasi secara setara, dan bebas dari ancaman, pelecehan dan diskriminasi. Perhatian khusus harus diberikan kepada para korban dan sanak-saudara mereka yang hidup jauh dari kota-kota besar, atau yang mungkin menderita akibat stigma untuk kejahatan yang dilakukan kepada mereka, seperti yang terjadi bagi para penyintas kekerasan seksual; dan

  

 Membangun monumen atau tanda lain untuk mengakui apa yang telah terjadi di tempat-tempat tertentu di Aceh dengan berkonsultasi dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok para korban.

Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR:

  

 Melakukan amendemen terhadap UU mengenai Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.13/2006) untuk memastikan bahwa Lembaga Perlindungan dapat memfasilitasi akses ke layanan medis dan layanan rehabilitasi psiko-sosial untuk para korban dan saksi semua kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa.

6.4 SUPREMASI HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN

Untuk memperkuat proses perdamaian, dan memastikan bahwa HAM di Aceh merasuk ke dalam struktur yang menghormati supremasi hukum dan bersama pasukan keamanan yang profesional, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Hukum dan HAM:

  

 Memperkuat mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal untuk menghadapi dugaan pelanggaran HAM oleh para anggota pasukan keamanan; dan

  

 Membangun sebuah sistem pemeriksaan untuk memastikan bahwa, sambil menunggu investigasi, aparat penegak hukum atau keamanan yang ada bukti-buktinya telah melakukan pelanggaran HAM berat tidak tetap berada, atau tidak ditempatkan, pada posisi di mana mereka dapat mengulangi pelanggaran semacam itu.

Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR:

  

 Meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada kesempatan sedini mungkin, menyatakan sesuai dengan Pasal 31 dan 32 mengakui kompetensi Komite Penghilangan Paksa untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari atau yang mewakili perorangan yang mengklaim menjadi korban

penghilangan paksa atau penculikan, memasukkan ketetapan-ketetapannya ke dalam undang-undang dalam negeri dan mengimplementasikannya ke dalam kebijakan dan praktik; dan

  

 Meratifikasi Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional dan Persetujuan tentang Keistimewaan dan Kekebalan dari Pengadilan Kriminal Internasional, memasukkan ketetapan-ketetapannya ke dalam undang-undang dalam negeri dan

untuk:

  

 Menyerukan implementasi penuh atas MOU antara pemerintah Indonesia dan mantan Gerakan Aceh Merdeka tanpa penundaan lebih lanjut, termasuk komitmennya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran;

  

 Mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk menginvestigasi kejahatan menurut hukum internasional dan kejahatan lain yang dilakukan kedua pihak selama konflik Aceh, dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang bisa diterima, mereka yang dicurigai melakukan kejahatan harus dituntut di pengadilan nasional dalam sidang pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati; dan

  

 Mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk membentuk sebuah program reparasi untuk memastikan reparasi penuh dan efektif bagi semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik Aceh, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan tidak akan adanya pengulangan.

Amnesty International juga merekomendasikan bahwa negara-negara donor:

  

 Menyediakan pendanaan yang diperlukan dan mendukung ornop-ornop, termasuk kelompok-kelompok perempuan dan para aktor masyarakat sipil lain yang bekerja untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi para korban konflik Aceh; dan

  

 Menyediakan bantuan teknis untuk mendukung reformasi sektor keamanan dan sistem peradilan pidana di Indonesia.

CATATAN KAKI

1 Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) dua kali oleh pemerintah Indonesia selama konflik yang berlangsung 29 tahun. Periode DOM pertama adalah dari tahun 1989 sampai 1998 dan periode kedua - "DOM 2" tahun 2003-2004 Informasi lebih lanjut mengenai periode-periode ini dapat ditemukan di Bagian 2.1 laporan ini. Juga lihat Rizal Sukma, Security Operations in Aceh: Goals, Consequences, and

Lessons, East-West Center Washington, 2004, h8; dan Edward Aspinall dan Harold Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed, East-West Center Washington, 2003, (Aspinall and Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed), h3, h40, dan h43.

2 Perkiraan jumlah korban jiwa selama konflik Aceh bervariasi antara 10.000 sampai 30.000 orang. Perkiraan yang konservatif menyebutkan jumlah korban jiwa adalah antara 12.000 dan 20.000 orang. Dalam Edward Aspinall, “Islam and Nation – Separatist rebellion in Aceh, Indonesia”, NUS Press, 2009, (Aspinall, Islam and Nation), h2 dan catatan kaki 1. Sebuah laporan terakhir dari Crisis Management Initiative (CMI), sebuah ornop yang membantu menengahi kesepakatan damai tahun 2005,

memperkirakan sekitar 10.000 orang tewas dalam konflik Aceh. Lihat CMI, Aceh Peace process

follow-up project, Final Report, 2012, (CMI, Final Report), h9, tautan web:

http://www.cmi.fi/images/stories/publications/reports

/2012/aceh_report5_web.pdf, diakses 4 Maret 2013. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) memperkirakan hampir 30.000 orang dibunuh selama konflik berlangsung. Lihat Multi-Stakeholder Review of

Post-Conflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh, Desember 2009, h4, tautan web:

http://www.internal-displacement.org/8025708F004CE90B/%28httpDocuments%29/B445B05292F05A4DC1257767002 97362/$file/MSR+Aceh+July+2010.pdf, diakses 4 Maret 2013.

3 Lihat misalnya KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Aceh, Damai

dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta. Februari 2006; Komnas Perempuan, Pengalaman Perempuan Aceh Mencari dan Meniti Keadilan Dari Masa ke Masa Januari 2007; dan

Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh

1989-2005, Koalisi NGO HAM Aceh, 2011.

4 Lihat Indonesia: “Shock therapy”: Restoring order in Aceh ("Terapi Kejut: Memulihkan Ketertiban di

Aceh") 1989-1993 (Indeks: ASA 21/007/1993), (Amnesty International, “Shock therapy”); Indonesia: A cycle of violence for Aceh's children (Indeks: ASA 21/059/2000); Indonesia: The impact of impunity on women in Aceh (Indeks: ASA 21/060/2000), (Amnesty International, The impact of impunity on women in Aceh); Indonesia: Activists at risk in Aceh (Indeks: ASA 21/061/2000), (Amnesty International Indonesia: Activists at risk in Aceh); dan Indonesia: New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam, NAD) (Indeks: ASA 21/033/2004), (Amnesty

International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh).

5 Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h37-40.

6Dalam laporan ini, pelanggaran (violation) HAM merujuk ke pelanggaran yang dilakukan oleh agen-agen negara dan pelanggaran (abuse) yang dilakukan para aktor non-negara. Istilah “human rights abuses” juga digunakan secara umum untuk mengacu baik pada pelanggaran (violation) HAM maupun pelanggaran (abuse) yang dilakukan oleh aktor-aktor negara dan non-negara.

7 Konflik antara pihak berwenang di Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka berpangkal pada tahun 1976

Dokumen terkait